Mobil yang kita tumpangi berhenti di depan gerbang sekolah Thalita.“Aku sekolah dulu, ya Ma, Pa!” ucap Thalita mencium punggung tanganku dan Reza bergantian.“Hati-hati ya, Sayang.”Thalita dan Niar turun dari mobil. Keduanya masuk ke halaman sekolah.Reza pun kembali menjalanakan mobilnya. Jika perjalanan tadi terasa ramai oleh ocehan Thalita, kini suasana sangat sunyi dan diliputi kecanggungan. Ini yang tidak aku suka jika hanya berdua dengan Reza. Dia itu es, tidak bisa memulai percakapan meski sekedar hanya basa-basi.Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas, melihat penampilan wajahku dari sana. Masih sedikit berantakan di bagian rambut, karena ulah lelaki es di sebelahku ini. Aku mengambil sisir kecil, dan meluruskan rambutku.“Kayak cabe-cabean, dandan terus.” Aku menoleh pada sumber suara, Reza dengan raut wajah datarnya masih fokus melihat ke depan. Tapi mulutnya, membuatku kesal. Enak saja, menyamakanku dengan cabe.“Kalau punya mulut itu dijaga, jangan sembarangan bicara.
Suara pintu diketuk, aku mempersilahkan masuk pada orang yang ingin menemuiku. Wajah Dion yang nampak setelah pintu terbuka.“Kau belum pulang, Al?”“Hm, aku belum ingin pulang,” jawabku tanpa menoleh. Aku terus fokus pada layar komputerku.“Ini sudah malam, tidak biasanya kamu akan bekerja sampai lembur begini. Apa ada masalah?”Aku menghentikan aktivitasku. Mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca. Ternyata benar, sudah gelap.“Aku ... sedang tidak ingin pulang. Masalahku ada di rumah. Itulah kenapa aku tidak ingin pulang,” kataku dengan pandangan mata kosong.“Gimana kalau kamu ikut denganku. Aku yakin, penatmu akan hilang seketika,” ujar Dion membuatku melihat ke arahnya.“Ke mana?” Bukannya menjawab, Dion malah mengarahkan jari telunjuk ke atas.“Ayo, ikut saja. Ke tempat favorite aku dan Mirza saat kita sedang merasa lelah dalam bekerja. Aku yakin, kamu akan suka,” ujar Dion lagi.Mendengar kata Mirza disebut, membuat aku penasaran akan tempat yang dimaksud Dion. Aku pun menga
“Kencan dengan seorang pria? Kau ingin balas dendam padaku, Aletta?!”Aku terus berjalan meskipun aku ingin bertanya darimana dia tahu kalau aku bersama seorang pria. Apa dia memata-mataiku?Kalau dia sadar, bahwa dia juga sering keluar dengan banyak wanita, kenapa juga harus marah saat tahu aku dengan pria lain di luar sana?“Aletta berhenti, kenapa kau sampai pulang selarut ini? Sudah aku bilang, jangan pulang malam.”Aku menghempaskan tangan Reza yang memegang lenganku.“Kalau kau saja bisa pulang larut malam, atau bahkan sampai pagi, kenapa aku tidak boleh?” tanyaku menatapnya sinis.Reza selalu mengaturku, tapi dia selalu semaunya sendiri. Kalau dia bisa, aku pun bisa melakukan apa yang aku mau.“Kau perempuan, seorang istri juga seorang ibu. Tidak sepantasnya kau menghabiskan banyak waktu di luar rumah, Al.”“Oh, karena aku wanita dan kau pria, jadi kau bisa seenaknya pulang dan pergi semaumu, begitu?!” tanyaku jengkel.Reza meraup wajahnya kasar. Aku meninggalkan dia dengan mas
Aku menguap dan merentangkan kedua tangan. Sepertinya, tidurku sangat nyenyak sekali. Sampai-sampai aku tidak mendengar suara adzan berkumandang.Ceklek!Suara pintu kamar mandi terbuka. Mataku membulat saat melihat Reza keluar dari sana. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumah, terus juga kenapa dia bisa ada dalam kamar, bukannya aku sudah menguncinya dari dalam?Dengan santainya Reza berjalan menuju lemari pakaian. Dengan menggosokan handuk kecil pada rambutnya, dia bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa semalam.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyaku. Reza membalikan badan dan melihatku yang kebingungan.“Emangnya aku harus di mana? Bukannya dari kemarin juga, aku di sini?”“Maksudku, kenapa kamu bisa masuk ke kamarku?”“Ini juga kamarku. Mas Mirza yang memberikan beserta segala isinya, termasuk kamu.” Aku mencondongkan badan ke belakang saat Reza menunjuk serta mendekatkan tubuhnya padaku.“Kau pikir aku barang yang bisa dilemparkan ke mana saja?” Reza menegakkan tubuh
Aku menarik napas lalu mengembuskannya kasar. Aku tidak boleh terpengaruh oleh gombalan dan rayuannya Reza. Tahan Aletta, harga dirimu lebih mahal dari sekedar ungkapan kata sayang.Aku berdiri hendak pergi, namun sebelah tanganku ditarik Reza hingga aku terjatuh dipangkuan Reza yang masih duduk di ujung meja rias. Kedua tanganku melingkar memeluk lehernya. Sedangkan tangan Reza, memeluk pinggang rampingku.Aku berusaha melepaskan diri tapi sulit, semakin aku bergerak, tangan Reza semakin erat memelukku.“Kamu sangat cantik, Al. Sudah lama aku ingin merasa lebih dekat denganmu.” Reza berucap dengan diakhiri senyum yang manis. Membuatku seperti ditaburi ribuan bunga mawar yang bermekaran.Ya Tuhan, aku harus apa, aku ingin lepas, tapi nyatanya hatiku menolak. Reza memejamkan mata, dengan wajah yang semakin mendekat.“Mama! Papa!”Reza berdiri, melepaskan tubuhku dengan sedikit mendorongnya hingga aku kembali terduduk di kursi meja rias.Ceklek!Pintu kamar terbuka, Thalita berdiri deng
“Ya Allah, Gusti ... benar juga kata istrimu Za, jangan-jangan kamu, astagfirullah jangan sampai ini terjadi padamu, Reza. Kamu harus segera periksakan kesuburanmu, Za. Kamu pasti punya banyak kenalan dokter, ‘kan? Kamu konsultasikan masalahmu dengan segera, Za!”Mama langsung bereaksi sangat kaget saat aku berkata yang mengarahkan kalau Reza yang bermasalah. Mama sampai memegang perut Reza dan memandangnya khawatir.Reza yang merasa tersudutkan, matanya melotot kearahku dengan meminta pembelaan. Aku yang melihat dia merasa tidak nyaman, malah membalasnya dengan senyum manis dan sesantai mungkin.“Ma, Reza tidak apa-apa, kok. Ini masalah waktu saja, nanti akan ada saatnya, Mama mendapatkan cucu lagi,” ujar Reza melihatku dan Mama bergantian.“Mama takut, Za. Apa benar kalian baik-baik saja, atau kamu lemah kali, Za.” Mendengar perkataan Mama, aku hampir saja terbahak. Segera aku menutup mulut yang sudah penuh dengan cemilan yang disuguhkan Mama.“Ya enggak, Ma. Mama ngaco, nih, udah a
“Apa ... si pemuda itu, kamu? Dan si gadis adalah ....”“Sstttt ... siapa pun si pemuda dan si gadis, yang jelas sekarang, pemuda itu merasa sangat bahagia karena bisa selalu dekat dengan pujaan hatinya.”“Za—“ Reza menempelkan telunjuknya di bibirku untuk yang kedua kali.“Walaupun si pemuda tahu, kalau kekasih hatinya belum bisa menerima dia seutuhnya, tapi dia tidak akan lelah untuk selalu menunggu.”“Reza, cukup.”“Kenapa? Aku ‘kan lagi bercerita, Al.”“Lihat mataku, Za.” Aku memegang pipinya agar Reza hanya melihatku.“Matamu indah, sangat indah. Bulu matamu lentik, sangat cantik,” ujarnya dengan menatapku tanpa berkedip.“Apa pemuda itu dirimu dan gadis itu aku? Aku butuh jawaban bukan cerita lagi,” kataku memaksa.Reza menganggukkan kepala dengan tetap tersenyum. Aku tak kuasa jika tidak memeluknya. Aku melingkarkan tangan di pinggangnya, wajahku kusembunyikan di dadanya. Menghirup wangi tubuh dan merasakan detak jantungnya.Reza, memang dulu aku dan dia satu angkatan, tapi bed
“Al, Za. Mau ikut gak, kita mau pergi ke luar buat cuci mata!” ujar Mama dari balik pintu.Reza melihat ke arahku dan menggeleng.“Iya, Ma. Kita ikut!” teriakku dari dalam. Reza menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Aku terkikik geli melihat dia yang seperti anak kecil.“Ayo cepet, Nak. Putrimu sudah menunggu!” ujar Mama lagi.Aku bercermin merapikan penampilanku. Mengoles lipstik yang sudah mulai memudar. Mengambil tas yang tergeletak di atas kasur, lalu berjalan menghampiri pintu.“Al, di sini sajalah, biarkan mereka saja yang pergi.” Reza memegang sebelah tanganku. Aku menggeleng.“Aku ingin cuci mata,” kataku dengan mengedipkan sebelah mata.Pada akhirnya, aku dan Reza pun keluar. Ternyata Mama, Papa dan Thalita sudah hendak berangkat dengan menggunakan mobil Papa.“Hey, kalian mau ikut juga?” tanya Papa.“Iya, Aletta yang pengen,” ujar Reza.“Yasudah, pakai mobil Papa saja. Kamu yang nyetir, Za. Biar Papa duduk di belakang sama Thalita dan Mamamu.”Semakin ditekuklah wajah su