Entah apa yang ada di pikiran papi saat ini, sejak tadi matanya tak beralih dariku. Aku memilih untuk membuang muka, atau lebih sering menundukkan wajah agar tidak bertatapan langsung dengannya. Meski begitu aku senang karena papi tak memberitahu Jo bahwa aku adalah anaknya.Kalau bukan karena meeting bersama Jo hari ini, tentu aku tidak akan tahu kalau ternyata papi sudah lama aktif dalam melakukan kerja sama seperti ini. Aku pikir papi menggunakan uang yang dia dapatkan untuk berfoya-foya saja, nyatanya papi sangat peduli dengan nasib anak-anak yatim dan anak-anak jalanan. Dalam hati aku bangga karena ternyata papi adalah orang yang dermawan seperti namanya. Namun, kenapa dia tidak pernah cerita?Meeting ditutup dengan tanda tangan Jo dan papi di atas materai. Semoga kerja sama kali ini berjalan dengan lancar dan baik. Usai menutup laptop, aku memesan makanan untuk kami. Obrolan berlanjut dengan santai. Mereka membahas keadaan di kantornya masing-masing. "Seingat saya terakhir kit
Butuh waktu satu jam untuk sampai ke lokasi. Setibanya di kafe, aku segera berlari ke dalam untuk memastikan bahwa Joseph masih ada di sini. Namun, sejauh mataku memandang, aku tak menemukan Bastian, Bianca, dan juga Joseph di sana.Tiba-tiba Imel menaik tanganku, tapi aku menepisnya."Lo ngapain sih, Mel?""Mobil Pak Bas udah keluar dari parkiran, ayo kita kejar!"Tanpa banyak omong lagi, aku dan Imel pun berlari menuju parkiran. Aku memilih mengemudi sementara Imel menjadi petunjuk jalan. Mobil milik Bastian memasuki.kawasan perumahan elit di pusat kota. Aku menghentikan motor tak jauh dari pos satpam. Mustahil diizinkan masuk karena kami tidak tinggal di daerah sini."Gimana, Mir?""Kayaknya gak bakal diizinin masuk, deh, Mel.""Paling nggak lo tahu kalo ini rumah Bianca. Soalnya rumah Pak Bastian bukan di sini."Aku membenarkan ucapan Imel. Mungkin kalau ada waktu, aku akan mengajak Jo untuk mendatangi tempat ini untuk memastikan apakah Joseph benar-benar tinggal di sini.Saat mob
Jam tujuh pagi aku dan Jo sudah berada di kawasan perumahan mawar biru. Aku memintanya menunggu sebentar di dalam mobil sementara aku menemui satpam dan meminta izin untuk masuk. Usai menunjukkan sebuah informasi lowongan pekerjaan yang berasal dari salah satu rumah di tempat ini, akhirnya dua satpam yang berjaga itu pun mengangguk setuju.Aku memberikan kode kepada Jo dengan gerakan tangan agar dia segera pergi ke kantor sebelum Bianca melihat dia ada di sana.Ketika portal dibuka, aku menarik napasku sedalam-dalamnya. Semoga semua rencanaku berjalan seperti keinginanku. Aku melangkah dengan mantap mencari rumah nomor 9A. Ketika sampai di terasnya, aku langsung bertemu dengan Bianca yang hendak masuk ke mobilnya."Siapa, ya?" tanya Bianca.Aku melangkah mendekat sembari tersenyum ramah."Salam, Bu Bianca, saya Mira. Kedatangan saya ke sini karena melihat ada lowongan pekerjaan sebagai guru privat. Keperluan saya ingin melamar, barangkali masih membutuhkan. Ini data diri saya."Aku me
Hingga jam tiga sore, batang hidung Bianca belum kelihatan juga. Aku mulai gelisah karena sejak tadi hanya bisa mengabaikan pesan Jo. Bahkan ketika dia minta dikirimi foto Joseph, aku pura-pura tak membacanya.Aku pikir Bianca akan segera datang. Namun, meski Joseph sudah berkali-kali menanyakan keberadaan ibunya pun, aku masih tidak tahu harus menjawab apa. Hebatnya anak itu sama sekali tidak menangis meski ditinggal seharian oleh ibunya dalam keadaan sakit. Andai itu aku, aku sudah pasti menangis seharian. "Joseph kalau ditinggal mommy kerja, di rumah sama siapa?""Sendiri.""Sendiri?"Anak itu mengangguk. Tak ada sorot kebohongan dalam bola matanya."Joseph nggak takut?"Dia menggeleng. Anak sekecil ini ditinggal dalam rumah sendiri selama seharian? Kenapa ibunya tega?"Terus, kalau Joseph mau makan gimana?""Ada yang antar makanan. Kalau ada Miss Dita, biasanya sama Miss Dita.""Miss Dita? Guru privat Joseph sebelumnya ya?"Dia mengangguk. "Sekarang Miss Dita kemana?""Aku tida
Seorang perawat yang berdiri di sana seketika menoleh padaku. Aku berjalan pelan-pelan mendekati Joseph yang kini sudah terlelap. Berbeda denganku, Joshua datang dengan begitu buru-buru dan menangis, memeluk tubuh Joseph.Aku hanyut dalam suasana itu. Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, Jo dipertemukan dengan anaknya."Maaf, Bu. Kami terpaksa menyuntikkan obat tidur tanpa menunggu persetujuan dari pihak keluarga karena Joseph menangis sejak sore tadi. Dia bisa dehidrasi."Aku mengatakan tidak apa-apa, toh itu untuk kebaikan pasien. Hanya saja yang membuatku bingung adalah ... di mana Bianca?Saat perawat itu keluar ruangan, aku pun menyusulnya. Meninggalkan Joshua yang masih memeluk putranya."Maaf, Sus. Ibunya Joseph ke mana, ya?""Maaf, saya tidak tahu, Bu. Joseph sendirian sejak jam enam sore tadi, itu sebabnya dia menangis tanpa henti. Kami sudah berusaha menelepon, tapi tidak dijawab."Aku menghela napas dalam. Kenapa Bianca tega meninggalkan Joseph sendirian? Kalau tahu aka
Apa yang harus aku lakukan? Aku menunggu hasil pemeriksaan dari dokter penjaga dengan tangan yang dingin. Bagaimana kalau Joshua menyusulku ke sini? Bagaimana kalau Joshua bertemu dengan Bianca?"Sepertinya ananda Joseph mengalami radang usus, Bu. Kita harus melakukan USG, rontgen, dan juga CT scan perut besok pagi. Untuk saat ini saya akan memberikan obat pereda nyeri."Bianca mengangguk dan memeluk Joseph yang saat ini sedang disuntikkan obat pereda nyeri.Aku melirik jam dinding, sudah hampir pukul 23.30. Telepon dari Joshua masih kuabaikan sejak tadi, tapi aku tak bisa terus-terusan melakukan hal ini.Bianca masih mengusap-usap kepala Joseph, anak kecil yang masih tampak pucat itu sudah tidak menangis lagi.Aku mendekat kepada Joseph yang masih menatap langit-langit kamarnya itu sambil tersenyum lebar. Aku tak mau membuatnya semakin ketakutan dengan air mataku."Miss Mira pulang dulu, ya. Miss janji besok pagi-pagi sekali akan datang ke sini. Joseph tidur, ya."Joseph mengangguk,
Pemeriksaan selesai. Bersama Joshua, Joseph akhirnya mau melakukan USG, CT scan perut dan juga rontgen dengan lancar. Sembari menunggu hasilnya, Joshua mengajak Joseph membaca buku cerita. Wajah Joseph sudah tak sepucat tadi, anak itu justru terlihat begitu bahagia bersama daddy-nya. Aku terharu melihatnya.Mereka sangat kompak dan sangat mirip saat tersenyum. Aku hanya memandangi mereka dari sofa sambil memegang ponsel."Si anjir! Anaknya sakit malah sibuk ngurus pernikahan aja mereka."Imel mengirimkan foto Bianca dan Bastian yang entah di mana."Lo di mana? Mereka di mana?""Gue diajak milih-milih souvenir pernikahan. Bayangin aja, kalo otaknya gak geser pasti Bianca milih nungguin anaknya. Emang gak waras ini orang, ya!"Aku geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya, ya, anak lagi sakit, tapi dia malah sibuk dengan hari bahagianya? Aku menatap Joseph dengan hati yang terluka. Pasti Joseph pun sangat terluka."Kalo udah mau pulang kasih tahu, ya, Mel." Balasku kepada Imel."Pulangnya nant
Seorang perawat yang hendak membawa Joseph menuju ruang rawat inap membuat Bianca dan Joshua seketika diam. Aku hanya berjalan perlahan di belakang, menyusul mereka dan memilih berhenti di ruang tunggu. Aku duduk di kursi sembari mengatur napas dan juga menata hati. Apa yang terjadi denganku?Aku tiba-tiba khawatir. Mengkhawatirkan hal yang jelas tidak mungkin terjadi. Apakah aku sedang cemburu? Melihat mata Bianca saat menatap Joshua membuatku bertanya-tanya, mungkinkah masih ada cinta di tatapan matanya?Lalu, bagaimana dengan Joshua? Bagaimana jika mereka sepakat memperbaiki diri agar bisa bersama kembali? Lantas bagaimana denganku yang ternyata sudah jatuh hati kepada laki-laki itu?Aku menunduk semakin dalam, hingga akhirnya mendongak saat sebuah tangan hangat menyentuh tanganku yang dingin.Dia hanya menggenggam tanganku, tapi tak bicara apa-apa. Tatapannya lurus kedepan. Aku pun mengeratkan genggaman dan bertanya, "ada apa? Joseph belum bangun, ya?"Dia menggeleng. "Bantu aku