"Ehh, iya. Sory gue lagi nggak fokus. Lo lanjutin makan siang sendiri nggak papa kan Hana? Ada yang harus gue pastiin dulu soalnya," ucap Latifa pada Hana. Wanita itu beranjak dari duduknya mengembalikan trai makan siang. Lalu bergegas mencari tempat untuk menenangkan pikirannya.
Latifa adalah tipikal orang yang cepat over thinking dan sulit melupakan setiap kejadian penting dalam hidupnya.'Ok, Ifa. Sekarang lo nggak boleh over thinking dulu. Mas Harsa pasti segera kasih kabar baik ke lo,' cicit Latifa. Ia memilih pergi ke mushola kantor untuk sholat supaya hati dan pikirannya lebih tenang.Bali di waktu yang sama saat berita kecelakaan pesawat dengan maskapai penerbangan yang sama dengan yang Harsa naiki sedang disiarkan. Pria itu baru saja tiba di rumah orang tuanya.Adik dan papa Harsa yang menonton berita itu ikut gelisah. Mereka sempat Harsa beri kabar kala dirinya pagi tadi akan melakukan penerbangan.Mereka sangat bersyukur Harsa sampai di rumah dengan selamat. Meski kemudian mereka memberondong pertanyaan pada Harsa mengapa Latifa istri Harsa tidak ikut pulang kembali ke Bali bersama Harsa."Kamu gagal membawanya kembali? Apa dia belum bisa memaafkan kesalahan saya?" tanya papa pada Harsa.Keadaan papa Harsa yang sedang sakit itu memang membuat pria tua itu semakin sensitive perasaannya."Bukan seperti itu pa. Latifa bukan perempuan pendendam. Ia sudah memaafkan kita semua sedari sebelum kita meminta maaf. Namun, untuk saat ini dirinya memang belum bisa ikut kembali ke sini. Sekarang dia sedang bekerja dan anak Harsa juga masih sekolah. Kasihan bukan jika Adam harus pindah sekolah lagi yang ke tiga kalinya? Insya Alloh nanti saat kenaikan kelas mereka semua siap kembali ke sini," ungkap Harsa.Harsa sengaja tidak menceritakan trauma yang Latifa alami. Harsa khawatir jika menceritakan itu kesehatan papanya akan semakin menurun.Saat ini Latifa di mushola kantor memilih merebahkan tubuhnya kala kesulitan menetralisir perasaannya. Ada rasa menyesal di hati Latifa tidak bisa mengantar keberangkatan suaminya tadi pagi. Terlebih saat membaca berondongan notifikasi pesan dari Harsa yang menyatakan dirinya tengah kesal pada Fadil. Latifa yang belum sempat menjelaskan kesalah pahaman itu makin dibuat bersalah karenanya.Latifa yang sedang over thinking itu terlelap di mushola kantor. Dalam lelapnya Latifa kembali diingatkan pada kepingan kejadian kala dirinya dimaki sang papa mertua."Pah, Ifa berani bersumpah tidak kenal laki-laki itu. Dia datang bertamu ke rumah juga bilang ingin bertemu papah. Latifa mempersilahkan dia masuk karena tidak enak jika ia menunggu di luar," ungkap Latifa menjelaskan tentang foto yang adik iparnya ambil secara diam diam."Mana ada, tidak kenal datang ke rumah sampai tiga kali banyaknya? Ketiga kali kedatanganya juga semua kondisi rumah sedang kosong tidak ada Mas Harsa atau pun papah di rumah!" seru Dewi adik ipar Latifa. Ia yang cemburu dengan Latifa itu memang kerjasama dengan tamu yang mengaku ingin bertemu papanya.Latifa yang tidak punya bukti untuk menyangkal tuduhhan Dewi itu akhirnya hanya bisa pasrah menerima fitnah adik iparnya. Latifa bahkan hanya mampu bertahan satu bulan setelah kejadian itu yang membuat sikap seluruh anggota keluarga suaminya seperti tidak menganggap dirinya ada di antara mereka.Bahkan setelah kejadian itu Harsa yang statusnya sebagai suami Latifa pun ikut menjauhi Latifa istrinya. Ia memilih tidur di kamar tamu bersama Adam anak sulungnya dengan alibi Deja putri bayinya berisik membuatnya tidak bisa terlelap. Jadilah selama sebulan terakhir sebelum Latifa meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya ia harus mengasuh bayi mungilnya seorang diri sembari hidup di tengah keluarga yang tidak menganggap kehadiran dirinya ada di antara mereka. Latifa bahkan mulai sakit karena kelelahan.Saat meninggalkan rumah mertuanya Latifa tidak berharap suaminya akan ikut mengantarnya. Latifa bahkan juga tidak perduli dengan semua barang miliknya yang dibelinya dengan menabung saat di tanah rantau. Latifa ingin pergi dengan tenang meninggalkan semua kenangan buruk selama ia tinggal di Bali. Latifa pergi hanya membawa koper berisikan baju miliknya dan kedua anaknya."Ifa pamit papa. Jaga kesehatan, ya. Ifa juga mohon maaf jika banyak salah selama tinggal di sini," ucap Latifa kala berpamitan dengan papa Harsa."Ingat kamu pulang hanya untuk mengunjungi orang tuamu! Kamu harus kembali ke sini. Jika kamu tidak kembali. Jangan harap kamu yang durhaka terhadap saya akan bahagia di luaran sana!" maki papa Harsa melepas kepergian Latifa dan kedua cucunya.Harsa yang awalnya tidak akan mengantar dipaksa papanya untuk mengantar Latifa pulang ke rumah orang tuanya. Meski kesal dengan menantunya itu, ia tidak tega membiarkan kedua cucunya pergi tanpa sosok sang ayah."Entah bagaimana kehidupanku selanjutnya, hiks." Latifa menangis sepanjang jalan mengingat semua ucapan makian sang papa mertua yang lebih terkesan seperti sumpah serapah untuknya.Semua kepingan kejadian itu terhenti kala suara perempuan membangunkan Latifa dengan mengoncangkan tubuh Latifa cukup kuat."Fa ... Ifa," panggil Hana. Wanita itu panik membangunkan Latifa yang sesenggukan dalam lelapnya."Ehh, elo," ucap Latifa kala menyadari sahabatnya itu kini tengah berada di sampingnya."Ada masalah apa? Nggak biasa lo sampai ketiduran di mushola gini?" tanya Hana. Kemudian perempuan itu membantu Latifa bangun."Gue lagi over thinking aja. Eh, nggak nyadar abis sholat malah jadi ketiduran di sini," jawab Latifa. Kemudian wanita itu merapikan mukena miliknya. Latifa sengaja tidak langsung menceritakan masalahnya. Latifa ingin mendapat kepastian lebih dulu dari Harsa suaminya."Ya udah mending sekarang kita balik ke ruangan aja yuk. Hutang cerita lo nanti aja ceritanya pas pulang kerja sambil hangout, kemarin kan kita nggak jadi hangout bareng," celoteh Hana. Wanita itu lekas mengajak Latifa beranjak kembali keruangan kerja mereka.Latifa baru sampai di meja kerja, datang sekretaris Fadil meminta Latifa menghadap atasannya itu.Tok ... tokk ... took ...."Masuk." Fadil mempersilahkan Latifa memasuki ruangnya."Bapak memanggil saya?" tanya Latifa to the point pada Fadil."Hemm, nanti sore temani saya bertemu clien," ungkap Fadil. Pria itu menjelaskan maksud dari memanggil Latifa keruangan nya."Maaf, bukankah itu tugas sekretaris Bapak?" tanya Latifa. Ia merasa permintaan Fadil bukan bagian dari tugasnya."Ohh iya, saya belum beritahu kamu, ya. Sekretarisku itu dalam waktu dekat ini akan menikah. Ia diminta berhenti bekerja oleh suaminya setelah mereka resmi menikah nanti," ungkap Fadil pada Latifa."Lalu? Apa hubungannya dengan saya Pak?" tanya Latifa dengan polosnya. Wanita itu seolah tidak paham arah pembicaraan atasannya itu."Tentu saya ingin mempromosikan kamu menjadi sekretaris pribadi saya," ucap Fadil.Fadil sangat percaya diri Latifa akan senang hati menerima kenaikan jabatan itu.Latifa mendenguskan napas kasar mendapati maksud Fadil memanggilnya untuk menghadap."Hufft ... apakah tidak ada kandidat lain selain saya yang lebih pantas, Pak?" tanya Latifa pada Fadil. Pertanyaan itu bahkan membuat Fadil tidak menyangkannya.Kebanyakan orang akan senang dengan posisi yang akan Latifa dapatkan."Kamu yakin tidak menginginkannya?"Keesokan paginya saat Latifa bangun dari tidurnya sudah mendapati berbagai menu masakan di atas meja makan. Latifa yang penasaran itu tentu tidak tinggal diam. Ia melangkahkan kaki menuju di mana dapur rumah itu berada.Mendengar derap langkah Adhira membalikan badan. Menyudahi aktifitas tanganya yang tengah mencuci piring. " Mbak sudah bangun? Emm, maaf tadi aku bangun langsung masak bahan yang ada untuk sarapan.""Saya kira kamu sudah pergi," ucap Latifa, ketus. "Sebentar lagi saya pergi mbak. Terima kasih sudah mengizinkan saya istirahat sebentar di rumah ini. Jika saya sudah lebih mapan nanti. Saya pasti akan balas jasa baik kalian," ungkap Adhira pada Latifa.Latifa tidak bergeming. Meski kesal wanita itu memilih duduk di bangku meja makan. Tatapan matanya lurus ke depan, bahkan enggan menanggapi ungkapan Adhira.Adhira yang melihat respon Latifa paham jika wanita itu masih kesal padanya. Tidak ingin memperkeruh suasana Adhira akhirnya memilih berpamitan untuk pergi ," salam un
"Aku tidak mungkin membawa kamu ikut serta denganku Adhira!"Harsa mengacak rambutnya kasar. Pria itu di ujung kebingungan sekarang, antara meninggalkan saja Adhira tengah malam di sana atau turut serta membawanya pulang.Jika saja tadi Harsa membawa uang lebih sedikit banyak, pasti sudah ia lebih memilih membaginya secara percuma pada Adhira. Supaya wanita itu bisa mencari tempat tinggal sementara.Harsa menggeledah kantong celana juga sweater yang pria itu kenakan. "Ketinggalan lagi!" umpat Harsa."Cari apa Mas?"Adhira memberanikan diri bertanya pada Harsa yang terlihat meraba seluruh saku yang ada pada baju dan celananya."Ponselku tertinggal. Aku harus ijin istriku dulu jika membawamu ke rumah."Harsa mengulang kegiatan meraba saku yang ada pada pakaian yang ia kenakan. Berharap mendapatkan ponsel miliknya yang jelas lupa ia bawa."Ini pakai punyaku, Mas. Kamu hafal nomor istri Kamu bukan?""Aku jelas hafal ...""Tapi ...."Harsa terlihat menimbang-nimbang keputusan yang akan d
"Ahh, Mas lebih cepat gerakinnya," rengek Latifa. Wanita itu berhasil Harsa enakan siang itu. "Jangan kenceng-kenceng suara kamu, Yanx!" Harsa meletakan telapak tangannya pada mulut Latifa. Kebiasaan pria itu membiarkan telapak tanganya digigit sang istri melampiaskan kepuasannya. Tidak butuh waktu lama, kegiatan panas membara siang itu berakhir sudah. Dengan keduanya berhasil mencapai puncak kenikmatan bersama. "Adam dari tadi sudah panggil dan ketuk pintu terus, Mas," ucap Latifa, dengan suara terdengar kelelahan. "Aku cek Adam dulu, ya! Kamu lekas mandi gantian sama aku." Tanpa menunggu jawaban Latifa kembali, Harsa membuka kunci pintu kamar mereka dan keluar dari sana. Harsa mencari keberadaan Adam yang ternyata sudah tersedu menangis di salah satu sudut ruang tamu," hei anak ayah kok nangis?" Jelas penyebab Adam menangis adalah ulah pergulatan panas sang ayah bersama bundanya yang tidak kunjung membuka kunci pintu kamar mereka. "Tadi ayah sedang bunda kerok jadi g
Latifa mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berdiri. Namun, nihil wanita itu tidak menemukan putri kecilnya yang belum terlalu lancar berjalan.Bulir bening akhirnya terjun tanpa permisi membasahi pipi Latifa. Demi apapun wanita itu saat ini terlihat sangat kacau.Ingin berteriak meminta tolong juga terasa percuma sebab masjid sudah terlihat sepi sekarang. Kembali ke mobil, hanya satu pikiran itu yang ada pada benak Latifa.Dengan langkah setengah gontai Latifa berjalan setengah berlari menuju mobil terparkir. Wanita itu berharap suaminya sudah bersama Deja sekarang.Jarak mobil terparkir dengan toilet masjid tidak begitu jauh. Namun, terasa cukup melelahkan Latifa berlari ke sana.Tidak ada siapapun di dalam mobil. Itu yang sekilas Latifa lihat dari radius sekitar sepuluh meter jauhnya.Guna memastikan Latifa gegas memakai sandal jepit miliknya berjalan lebih cepat guna mengikis jarak dengan mobil yang terparkir itu."Tidak ada siapapun di dalam," racau Latifa.Kemudian La
Harsa terpaksa menyetujui persyaratan Latifa yang mengutarakan," aku jika tidak betah boleh pulang kembali ke rumah orang tuaku ya Mas."Penuturan Latifa terus terngiang dalam kepala Harsa. Belum berangkat saja Latifa sudah memberinya ultimatum berkali-kali yang menyatakan dirinya tidak akan betah di Bali.Padahal situasi dan kondisi di sana jelas sudah berubah. Mereka nanti kembali tinggal sekeluarga seperti saat di kota rantau. Bedanya hanya Harsa tidak mengeluarkan uang sewa rumah setiap bulan, sebab mereka menempati rumah tua almarhum kedua orang tuanya.Masalah pekerjaan untuk menafkahi keluarganya Harsa percaya rejeki akan ada saja, selama dirinya tetap bergerak. Malam terakhir Latifa berada di rumah orang tuanya berlalu begitu cepat.Pagi pun tiba, di mana wanita itu dan kedua anaknya harus bersiap untuk ikut Harsa kembali pulang ke Bali.Meski terasa berat meninggalkan tanah kelahirannya yang setahun terakhir membuatnya nyaman dengan nuansa kekeluargaan yang kuat. Latifa ti
"Mas bisa tolong antar saya? Saya akan melakukan wawancara kerja di kota," ucap Adhira pada panggilan telepon dengan Harsa." Hari ini?" Harsa menimpali pertanyaan Adhira. "Iya, Mas. Tapi Adhira bersiap dulu, satu jam lagi jemput ya!"Usai mengucapakan itu Adhira menyudahi panggilan telepon mereka. Adhira memang terbilang paling sering menggunakan jasa Harsa semenjak terakhir kali pria itu menawarkan bantuan langsung padanya.Meski Adhira akui awalnya canggung, sikap ramah Harsa pada setiap orang nyatanya mampu membuat Adhira menjadi nyaman karenanya.Satu jam kemudian Harsa sudah sampai di lokasi tempat Adhira memintanya di jemput. Adhira memang tidak meminta Harsa menjemputnya di kediamannya, mengingat sang ibu mertua pasti langsung menginterogasinya.Adhira masuk ke dalam mobil yang Harsa kemudikan dan duduk di samping kursi kemudi. Selalu di sana, Adhira tidak pernah mau duduk di belakang kalayak seorang penumpang.Harsa mendapatkan satu unit mobil ini dari menjual salah satu lah
Latifa hampir kehilangan keseimbangan ulah Fadil. "Kamu melamun?""Euh ... tidak Pak, maaf." Latifa kemudian menerima potongan cake pertama itu dari Fadil."Terima kasih!"Fadil mengangguk, lalu kembali mengajak tim nya untuk ikut menikmati cake birthday miliknya."Ok, silahkan mulai meeting kali ini dengan kudapan yang manis terlebih dahulu," ucap Fadil, saat mempersilahkan tim nya memakan cake birthday ultahnya. Namun, sebelumnya ketua tim mendekat pada Fadil untuk memberikan hadiah untuk Fadil."Ini tidak mahal, tapi tolong terima ini sebagai bentuk perhatian juga ketulusan kami, Pak!" seru ketua tim mewakili yang lain, pada Fadil.Fadil menerima bingkisan itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Kemudian memberikannya pada Latifa untuk diurus."Nanti, saya bawa ke kamar Anda. Ini sudah cukup larut lebih baik sekarang kita mulai saja meeting nya."Latifa mengusulkan, yang langsung disetujui semua tim yang ada di sana. Viktor yang bukan bagian tim di minta Fadil untuk tetap st
Latifa usai melakukan panggilan telepon dengan Harsa bergegas menuju ruang meeting. Wanita itu berjalan setengah berlari, khawatir yang lain sudah berkumpul semua di sana, hanya tinggal menunggu dirinya.Ketika sudah sampai di depan ruangan, Latifa menekan handle pintu kemudian sedikit mendorong pintu untuk membukanya.Mata Latifa edarkan ke ruangan. Namun, tidak mendapati sosok Fadil di sana. Dengan segera Latifa menutup kembali pintu tanpa bersuara, kemudian mencari keberadaan Fadil. "Di mana dia?"Tujuan pertama Latifa langsung ke lantai dua.Latifa menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua yang terdapat kamar Fadil di sana. Ketika sudah sampai di tempat yang dituju, Latifa tidak mendapati sang CEO di sana. Sudah berulang kali Latifa mengetuk pintu kamar, si empunya kamar tak kunjung keluar. Latifa memberanikan diri masuk, khawatir Fadil ketiduran. Namun, memang Fadil tidak ada di dalam sana."Di kamar mandi juga tidak ada," cicit Latifa. Wanita itu melihat pintu toilet d
"Ada apa ini?"Harsa bertanya kepada orang-orang yang ramai mengerumuni Dewi sang adik."Siapa perempuan tadi, Harsa ?" tanya salah satu wanita paruh baya yang berada di antara kerumunan itu cukup kasar.Ya kerumunan itu memang di dominasi wanita paruh baya yang memang bergosip menjadi hobi keseharian mereka. "Iya Bli! Siapa perempuan tadi?" Wanita paruh baya lainya, ikut saling bersahutan mencecar Harsa dengan pertanyaan, usai salah satu di antara mereka melontarkan pertanyaan pada Harsa."Itu teman Mas Harsa Buk, mohon maaf kami mau istirahat dahulu, ya!" Dewi menarik sang kakak dari kerumunan wanita paruh baya untuk masuk ke dalam rumah.Tidak lupa dengan sigap Dewi menutup rapat pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.Suara sorakan, sebagai bentuk protes pun terdengar riuh di luar pintu. Mereka tidak terima dengan sikap Dewi yang tidak mau memberitakan hal yang ingin mereka ketahui.Lagi pula Dewi tidak memiliki keharusan menceritakan apapun kepada ibu-ibu rumpi berkedok