LOGINHari Rabu pagi di Zhang Group.
Kantor masih sibuk seperti biasa. Karyawan berlarian dengan berkas, printer meraung, dan Mei Lin ... masih kebingungan karena panggilan mendadak ke lantai 31. "Tuan Zhang ingin kau ke ruangannya sekarang," kata asisten Han Wei. "Hah? Aku'kan di marketing? Aku bahkan belum selesai input data!" "Perintah langsung." "Dia nggak bilang aku bikin kesalahan, kan?" "Tidak, tapi nada suaranya ... serius." "Oh Tuhan, aku mau dipecat tiga hari setelah magang." --- Sesampainya di lantai 31, lantai paling dingin dan mencekam di seluruh gedung. Mei Lin melangkah dengan hati-hati. Ruang kerja Zhang Yichen luas, bersih, dan terlalu sunyi. Pria itu duduk di balik meja besar dengan setelan hitam sempurna, wajah fokus pada layar laptop. "Tuan Zhang?" panggil Mei Lin pelan. "Masuk!" "Aku … dipanggil?" "Duduk!" Mei Lin duduk perlahan, menatap pria itu dengan gugup. Setiap detik terasa seperti wawancara masuk neraka. "Kau tahu kenapa aku memanggilmu?" tanya Zhang Yichen tanpa menatap. "Kalau tebakan salah, masih bisa diselamatkan?" "Tergantung seberapa fatal." "Aku … tidak sengaja bikin Manajer Han ketawa di jam kerja?" "Tidak!" "Aku … salah isi laporan?" "Tidak juga!" "Aku napas terlalu keras di ruang kantor? Atau ... aku dipecat tanpa hormat?" Zhang Yichen akhirnya menatapnya, menahan senyum. "Kau tidak dipecat, Mei Lin." "Oh syukurlah." Mei Lin langsung mengusap dada lega. "Aku hampir menulis surat resign spontan." "Tapi ada perubahan posisi." "Perubahan posisi?" "Mulai hari ini, kau bukan lagi peserta magang divisi marketing." "APA?! Kenapa?! Aku baru hafal password komputernya!" "Kau dipindahkan." "Ke mana?" "Ke sini." "Ke sini tuh …?" "Ke lantai ini. Sebagai sekretarisku." Hening. Lalu ... "APA?!" Suara Mei Lin menggema di seluruh ruangan kaca itu. Zhang Yichen tidak bereaksi. "Papa yang memutuskan. Dia melihat kinerjamu bagus saat laporan kemarin. Ka-" Mei Lin tersenyum tengil sambil menaikturunkan alisnya. "Kata papa atau kata hatimu yang cemburu, hem?" Zhang Yichen menatapnya dingin, membuat bulu kuduk berdiri dan Mei Lin langsung menunduk, takut. "Katanya, 'anak itu gesit, cerdas, dan berani ngomong'. Itu kriteria sekretaris yang ideal." Zhang Yichen meneruskan ucapannya. Mei Lin mendongak. "Ideal?!" "Kau bercanda kan?! Aku bahkan belum hafal jadwal magangku, sekarang aku harus hafal jadwal CEO?!," lanjutnya nyerocos. "Kau bisa belajar." "Tapi ... tapi gimana kalau karyawan lain curiga?!" "Tidak ada yang akan curiga." "Kau yakin?" "Kecuali kau berteriak lagi seperti tadi." Mei Lin langsung menutup mulutnya rapat-rapat. "Oke, noted!" Zhang Yichen berdiri, menyerahkan tablet schedule dan tumpukan dokumen. "Ini jadwal meeting-ku. Kau harus hafal dalam dua hari." "Dua hari?!" "Kau ingin seminggu?" "Aku ingin reinkarnasi." Mei Lin murung. Zhang Yichen menatapnya datar. "Jangan dramatis." "Kau nggak tahu rasanya jadi aku, Tuan Zhang." "Sebaliknya, aku terlalu tahu rasanya berurusan denganmu." Mei Lin mengerutkan dahi. "Itu maksudnya apa?" "Artinya, aku sudah siap menghadapi kekacauan yang akan kau bawa." "Wah, romantis banget, ucapan penyambutan kerja paling jujur sepanjang masa," jawab Mei Lin dengan sarkasme halus. Zhang Yichen menatapnya, sudut bibirnya terangkat sedikit. "Anggap ini ... promosi." "Promosi atau jebakan?" "Tergantung seberapa keras kau berusaha." Mei Lin terdiam. Jabatan naik melesat seperti kilat. Sesungguhnya Mei Lin senang. Akan tetapi ... di hati yang paling dalam, ia merasa sesuatu yang mengganjal. Entahlah. Yang jelas, Mei Lin berjanji pada diri sendiri akan mengemban tugas itu seprofesional dan haruskan berterimakasih kepada papa mertua? --- Beberapa jam kemudian, seluruh kantor mulai berbisik. "Serius magang baru itu jadi sekretaris CEO?" "Gila, cepat banget naik level." "Pasti punya koneksi orang dalam." Mei Lin bisa merasakan tatapan dari segala arah setiap kali ia lewat sambil membawa berkas. "Ya Tuhan, mereka semua lihat aku kayak aku maling printer," gumamnya panik di dalam lift. Saat lift terbuka, Han Wei muncul. "Hei, jadi rumor itu bener? Kau jadi sekretaris pribadi Tuan Zhang?" "Ehm ... iya, kelihatannya begitu." "Wow, luar biasa. Kau pasti punya daya tarik khusus." "“Hah?!" Wajah Mei Lin kikuk. "Yah, kalau tidak, mana mungkin CEO Zhang mau punya sekretaris dari peserta magang?" "HAN WEI! Itu bukan maksudnya!" Sebelum sempat menjelaskan, suara dingin yang sangat familiar terdengar dari arah koridor. "Manajer Han." Zhang Yichen muncul, berdiri tegap dengan ekspresi khasnya --datar, tetapi menekan. "Kau seharusnya di rapat, bukan di sini." "Eh-iya, maaf, Tuan Zhang! Saya hanya--" "Berbicara dengan sekretarisku?" "Eh ... iya, sebentar aja ...” "Sebentar bisa membuat jam rapat mundur," ujar Zhang Yichen tanpa menaikkan nada. Han Wei langsung menunduk dan kabur secepat mungkin. Sementara Mei Lin berdiri terpaku dengan wajah memerah antara malu dan kesal. " Tuan Zhang …" "Hem." "Itu tadi ... cemburu profesional atau pribadi?" "Profesional." "Kau jawabnya terlalu cepat." "Kau terlalu suka menguji." Mei Lin menyipitkan mata, menatapnya curiga. "Baiklah, Bos. Tapi kalau nanti kau mulai tersenyum lagi, aku tahu jawabannya bohong." Zhang Yichen menatapnya, lalu berbalik menuju ruangannya sambil berkata pelan tanpa menoleh. "Kalau kau terus membuatku tersenyum, itu bukan kebohongan lagi." Dan sekali lagi, jantung Mei Lin melompat satu nada. "Astaga ...," bisiknya pelan. "Aku baru tiga hari kerja, tapi kenapa rasanya seperti drama 50 episode?"Minggu pagi di kota Haicheng terpantau cerah. Untuk pertama kalinya setelah seminggu penuh jadwal kantor dan rapat gila-gilaan, Mei Lin akhirnya bisa tidur tanpa alarm.Namun ternyata ... Ting! Ting!Suara notifikasi.Tangannya meraba mencari keberadaan ponselnya. Matanya setengah terbuka saat melihat satu nama yang tertera. "Ibu? Ada apa, sih?" gerutunya. "Hari ini makan siang di rumah keluarga Zhang. Ingat ya, ditunggu!" Isi pesannya. Mei Lin menggeliat sambil menguap dengan kedua mata yang ia coba buka 100%."Oh, tidak! Liburanku berubah jadi pertemuan politik."Mei Lin bergegas bangun dan memberitahu Zhang Yichen agar turut bersiap. ---Beberapa jam kemudian, mobil hitam Zhang Yichen berhenti di depan rumah utama keluarga Zhang. Nampak pula mobil milik ibu Mei Lin. Mei Lin yang mengenakan dress pastel sederhana tampak anggun, tetapi wajahnya jelas tegang."Kenapa kau kelihatan seperti mau ikut ujian nasional?" tanya Zhang Yichen dengan dahi berkerut. "Karena orang tuaku dan
Pagi itu Mei Lin dan Zhang Yichen berangkat ke kantor bersama. Agar karyawan tidak curiga, Mei Lin memilih turun di tikungan jalan. "Kau yakin?" tanya Zhang Yichen. Mei Lin menatap suaminya. "Sejujurnya, sih, malas. Aku udah cantik, udah rapi, dan wangi harus kembali berkeringat karena jalan kaki!""Kalau begitu tidak usah turun. Kita lan--""Eh, tidak, tidak!" Mei Lin mengibaskan tangan cepat. "Aku turun saja! Aku tidak mau ada rumor aneh di kantor!"Mei Lin bersiap membuka pintu. Sebelum turun, ia memastikan jika tidak ada karyawan Zhang Grup di sekitar. "Oke, aman!" cicitnya yakin. Mei Lin turun, mobil Zhang Yichen pun melanjutkan perjalanan. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang, pasrah.Sepuluh menit. Mei Lin sudah tiba di lobi dan bergegas menuju lantai 31.Keluar dari lift, Mei Lin disuguhkan dengan aktivitas seperti biasanya. Ada yang baru datang, ada yang membersihkan meja kerja, dan suara printer yang seolah-olah memberi ketukan semangat. "Selamat pagi dunia! Pasti
Langit Haicheng mulai gelap. Lampu-lampu kota memantul di jendela besar rumah Zhang Yichen. Suara mesin mobil berhenti di garasi, dan beberapa detik kemudian ... "Aku pulang!"Teriakan ceria itu menggema sebelum pintu rumah benar-benar terbuka. Mei Lin muncul dengan rambut sedikit acak, membawa dua tas belanja di tangan, wajah penuh semangat yang sangat tidak cocok dengan ekspresi suaminya yang baru pulang kerja.Zhang Yichen berdiri di bibir pintu, jas masih rapi, dasi belum sempat dilepas. Pria itu sempat berpikir jika Mei Lin meminta izin pulang lebih awal dan minta diantar sopir untuk pulang ke asrama. Nyatanya ... "Kenapa kau tampak seperti baru menaklukkan dunia?""Karena aku beli bahan masakan untuk makan malam!"Mei Lin tersenyum lebar. Bahkan gigi putihnya yang berjejer rapi mampu menyilaukan mata. "Kau … masak?""Tentu saja!""Apakah aku harus memanggil ambulans dulu?""Zhang Yichen! Aku ini bukan ancaman nasional, tahu!"---Dapur rumah kini penuh aroma yang ... sulit d
Pagi di lantai 31 terasa lebih sibuk dari biasanya. Karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, semua fokus. Kecuali satu orang yang masih berjuang hidup dengan printer."Astaga, kenapa ini kertasnya nyangkut terus?! Aku cuma mau cetak jadwal meeting, bukan bikin drama!"Mei Lin berjongkok di depan mesin printer seperti sedang menghadapi monster kuno.Sementara di ruangan kaca besar tak jauh dari situ, Zhang Yichen memperhatikan diam-diam dari balik kaca bening kantornya.Ekspresinya tetap datar, tetapi dagunya sedikit bertumpu di tangan.Chen, berdiri di sampingnya dengan raut muka antara kasihan dan bingung."Tuan Zhang … apa saya perlu bantu Nona Mei?""Tidak perlu. Biarkan dia beradaptasi.""Tapi dia sudah … menatap printer itu selama sepuluh menit.""Artinya dia berusaha.""Atau hampir menyerah," gumam Chen pelan.Tak lama, printer berbunyi klik!Dan ... BLAM!Tumpukan kertas menyembur keluar, berserakan ke lantai seperti hujan salju putih."YA AMPUN! AKU MENANG! Tapi … kenapa
Hari Rabu pagi di Zhang Group. Kantor masih sibuk seperti biasa. Karyawan berlarian dengan berkas, printer meraung, dan Mei Lin ... masih kebingungan karena panggilan mendadak ke lantai 31. "Tuan Zhang ingin kau ke ruangannya sekarang," kata asisten Han Wei. "Hah? Aku'kan di marketing? Aku bahkan belum selesai input data!" "Perintah langsung." "Dia nggak bilang aku bikin kesalahan, kan?" "Tidak, tapi nada suaranya ... serius." "Oh Tuhan, aku mau dipecat tiga hari setelah magang." --- Sesampainya di lantai 31, lantai paling dingin dan mencekam di seluruh gedung. Mei Lin melangkah dengan hati-hati. Ruang kerja Zhang Yichen luas, bersih, dan terlalu sunyi. Pria itu duduk di balik meja besar dengan setelan hitam sempurna, wajah fokus pada layar laptop. "Tuan Zhang?" panggil Mei Lin pelan. "Masuk!" "Aku … dipanggil?" "Duduk!" Mei Lin duduk perlahan, menatap pria itu dengan gugup. Setiap detik terasa seperti wawancara masuk neraka. "Kau tahu kenapa aku memanggilmu?" tanya
Hari kedua magang.Divisi marketing, lantai 30.Mei Lin sudah duduk manis dan bersiap menunggu arahan. Ia bersumpah, tidak ada hal yang lebih menegangkan dari bekerja di perusahaan suaminya sendiri, kecuali harus berpura-pura tidak mengenalnya di depan 300 karyawan lain."Oke, Mei Lin. Kau cuma karyawan magang. Kau bukan istrinya. Jangan manggil dia 'Sayang'. Jangan manggil dia 'Suami'. Jangan tatap terlalu lama. Jangan ...,”"Nona Mei?""YA?! Eh, maksudku, ya, Pak!"Pria yang berdiri di hadapannya bukan Zhang Yichen, melainkan Han Wei --manajer muda divisi marketing, 27 tahun, berwajah ramah dan senyum menular."Kau tegang banget, ya. Santai aja, ini cuma kerja, bukan audisi Miss Universe," katanya sambil tertawa kecil.Mei Lin menatapnya, masih kikuk. "Maaf, aku cuma ... ehm ... grogi. Ini pertama kalinya aku magang di perusahaan besar.""Kalau begitu, anggap saja ini latihan. Aku pembimbing magangmu mulai hari ini.""Kau yang akan membimbingku?""Ya, kenapa?""Nggak, nggak apa-ap







