Share

Pertalian Sejak Kecil
Pertalian Sejak Kecil
Penulis: I-cream

Bab 1

Penulis: I-cream
Orang tuaku menelepon memberitahukan diriku, mereka akan pergi ke rumah teman masa kecilku untuk menemui calon pasangan yang dijodohkan untuknya.

Teman masa kecilku sedang tidur lelap di sampingku.

Aku mengira itu hanya lelucon, lalu berkata pelan, "Asterius, mereka bilang sudah mencarikan kamu calon untuk dijodohkan."

Dia menjawab dengan malas "hmm", lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Wilia yang baik, nanti kamu tolong pilihkan aku baju, lalu rapikan juga gaya rambutku."

Melihat diriku tidak bergeming, Asterius membuka mata dan tertawa mengejek.

"Eh, kamu kenapa? Kita cuma teman seranjang. Kamu nggak mungkin mengira aku akan menikahi kamu, 'kan?"

Aku tidak bisa segera menanggapi ucapannya.

Aku hanya bisa merasa canggung dan sibuk sendiri tanpa arah.

Aku tak berani menatap Asterius. Setelah menepiskannya, aku mengambil pakaian di lantai dan mengenakannya seadanya.

"Wilia, lihat aku." Asterius menopang daguku dengan lengannya, tatapannya penuh ekspresi nakal.

"Kamu nggak mungkin sungguh berpikir kita ini sepasang kekasih, 'kan?"

Di benakku hanya ada dua kata: "teman seranjang", membuat tanganku bergetar, kait bra pun tidak bisa kupasang.

Asterius menyingkap selimut, memperlihatkan otot pinggangnya yang ramping dan seksi, lalu setengah berlutut di sisi ranjang.

Dia pun mengulurkan tangan, sudah terbiasa membantuku mengaitkannya.

Aku menunduk. "Siapa calon pasangan perjodohanmu?"

Dengan tersenyum getir, aku berkata, "Jangan-jangan Om Dion dan Tante asal pilih orang dari perjodohan di pasar jodoh, ya?"

Ketika melihat bintik-bintik merah tubuhku di cermin, baru kusadari bahwa kedua kakiku masih sakit dan pegal.

Asterius hanya mengenakan celana pendek abu-abu, lalu berjalan mendekat dan menenggelamkan wajahnya ke leherku.

"Dia Ingrida."

Dia mengangkat alis, memperlihatkan sepasang matanya yang indah, lalu mengulangi,

"Yaitu kakak tingkat dari fakultas seni, kakak senior di kampus dulu, Ingrida."

"Jujur, membayangkan akan bertemu dia lagi bikin aku gugup."

Tanganku yang sedang memulas lipstik terhenti, tentu saja aku ingat dia.

Asterius pernah diam-diam menyimpan perasaan untuk perempuan itu. Sebelum sempat pria itu mengutarakan cinta, Ingrida sudah pergi ke luar negeri.

Aku pikir itu sudah lama berlalu ....

Asterius menatapku, menekukkan bibirnya seraya berujar, "Wiliana, jangan sampai kamu punya pikiran aneh-aneh tentang aku, ya."

"Kita ini sedari kecil berteman, tumbuh bareng, mandi bareng dari dulu. Kamu, ya ... memang cantik, tapi aku ini menganggap kamu saudara sendiri."

"Kamu partner makan yang paling klop buatku, partner pergi paling cocok, partner tidur paling nyambung ...."

Kata-kata itu seperti palu besar yang menghantam, membuat tubuhku membeku. Dengan susah payah, aku memaksakan sebuah senyum sambil menatap Asterius.

Dia melanjutkan berbicara, "Dan lagi, kamu pakai baju apa pun aku hafal, bahkan set dalaman apa yang kamu cocokkan aku juga tahu."

"Benar-benar membosankan."

"Kadang aku terbangun tengah malam, dan tiap kali lihat kamu di sisiku, kadang aku ngeri sendiri."

"Ngeri kalau lelucon keluarga kita kejadian, kita ujung-ujungnya menikah ... ah, hidupku segera kelihatan jelas ujungnya, 'kan?"

Setelah selesai bicara, Asterius menggigil.

Seolah itu adalah kemungkinan yang paling menakutkan di dunia.

Aku mencengkeram tanganku dengan erat, menahan air mata yang nyaris jatuh.

"Aku masih ada urusan."

Tanpa menunggu responsnya, aku membungkus diriku dengan mantel tebal dan pergi dari sana, seperti seorang pasukan yang kalah perang, melarikan diri dalam kehinaan.

Aku pikir aku dan Asterius sedang menjalin hubungan.

Karena kami tampak seperti pasangan pada umumnya.

Kami makan berdua, pergi berdua, berkumpul bersama teman-teman, bahkan berciuman saat permainan Kejujuran atau Tantangan sambil berkata "aku cinta kamu" dengan bebas dan tanpa ragu.

Asterius akan menjemput dan mengantarku ke kantor setiap hari hujan.

Dia juga menggenggam tanganku diam-diam di balik meja makan saat acara keluarga.

Aku tidak menyangka, setengah tahun yang kuanggap hubungan asmara ternyata hanyalah permainan pura-pura.

"Wilia?" Ibu mengetuk jendela mobil, matanya penuh kekhawatiran.

Aku tersentak dan tersadar.

Melihat pantulan diriku di spion, wajah penuh air mata, aku buru-buru mengangguk, lalu turun dari mobil sambil mengusap wajahku cepat-cepat.

"Bu!" Takut Ibu melihat kehancuranku, aku segera menghambur ke pelukan Ibu sambil tersenyum. "Aku rindu Ibu!"

Sambil membawa keranjang belanjaan, Ibu menggandeng tanganku, sepertinya dia baru bisa bernapas lega.

"Kamu ini kenapa duduk di mobil nggak pulang ke rumah? Ibu kaget lho. Kamu nggak lihat berita, ada orang sesak napas di mobil sampai nggak tertolong ...."

Aku hanya mengangguk.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 10

    "Bukannya kita ... pernah bilang mau menikah?""Kamu lupa? Kita sahabat sejak kecil. Kita tumbuh bareng. Dari kecil kita selalu bilang, kalau sudah besar akan jadi suami istri. Waktu main rumah-rumahan dulu ... kamu jadi ibu, aku jadi ayah ....""Dan kita pernah bersama hampir setahun, kita ... sangat bahagia ...."Nada suaranya yang dulu penuh gengsi dan berjarak, kini telah sirna. Asterius bahkan mulai berkata dengan suara tercekat, "Kita ... hampir menikah, 'kan?"Kamu pasti seperti sebelumnya ... cuma bilang itu karena kamu lagi marah, 'kan? Itu cuma ucapan emosi, 'kan?"Ayahku menghantam meja dan berdiri. "Maksud kamu, Wilia bohong padamu? Maksud kamu ... kita sekeluarga juga bohong ke kamu?""Tentang Ditya? Dia itu anak yang sangat baik, sopan, hormat pada kami berdua. Walau Wilia memang baru saja menerima perasaan dia, tapi sebagai orang tuanya, kami bisa melihat hubungan mereka yang serius, dan bisa sampai ke tahap pernikahan ...."Khawatir ayahku benar-benar terpancing emosi,

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 9

    "Dan hubunganku pada kamu, barulah ....""Asterius." Suaraku datar, tanpa riak emosi, seolah orang di ujung sana hanyalah orang asing yang kutemui sekilas. "Kita hanya sekadar partner sementara, 'kan?"Semoga kamu nanti menemukan partner yang lebih cocok."Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.Akhirnya aku berkata, "Jangan hubungi aku lagi. Waktu kamu memblokir kontak-ku dulu, kamu terlihat sangat tegas dan cepat. Sekarang malah jadi lengket sekali."Aku berpikir sebentar lalu menambahkan, "Sangat mengganggu."Entah karena sudah pensiun, atau mungkin memang karena iklim di sini benar-benar menyehatkan, wajah dan tubuh ayah ibu terlihat jauh lebih segar.Kalau saja bukan karena urusan balik nama dan serah terima rumah saat Tahun Baru, mereka bahkan tidak mau pulang."Biar aku saja yang pulang dan mengurus semuanya," kataku sambil tetap menatap dokumen di tangan. "Aku juga bisa mengatasinya sendiri."Ayah dan ibu saling bertukar pandang, lalu berkata, "Sudahlah, kami tetap ikut. Kami

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 8

    Asterius menatapku yang tidak terluka sama sekali. "Lah, kamu kenapa nggak kenapa-kenapa? Kamu pikir aku nggak tahu sifat kamu? Waktu kecil kamu seret aku ke taman bermain sampai orang tua lapor polisi. Ujung-ujungnya, siapa yang membereskan semua kekacauan kamu?""Kamu itu selalu balas dendam kalau sudah sakit hati. Kamu marah karena Ingrida rebut apa yang dulu kamu kira milik kamu ... makanya kamu melakukan hal kayak begitu!""Minta maaf sama Ingrida, sekarang juga!"Orang-orang di kerumunan menatapku dengan sorot menyelidik, sekaligus merendahkan.Aku tertawa dingin. "Oh, ya? Mau aku minta maaf?"Asterius akhirnya mengendurkan cengkeraman. "Kamu saja bahkan nggak punya pacar. Minggu lalu kamu ngomong itu cuma untuk bikin aku jengkel, 'kan? Kamu bilang kamu ....""Aku minta maaf," gumamku pelan, lalu tiba-tiba aku teriak keras. "Minta maaf buat kepala Ibu kamu!"Tanpa ragu, aku memutar badan, menampar Ingrida yang sembunyi di belakangnya, tepat di pipi yang tadi aku pukul.Aku lalu m

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 7

    Dia segera meraih lengan Asterius, tersenyum lembut, lemah lembut sekali.Aku membalas dengan senyum sopan, meletakkan botol anggur yang tadi kugenggam ke lantai. Setelah itu, aku menarik napas dalam-dalam. Aku kembali menenggelamkan pikiranku ke obrolan dengan senior di sebelahku.Aku tidak melihat, bagaimana tatapan Asterius di belakangku lama sekali, tidak kunjung menarik tatapan itu kembali.Setelah minum dua gelas anggur merah, aku masih cukup sadar.Saat ke toilet, sekalian aku menambah riasan muka, merapikan dandanan.Semua orang bersepakat, sehabis ini akan menjenguk guru.Di antara mereka, ada pemimpin asosiasi tari yang sangat kuhormati.Waktu aku sekolah, beliaulah yang paling menganggapku berbakat, jadi tentu aku harus hadir.Setelah riasan wajah sudah oke, tampak rapi, aku membuka pintu toilet."Wilia?" Ingrida muncul dalam gaun putih, langkahnya anggun sekali.Aku menjawab singkat, "Hai."Baru ingin lewat begitu saja, Ingrida tarik pergelangan tanganku.Aku meringis kesa

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 6

    Mataku terasa panas dan perih.Satu jam kemudian, aku memastikan di rumah ini sudah tidak ada lagi barang yang ingin kubawa.Asterius sudah menyiapkan makanan dan meletakkannya di atas meja.Satu meja penuh hidangan.Dalam pikiranku sempat terlintas, mungkin nanti kita masih bisa bertemu dan berpura-pura jadi teman biasa. Lagi pula, ada begitu banyak tahun dan kenangan di antara kita.Aku mengulurkan tangan, baru hendak mengambil makanan, tiba-tiba terkejut oleh suara tegas Asterius, “Jangan!”Dirinya berlari kecil tergesa-gesa ke arahku, lalu menyerahkan piring kecil berbentuk bulat."Kamu cukup makan satu suap kecil dari masing-masing, sisanya masih panas, mau kubawakan untuk Ingrida."Asterius memegang piring kecil itu, lebarnya bahkan belum sebesar telapak tangan. "Cepat coba yang mana paling enak, yang paling enak nanti aku isi lebih banyak.""Kalau yang kamu coba nggak enak, aku nggak akan bawa, biar kamu saja yang makan."Pranng!Aku membanting sendok dan garpu.Tangan Asterius

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 5

    "Tapi ...." Ibu mengerutkan kening, membuka mulut, "Wilia, kamu ...."Aku menunduk melihat waktu. "Sudah, aku serius lho.""Aku baik-baik saja dan aku sangat sadar, nggak usah khawatir, Bu.""Justru kalian yang harus mulai memikirkan soal uang."Aku mengecup pipi Ibu sekilas. "Aku ada urusan, pergi dulu, ya."Aku berpikir ... mungkin waktu dan jarak akan mengikis luka di hatiku.Aku jadi jauh lebih tenang.Cintaku yang dalam dan membara... tidak sempat kuucapkan, tetapi setidaknya tidak jatuh memalukan.Aku kira hubunganku dan Asterius akan berakhir baik-baik.Tapi ... aku tidak menyangka, aku tidak bisa masuk ke rumah itu lagi.Aku berdiri di depan pintu, berkali–kali memasukkan kata sandi.[Input salah][Input salah]...Amarah segera menyala di dadaku.Setelah pintu tetap tidak merespons ketukan, logikaku datang kembali.Aku baru ingat, aku harus menelepon Asterius.Tuuut ... tuuut ... nada sibuk, lalu telepon dimatikan.Sampai panggilan ke lima, Asterius mengirim pesan: [Sedang ken

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status