Share

Bab 3

A-aku ...," ucapku terbata. Seakan ada batu yang mengganjal di dalam tenggorokan. 

Sejujurnya aku takut untuk memeberitahunya. Aku takut Mas Rendi akan bertindak seperti ibunya. 

"Kamu kenapa,dek?" Mas Rendi mengelus pundakku perlahan. 

"Ada apa? Kenapa kamu tegang begini?"

"A-aku hamil, Mas." Ku tundukkan kepala. Aku begitu takut melihat ekspresi suamiku. 

Hening. Mas Rendi hanya diam tanpa menjawab. Apakah dia juga tak menerima kehamilanku? 

Tak bisa dipungkiri, aku memang belum siap hamil lagi. Bayangan melahirkan si kembar masih tergambar jelas di pelupuk mata. Rasa sakit saat diinduksi seakan masih terasa. Namun apa mau dikata jika kenyataan aku sudah berbadan dua. 

Mau tak mau harus menerimanya dengan senang hati. Di luar sana banyak pasangan yang susah memiliki keturunan. Sedang diriku dengan mudah Allah memberikannya. Lalu masihkah ada alasan untuk menolak kehadiran malaikat kecil yang Tuhan titipkan. 

"Mas, kenapa kamu diam?" tanyaku memulai pembicaraan. 

"Tidak kenapa-napa dek." Mas Rendi membuang muka. Aku jelas tahu jika dia tengah berdusta. 

Aku yakin Mas Rendi tak senang dengan kabar kehamilanku. Tapi kenapa semua terkesan menyudutkan ku? Toh, Mas Rendi turut andil dalam masalah ini. 

Kenapa selalu wanita yang dipojokkan jika hamil. Bukankah pria juga ikut andil penting di dalamnya? 

Aku menghirup oksigen dalam-dalam agar sesak di dada sedikit berkurang. 

Mas Rendi diam menatap lurus ke depan. Entah apa yang ia pikirkan. Namun terlukis jelas sorot khawatir di matanya. 

"Kamu tak suka aku hamil ya, Mas?" Ku lontarkan juga pertanyaan yang menyiksa diriku. Semakin aku diam, semakin sesak menyelimuti dada. 

Mas Rendi menatapku tajam. Entah apa yang di pikirkan tapi jika ia tak suka aku hamil. Itu jauh lebih menyakitkan dari ucapan ibu dan kakaknya. Ya, karena dia adalah ayah dari janin yang tengah ku kandung. 

"Kenapa kamu bilang seperti itu? Apa kamu kira aku akan membenci darah daging ku sendiri?" Dia mengangkat daguku. Mengunci mataku hingga membuatku diam membisu. 

Pipi terasa hangat saat air bah turun begitu saja. Rasanya aku tak sanggup menahan beban ini sendiri. Tapi jika aku becerita tentang ucapan ibu, apakah Mas Rendi percaya padaku? 

Ya Allah, haruskah aku diam membisu. Berpura-pura semua baik-baik saja walau kenyataannya luka di hati semakin dalam ku rasa. 

Aku lelah Ya Robb, selalu di salahkan oleh wanita yang sudah ku anggap sebagai ibuku sendiri. Salahkah jika aku mengadu pada suamiku. 

"Naya." Mas Rendi mengusap pipi yang basah oleh air mata. Meski bulir itu kembali jatuh membasahi pipi. 

"Kenapa Mas diam saat aku bilang hamil? Mas tak suka aku hamil kan?" ucapku parau. Tak perduli ia menilaiku seperti apa, aku hanya ingin mengeluarkan isi hatiku saat ini. Ya, karena aku mulai lelah hanya diam membisu. 

Diam, Mas Rendi tak menjawab perkataanku. Bahkan dia justru membuang pandang ke arah lain. 

Sesak melihat perlakuan suamiku. Kenapa ia tak bahagia seperti saat mendengar kabar kehamilan si kembar? Apa karena kehamilan ini tak diharapkan? 

"Benarkan, Mas tak senang aku hamil."

"Bukan seperti itu, Mas hanya bingung bagaimana membesarkannya sedang gaji Mas pas-pasan. Untuk menghidupi kita berlima saja kurang."

Ya Allah, kenapa pikiran suamiku seperti itu? Bukankah ia tahu, rejeki sudah ada yang mengatur. Bayi yang baru lahir pun sudah memiliki rejeki sendiri. 

"Ka-kamu mau seperti ibumu, Mas?" ucapku parau. Lagi sesak menyeruak ke dalam sanubari. 

"Belum ada nyawanya kan?"

Ucapan ibu kembali terngiang di telinga. Rasanya bagai luka basah yang disiram air garam. Perih tak terperi.

"Apa maksudmu, Nay?" Mas Rendi menyatukan dua alis. Bingung dengan kata yang baru saja keluar dari mulutku. 

Cukup, bukan waktunya lagi menutupi kesalahan ibu. Biar Mas Rendi tahu bagaimana sikap ibunya padaku. 

"Apa kamu juga ingin menggugurkan kandunganku, sama seperti apa yang ibumu lakukan padaku? Kamu mau bunuh anak kita?" 

"Apa maksudmu!" ucapnya lantang. Aku tersenyum sinis ke arahnya. Tak percayakan dia padaku? Apa Mas Rendi kira aku hanya bersandiwara? 

"Kamu tak percaya ucapanku, Mas?"

"Bukan, bukan begitu. Rasanya ibu tak mungkin tega berbuat seperti itu."

Inilah yang ku takutan. Ketika suami tak mempercayai ucapanku. Inilah yang disebut darah lebih kental dari air. 

"Apa kamu kira aku bohong! Kamu tidak tahunan jika ibu memaksaku minum obat pelancar haid dan menarik tanganku agar mau pergi ke dukun untuk aborsi."

Mas Rendi terlihat tegang. Sesekali mengacak rambutnya. Frustasi. 

"Mungkin ibu belum tahu jika kamu sedang hamil, Nay." Mas Rendi kembali membela ibunya meski kenyataan sudah di depan mata. Dia belum percaya jika wanita yang telah membesarkannya begitu tega pada calon anaknya. 

"Ibu sudah tahu, bahkan ibu yang memintaku untuk mengecek urine dengan tespek." Mas Rendi terdiam. Ucapanku bagai halilintar yang dengan cepat menyambarnya hingga terkapar. 

"Kamu diam kan. Masih mau menyangkalnya!" ucapku lantang. 

"Mungkin ibh hanya bingung karena Salma dan Salwa masih kecil dan kini kamu hamil lagi. Jadi ibu mempunyai ide konyol itu."

Ide konyol? Apa aku tak salah dengar? Ini sudah memperjelas jika ikatan darah lebih kental hingga jika ibu terbukti salah pun Mas Rendi masih membelanya. Lalu apa arti anak yang sedang ku kandung ini? Sampah kah? Jika dikira tak berguna akan di buang seenaknya. 

"Dengan membunuh anak kita!" ucapku lantang. 

Mas Rendi terdiam. Tak mungkin menyangkal ucapanku, toh apa yang ku ucapkan benar adanya. 

"Sekarang aku menjadi tahu, jika kamu lebih membela ibumu meski dia salah. Aku dan anak kita memang tak ada artinya untuk kamu!" Mas Rendi mengacak rambutnya kasar. 

"Nay, ini bisa dibicarakan baik-baik. Toh ibu tidak jadi melakukannya kan. Jangan memperbesar masalah sepele."

Sepele? 

Mudahnya suamiku mengucapkan itu. Apakah sebuah nyata tak ada artinya?  Aku tak pernah menyangka jika dia sama sekali tak membelaku. 

Kecewa dan benci singgah di hati. Ingin rasanya ku maki lelaki yang bergelar suami. 

"Nay." Mas Rendi menyentuh pundakku. Segera ku tepis tangannya. 

"Keluar! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!" Ku tunjuk ku arah pintu. 

Dengan gontai Mas Rendi keluar kamar diikuti Salma dan Salwa. Kini hanya tinggal aku sendiri meringkuk di atas ranjang dengan air mata bercucuran. 

***

Membuka pintu kamar. Sepi, tak ku temukan dua malaikat kecilku. Kemana Mas Rendi membawa Salma dan Salwa? Tumben, rumah ini seperti kuburan. 

Melangkah menuju dapur. Rasa haus membuat alu ingin meminum air putih dingin. 

Ku lirik meja makan, kosong. Tak ada lauk yang tersisa untukku. Bukankah tadi pagi aku masak ayam kecap. Tapi kenapa tak ada? Apa mungkin Mas Rendi dan si kembar menghabiskan semuanya. 

Aku membuka kulkas yang sempat ku tutup kembali. Menuangkan air dingin ke dalam gelas. 

"Naya!"

Pyaarr!

Suara teriakan lantang membuatku terkejut hingga gelas yang ada di tangan jatuh pecah menjadi serpihan kecil. 

Segera ku punguti pecahan gelas takut terinjak. 

"Maksud kamu apa bicara pada Rendi!" Ibu menarik tanganku hingga aku terjatuh. 

"Sakit, Bu!" Ku elus perutku. Semoga kamu kuat, nak. 

"Kamu ngadu kan pada Rendi! Jawab!"

"Na-Naya ...."

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen. Ikuti juga ceritaku yang lain. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status