A-aku ...," ucapku terbata. Seakan ada batu yang mengganjal di dalam tenggorokan.
Sejujurnya aku takut untuk memeberitahunya. Aku takut Mas Rendi akan bertindak seperti ibunya. "Kamu kenapa,dek?" Mas Rendi mengelus pundakku perlahan. "Ada apa? Kenapa kamu tegang begini?""A-aku hamil, Mas." Ku tundukkan kepala. Aku begitu takut melihat ekspresi suamiku. Hening. Mas Rendi hanya diam tanpa menjawab. Apakah dia juga tak menerima kehamilanku? Tak bisa dipungkiri, aku memang belum siap hamil lagi. Bayangan melahirkan si kembar masih tergambar jelas di pelupuk mata. Rasa sakit saat diinduksi seakan masih terasa. Namun apa mau dikata jika kenyataan aku sudah berbadan dua. Mau tak mau harus menerimanya dengan senang hati. Di luar sana banyak pasangan yang susah memiliki keturunan. Sedang diriku dengan mudah Allah memberikannya. Lalu masihkah ada alasan untuk menolak kehadiran malaikat kecil yang Tuhan titipkan. "Mas, kenapa kamu diam?" tanyaku memulai pembicaraan. "Tidak kenapa-napa dek." Mas Rendi membuang muka. Aku jelas tahu jika dia tengah berdusta. Aku yakin Mas Rendi tak senang dengan kabar kehamilanku. Tapi kenapa semua terkesan menyudutkan ku? Toh, Mas Rendi turut andil dalam masalah ini. Kenapa selalu wanita yang dipojokkan jika hamil. Bukankah pria juga ikut andil penting di dalamnya? Aku menghirup oksigen dalam-dalam agar sesak di dada sedikit berkurang. Mas Rendi diam menatap lurus ke depan. Entah apa yang ia pikirkan. Namun terlukis jelas sorot khawatir di matanya. "Kamu tak suka aku hamil ya, Mas?" Ku lontarkan juga pertanyaan yang menyiksa diriku. Semakin aku diam, semakin sesak menyelimuti dada. Mas Rendi menatapku tajam. Entah apa yang di pikirkan tapi jika ia tak suka aku hamil. Itu jauh lebih menyakitkan dari ucapan ibu dan kakaknya. Ya, karena dia adalah ayah dari janin yang tengah ku kandung. "Kenapa kamu bilang seperti itu? Apa kamu kira aku akan membenci darah daging ku sendiri?" Dia mengangkat daguku. Mengunci mataku hingga membuatku diam membisu. Pipi terasa hangat saat air bah turun begitu saja. Rasanya aku tak sanggup menahan beban ini sendiri. Tapi jika aku becerita tentang ucapan ibu, apakah Mas Rendi percaya padaku? Ya Allah, haruskah aku diam membisu. Berpura-pura semua baik-baik saja walau kenyataannya luka di hati semakin dalam ku rasa. Aku lelah Ya Robb, selalu di salahkan oleh wanita yang sudah ku anggap sebagai ibuku sendiri. Salahkah jika aku mengadu pada suamiku. "Naya." Mas Rendi mengusap pipi yang basah oleh air mata. Meski bulir itu kembali jatuh membasahi pipi. "Kenapa Mas diam saat aku bilang hamil? Mas tak suka aku hamil kan?" ucapku parau. Tak perduli ia menilaiku seperti apa, aku hanya ingin mengeluarkan isi hatiku saat ini. Ya, karena aku mulai lelah hanya diam membisu. Diam, Mas Rendi tak menjawab perkataanku. Bahkan dia justru membuang pandang ke arah lain. Sesak melihat perlakuan suamiku. Kenapa ia tak bahagia seperti saat mendengar kabar kehamilan si kembar? Apa karena kehamilan ini tak diharapkan? "Benarkan, Mas tak senang aku hamil.""Bukan seperti itu, Mas hanya bingung bagaimana membesarkannya sedang gaji Mas pas-pasan. Untuk menghidupi kita berlima saja kurang."Ya Allah, kenapa pikiran suamiku seperti itu? Bukankah ia tahu, rejeki sudah ada yang mengatur. Bayi yang baru lahir pun sudah memiliki rejeki sendiri. "Ka-kamu mau seperti ibumu, Mas?" ucapku parau. Lagi sesak menyeruak ke dalam sanubari. "Belum ada nyawanya kan?"Ucapan ibu kembali terngiang di telinga. Rasanya bagai luka basah yang disiram air garam. Perih tak terperi."Apa maksudmu, Nay?" Mas Rendi menyatukan dua alis. Bingung dengan kata yang baru saja keluar dari mulutku. Cukup, bukan waktunya lagi menutupi kesalahan ibu. Biar Mas Rendi tahu bagaimana sikap ibunya padaku. "Apa kamu juga ingin menggugurkan kandunganku, sama seperti apa yang ibumu lakukan padaku? Kamu mau bunuh anak kita?" "Apa maksudmu!" ucapnya lantang. Aku tersenyum sinis ke arahnya. Tak percayakan dia padaku? Apa Mas Rendi kira aku hanya bersandiwara? "Kamu tak percaya ucapanku, Mas?""Bukan, bukan begitu. Rasanya ibu tak mungkin tega berbuat seperti itu."Inilah yang ku takutan. Ketika suami tak mempercayai ucapanku. Inilah yang disebut darah lebih kental dari air. "Apa kamu kira aku bohong! Kamu tidak tahunan jika ibu memaksaku minum obat pelancar haid dan menarik tanganku agar mau pergi ke dukun untuk aborsi."Mas Rendi terlihat tegang. Sesekali mengacak rambutnya. Frustasi. "Mungkin ibu belum tahu jika kamu sedang hamil, Nay." Mas Rendi kembali membela ibunya meski kenyataan sudah di depan mata. Dia belum percaya jika wanita yang telah membesarkannya begitu tega pada calon anaknya. "Ibu sudah tahu, bahkan ibu yang memintaku untuk mengecek urine dengan tespek." Mas Rendi terdiam. Ucapanku bagai halilintar yang dengan cepat menyambarnya hingga terkapar. "Kamu diam kan. Masih mau menyangkalnya!" ucapku lantang. "Mungkin ibh hanya bingung karena Salma dan Salwa masih kecil dan kini kamu hamil lagi. Jadi ibu mempunyai ide konyol itu."Ide konyol? Apa aku tak salah dengar? Ini sudah memperjelas jika ikatan darah lebih kental hingga jika ibu terbukti salah pun Mas Rendi masih membelanya. Lalu apa arti anak yang sedang ku kandung ini? Sampah kah? Jika dikira tak berguna akan di buang seenaknya. "Dengan membunuh anak kita!" ucapku lantang. Mas Rendi terdiam. Tak mungkin menyangkal ucapanku, toh apa yang ku ucapkan benar adanya. "Sekarang aku menjadi tahu, jika kamu lebih membela ibumu meski dia salah. Aku dan anak kita memang tak ada artinya untuk kamu!" Mas Rendi mengacak rambutnya kasar. "Nay, ini bisa dibicarakan baik-baik. Toh ibu tidak jadi melakukannya kan. Jangan memperbesar masalah sepele."Sepele? Mudahnya suamiku mengucapkan itu. Apakah sebuah nyata tak ada artinya? Aku tak pernah menyangka jika dia sama sekali tak membelaku. Kecewa dan benci singgah di hati. Ingin rasanya ku maki lelaki yang bergelar suami. "Nay." Mas Rendi menyentuh pundakku. Segera ku tepis tangannya. "Keluar! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!" Ku tunjuk ku arah pintu. Dengan gontai Mas Rendi keluar kamar diikuti Salma dan Salwa. Kini hanya tinggal aku sendiri meringkuk di atas ranjang dengan air mata bercucuran. ***Membuka pintu kamar. Sepi, tak ku temukan dua malaikat kecilku. Kemana Mas Rendi membawa Salma dan Salwa? Tumben, rumah ini seperti kuburan. Melangkah menuju dapur. Rasa haus membuat alu ingin meminum air putih dingin. Ku lirik meja makan, kosong. Tak ada lauk yang tersisa untukku. Bukankah tadi pagi aku masak ayam kecap. Tapi kenapa tak ada? Apa mungkin Mas Rendi dan si kembar menghabiskan semuanya. Aku membuka kulkas yang sempat ku tutup kembali. Menuangkan air dingin ke dalam gelas. "Naya!"Pyaarr!Suara teriakan lantang membuatku terkejut hingga gelas yang ada di tangan jatuh pecah menjadi serpihan kecil. Segera ku punguti pecahan gelas takut terinjak. "Maksud kamu apa bicara pada Rendi!" Ibu menarik tanganku hingga aku terjatuh. "Sakit, Bu!" Ku elus perutku. Semoga kamu kuat, nak. "Kamu ngadu kan pada Rendi! Jawab!""Na-Naya ...."Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen. Ikuti juga ceritaku yang lain.Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang
Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in
Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki
Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen
Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p
"A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki