Ibu dan ayah dijamu oleh Reza layaknya seorang tamu. Semua ART terlihat sangat sibuk. Tak kulihat Rania lagi di rumah ini bahkan beberapa pelayan juga diganti di rumah ini. Pengamanan juga aku lihat lebih diperketat. Begitu mudah bagi seorang Reza melakukan itu.
Kulepas wortel yang kupegang sambil tarik nafas. Dia sudah berbalik menuju kamar."Sini ... aku pasangin," sahutku. Dia langsung berbalik. Bahkan dia begitu manis jika tersenyum.Aku mulai memasangkan dasi suasana yang begitu kaku meski jarak kami begitu sangat dekat. Deg-degan jangan ditanya. Entah mengapa yang biasa di dapur tidak ada yang datang untuk membuat sarapan. Entah kemana mereka yang biasa sudah ramai disini."Pagi ini aku ada meeting di puncak, doakan aku berhasil," ucapnya. Jarak kami begitu dekat membuat debaran yang tidak biasa."Jangan terlalu capek ...." Dia benar-benar garing ini orang. Dingin dan sangat kaku.Dasi sudah terpasang dan aku kembali untuk memotong wortel dan beberapa sayur. Beberapa ART sudah mulai lalu lalang. Tanpa berbasa basi kubiarkan dia masuk ke kamarnya. Aku tak ingin menghilangkan moodku yang sudah baik pagi ini dengan menyapanya."Mbak kenapa dapur ini tidak ada p
Aku masuk ke kamar ibu mertua. Tidak kulihat perawat yang menjaga. Ada jarum yang dipegang membuatku terkejut. Kulihat dia seperti ingin menusuk diri. Astagfirullah ..."Ibu ...." kutaruh nampan sarapan di meja kamarnya. Aku khawatir dia ingin menusuk diri. Namun, aku salah ternyata ibu mertua sedang berusaha untuk memasukkan benang kedalam jarum."Nina ....""Ibu sedang apa?" tanyaku."Mami sedang memasukkan benang ke jarum, Nin." Syukurlah."Panggil ibu, mami Nin." Aku mngangguk."Mami mau buat apa, biar Nina bantuin.""Tidak perlu ...." kulihat tangannya mulai gemetar, aku
Ini baru pertama kali aku menginjak kamarnya selama disini. Kamar yang luas seluas rumahku di desa. Fasilitas didalamnya benar-benar membuat gigit jari. Lemari baju, tempat sepatu belum lagi aksesoris yang dimiliki seperti yang ada di mall.Dia pulang dan seperti biasa dengan sok coolnya, meski kulihat ada beban di wajahnya. Apa gara-gara berita yang viral hari ini? Tapi tidak mungkin melihat dia yang tidak memberi kabar denganku hari ini.Dia mendekat."Ngapain?" tanyaku"Bukain lah dasiku, carikan aku baju yang kupakai. Itu tugas asisten." Idiih, ogah sebenarnya jadi asistennya. Tapi gajinya menggiurkan.Sekarang aku bingung ambil baju dia yang mana. Ini sih aku benar-benar merepotkan diri. Mana hati lumayan sakit dibuat karena gosip hari ini. Kutaruh baju yang menurutku cocok untuk di Reza pakai. Seperti suami istri beneran aku melakukan tugasku dengan baik meski aku mengambil upah
Dengan diimani olehnya hatiku merasa damai, tidak seperti bayanganku. Suaranya fasih, makhroj hurufnya benar dan tentunya dia mampu menjadi imam salatku hari ini. Dia memang orang yang sulit untuk diprediksi. Penuh misteri dan tentunya percaya diri. Setelah selesai salat magrib, kusiapkan makan malamnya. Meski sebelumnya kebiasaanku makan malam setelah isya. Namun, aku kasihan melihatnya pulang dalam keadaan lapar. "Makanan sudah siap, abang duluan nanti aku belakangan." "Kok bisa?" tanyanya kembali. "Kebiasaanku makan setelah isya." "Kalau begitu samaan," ucapnya lagi. Tu kan, mana tega aku melihatnya dalam keadaan lapar sampai menunggu selesai salat isya. "Iya, ayo kita samaan." Entah mengapa aku kasihan. ini aku sebagai asisten atau sebagai istri yang begitu peduli dengannya. Kami menuju meja makan khusus untuk kami berdua. Entah sejak kapan dapur ini disulap hanya untuk kami saja. Tuan Reza mem
Jika bisa kumelangkah jauh aku akan pergi dari dirimu. Memberikan ruang waktu untukmu berfikir dan tak ingin menjadi beban dalam hidupmu.***"Siapa yang mengirim pesan?" tanyanya yang penasaran."Aku hanya asistenmu, tuan eh abang. Jadi hal privasi tidak perlu kau tau." Aku lebih baik keluar menuju kamarnya Fatia."Mau kemana?""Mau tidur di kamar yang lain. Apa semua asistenmu tidur denganmu tuan? Tidak 'kan?""Kamu istriku jadi wajar satu bed.""Maksud tuan? Istri yang hanya nama saja. Lalu bagaimana berita hari ini? Aku hanya menanyakan hakku sebagai istri saja tuan begitu marah.""Apa perlu itu dijelaskan, dik?" ya ampun ini orang, jangan bilang dia tidak pernah punya hubungan dengan perempuan lain. 
Setelah selesai salat aku menuju kamar ibu mertua. Melihat kondisinya pagi ini. Keadaannya semakin lebih baik dari sebelumnya. Namun, langkahku terhenti mendengar ibu mertua yang sedang menelpon seseorang. "Reza sulit untuk kubujuk, aku akan gunakan Nina istrinya untuk melancarkan aksi kita." Langkahku terhenti, maksudnya apa? Apa aku akan dijadikan alat ibu mertuaku? Ini sulit untuk diterima oleh akal ku.Aku balik menuju kamar tuan terhormat. Kenapa rumah ini penuh misteri. Belum masalah si Reza, lalu Brayen sekarang misteri ibunya Reza. Mumet pikiran ini."Lagi mikirin apa nona sok manis alias adik tersayangku." Idiih ini orang kesambet mimpi kali pagi-pagi."Aku manusia normal yang banyak pikiran, tapi bukan memikirkan tuan terhormat alias abang-abanganku ini.""Siapa juga yang mau dipikirkan olehmu adikku tersayang. Buatkan abangmu kopi, adik manis." Sejak kapan ini orang menjadi penggemar kopi. Mana jilbabku diacak-acak
Mereka bersiap bertanding. Reza memperbaiki sepatunya begitu juga dengan dokter Gunawan yang menyiapkan diri untuk bermain dengan Reza. Seperti biasa dengan gaya cool dan songongnya Reza berdiri di tengah lapangan. Berbeda dengan Dokter Gunawan yang nampak tenang seperti biasa. Terlihat mana karakter orang yang lebih dewasa."Fighting, dokter Gunawan!" Aku memberi semangat dokter Gunawan. Sementara Reza memasang muka masam karena aku tidak mendukungnya."Eh, aku suamimu, Julaiha eh alias Dik Nina!" Julaiha, Julaiha enak saja ngubah nama orang."Awas kalau kamu dukung dokter Gunawan," sambungnya lagi. Ngarep didukung ,aku mah ogah, bwang!Tiba-tiba satu persatu ada yang datang menyaksikan pertandingan mereka berdua. Posisi lapangan ini di dekat
***Permainan selesai, banyak yang minta selfie bareng dengan tuan Reza yang terhormat. Dokter Gunawan mendekatiku, tak lupa senyumnya lebar. Bagiku dia adalah pemenangnya meski aku sangat terpesona dengan penampilan Reza yang luar biasa menurutku."Suamimu memang luar biasa, dik," ucap dokter Gunawan mendekatiku."Bagaimana aku bisa mengalahkannya, dok. Sementara dokter saja sudah mengakui kehebatannya.""Tidak ada yang tidak mungkin terus lah berlatih. Bagiku dukungan dik Nina jauh lebih berarti dibanding dengan dukungan ratusan orang di lapangan ini." Wajahku seketika memerah, kupu-kupu sepertinya berterbangan dihatiku saat ini.Kami bercengkrama sekaligus menjadi penonton tuan Reza yang dikerumunin oleh para fans nya. Sesekali dokter Gunawan membuat lelucon yang membuat kami tertawa bareng."Pulang ...!" Tuan Reza seperti sedang kesal. Entah apa yang membuat dia menjadi kesal, tak mungkin kar