Sore ini, Reni sudah bersiap untuk menyambut sang suami pulang dari kantor. Sebab, suaminya tadi pagi sudah janji kalau nggak akan pulang telat. Namun, sampai hari hampir malam, suaminya tak kunjung pulang ke rumah juga.
"Ke mana ya, Mas Candra? Sampai jam segini kok belum pulang juga? Apa iya dia lembur lagi?” tanya Reni yang berbicara sendiri. Akhirnya, Reni mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Panggilan terhubung, tapi tidak kunjung diangkat. Akhir-akhir ini suaminya itu memang sering pulang malam. Katanya lembur, karena di kantor sedang ada masalah dalam keuangan. Reni masih terus mencoba menelepon sang suami, tapi tak kunjung dapat jawaban juga sehingga ia memutuskan untuk menelepon sekretaris suaminya di kantor. Reni sangat kenal dengan sekretaris suaminya di kantor. Sebab, perusahaan yang dikelola suaminya itu adalah perusahaan miliknya. "Iya. Halo, Bu," jawab seorang wanita di seberang sana, yang merupakan sekretaris Candra. "Iya, Wi. Saya cuma mau tanya, apa Pak Candra masih di kantor?" tanya Reni. "Ah … maaf, Bu. Pak Candra-nya sudah pulang sedari sore. Dan, sekarang di kantor hanya tinggal saya dan beberapa karyawan lainnya yang sedang lembur," jawabnya. "Owh … begitu, aku kira dia sedang lembur. Katanya di perusahaan sedang ada masalah keuangan," ujar Reni. “Tidak Bu, lagian Pak Candra nggak pernah lembur. Malah kita-kita yang sering di suruh lembur untuk mengatasi perusahaan yang saat ini sedang terancam pailit," jawab Dewi, yang seketika membuat Reni begitu kaget. "Kamu serius? Kalau suami saya nggak pernah lembur di kantor, Wi?” tanya Reni, dengan perasaan yang begitu sakit, karena telah dibohongi oleh suaminya. "Iya, Bu. Pak Candra nggak pernah lembur. Dan, kalau berangkat ke kantor juga suka seenaknya. Kadang, siang baru datang. Bahkan, kadang nggak datang sama sekali," jawabnya, yang membuat Reni mendadak jadi naik darah. "Apa?! Jadi—selama ini Mas Candra nggak pernah bener-bener serius mengurus perusahaan peninggalan papaku? Bahkan, dia malah seenaknya datang dan pulang ke kantor kapan saja," batin Reni. Dadanya bergemuruh hebat, memikirkan suaminya yang entah pergi kemana. "Lalu, selama ini kamu pergi ke mana, Mas? Padahal setiap hari kamu pamit denganku untuk berangkat ke kantor," batin Reni bertanya-tanya. "Ya sudah, Wi. Kalau ada apa-apa, kamu tolong langsung hubungi saya saja," pinta Reni. "Baik, Bu," jawab Dewi. Ia tahu bahwa Reni adalah pemilik perusahaan yang sesungguhnya, bukanlah Candra. "Sialan kamu, Mas. Berarti selama ini kamu sudah membohongiku. Bisa hancur perusahaanku, kalau kamu tidak benar-benar bertanggung jawab begitu. Sepertinya, aku harus segera mengambil alih perusahaan itu sebelum jadi bangkrut," gumam Reni penuh tekad. Dulu setelah menikah, Reni memercayakan perusahaan itu sama suaminya. Sebab, suaminya nggak punya pekerjaan. Selain itu, Candra juga tidak suka kalau istrinya bekerja sehingga Candra menyuruh Reni untuk di rumah saja. Dia yang akan mengurus perusahaan Reni. Namun, kepercayaan Reni telah disalahgunakan oleh Candra. "Dan sepertinya aku harus memata-matai Mas Candra. Ke mana dia kalau bukan ke kantor?" Reni segera menelepon orang kepercayaan keluarganya untuk membuntuti ke mana pun suaminya pergi. Dengan begitu, Reni bisa tahu ke mana suaminya selama ini pergi, kalau bukan ke kantor. *** Sementara di tempat lain, Candra sedang bersama dengan istri keduanya. "Mas, malam ini kamu sudah janji bakal tidur di sini sama aku. Masak iya, kamu tidur sama Mbak Reni terus. Itu namanya nggak adil dong," desak Mira. "Seharusnya kamu sudah tahu konsekuensinya menjadi istri kedua, Mir," balas Candra. Ia merasa berat jika tidak pulang ke rumah. Selama ini memang Candra begitu menginginkan seorang anak. Tapi entah kenapa, mendengar berita kehamilan Mira malah membuat Candra tak begitu bahagia. Perasaannya terasa hambar. "Tapi sekarang aku kan sedang hamil, Mas. Kamu tega banget ninggalin aku sendirian," ujar Mira dengan memelas. Tiba-tiba ponsel milik Candra berbunyi. Ia ingin langsung mengangkatnya, saat tahu bahwa Reni-lah yang telah meneleponnya. Candra baru ingat. Tadi pagi dirinya sudah berjanji pada Reni untuk pulang tepat waktu. "Itu pasti telepon dari Mbak Reni, kan? Sudahlah nggak usah diangkat, ganggu saja." Mira langsung merebut HP milik suaminya. "Mir, balikin HP-ku! Aku harus mengangkatnya. Aku nggak mau ya, kalau sampai Reni mencurigaiku yang macam-macam," pinta Candra. "Gak! Pasti nanti kamu akan pulang, kalau kamu mengangkat telepon darinya," Mira malah menyembunyikan HP itu di belakang punggungnya. "Iya, aku memang harus pulang, Mir. Aku nggak bisa nginap di sini. Aku lupa kalau aku ada janji dengan Reni." "Ya ampun, Mas. Mbak Reni lagi … Mbak Reni lagi yang kamu utamakan. Sekali-kali kamu pikirkan aku, dong. Aku ini sedang hamil anak kamu loh, Mas.” "Mir, aku harap kamu paham posisiku.” "Sepertinya kamu sangat takut akan kehilangan Mbak Reni ya, Mas," ujar Mira. "Iyalah, aku nggak akan bisa kehilangan dia, Mir. Karena aku sangat mencintainya." "Lalu apa kamu tidak mencintaiku?” tanya Mira, menatap Candra dengan penuh harap. "Jujur, sampai saat ini aku belum bisa mencintaimu, Mir. Kamu tahu kan, aku menikahimu karena apa?" Kalimat Candra seketika membuat Mira begitu sakit hati. Ia nggak terima kalau sang suami mengatakan ‘tidak mencintainya’ secara terang-terangan di depannya. BERSAMBUNG.Di rumah sakit kini Mira sudah siuman, di ruangan perawatan Mira sudah ada Sarti, Bunga, Candra dan juga Ratih yang duduk di kursi roda "Ibu," panggil Mira."Mira kamu sudah sadar." Melihat anaknya sudah sadar, Sarti langsung memanggil dokter.Setelah tombol di pencet oleh Sarti, nggak lama ada seorang dokter datang ke ruang perawatan Mira."Dokter anak saya sudah sadar dok," ujar Sarti saat melihat ada dokter datang."Baik Bu, biar saya periksa dulu," dokter itu segera memeriksa Mira."Alhamdulillah keadaan pasien sudah sangat baik. Tinggal masa pemulihan saja," ujar sang dokter."Ibu, Mira Kenapa ini? Kenapa wajah Mira harus di perban. Lalu kenapa perut Mira terasa sakit dan begitu sangat nyeri?" Tanya Mira yang merasa perutnya begitu perih dan sakit, mungkin obat biusnya sudah hilang sehingga jahitan operasinya mulai terasa sakit."Kamu tidak apa-apa Mira, udah kamu istirahat saja," jawab Sarti, tapi Mira yang merasa pegal ingin bangun dan duduk."Auhhh, Mira ingin bangun tapi ke
Risa kini belum bisa menerima kenyataan kalau Niko ternyata sudah menikah dengan wanita lain, rencana Risa dan Seno yang ingin menguasai harta Niko jadi gagal total. Hal itu membuat Risa jadi uring-uringan di kantor, bahkan karyawan lain yang tidak tau apa-apa ikut jadi imbasnya.Contohnya seperti sekarang ini, Risa yang malas mengerjakan pekerjaannya telah melimpahkan pekerjaannya itu sama orang lain. Ya, begitulah Risa suka semena-mena di kantor mentang-mentang Risa itu adalah sekretaris plus pacarnya Niko.Semua Karyawan kantor juga sudah tahu kalau Risa itu adalah pacarnya Niko sang pemilik perusahaan, sehingga semua karyawan kantor tidak ada yang berani membantah perintah Risa."Heh, mana berkas yang aku suruh kerjakan tadi udah selesai apa belum?" Tanya Risa dengan galak, Risa langsung merampas berkas itu dengan cara kasar lalu memeriksanya.Sedetik kemudian Risa malah langsung merah-marah karena isi berkas itu salah semua. "Berkas macam apa begini, kamu ini bisa kerja nggak sih
Karena Mumun tak mau memberikan uangnya, Sarti langsung mengancam mau lapor polisi sehingga Mumun yang ketakutan langsung memberikan uang 50 juta itu sama Sarti dengan cara di transfer. Sebenarnya uang itu udah kepake sama mumun, tapi untunglah tidak banyak sehingga Mumun bisa menggantinya.Tapi walaupun Mumun sudah memberikan uang itu ke Sarti tetap saja Mumun masih untung banyak, karena Mumun sudah sering dibelanjakan sama Bejo dan sering diajak makan mewah. Bahkan Mumun juga sempat dibelikan kalung berlian sama Bejo.Setelah dapet uangnya, Sarti langsung pergi dari kediaman Mumun dengan begitu saja. Untung saja keributan itu tak sampai terdengar ke para warga, palingan juga hanya beberapa warga saja yang tahu."Aduh, Mas Bejo. Kok uangnya malah diambil lagi sih sama istri kamu itu, uang itukan sudah jadi milik Mumun bagaimana sih," ujar Mumun dengan merajuk, sehingga Bejo yang tak bisa jauh dari Mumun langsung berusaha membujuknya.Bejo memang sudah dibutakan oleh cintanya Mumun, s
"Aduh, Pak. Katanya Candra tidak mau membayarkan biaya operasinya Mira, karena Candra nggak ada uang sebanyak itu, belum lagi jeng Ratih pakai acara pingsan lagi di rumah sakit, sehingga Candra harus memikirkan keadaan Ratih," balas Sarti."Sudahlah, Bu. Kita nggak usah keluar uang, jangan mau buat bayar operasinya Mira, biar semua itu di tanggung sama Candra selaku suaminya. Jadi suami itu harus bertanggung jawab," ujar Bejo yang tidak mau menyerahkan uang itu ke Sarti, lagian uang mana yang akan Bejo berikan ke istrinya karena uang itu sudah habis."Kalau harus nungguin Candra kelamaan, ini menyangkut soal nyawa anak kita, Pak. Lagian Candra udah nggak punya barang berharga yang bisa di jual, udah sini pokoknya ibu minta sisa uang penjualan rumah.""Waduh, gawat ini. Uangnya kan sudah habis," gumam Bejo dalam hati.Sementara Sarti yang melihat gelagat aneh dari suaminya perasaannya jadi tidak enak. "Uang itu masih aman di tangan bapak kan?" Tanya Sarti dengan curiga."Ya ..... ya t
Seketika dada Sarti terasa begitu sesak saat melihat suaminya bersama dengan seorang wanita dengan begitu mesra. "Kurang Ajar kamu, Bejo. Bisa-bisanya kamu malah asyik-asyik di sini dengan janda kampung itu," gumam Sarti seraya mengepalkan tangannya, cemburu dan marah menjadi satu.Setelah Sarti lihat lebih dekat, ternyata suaminya sedang bersama dengan seorang janda pedagang warung kopi yang tak jauh dari kontrakannya."Owh, pantas ya sekarang kamu jadi suka pergi pergian melulu. Jadi ini alasannya," sembur Sarti yang membuat Bejo kaget melihat kedatangan istrinya."Loh, Ibu. Kenapa kamu bisa ada di sini?" Tanya bejo yang langsung melepaskan tangannya dari pinggang ramping janda pedagang warung kopi itu."Oh, jadi karena janda g4tal ini kamu sampai selingkuh dari ku. Dasar wanita murahan," Sarti yang merasa cemburu dan sakit hati langsung menyerang janda itu dengan membabi buta.Dijambak Lah itu rambutnya sampai si janda itu berteriak kesakitan. "Auh sakit, lepaskan b0doh." "Akan ak
Di ruangan dokter, Candra dibuat semakin pusing karena kata dokter Mira harus segera dioperasi dan membutuhkan biaya banyak. Sementara Ratih yang mendengar itu tiba-tiba malah jatuh tak sadarkan diri.Candra dan Bunga yang melihat Ibunya pingsan langsung berusaha menolongnya sehingga saat ini Ratih dalam penanganan dokter, Candra dan Bunga menunggu dengan cemas karena tadi ibunya jatuh lumayan keras dan tak sengaja tubuhnya terbentur meja."Candra, kamu jangan hanya diam saja dong. Bagaimana dengan biaya operasinya Mira?" Tanya Sarti yang hanya mengkhawatirkan anaknya saja, bahkan Sarti terlihat tidak begitu peduli dengan keadaan Ratih."Maaf, Bu. Candra tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar biaya operasinya Mira," jawab Candra.Biaya operasinya Mira sebanyak 50 juta sedangkan uang yang dipegang oleh Candra tidak ada segitu. Candra juga harus menanggung biaya rumah sakit Ibunya nanti, sehingga Candra lebih mementingkan Ibunya dibandingkan dengan Mira."Nggak bisa begitu dong,