“Sini, Al. Duduk di deket, Mas.” Mas Mirza melambaikan tangan menyuruhku mendekat.Aku menghampirinya dan duduk di kursi yang berada di dekat ranjang.“Mas ingin menyampaikan sesuatu padamu, Al.”“Aku akan mendengarkannya,” ucapku.“Kamu tahu, Al. Aku sangat menyayangimu?”“Hmm.” Aku mengangguk.“Aku tidak pernah minta apa pun darimu selama pernikahan kita. Tapi, untuk kali ini aku harap kau mau mengabulkan permintaanku.”“Apa, Mas?” tanyaku. Perasaanku jadi tidak karuan.“Nanti, jika aku sudah tidak ada, berjanjilah kamu akan bahagi—““Jangan katakan itu, Mas. Aku mohon, kamu akan sembuh dan kita akan kembali seperti dulu.” Dengan cepat aku memotong ucapan Mas Mirza. Aku tidak ingin dia meninggalkanku. Aku sangat menyayanginya.Aku genggam tangannya dengan erat. Matanya aku tatap dengan lekat.“Al, aku belum selesai bicara. Dengarkanlah dulu,” ucap Mas Mirza. Suaranya semakin pelan dan lambat.“Ok, akan aku dengarkan.”“Aku sudah tidak bisa menjagamu lagi, aku sudah tidak sanggup ter
“Gara-gara dirimu, anakku jadi harus kehilangan rahimnya! Dasar anak tak berguna! Bisanya hanya menyusahkan saja!” Aku memegangi pipiku yang panas akibat tamparan Ibu Kak Melati. Dia tidak menghiraukan teriakkan dari anak serta suaminya.“Apa salah saya, Bu?” tanyaku tidak mengerti. Aku kaget saat Ibu tiba-tiba memukulku dengan keras.“Kau masih tanya apa salahmu? Kau itu bodoh, apa tolol? Jelas-jelas Melati kecelakaan itu semua gara-gara dirimu! Kau yang tak becus mengurus hidupmu sendiri, membuat Kakakmu harus selalu turun tangan dan mengurus semua masalahmu. Harusnya kau sadar, Aletta. Rasyid itu sudah punya anak dan istri. Tidak seharusnya kamu terus membebani dia dan selalu minta tolong padanya atas semua masalah hidupmu. Lihat akibatnya, anak dan cucuku yang harus jadi korban kebodohanmu itu!” ujar Ibu Kak Mel dengan geram.Dengan berkacak pinggang, dia menunjuk-nunjuk wajahku dan terus menyalahkanku atas kecelakaan yang dialami Kak Melati.“Demi Allah, aku tidak menyuruh Kak Ra
“Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap Papa dengam disambut teriakan histeris dari Mama.“Tidak, Mas Mirza tidak kalah. Dia hanya tidur, Reza! Dia hanya tidur!” Aku menghampiri Mas Mirza dan menggoyangkan tubuhnya.“Bangun, Mas. Bangun! Kamu tidak boleh tidur terus, Mas. Aku mohon bangun!”Reza melepaskan jarum infus yang menancap di punggung tangan Mas Mirza, dia juga menutup seluruh tubuh kakaknya dengan selimut. Aku menarik-narik baju Reza, ingin menghentikannya.“Jangan lakukan itu pada Mas Mirza, dia hanya tidur, Reza. Aku mohon hentikan!” racauku sembari terisak.Tidak berapa lama, dokter Wildan datang dengan dua perawat laki-laki. Mereka mendekati Mas Mirza dan berusaha membawa Mas Mirza.“Jangan, jangan, bawa dia!” Aku ingin menghalangi mereka agar tidak membawa Mas Mirza. Tapi aku tidak bisa karena tubuhku dipegang Reza dari belakang.“Lepaskan aku, Za! Jangan bawa Mas Mirza!” racauku. Kini tubuhku melemah, aku tidak bisa lagi menghalangi mereka.Mereka membawa Mas Mirza semak
Setelah menunggu Reza yang sedang mengurus kepulangan jenazah Mas Mirza, akhirnya semua selesai dan kita bisa pulang dengan membawa Mas Mirza.Mas Mirza dibawa menggunakan ambulans rumah sakit. Sedangkanku, pulang dengan mobilku yang dikendarai Kak Rasyid.Di dalam mobil, Kak Rasyid terus memberikan wejangan padaku agar tidak terus meratap dan harus kuat demi menguatkan Thalita. Apa yang harus aku katakan pada anak itu nanti setelah sampai.Jenazah Mas Mirza dibawa ke rumah Mama. Itu permintaan orang tuanya. Setelah beberapa saat perjalanan, kita sampai di rumah Mama. Ternyata di sana sudah banyak orang yang hendak melayad. Waktu menunjukkan dini hari, tapi tidak menyulutkan keinginan para tetangga dan kerabat untuk melihat jenazah dan mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.Setelah dimandikan, dikafani dan disalatkan, kini jenazah siap untuk dikebumikan. Sesaat sebelum jenazah dibawa ke tempat pemakaman, Thalita yang dijemput Kak Rasyid datang bersama Niar dan semua penghuni r
SATU TAHUN KEMUDIANBunga mawar bermekaran dengan indah. Warna-warna kelopaknya membuatku ingin menyentuh dan menciumnya. Tapi sayang, tangkainya berduri, membuatku sulit untuk menggapainya.Seperti dia, yang selalu memberi jarak dan membuat tirai pemisah di antara kita. Meski tipis, tapi sangat sulit dihilangkan. Ah, bukan hanya dia, tapi aku juga. Hati yang sulit untuk menerima, bahwa sekarang kita lebih dari saudara.“Bu, Pak Dokter sudah ada di meja makan.” Seseorang memanggil dari belakang. Dia Bi Wati, pembantu di rumahku.Aku menyerahkan selang air yang sedari tadi aku pegang ke tangannya. Menyuruhnya menggantikan aku menyiram semua bunga-bunga kesayanganku.Aku masuk ke dalam ruang makan, ternyata benar, di sana sudah ada pria dengan baju putih andalannya. Dia duduk dengan ponsel yang tidak pernah lepas dari tangannya.“Dari mana? Menyiram bunga lagi?” tanyanya tanpa menatap lawan bicara.“Iya,” jawabku singkat.Kutuangkan nasi ke dalam piring beserta lauknya. Menyimpannya di
Ting!Notifikasi di ponselku berbunyi. Aku yang sedang sibuk dengan berkas-berkas kantor harus menghentikannya terlebih dahulu. Mengambil ponsel lalu membuka pesan yang masuk.[Kenalkan, Al. Dia namanya Lolita, cantik, ‘kan?]Pesan dengan sebuah foto, Reza kirimkan padaku. Fotonya yang sedang memeluk bahu seorang wanita.“Cih, menjijikkan,” ujarku dengan menyimpan ponsel sembarangan.Tidak aneh lagi. Sudah biasa Reza melakukan itu. Maya, Nita, Sarah, dan masih banyak nama wanita lainnya yang dia perkenalkan padaku. Dia selalu mengirimkan foto teman kencannya hingga galeriku penuh dengan foto mereka.Menikah dengan Reza adalah sebuah kesialan. Bukan hanya dingin dan kaku, dia juga tidak punya hati. Entah apa yang ada dalam otaknya, dengan rasa percaya diri dan tanpa rasa bersalah, dia mengirimkan foto semua selingkuhannya padaku. Kalau boleh aku berpendapat, semuanya tidak layak jika harus dibandingkan dengan diriku.“Sial, ini semua gara-gara, Reza.” Aku memukul kepalaku. Kenapa juga
“Sejak tadi sore. Kau sampai rela menungguku di mall, hingga malam tiba,” ujarnya setengah berbisik membuat bulu romaku berdiri.Aku membulatkan mata. Jadi, dia tahu kalau aku menunggunya?Sebisa mungkin aku bersikap tenang, tidak terpengaruh oleh perkataan Reza. Meskipun memang aku kehabisan kata-kata untuk menyangkal.“Hah, untuk apa aku menunggumu. Aku hanya kebetulan ke sana untuk mencari kado, tapi aku tidak dapat dan memutuskan untuk pulang. Minggir.” Aku mendorong tubuh Reza, hingga dia mundur beberapa langkah ke belakang.Aku berdiri, mengambil handuk dan menyimpannya di bahuku.“Oh, tidak menemukan kado, dan langsung pulang? Teruuuss ... kapan ke pestanya?”Mata dan mulutku terbuka bersamaan. Buru-buru aku berjalan ke kamar mandi dan membanting pintu dengan kasar.Bodoh, kenapa aku harus keceplosan di depan Reza. Sekarang dia pasti sedang menertawakanku dengan puas. Aku menoyor kepala berkali-kali, merutuki kebodohanku.Merendamkan tubuh di dalam bathtub berisi air hangat mem
Aku melemparkan bantal hingga mengenai wajahnya. Reza terlihat terkejut karena tidak menyangka aku akan menyerangnya.“Apa yang kamu lakukan? Kenapa malah melempar bantal padaku?” Kini Reza sudah berdiri tegak.“Karena kamu akan berbuat kurang ajar padaku!” kataku tak mau kalah.“Aku hanya mengambil handuk yang teronggak di lantai, Aletta,” ujar Reza dengan melempar handuk ke wajahku. Setelahnya, dia keluar dari kamar.Oh, jadi aku salah sangka? Aku mengedikkan bahu. Mengambil pakaianku lalu memakainya dengan cepat. Takut-takut kalau Reza kembali dengan tiba-tiba.Setelah memakai baju lengkap dan memoles wajahku dengan cream malam andalan, aku keluar dari kamar untuk melihat Thalita. Dari atas tangga, aku mendengar derai tawanya begitu nyaring membuatku bahagia.Oh, rupanya dia bersama pamannya yang kini merangkap jadi papanya juga. Karena penasaran dengan apa yang mereka lakukan, aku pun ikut duduk lesehan di atas karpet bulu di depan tv.“Main apa, sih. Kok, kayaknya seru banget?” t