Karin menerima kertas tersebut dan mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Karin bertanya, "Kamu kena kanker?"
Dengan memasang wajah penuh kepalsuan Dani mengangguk. "Iya, Rin.""Kok bisa sih, Mas? Selama ini kamu baik-baik aja?" Dahi Karin mengerut, menatap tidak percaya."Bukan aku baik-baik aja, Rin. Aku cuma berusaha baik-baik aja di depan kamu, aku nggak mau bikin kamu khawatir, aku nggak mau terlihat menyedihkan." Dani bicara sambil meneteskan air mata. Air mata dusta, penuh kepalsuan.Karin menghampiri suaminya, membawa sang suami ke dalam pelukannya seraya memberikan kekuatan. "Tenang, Mas. Kita akan menghadapinya bersama, kamu pasti sembuh.""Untuk sembuh itu membutuhkan beberapa rangkaian pengobatan, Rin. Dan, pengobatan itu memerlukan banyak uang, kita punya uang dari mana?""Aku nggak tau, Mas. Tapi aku yakin semu pasti ada jalannya.""Jalannya cuma satu, Rin. Yaitu aku menceraikan kamu, lalu kamu menikah dengan pak Frans."Karin melepaskan pelukannya dan langsung menolak. "Aku nggak mau!""Kenapa nggak mau? Cuma ini satu-satunya cara supaya kita mendapatkan uang untuk pengobatan aku. Kamu nggak mau aku mati kan, Rin?""Jangan bilang gitu dong, Mas. Aku nggak mau kehilangan kamu.""Ya udah makanya kita bercerai, terus kamu menikah sama pak Frans. Setelah aku sembuh, kamu bercerai sama dia dan kita akan bersama lagi.""Kamu pikir pernikahan itu buat permainan? Mana mau pak Frans nikah sama aku, terus biayain hidup kamu. Habis kamu sembuh, aku cerai dari dia, terus nikah lagi sama kamu. Pak Frans bukan orang bodoh, Mas. Dia orang kaya, mana bisa kita permainkan dia? Lagian dia itu udah punya tunangan, mana mau nikah sama aku.""Pak Frans nggak cinta sama tunangannya dan dia cinta sama kamu." Satu kebenaran Dani ungkapkan."Dari mana kamu tau itu?""Dia sendiri yang bilang sama aku. Dia tau penyakit aku dari dulu dan dia mau mengobati aku sampai sembuh, asalkan aku mau melepaskan kamu."Dengan cepat Karin menolak. "Itu nggak mungkin!""Sana pergi temui pak Frans! Tanya sama dia apakah ucapan aku benar atau nggak? Kamu pikir kebaikan dia selama ini sama kita itu karna apa? Karna dia cinta sama kamu, Rin. Dan ....""Dan, kamu nggak cinta sama aku, makanya kamu mau melepaskan aku demi uang!" Suara Karin membentak, memangkas ucapan Dani. Dia menjatuhkan surat diagnosis itu ke lantai, lalu memutar tubuhnya membelakangi Dani."Demi kesembuhan aku, Rin. Demi kebahagiaan kita juga nantinya." Dani berpindah, berdiri di depan sang istri.Karin menggelengkan kepalanya menatap tidak percaya. "Bisa kamu punya pikiran seperti itu, Mas. Aku nggak habis pikir sama jalan pikiran kamu.""Demi menyelamatkan nyawa aku, kanker ini terus menggerogoti tubuhku, Rin. Untuk dua bulan ke depan, tanpa pengobatan yang serius, belum tentu aku ada di sini sama kamu, mungkin dua bulan yang akan datang aku akan berbaring di kuburan."Karin menangis. Tanpa memberikan jawaban, wanita berusia dua puluh lima tahun itu memilih pergi ke kamarnya meninggalkan Dani sendiri di dapur."Sialan, si Karin susah banget sih diajak kerjasamanya. Padahal ini udah menyangkut nyawa aku, apa dia nggak mau menyelamatkan aku? Jangan-jangan dia memang mau aku mati," pekik Dani setelah Karin pergi. Dia mulai kebingungan dengan cara apa lagi agar Karin mau bercerai dengannya, lalu menikah dengan Frans.Dani mengambil handphonenya dibatas meja, melihat tanggalan dan waktu tujuh hari yang diberikan oleh Frans, jatuh pada hari esok. Jika dalam kurun waktu yang sudah ditentukan dirinya belum juga menceraikan Karin, maka semua uang yang sudah ia berikan, harus dikembalikan.Handphone yang sedang ia pegang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Frans yang berisi,Frans: Bagaimana? Kamu sudah menceraikan istrimu?Dani: Belum, Pak. Perihal surat diagnosis itu, dia baru tau hari ini. Saya akan pikirkan cara lain supaya Karin mau saya ceraikan.Frans: Iya, kamu harus menceraikannya tepat waktu, karna saya tidak ada waktu menunggu yang tidak pasti.Dani: Baik, Pak. Saya pasti menemukan caranya.Pesan terakhir yang Dani kirim. Dia meletakkan kembali handphonenya di atas meja, lalu menghampiri Karin di kamar untuk membujuknya lagi.***Keesokan harinya. Saat ini Karin tengah mencuci pakaian di belakang rumah secara manual. Tidak ada mesin cuci, Karin mencuci pakaian Dani menggunakan sikat cuci.Sedang asik dengan kegiatannya di belakang rumah, tiba-tiba handphonenya berdering. Karin terpaksa menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu masuk ke dalam rumah seraya mengusapkan tangannya yang basah itu pada daster yang dikenakan.Setelah berada di dapur, dia mengambil benda pipih itu dari atas meja, dahinya mengerut tatkala melihat barisan nomer tanpa nama tertera jelas pada layar ponselnya."Siapa?" gumam Karin. Penasaran, ia pun menggeser icon berwarna hijau, lalu meletakkan ke dekat telinganya.Karin: Halo."Siapa?" Dahi Karin mengerut.Penasaran dengan si penelpon, ia pun menggeser icon berwarna hijau, lalu meletakkannya di dekat telinga. "Halo."Unknown: Siang, Bu. Benar ini bersama Bu Karin?Karin: Iya saya sendiri. Ada apa ya, Pak?Unknown: Kami dari pihak P3K PT. CNR memberitahukan informasi kepada Anda kalau suami Anda bernama Dani dilarikan ke rumah sakit.Karin: Apa? Ke rumah sakit? Kok bisa?Unknown: Suami Anda pingsan di kantor dan mengeluarkan banyak darah dari hidung.Karin: Suami saya dilarikan ke rumah sakit mana?Unknown: Rumah sakit Mitra.Karin: Oke, terima kasih atas informasinya, Pak.Unknown: Sama-sama, Bu.Setelahnya sambungan telepon pun berakhir, Karin bersiap-siap, lalu pergi ke rumah sakit naik angkutan umum.Tiga puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya ia pun sampai di tempat tujuan. Dia menemui sang suami di UGD, dan di sana sudah ada dokter yang menangani, baru selesai memeriksa kondisi kesehatan Dani."Mas Dani." Karin masuk, menghampiri suaminya, lalu menanyakan keadaannya. "Gimana keadaan kamu, Mas? Sekarang udah baik-baik aja? Kok bisa sih kamu pingsan?""Tadi pusing banget di tempat kerjaan, Rin. Eh, pas aku sadar, malah udah ada di rumah sakit. Untung pak Frans tolongin aku."Ternyata di sana juga ada Frans. Karin melihat ke depan, terlihat saat ini dia sedang bicara dengan dokter."Berikan kami resep terbaik, biar biayanya saya yang tanggung." Kalimat yang Frans ucapkan kepada dokter dan bisa Karin dengar dengan jelas."Baik, Pak."Setelah itu dokter itu pun pergi. Sekarang di ruangan tersebut tinggal mereka bertiga. Dani, Karin, dan Frans."Terima kasih banyak, Pak," ucap Karin sedikit menunduk."Sama-sama, Rin. Saya akan melakukan apa pun demi wanita yang saya cintai," ungkap Frans tanpa dusta."Bapak sadar atas pernyataan cinta Bapak? Saya wanita bersuami, Pak.""Saya tau dan ini adalah suami kamu. Suami kamu yang sedang berjuang melawan penyakitnya, melawan maut yang bisa datang kapan saja.""Saya mencintai suami saya.""Saya tau, Karin. Dan, apakah saya salah sudah mencintai kamu? Toh saya tidak melakukan apa pun?""Bapak menginginkan saya.""Itu jika Dani melepaskan kamu.""Jika tidak?" tanya Karin dengan menatap tajam."Jika tidak, aku akan kehilangan nyawa aku, Rin." Kali ini Dani yang bicara di tengah-tengah perdebatan antara Karin dengan Frans."Karin, keputusan ada di tangan kamu. Saya tidak akan memaksa." Frans menambahkan."Ini surat perceraian kita, Rin. Tolong tandatangani surat ini." Dani menyerahkan selembar kertas perceraian kepada Karin untuk ia tandatangani."Berikan aku waktu untuk berpikir, Mas. Aku nggak bisa langsung tanda tangan begitu aja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan," lirih Karin yang hampir meneteskan air mata. Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Mempermainkan pernikahan? Tentu ia tahu itu tidak benar."Adakah yang lebih penting dari nyawa aku, Rin?""Tapi, Mas. Kita juga punya orang tua, bagaimana dengan orang tua kita?"Sebelum menjawab pertanyaan sang istri, Dani bicara kepada Frans untuk meminta waktunya sebentar. "Pak, boleh saya bicara berdua dulu sama istri saya?""Silakan." Frans keluar dari ruangan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua, walaupun sebetulnya dia tahu apa yang akan mereka bicarakan.Setelah Frans pergi, Dani kembali bicara kepada Karin. "Masalah keluarga, kamu nggak usah takut, Rin. Kita rahasiakan kejadian ini dari mereka, toh mereka juga tinggal jauh dari kita."Karin diam, menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata."Dengarkan aku sayang, ini cuma sementara. Kalau aku uda
Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!""Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Mak
"Bukan saya loh yang bilang," ujar Frans seraya mengangkat kedua tangannya."Ah, sudahlah. Anda bisa tinggalkan saya sekarang? Saya mau istirahat." Karin berjalan ke arah pintu, membuka pintu setinggi dua meter itu lebar-lebar."Kenapa saya harus keluar dari sini? Ini kan apartemen saya." Bukannya keluar, Frans malah duduk di ujung ranjang dengan santainya."Karna saya ada di sini, kita nggak mungkin tinggal satu unit.""Kata siapa? Justru kita akan sering tinggal satu unit, walau tidak satu ranjang. Kalau di antara kita ada batasan, buat apa saya bawa kamu ke sini? Sia-sia dong uang saya?"Karin memutar kedua bola matanya dengan malas."Saya nggak suka saat kamu memutar kedua bola matamu. Sekali lagi kamu lakukan itu di depan saya, saya tidak akan segan-segan melakukan hal gila yang nggak pernah kamu duga.""Kalau saya melakukannya lagi?" ucapan Karin menantang."Coba saja kalau kamu berani."Kali ini
"Jangan buka kunci dan tetap di dalam kamar." Perintah Frans dengan tegas."Baik, Pak."Setelah bicara dengan Frans, Karin mengakhiri panggilan, lalu mendekap handphonenya di dada, kembali mengintip keluar dan dia melihat Bella saat ini sedang berusaha menghubungi Frans dalam sambungan telepon."Kamu di mana?" tanya Bella, samar-samar Karin mendengar suaranya dari dalam.Entah apa yang Frans jawab, Bella langsung bertanya perihal kunci password. "Kenapa kamu ganti password-nya?"Setelah itu, Bella meminta password yang baru. "Ya udah kasih tau aku."Tidak lama Bella pun mengiyakan ucapan Frans yang entah apa, Karin hanya mendengar Bella berkata, "Janji, ya. Aku pulang sekarang." Setelah itu sambungan telepon pun berakhir, lalu Bella pun pergi meninggalkan apartemen."Ah, akhirnya." Karin mengusap dadanya lega.Setelah Bella pergi, Karin kembali ke kamar untuk beristirahat. Handphone yang katanya seharga motor it
Frans berjalan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan."Ini bukan lagi pagi, Karin. Ini pagi menjelang siang dan mustahil kalau kamu masih tidur, gerutu Frans tanpa menghentikan langkah kakinya menuju lantai bawah.Saat melewati ruang keluarga, sang ibu, Winda memanggilnya. "Frans!"Frans berhenti sebentar demi menyahuti panggilan sang ibu. "Ada apa?""Kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Winda seraya menggeser cursor maju pada pegangan kursi rodanya.Iya, Winda mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, mengakibatkan kakinya mengalami cacat dan tidak bisa disembuhkan lagi walau sudah mendatangkan dokter ahli dari luar negeri."Ini udah siang, Bu. Jam sembilan," ujar Frans sudah tidak sabaran."Biasa juga kamu ke kantor jam sebelas.""Ada meeting penting, aku harus segera sampai di kantor, Bu.""I
Sesuai dengan permintaan Frans, dengan berat hati Karin pun berhenti bekerja. Dia meninggalkan tempat kerjanya setelah semua tugas selesai, lalu duduk di halte bis menunggu angkutan umum melintas. Baru saja duduk, ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih itu dari dalam tas kecil, tertera jelas nama suamiku pada layar ponselnya."Menyebalkan," gerutu Karin sambil menatap sebal."Mbak, bisa nggak teleponnya diangkat aja. Berisik," keluh seorang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya, yang merasa terganggu oleh dering ponsel yang tidak mau berhenti."Tau, baru punya handphone kayak gitu aja sombong," seru teman lainnya tatkala melihat merek handphone milik Karin yang disinyalir harganya tembus angka dua puluh jutaan.Tidak ingin mencari masalah dengan dua wanita itu, akhinya ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan.Karin: Apa?Frans: Bisa nggak ngomong yang lembut?Karin: Nggak bisa!Frans: Sekali lagi b
Waktu terus berjalan, hari telah berganti hari, bulan pun telah berganti bulan, hingga tidak terasa hari yang dinanti pun tiba. Hari di mana Karin bisa menikah lagi setelah menjada selama beberapa bulan, hari di mana Fans bisa mempersunting Karin dan menjadikan dia miliknya untuk selamanya."Kita akan menemui om kamu pagi ini. Kamu udah bilang sama om kamu, kan?" tanya Frans di sela-sela kegiatannya yang saat ini tengah sarapan bersama."Iya, Pak." Karin menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan yang sedang diaduk-aduk."Berapa kali sih aku bilang sama kamu, Rin. Jangan panggil aku Pak. Panggil aku mas, karna aku akan segera menjadi suami kamu."Dan, Karin selalu lupa akan perintah itu. Sampai sekarang dia merasa seperti pembantu yang diperlakukan semaunya. kadang-kadang spesial, kadang-kadang semena-mena.Sedang tidak ingin berdebat, ia pun memilih patuh atas perintah Frans. "Iya, Mas.""Nah, gitu dong. Itu ja
Sikap Frans membuat Karin takut. Dia pikir Frans akan memaksa dirinya untuk melakukan apa yang dia inginkan, tetapi ternyata tidak. Setelah membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kasar, Frans justru hanya diam berdiri di ujung ranjang, menatapnya seperti singa sedang kelaparan."Maafkan aku, Mas," lirih Karin seraya beringsut merubah posisinya menjadi duduk, lalu Frans menghampirinya, duduk di tepian ranjang."Aku memang menginginkan kamu, Rin. Tapi tidak dengan cara seperti ini, Aku mau kamu sama-sama menikmatinya, menyerahkan jiwa dan raga kamu karena memang kamu mencintai aku, bukan karena terpaksa.""Terima kasih, kamu begitu menghargai aku," ungkap Karin seraya menundukkan wajahnya."Aku selalu menghargai kamu, hati kamu yang sulit tersentuh oleh kebaikan aku.""Aku sedang berusaha, Mas.""Akan aku tunggu." Frans mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Karin, lalu bertanya, "Kamu mau menemui mantan suamimu?"