Hani menyapukan sedikit bedak di wajah, kemudian memoleskan lipstik berwarna merah. Alis sudah sejak awal dia lukis.
"Duh, cantiknya istriku." Ardi menggodanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang, merengkuh istrinya dari belakang.
"Mas ini." Dia menyenggol perut suaminya. Sejak menikah, perut Ardi semakin hari semakin maju ke depan. Bahkan saat sedang hamil, perut mereka tampak berimbang. Itu karena Hani setiap hari menyajikan berbagai makanan yang menggugah selera.
"Jangan tebel-tebel bedaknya, nanti banyak yang naksir." Ardi menyandarkan kepalanya di bahu Hani, sesekali menghirup aroma harum yang menguar dari setiap helai rambut istrinya. Sekedar bermanja ria walaupun tidak intim.
"Mas cemburu?" Dia meletakkan sponge bedak dan mengambil kuas dan blush on berwarna matte untuk menutupi wajahnya yang putih tapi sedikit pucat.
"Pastilah. Biasanya istri di rumah cuma mas yang liat. Ini malah mau dipamer ke banyak orang."
"Emangnya aku dagangan? Dipamerin segala." Hani melanjutkan kegiatannya berdandan. Lupa mengukir garis bibir sebelum memoles lipstik.
"Apa jangan-jangan, bosnya ganteng? Makanya semangat begini." Dia membalikkan tubuh istrinya sehingga posisi mereka sekarang berhadapan. Tangannya mengusap pipi halus itu. Cantik.
"Mas ini bisa aja. Dia sudah punya istri. Lagian aku ini biasa aja. Mana ada bos naksir karyawan. Itu cuma cerita di film," jawabnya.
"Kamu emang enggak cantik kayak artis, tapi magnetmu kuat. Laki-laki berasa nyaman kalau dekat kamu. Dulu aja mas mau nyerah pas ngejar kamu. Susah dapatnya."
"Masa?" Wajah Hani merona. Walaupun ini tahun ketiga pernikahan mereka, suaminya tetap saja romantis.
"Iya tapi akhirnya dapat juga." Ardi mencubit pipi istrinya gemas.
"Apaan sih. Sakit ini." Tangan kecil itu menepisnya.
"Jangan lirik-lirik yang lain. Ingat anak sama suami di rumah." Ada sedikit penekanan pada kalimat terakhir. Ardi memang masih belum rela sepenuhnya melepas Hani.
"Mas ini, kenapa mikir yang engga-engga. Aku ini semangat karena gajinya. Lumayan kan dapet segitu."
"Tapi ..."
"Sabar ya, Mas. Ini cuma sebentar. Doakan aku." Dia menatap wajah teduh di hadapannya ini dengan penuh kasih sayang.
"Iya." Hanya itu kata yang terucap dari bibir Ardi.
"Aku pergi dulu." Hani mengambil tas dan dan bergegas keluar, khawatir putranya bangun nanti malah menangis dan dia tidak jadi berangkat bekerja.
"Hati-hati."Ardi mengantarnya sampai depan rumah.
Beberapa tetangga menyapa mereka. Hani membalas dengan lambaian tangan.
"Baju abang udah ada di tas semua. Kalau nanti bangun, kasih makan terus mandiin. Anter tempat Budhe. Biar dia terbiasa."
"Baik, Nyonya."
Dia mencium tangan suaminya sebelum berangkat, sebagai tanda bakti seorang istri. Tak lama ojek online yang dipesannya muncul. Seorang bapak tua siap mengantar. Sengaja berangkat pagi-pagi supaya tidak macet. Berat rasa hati, apalagi anaknya masih tidur sewaktu ditinggal. Tapi dia harus kuat. Semoga suaminya segera bekerja lagi.
***
Jarum jam menunjukkan angka tujuh kurang lima belas menit saat dia tiba di kantor. Masih sepi, karyawan belum ada yang datang. Hanya ada hanya Resepsionist, Security dan Office Boy yang hilir mudik membersihkan ruangan.
"Duduk saja dulu, Ibu. Trainingnya dimulai jam sembilan pagi. Tapi jam delapan nanti ada pengarahan khusus." Kata seorang karyawan wanita sambil menunjuk sebuah sofa di sudut ruangan.
"Baik, terima kasih," katanya berusaha setenang mungkin. Kenapa dia jadi gugup begini, padahal ini belum dimulai juga.
Hani melirik kembali baju yang dipakainya. Blouse lengan panjang berwarna gading dan celana panjang hitam. Tidak berani memakai rok pendek selutut, bisa panjang urusan dengan suaminya. Pandangan matanya turun ke bawah, kepada sepasang sepatu flat berwarna hitam, barang diskonan, bukan keluaran merk ternama. Tas kerja yang dibawanya juga simple, namun bisa menampung banyak barang.
Rambut panjangnya gelung ke atas supaya terlihat rapi. Parfum yang dia pakai juga merek biasa, yang belum satu jam disemprot, harumnya sudah hilang. Standar sekali penampilannya, tapi dirasa cukup layak.
Dia tidak bisa bergaya sosialita ala wanita masa kini. Memilih menjadi diri sendiri, tapi tetap memantaskan penampilan.
Teringat tadi malam mereka bertiga pergi jalan ke mall di dekat rumah. Dia meminta izin suaminya mengambil uang pesangon yang ditabungkan untuk membeli keperluan yan akan dia pakai hari ini.
Suaminya bahkan mengajak mereka makan di sebuah restoran cepat saji. Putra mereka juga merasa senang sekali ketika dibelikan mainan. Hani sampai terharu dibuatnya. Ardi memang selalu menyenangkan anak istri dengan sikapnya.
Lamunannya terhenti saat mendengar suara langkah kaki. Hani mendongak dan mendapati sosok Reza yang berjalan tenang memasuki ruangan. Seketika suasana menjadi hening.
"Selamat pagi, Pak," sapa para karyawan bergantian. Lelaki itu hanya membalasnya dengan anggukan.
"Selam ...." Kata-kata Hani terhenti saat Reza melewatinya begitu saja. Dia bermaksud menyapa. Namun, lelaki itu hanya melihat sekilas, kemudian memalingkan wajah, berjalan menuju lift dan menghilang setelahnya.
"Pak Reza sombong banget, sih." Terdengar bisik-bisik di dekatnya. Hani memilih diam karena itu bukan urusannya.
'Stttt ... jangan bilang begitu. Nanti kedengaran bisa bahaya."
"Pantes aja dia belum nikah. Mana ada perempuan yang mau dekat kalau sikapnya kayak gitu."
Hani jadi tertarik dan menoleh. Ternyata dua orang resepsionis tadi sedang bergosip di pagi hari.
Belum menikah? Oh, what? Ternyata Reza masih single. Tapi rasanya sudah cukup berumur, terlihat dari raut wajahnya yang sekilas menua. Ada sedikit kerutan di sekitar kening. Hani sekilas memperhatikan itu, saat wawancara dulu.
Dia memilih bermain ponsel daripada mendengarkan obrolan dua orang tadi. Di sini juga kan niatnya mau bekerja, bukan bergosip. Sebagai karyawan baru, baiknya dia tidak boleh mencampuri urusan pribadi atasan. Itu tidak etis.
***
Pembukaan dimulai. Ada beberapa orang yang memberikan kata sambutan, sebelum dilanjutkan ke sesi training yang sebenarnya.
"Kami ucapkan terima kasih kepada bapak ibu yang telah bersedia bergabung di perusahaan kami," kata si Bapak yang mewawancarai Hani saat bernegosiasi gaji waktu itu. Dialah yang membuka sesi pertama ini.
"Semoga perusahaan bisa berkembang lebih baik dengan adanya Bapak Ibu semua," lanjutnya.
Hani melirik teman-temannya. Total ada enam orang, termasuk dirinya. Satu hal cukup membuatnya kaget adalah, lima karyawan yang lain adalah laki-laki. Hanya dia sendiri yang perempuan. Serasa seperti Srikandi di antara para Pandawa.
Mereka sempat berkenalan. Ada yang bernama Davin, Idris, Bayu, Rahmat dan Andre. Dilihat dari usia masih muda, mungkin sekitar dua dua puluh lima tahun. Statusnya masih single semua, dan dia sendiri yang sudah menikah.
"Baiklah. Untuk satu jam pertama ini kami dari H&D akan menyampaikan company profile. Silahkan kepada Bapak Ibu yang belum sarapan, bisa mengambil snack di belakang. Kita bisa mulai setelahnya."
Kami berlima segera menuju meja di belakang. Ada berbagai macam kue yang rasanya sangat enak, dibanding dengan kue-kue kampung yang dia jual di pasar.
"Laper ya, Mbak?" tanya salah seorang di antara mereka, saat melihat piring Hani yang penuh dengan makanan.
"Tadi buru-buru, takut telat," jawabnya. "Lagian mumpung gratis," katanya jujur. Mereka berdua tertawa sambil berbicara.
Ehem!
Hani menoleh. Ternyata ada Reza di belakang. Lelaki itu ikut mengantre mengambil snack juga. Tapi, sejak kapan dia datang? Hani tidak melihatnya masuk.
Berarti Reza mendengar obrolan mereka tadi? Dia jadi malu dibuatnya. Wanita itu mendongak, memberanikan melihat wajahnya. Datar, tanpa ekspresi. Dia terlihat asyik sendiri memilih kue mana yang disuka. Kembali cuek seolah-olah tadi tidak ikut mencuri dengar pembicaraan karyawannya.
Setelah selesai mengambil snack, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, memasang telinga baik-baik karena seharian ini akan mendengar orang lain berbicara hingga jam empat sore nanti.
"Baiklah, kita mulai sekarang. Di meja tersedia pensil dan kertas jika ada yang ingin dicatat. Tapi, file-nya nanti akan kami bagikan via email supaya bisa dipelajari kembali."
Anggukan serentak terlihat dari enam orang itu.
"Kami harap semua dapat menyimak dengan baik, memahami secara keseluruhan, serta dapat menerapkannya secara maksimal saat mulai bekerja nanti."
Lalu penjelasan berlajut hingga makan siang tiba.
Hani menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Hari ini Reza membawanya jalan-jalan berdua dan tidak mengatakan akan pergi kemana. Begitu tiba di tempat tujuan, wanita itu speachless dengan apa yang dilihatnya."Suka?" ucap Reza sembari melingkarkan lengan di bahu istrinya.Hani mengangguk dan membalas pelukan itu dengan membenamkan wajah di dadaReza. Wanita itu menagis sesegukan sehingga membuat kaus suaminya basah oleh air mata."Cengeng," goda Reza sembari mengusap kepala Hani. Lelaki itu tertawa geli melihat tingkah sang istri yang kekanakan."Kamu kenapa baik banget sama aku?""Karena kamu istri aku. Sudah seharusnya aku bersikap kayak gini," jawab Reza tulus."Tapi ini berlebihan," ucapnya malu.Reza meraih dagu Hani sehingga kini mereka saling bertatapan. Debar-debar di dada wanita itu semakin kencang ketika tatapan mereka bertautan. Kedua mata hitam pekat itu seakan menghipnotisnya."Gak ada yang berlebihan dari
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di Masjid Raya untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka. Ada bagian dari Masjid yang gedungnya diperuntukkan untuk acara seperti ini. "Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Sylvia Pratama binti Reza Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Papanya Reza duduk paling depan, walaupun agak canggung saat mengikuti acara. Hal yang sama dirasakan oleh keluarga besar Reza. Namun, semua diwajibkan datang untuk menghormati lelaki
Hari itu cuaca begitu teduh dengan awan yang berarak memenuhi langit. Belum ada tanda-tanda hujan akan turun, tetapi udara cukup sejuk karena angin berembus sepoi-sepoi. Seorang lelaki paruh baya sedang asyik menggendong cucunya di kursi roda. Wajah tuanya tersenyum sembringah sembari mengajak bayi itu berbicara."Kok tidur aja dari tadi? Jawab dong pertanyaan Opa.""Silvya nanti kalau udah gede mau ke Amerika? Ada aunty Krista di sana."Reza yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, mengulum senyum saat menyaksikan kejadian itu. Papanya sedang berbicara dengan Sylvia, putrinya yang belum berusia empat puluh hari. Rona bahagia yang terpancar dari wajah tua itu, membuat hatinya menghangat.
Beberapa bulan kemudian.Sedari tadi Reza merasa gelisah, mondar-mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Reza ingin mendampingi Hani, tetapi dia dilarang masuk. Lelaki itu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah dan meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.Sudah satu jam Reza menunggu bersama ibu mertuanya dan beberapa keluarga lain. Jika posisinya begini, lelaki itu merasa serba salah. Apalagi saat terdengar erangan kesakitan dari dalam ruangan itu. Hal yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin melompat keluar."Duduk saja."Ibu mertuanya menegur karena melihat tingkah Reza yang resah sedari tadi. Wanita paruh baya itu juga merasa gelisah sejak tadi, hanya saja berusaha menenangkan diri.Dokter bilang tali pusar bayinya terlilit sehingga Hani harus dioperasi. Hanya saja wanita itu masih bersikeras ingin melahirkan secara no
Hani menatap Sherly dan Nina secara bergantian dengan perasaan bersalah. Reza sudah tak mengizinkannya bekerja setelah pemeriksaan minggu lalu. Sang suami hanya menginginkannya beristirahat di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berat.Kondisi Hani yang semakin payah membuat Reza harus bersikap tegas demi bayi mereka. Jika istrinya membantah, maka lelaki itu akan mengultimatum dengan mengurungnya di apartemen dan mengembalikan ibu ke Yogyakarta.Hani tidak masalah jika harus tinggal di apartemen. Namun, dia tidak rela jika ibunya pulang. Selama hamil, hanya masakan sang ibu yang bisa dia makan."Ibu minta maaf kalau selama ini ada salah sama kalian. Tapi ini keputusan Bapak. Jadi Ibu manut saja," ucap Hani dengan lemas. Matanya menatap sekeliling ruang toko yang sebentar lagi akan ditutup entah untuk berapa lama."Gak apa-apa, Bu. Kami senang ikut Ibu.""Ya, Bu. Kalau memang Bapak gak ngasih izin baiknya Ibu istirahat saja."Hani memeluk Ni
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan."Silakan duduk."Seorang dokter kandungan bernama Andini menyambut kedatangan mereka malam itu. Ini dokter yang berbeda dengan yang sebelumnya.Hani ingin mencoba beberapa dokter yang berbeda untuk mencari yang benar-benar cocok. Jika dirasa sudah pas, maka dia tidak akan berpindah dan akan melahirkan bayinya atas bantuan dokter tersebut.Reza menarik sebuah kursi untuk Hani. Sekalipun kandungannya masih kecil, lelaki itu tetap memperlakukan istrinya seperti ratu."Gimana Ibu, apa yang dirasakan sekarang?"
"Akhirnya kalian datang juga. Papi pikir sudah lupa sama orang tua."Reza memeluk papanya erat sementara Hani mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan hormat. Pintu rumah besar itu terbuka lebar dan berbagai macam hidangan tersaji di meja untuk menyambut mereka. Hanya sayang, suasana memang sepi karena hanya ditempati oleh orang tua Reza dan pengurus rumah."Maaf kami sibuk, Pi. Hani juga kan lagi hamil," jawab Reza santai.Mereka duduk di sofa sembari berbincang. Hani lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain merasa sungkan, dia belum bisa membaur dengan keluarga suaminya. Apalagi sejak awal keluarga Reza tak menyukainya. Walaupun karena pancake semua restu akhirnya bisa didapatkan."Kalian nginap di sini?"Hani menatap Reza. Tadinya mereka hanya ingin mampir sebentar, lalu ke dokter untuk memeriksakan kandungan, karena di hari Sabtu suaminya libur. Abang juga ditinggal bersama ibunya di apartemen."Kayaknya gak, Pi. Hani kan lemes jadi
Hani menggeliat dan merasakan tubuhnya begitu pegal. Wanita itu membuka mata dan merasakan mual mendera perutnya. Dia berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan lambung, hingga tubuhnya menjadi lemas.Hani memutar keran dan mencuci wajah agar merasa lebih segar. Sepertinya dia harus ke dokter untuk memeriksakan diri mengingat kondisinya semakin drop. Dia mengambil handuk dan mengusap wajah lalu bersandar di wastafel.Begitu keluar kamar, Hani terkejut saat melihat jam di dinding. Dia bergegas menunaikan kewajiban sebagai muslim walaupun tubuhnya terasa limbung."Baru bangun, Nak?" tanya Ibunya ketika Hani berjalan menuju dapur.Apartemen ini lebih luas dari rumah mereka di Yogyakarta dulu. Hanya saja tidak ada ruangan yang disekat kecuali kamar, sehingga Hani merasa agak sungkan jika Reza bersikap mesra jika terlihat ibunya. Oleh karena itulah, mereka hanya berani berduaan di kamar.Situasi ini sangat berbeda sewaktu mereka baru menikah k
Reza menatap Hani yang masih tertidur lelap dan mengusap kepalanya dengan lembut. Lelaki itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Dia bergegas bangun dan membersihkan diri, tak lupa menunaikan dua rakaat walaupun bacaannya masih terbata.Setiap hari libur ada seorang guru yang akan datang ke apartemen mereka untuk mengajar mengaji. Tak hanya Reza, abang juga ikut belajar. Hani dan ibunya akan menyimak. Wanita itu belum bisa mengikuti kajian karena kondisinya yang belum memungkinkan.Setelah mengucapkan salam, Reza melipat sajadah dan bersiap-siap berangkat kerja. Hari masih gelap, tetapi dia sudah harus ke kantor untuk menghindari macet.Reza membuka lemari dan tampaklah berbagai kemeja dengan merek ternama berderet di dalamnya. Sebenarnya, pakaiannya yang disimpan di apartemen ini hanya sebagian. Di rumah papanya, Reza bakan punya ruangan tersendiri untuk menyimpan semua perlengkapannya.Baju, sepatu, tas dan barang lain menumpuk dan