Share

Bab 5. Keputusan Besar

Penulis: Aqila Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-15 09:48:22

Karin menerima kertas tersebut dan mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Karin bertanya, "Kamu kena kanker?"

Dengan memasang wajah penuh kepalsuan Dani mengangguk. "Iya, Rin."

"Kok bisa sih, Mas? Selama ini kamu baik-baik aja?" Dahi Karin mengerut, menatap tidak percaya.

"Bukan aku baik-baik aja, Rin. Aku cuma berusaha baik-baik aja di depan kamu, aku nggak mau bikin kamu khawatir, aku nggak mau terlihat menyedihkan." Dani bicara sambil meneteskan air mata. Air mata dusta, penuh kepalsuan.

Karin menghampiri suaminya, membawa sang suami ke dalam pelukannya seraya memberikan kekuatan. "Tenang, Mas. Kita akan menghadapinya bersama, kamu pasti sembuh."

"Untuk sembuh itu membutuhkan beberapa rangkaian pengobatan, Rin. Dan, pengobatan itu memerlukan banyak uang, kita punya uang dari mana?"

"Aku nggak tau, Mas. Tapi aku yakin semu pasti ada jalannya."

"Jalannya cuma satu, Rin. Yaitu aku menceraikan kamu, lalu kamu menikah dengan pak Frans."

Karin melepaskan pelukannya dan langsung menolak. "Aku nggak mau!"

"Kenapa nggak mau? Cuma ini satu-satunya cara supaya kita mendapatkan uang untuk pengobatan aku. Kamu nggak mau aku mati kan, Rin?"

"Jangan bilang gitu dong, Mas. Aku nggak mau kehilangan kamu."

"Ya udah makanya kita bercerai, terus kamu menikah sama pak Frans. Setelah aku sembuh, kamu bercerai sama dia dan kita akan bersama lagi."

"Kamu pikir pernikahan itu buat permainan? Mana mau pak Frans nikah sama aku, terus biayain hidup kamu. Habis kamu sembuh, aku cerai dari dia, terus nikah lagi sama kamu. Pak Frans bukan orang bodoh, Mas. Dia orang kaya, mana bisa kita permainkan dia? Lagian dia itu udah punya tunangan, mana mau nikah sama aku."

"Pak Frans nggak cinta sama tunangannya dan dia cinta sama kamu." Satu kebenaran Dani ungkapkan.

"Dari mana kamu tau itu?"

"Dia sendiri yang bilang sama aku. Dia tau penyakit aku dari dulu dan dia mau mengobati aku sampai sembuh, asalkan aku mau melepaskan kamu."

Dengan cepat Karin menolak. "Itu nggak mungkin!"

"Sana pergi temui pak Frans! Tanya sama dia apakah ucapan aku benar atau nggak? Kamu pikir kebaikan dia selama ini sama kita itu karna apa? Karna dia cinta sama kamu, Rin. Dan ...."

"Dan, kamu nggak cinta sama aku, makanya kamu mau melepaskan aku demi uang!" Suara Karin membentak, memangkas ucapan Dani. Dia menjatuhkan surat diagnosis itu ke lantai, lalu memutar tubuhnya membelakangi Dani.

"Demi kesembuhan aku, Rin. Demi kebahagiaan kita juga nantinya." Dani berpindah, berdiri di depan sang istri.

Karin menggelengkan kepalanya menatap tidak percaya. "Bisa kamu punya pikiran seperti itu, Mas. Aku nggak habis pikir sama jalan pikiran kamu."

"Demi menyelamatkan nyawa aku, kanker ini terus menggerogoti tubuhku, Rin. Untuk dua bulan ke depan, tanpa pengobatan yang serius, belum tentu aku ada di sini sama kamu, mungkin dua bulan yang akan datang aku akan berbaring di kuburan."

Karin menangis. Tanpa memberikan jawaban, wanita berusia dua puluh lima tahun itu memilih pergi ke kamarnya meninggalkan Dani sendiri di dapur.

"Sialan, si Karin susah banget sih diajak kerjasamanya. Padahal ini udah menyangkut nyawa aku, apa dia nggak mau menyelamatkan aku? Jangan-jangan dia memang mau aku mati," pekik Dani setelah Karin pergi. Dia mulai kebingungan dengan cara apa lagi agar Karin mau bercerai dengannya, lalu menikah dengan Frans.

Dani mengambil handphonenya dibatas meja, melihat tanggalan dan waktu tujuh hari yang diberikan oleh Frans, jatuh pada hari esok. Jika dalam kurun waktu yang sudah ditentukan dirinya belum juga menceraikan Karin, maka semua uang yang sudah ia berikan, harus dikembalikan.

Handphone yang sedang ia pegang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Frans yang berisi,

Frans: Bagaimana? Kamu sudah menceraikan istrimu?

Dani: Belum, Pak. Perihal surat diagnosis itu, dia baru tau hari ini. Saya akan pikirkan cara lain supaya Karin mau saya ceraikan.

Frans: Iya, kamu harus menceraikannya tepat waktu, karna saya tidak ada waktu menunggu yang tidak pasti.

Dani: Baik, Pak. Saya pasti menemukan caranya.

Pesan terakhir yang Dani kirim. Dia meletakkan kembali handphonenya di atas meja, lalu menghampiri Karin di kamar untuk membujuknya lagi.

***

Keesokan harinya. Saat ini Karin tengah mencuci pakaian di belakang rumah secara manual. Tidak ada mesin cuci, Karin mencuci pakaian Dani menggunakan sikat cuci.

Sedang asik dengan kegiatannya di belakang rumah, tiba-tiba handphonenya berdering. Karin terpaksa menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu masuk ke dalam rumah seraya mengusapkan tangannya yang basah itu pada daster yang dikenakan.

Setelah berada di dapur, dia mengambil benda pipih itu dari atas meja, dahinya mengerut tatkala melihat barisan nomer tanpa nama tertera jelas pada layar ponselnya.

"Siapa?" gumam Karin. Penasaran, ia pun menggeser icon berwarna hijau, lalu meletakkan ke dekat telinganya.

Karin: Halo.

"Siapa?" Dahi Karin mengerut.

Penasaran dengan si penelpon, ia pun menggeser icon berwarna hijau, lalu meletakkannya di dekat telinga. "Halo."

Unknown: Siang, Bu. Benar ini bersama Bu Karin?

Karin: Iya saya sendiri. Ada apa ya, Pak?

Unknown: Kami dari pihak P3K PT. CNR memberitahukan informasi kepada Anda kalau suami Anda bernama Dani dilarikan ke rumah sakit.

Karin: Apa? Ke rumah sakit? Kok bisa?

Unknown: Suami Anda pingsan di kantor dan mengeluarkan banyak darah dari hidung.

Karin: Suami saya dilarikan ke rumah sakit mana?

Unknown: Rumah sakit Mitra.

Karin: Oke, terima kasih atas informasinya, Pak.

Unknown: Sama-sama, Bu.

Setelahnya sambungan telepon pun berakhir, Karin bersiap-siap, lalu pergi ke rumah sakit naik angkutan umum.

Tiga puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya ia pun sampai di tempat tujuan. Dia menemui sang suami di UGD, dan di sana sudah ada dokter yang menangani, baru selesai memeriksa kondisi kesehatan Dani.

"Mas Dani." Karin masuk, menghampiri suaminya, lalu menanyakan keadaannya. "Gimana keadaan kamu, Mas? Sekarang udah baik-baik aja? Kok bisa sih kamu pingsan?"

"Tadi pusing banget di tempat kerjaan, Rin. Eh, pas aku sadar, malah udah ada di rumah sakit. Untung pak Frans tolongin aku."

Ternyata di sana juga ada Frans. Karin melihat ke depan, terlihat saat ini dia sedang bicara dengan dokter.

"Berikan kami resep terbaik, biar biayanya saya yang tanggung." Kalimat yang Frans ucapkan kepada dokter dan bisa Karin dengar dengan jelas.

"Baik, Pak."

Setelah itu dokter itu pun pergi. Sekarang di ruangan tersebut tinggal mereka bertiga. Dani, Karin, dan Frans.

"Terima kasih banyak, Pak," ucap Karin sedikit menunduk.

"Sama-sama, Rin. Saya akan melakukan apa pun demi wanita yang saya cintai," ungkap Frans tanpa dusta.

"Bapak sadar atas pernyataan cinta Bapak? Saya wanita bersuami, Pak."

"Saya tau dan ini adalah suami kamu. Suami kamu yang sedang berjuang melawan penyakitnya, melawan maut yang bisa datang kapan saja."

"Saya mencintai suami saya."

"Saya tau, Karin. Dan, apakah saya salah sudah mencintai kamu? Toh saya tidak melakukan apa pun?"

"Bapak menginginkan saya."

"Itu jika Dani melepaskan kamu."

"Jika tidak?" tanya Karin dengan menatap tajam.

"Jika tidak, aku akan kehilangan nyawa aku, Rin." Kali ini Dani yang bicara di tengah-tengah perdebatan antara Karin dengan Frans.

"Karin, keputusan ada di tangan kamu. Saya tidak akan memaksa." Frans menambahkan.

"Ini surat perceraian kita, Rin. Tolong tandatangani surat ini." Dani menyerahkan selembar kertas perceraian kepada Karin untuk ia tandatangani.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 57. Ending

    Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 56

    Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 55

    Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 54

    Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 53

    Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 52

    Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 51

    Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 50

    Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan

  • Pesona Istri Orang Lain    Bab 49

    Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status