Share

Bab 5. Keputusan Besar

Karin menerima kertas tersebut dan mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Karin bertanya, "Kamu kena kanker?"

Dengan memasang wajah penuh kepalsuan Dani mengangguk. "Iya, Rin."

"Kok bisa sih, Mas? Selama ini kamu baik-baik aja?" Dahi Karin mengerut, menatap tidak percaya.

"Bukan aku baik-baik aja, Rin. Aku cuma berusaha baik-baik aja di depan kamu, aku nggak mau bikin kamu khawatir, aku nggak mau terlihat menyedihkan." Dani bicara sambil meneteskan air mata. Air mata dusta, penuh kepalsuan.

Karin menghampiri suaminya, membawa sang suami ke dalam pelukannya seraya memberikan kekuatan. "Tenang, Mas. Kita akan menghadapinya bersama, kamu pasti sembuh."

"Untuk sembuh itu membutuhkan beberapa rangkaian pengobatan, Rin. Dan, pengobatan itu memerlukan banyak uang, kita punya uang dari mana?"

"Aku nggak tau, Mas. Tapi aku yakin semu pasti ada jalannya."

"Jalannya cuma satu, Rin. Yaitu aku menceraikan kamu, lalu kamu menikah dengan pak Frans."

Karin melepaskan pelukannya dan langsung menolak. "Aku nggak mau!"

"Kenapa nggak mau? Cuma ini satu-satunya cara supaya kita mendapatkan uang untuk pengobatan aku. Kamu nggak mau aku mati kan, Rin?"

"Jangan bilang gitu dong, Mas. Aku nggak mau kehilangan kamu."

"Ya udah makanya kita bercerai, terus kamu menikah sama pak Frans. Setelah aku sembuh, kamu bercerai sama dia dan kita akan bersama lagi."

"Kamu pikir pernikahan itu buat permainan? Mana mau pak Frans nikah sama aku, terus biayain hidup kamu. Habis kamu sembuh, aku cerai dari dia, terus nikah lagi sama kamu. Pak Frans bukan orang bodoh, Mas. Dia orang kaya, mana bisa kita permainkan dia? Lagian dia itu udah punya tunangan, mana mau nikah sama aku."

"Pak Frans nggak cinta sama tunangannya dan dia cinta sama kamu." Satu kebenaran Dani ungkapkan.

"Dari mana kamu tau itu?"

"Dia sendiri yang bilang sama aku. Dia tau penyakit aku dari dulu dan dia mau mengobati aku sampai sembuh, asalkan aku mau melepaskan kamu."

Dengan cepat Karin menolak. "Itu nggak mungkin!"

"Sana pergi temui pak Frans! Tanya sama dia apakah ucapan aku benar atau nggak? Kamu pikir kebaikan dia selama ini sama kita itu karna apa? Karna dia cinta sama kamu, Rin. Dan ...."

"Dan, kamu nggak cinta sama aku, makanya kamu mau melepaskan aku demi uang!" Suara Karin membentak, memangkas ucapan Dani. Dia menjatuhkan surat diagnosis itu ke lantai, lalu memutar tubuhnya membelakangi Dani.

"Demi kesembuhan aku, Rin. Demi kebahagiaan kita juga nantinya." Dani berpindah, berdiri di depan sang istri.

Karin menggelengkan kepalanya menatap tidak percaya. "Bisa kamu punya pikiran seperti itu, Mas. Aku nggak habis pikir sama jalan pikiran kamu."

"Demi menyelamatkan nyawa aku, kanker ini terus menggerogoti tubuhku, Rin. Untuk dua bulan ke depan, tanpa pengobatan yang serius, belum tentu aku ada di sini sama kamu, mungkin dua bulan yang akan datang aku akan berbaring di kuburan."

Karin menangis. Tanpa memberikan jawaban, wanita berusia dua puluh lima tahun itu memilih pergi ke kamarnya meninggalkan Dani sendiri di dapur.

"Sialan, si Karin susah banget sih diajak kerjasamanya. Padahal ini udah menyangkut nyawa aku, apa dia nggak mau menyelamatkan aku? Jangan-jangan dia memang mau aku mati," pekik Dani setelah Karin pergi. Dia mulai kebingungan dengan cara apa lagi agar Karin mau bercerai dengannya, lalu menikah dengan Frans.

Dani mengambil handphonenya dibatas meja, melihat tanggalan dan waktu tujuh hari yang diberikan oleh Frans, jatuh pada hari esok. Jika dalam kurun waktu yang sudah ditentukan dirinya belum juga menceraikan Karin, maka semua uang yang sudah ia berikan, harus dikembalikan.

Handphone yang sedang ia pegang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Frans yang berisi,

Frans: Bagaimana? Kamu sudah menceraikan istrimu?

Dani: Belum, Pak. Perihal surat diagnosis itu, dia baru tau hari ini. Saya akan pikirkan cara lain supaya Karin mau saya ceraikan.

Frans: Iya, kamu harus menceraikannya tepat waktu, karna saya tidak ada waktu menunggu yang tidak pasti.

Dani: Baik, Pak. Saya pasti menemukan caranya.

Pesan terakhir yang Dani kirim. Dia meletakkan kembali handphonenya di atas meja, lalu menghampiri Karin di kamar untuk membujuknya lagi.

***

Keesokan harinya. Saat ini Karin tengah mencuci pakaian di belakang rumah secara manual. Tidak ada mesin cuci, Karin mencuci pakaian Dani menggunakan sikat cuci.

Sedang asik dengan kegiatannya di belakang rumah, tiba-tiba handphonenya berdering. Karin terpaksa menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu masuk ke dalam rumah seraya mengusapkan tangannya yang basah itu pada daster yang dikenakan.

Setelah berada di dapur, dia mengambil benda pipih itu dari atas meja, dahinya mengerut tatkala melihat barisan nomer tanpa nama tertera jelas pada layar ponselnya.

"Siapa?" gumam Karin. Penasaran, ia pun menggeser icon berwarna hijau, lalu meletakkan ke dekat telinganya.

Karin: Halo.

"Siapa?" Dahi Karin mengerut.

Penasaran dengan si penelpon, ia pun menggeser icon berwarna hijau, lalu meletakkannya di dekat telinga. "Halo."

Unknown: Siang, Bu. Benar ini bersama Bu Karin?

Karin: Iya saya sendiri. Ada apa ya, Pak?

Unknown: Kami dari pihak P3K PT. CNR memberitahukan informasi kepada Anda kalau suami Anda bernama Dani dilarikan ke rumah sakit.

Karin: Apa? Ke rumah sakit? Kok bisa?

Unknown: Suami Anda pingsan di kantor dan mengeluarkan banyak darah dari hidung.

Karin: Suami saya dilarikan ke rumah sakit mana?

Unknown: Rumah sakit Mitra.

Karin: Oke, terima kasih atas informasinya, Pak.

Unknown: Sama-sama, Bu.

Setelahnya sambungan telepon pun berakhir, Karin bersiap-siap, lalu pergi ke rumah sakit naik angkutan umum.

Tiga puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya ia pun sampai di tempat tujuan. Dia menemui sang suami di UGD, dan di sana sudah ada dokter yang menangani, baru selesai memeriksa kondisi kesehatan Dani.

"Mas Dani." Karin masuk, menghampiri suaminya, lalu menanyakan keadaannya. "Gimana keadaan kamu, Mas? Sekarang udah baik-baik aja? Kok bisa sih kamu pingsan?"

"Tadi pusing banget di tempat kerjaan, Rin. Eh, pas aku sadar, malah udah ada di rumah sakit. Untung pak Frans tolongin aku."

Ternyata di sana juga ada Frans. Karin melihat ke depan, terlihat saat ini dia sedang bicara dengan dokter.

"Berikan kami resep terbaik, biar biayanya saya yang tanggung." Kalimat yang Frans ucapkan kepada dokter dan bisa Karin dengar dengan jelas.

"Baik, Pak."

Setelah itu dokter itu pun pergi. Sekarang di ruangan tersebut tinggal mereka bertiga. Dani, Karin, dan Frans.

"Terima kasih banyak, Pak," ucap Karin sedikit menunduk.

"Sama-sama, Rin. Saya akan melakukan apa pun demi wanita yang saya cintai," ungkap Frans tanpa dusta.

"Bapak sadar atas pernyataan cinta Bapak? Saya wanita bersuami, Pak."

"Saya tau dan ini adalah suami kamu. Suami kamu yang sedang berjuang melawan penyakitnya, melawan maut yang bisa datang kapan saja."

"Saya mencintai suami saya."

"Saya tau, Karin. Dan, apakah saya salah sudah mencintai kamu? Toh saya tidak melakukan apa pun?"

"Bapak menginginkan saya."

"Itu jika Dani melepaskan kamu."

"Jika tidak?" tanya Karin dengan menatap tajam.

"Jika tidak, aku akan kehilangan nyawa aku, Rin." Kali ini Dani yang bicara di tengah-tengah perdebatan antara Karin dengan Frans.

"Karin, keputusan ada di tangan kamu. Saya tidak akan memaksa." Frans menambahkan.

"Ini surat perceraian kita, Rin. Tolong tandatangani surat ini." Dani menyerahkan selembar kertas perceraian kepada Karin untuk ia tandatangani.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status