"Naya!"
Pyaarr!Suara teriakan lantang membuatku terkejut hingga gelas yang ada di tangan jatuh pecah menjadi serpihan kecil. Segera ku punguti pecahan gelas takut terinjak. "Maksud kamu apa bicara pada Rendi!" Ibu menarik tanganku hingga aku terjatuh. "Sakit, Bu!" Ku elus perutku. Semoga kamu kuat, nak. "Kamu ngadu kan pada Rendi! Jawab!""Na-Naya ....""Kamu memang menantu tak tahu diuntung! Sudah diangkat dari kemiskinan dan sekarang kamu berani mengadu pada Rendi!" Rambutku di tarik ke belakang. "Sa--sakit, Bu!" Ku pegang pangkal rambut agar rasa sakit sedikit berkurang. "Biar, biar kapok kamu!"Entah kenapa ibu seperti kesetanan. Menyiksaku di saat hamil begini. Sebenarnya apa kurangnya aku sebagai menantu hingga ibu suamiku masih saja membenciku. Apa karena aku dari keluarga miskin? Bukankah ibu juga tak kaya. Hanya memiliki rumah dan sawah peninggalan mendiang ayah Mas Rendi. Mas Rendi sendiri hanya bekerja di pabrik tekstil tak jauh dari sini. "Ampun, bu. Maafkan Naya," ucapku mengiba. Bukannya melepas tangannya dari rambutku. Ibu justru semakin menarik kencang hingga helai demi helai rambutku jatuh di lantai. "Bu ... Buk ...." Suara panggilan Salwa lalu di susul langkah kaki kian mendekat ke dapur. Aku bernafas lega. Setidaknya kali ini aku selamat dari murka ibu. Dan semoga selanjutnya ibu tak lagi kasar padaku. "Kali ini kamu selamat, tapi awas saja kalau kamu mengadu pada Rendi," ancam ibu lalu melepas cengkraman tangannya di rambutku. Rambut rontok berjatuhan di lantai. Nyeri dan sakit pun masih terasa di kulit kepala. Segera ku hapus bulir bening yang tadi menetes di pipi. "Bangun Nay, hati-hati kalau jalan agar tidak terpeleset. Untung saja kamu tidak kenapa-napa." Ibu berusaha membantu mengangkat tubuhku. Matanya mentap tajam ke arahku. Mengatakan jika aku harus diam. "Kamu kenapa, Nay?" Mas Rendi mendekat ke arahku. Tangan kekarnya menggendong ku kembali ke kamar. Air mata yang coba ku bendung, akhirnya jatuh juga. Sesak dada ini mengingat perlakuan wanita yang menyandang gelar ibu dari suamiku. Terlihat jelas jika ibu tengah bermain sandiwara. Di depan Mas Rendi ia bagai pahlawan tapi saat tak ada suamiku, ia bertindak semena-mena. "Ada yang sakit? Ini kenapa rambut kamu acak-acakan seperti ini? Perut tidak terbentur kan?" Mas Rendi memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Kedua tangannya sibuk merapikan tatanan rambutku yang berantakan. "Tadi hanya terpeleset kok, Mas. Pantatnya menyentuh lantai sedikit keras. Tapi tidak sakit kok.""Benar? Hanya karena terpeleset kan?" Aku menangguk. Diam adalah pilihanku saat ini. Karena percuma bercerita. Toh, Mas Rendi tak akan pernah percaya. Mas Rendi adalah contoh anak yang berbakti dan sangat menyayangi orang tuanya. Ia selalu berusaha memenuhi semua permintaan ibunya. Tak perduli jika keinginan itu begitu berat untuknya. Ucapan ibu seperti sebuah intruksi yang harus di turuti. Bagi suamiku semua yang diucapkan ibu adalah suatu kebenaran. Tak perduli jika ada hati yang terluka dengan sikapnya itu. Termasuk hatiku. Dari ke empat anak ibu, Mas Rendi-lah yang selalu menghormati dan menyayangi ibu dengan tulus. Namun semua itu tak berarti bagi ibu. Ibu mertuaku selalu mengutamakan harta. "Kamu istirahat di kamar. Mas mau membersihkan sisa pecahan gelas. Takut melukai anak-anak." Mas Rendi keluar dari kamar. Beberapa kali terdengar suara suamiku yang melarang si kembar mendekat. ***Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang. Ku buka mata perlahan. Benda-denda yang ku lihat seakan berputar, rasa pusing membuatku tak bisa bangun. Aku masih tiduran sambil menutup mata. Saat membuka mata kepalaku semakin bertambah pusing. Mas Rendi belum bangun. Dengkuran pelan masih terdebgar di telinga. Aku ingin membangunkan suamiku rasanya begitu berat. Untuk membuka mata saja aku tak sanggup. Apalagi harus bangun dan mendekati Mas Rendi yang ada di kasur bawah bersama Salma. "Mas, bangun Mas!" panggil ku pelan. Namun tak ada respon. "Mas, bangun!" ucapku sedikit keras. Berulang kali ku coba memanggil Mas Rendi tapi suamiku itu tak kunjung membuka mata. Justru dengkurannya semakin jelas terdengar. Tak mungkin aku berteriak, takut Salwa dan Salma terbangun. Aku belum siap mengurus dua malaikat kecil saat terbangun dengan kondisi kepala yang seperti ini. Menunggu Mas Rendi bangun membuat ku kembali terlelap dalam mimpi. "Naya bangun! Rendi bangun!" teriak ibu dari luar sambil mengetuk pintu kamar berulang kali. Ku buka mata perlahan walau terasa berat. Ku tatap benda kotak yang menempel di dinding kamar. Jarum jam sudah menunjukkan angka lima lebih. Ya Allah aku kesiangan. "Woy bangun! Jangan kelon terus. Sudah pagi ini!" Ya Allah .... Apa seperti ini cara membangunkan orang yang sedang tidur? Tak ada adabnya. Mas Rendi melonjak kaget mendegar teriakan ibu dari luar. Matanya membulat saat melihat jam dinding. "Naya, kenapa tidak bangunin Mas!" ucapnya kesal lalu keluar kamar. "Bu ... Mm ...." tangis Salma saat mendengar keributan pagi ini. Aku menggeser tubuh dengan susah payah. Kepala masih berdenyut. "Cup ... Cup ... Cup ...." Ku tepuk pelan pantat Salma hingga ia tertidur kembali. Dengan berpegangan dinding aku berdiri dan berjalan pelan ke luar kamar. Aku harus segera menjalankan ibadah wajib dua rakaat walaupun sudah hampir setengah enam. Baru beberapa langkah dari kamar sudah terdengar tangis Salwa. Mau tidak mau aku kembali masuk ke kamar. Ku tenangkan Salwa yang menangis mencari keberadaanku. Aku coba menidurkan Salwa kembali. Namun putri kecilku itu justru tak mau tidur lagi. Berjalan perlahan sambil menggandeng Salwa ke kamar mandi. Tak ku perdulikan tatapan sinis dari ibu. Yang terpenting saat ini adalah segera melaksanakan ibadah wajib meski sudah terlambat. "Salwa ikut ayah sebentar ya." Salwa mengangguk lalu berjalan pelan mencari keberadaan sang ayah yang entah di mana. Segera aku menuju mushola kecil yang terletak tak jauh dari ruang makan. Menjalankan ibadah wajib dua rakaat dengan bulir bening terus menetes. Sesak memenuhi rongga dada. Hanya pada-Nya aku leluasa mengadu. Menumpahkan segala rasa. "Sudah sholatnya? Buruan masak!" Ibu segera meninggalkan dapur dengan kompor yang masih menyala. Ya Allah, tubuhku terasa tak kuat berdiri. Namun ibu sudah memerintah untuk memasak. Tak mungkin aku menolak. Ibu akan semakin murka mendengar penolakanku. Bulir bening mengalir tanpa bisa ku bendung. Beginikah rasanya menjadi menantu yang tak dianggap? Sekuat tenaga aku berjalan. Kepala masih terasa berputar. Namun segera tak ku hiraukan rasa itu. Suami dan anak akan kelaparan jika aku tak segera memasak. Ku ambil beras lalu mencucinya di bawah air keran yang mengalir. Di rasa sudah bersih segera ku masukkan ke dalam magic com. Aku hanya perlu menunggu hingga nasi matang dengan sendirinya. Sebenarnya ibu tak terlalu suka jika nasi di masak dengan magic com. Tapi tak mungkin aku memasak nasi seperti biasa. Kepalaku terasa semakin berat. Air dalam ketel telah mendidih segera ku matikan kompor. Ku ambil termos stenlis di atas meja. Kepalaku semakin terasa berat. Bumi yang ku pijak seakan bergoyang dan ingin menelanku hidup-hidup. Aku berpegangan kuat pada meja. Perlahan menarik kursi di sebelah meja. Belum sempat kursi lu tarik. Tubuhku telah jatuh di lantai. Hingga semua nampak gelap. Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen.Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang
Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in
Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki
Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen
Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p
"A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki