Share

Pinjam Uang

"Bu... Mm ...." Suara tangis  Salma terdengar sampai di telinga Rendi yang asyik bermain bersama Salwa. 

Rendi tengah bermain kuda-kudaan bersama Salma. Lelaki berambut ikal itu merangkak dan Salwa duduk di punggungnya. Sudah persis seperti kuda. Tak ia hiraukan tangis sang buang hati. Ia tahu Naya pasti akan menenangkan tangis Salwa. Namun tangis itu tidak kunjung berhenti. Rendi mulai tersulut emosi. Ia mengira Naya tak becus mengurus anak. 

Dengan langkah kesal Rendi berjalan menuju kamar. Salwa masih menangis sesegukkan. Rendi melihat sekeliling, tak ia temukan sosok yang diharapkan bisa menenangkan Salwa. Kemana dia pergi, anak menangis dibiarkan saja. 

"Apa telinga Naya tuli hingga tak mendengar tangis Salwa. Keterlaluan! Kalau marah denganku jangan lapiaskan pada anak. Kasihan mereka tak tahu apa-apa tapi kena imbasnya," batin Rendi kesal. 

Rendi segera menggendong Salwa. Ditenangkannya sang buah hati. Tangan kanan menepuk pundak Salwa pelan. Memberi pengertian agar ia segera diam. Tak berapa lama tangis Salwa berhenti dengan sendirinya. 

"Naya! Naya!" teriak Rendi memanggil sang istri. 

Berulang kali ia berteriak memanggil nama ibu dari kedua anaknya. Namun tetap saja tak ada jawaban. Naya seakan hilang ditelan bumi. 

"Yah, inum!" pinta Salwa sambil memegangi lehernya. Rendi mengangguk lalu berjalan menuju dapur sambil menggendong Salwa. Salma berjalan mengekor sang ayah. 

Rendi terus berjalan sambil menahan emosi.Berkali-kali memaki sang istri. Rendi  mengira Naya pergi tanpa menyiapkan keperluan anaknya. Si kembar pun belum mandi tapi Naya sudah pergi tak tahu ke mana. 

"Astagfirullah ...," teriak Rendi saat tiba di dapur. Naya tergeletak tak sadarkan diri di lantai. 

Rendi segera menurunkan Salwa dari gendongan. Menepuk pelan pipi sang istri tapi nihil, tak ada reaksi dari Naya. 

Sekuat tenaga  Rendi membopong tubuh Naya ke dalam kamar. Tubuh sang istri terasa semakin kurus. Padahal ia tak melakukan program diet. 

"Kenapa kamu,Nay?" batin Rendi. 

Kedua buah hati Naya mengikuti langkah sang ayah. Tangis mewarnai langkah mereka. Kedua anak yang memiliki wajah bak pinang di belah dua itu menangis melihat sang ibu tak sadarkan diri. 

Salwa dan Salma memang belum mengerti apa-apa dengan keadaan sang ibu. Namun melihat ibunya tak menjawab saat dipanggil membuat dua anak kembar itu kian menangis. Tangis yang kencang mampu membangunkan sang nenek. Dengan muka di tekuk Yanti keluar dari kamar lalu menuju sumber keributan. 

"Ada apa ini? Kenapa Salwa dan Salma nangis?" Yanti mendekap kedua cucunya yang menangis di depan kamar mereka. Dilihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, kedua cucunya masih berantakan. Kotoran mata masih menempel dan rambut acak-acakan. 

"Apa yang dilakukan Naya dari tadi? Anak sampai tak terurus. Punya anak dua saja sudah  kewalahan dan sekarang hamil lagi. Memang keterlaluan dia!" batin Yanti kesal. 

Yanti menuntun kedua anak kecil ke dalam kamar. Dalam hati ia ingin memaki sang menantu yang sudah menelantarkan kedua cucunya. 

Yanti memang tak suka dengan Naya tapi dia menyayangi si kembar. Ini salah satu alasan dia menginginkan Naya menggugurkan kandungannya yang belum ada dua bulan. Bagi Yanti kehamilan Naya akan membuat si kembar tidak terurus dengan baik. 

"Naya!" teriak Yanti di muka pintu. 

 

Pundak Yanti naik turun melihat Naya yang tidur di atas kasur. Sementara Rendi mengobrak-abrik benda di atas meja, mencari minyak kayu putih yang biasanya ada di sana. 

"Istri kamu memang keterlaluan Ren, jam segini tidur. Sementara anak tidak terurus. Jam segini Salwa dan Salma belum mandi. Sarapan belum tertata di meja makan. Apa sih yang dia lakukan dari tadi?" omel Yanti seperti rel kereta api. Panjang. 

Rendi tak menghiraukan omelan ibunya. Dia masih mencari benda kecil berwarna hijau itu. Dan akhirnya Rendi menemukan benda kecil itu jatuh di bawah meja. Segera ia mendekat ke kasur. Mengoleskan minyak kayu putih di bawah lubang hidung Naya. 

"Istri kamu suruh bangun. Pekerjaan rumah masih banyak!"

Rendi mengelus dada. Dalam hati kesal dengan ucapan Yanti. Di saat ia sibuk menyadarkan Naya yang pingsan, sang ibu justru  bicara tak ada hentinya. 

"Naya pingsan, Bu! Dia tergeletak di lantai dapur. Sampai sekarang belum sadarkan diri!" ucap Rendi memberi pengertian pada ibunya. 

Yanti mencebik. Tak ada rasa khawatir pada menantu. Ia justru semakin kesal karena pekerjaan rumah akan ia kerjakan seorang diri. 

"Apa gunanya punya menantu jika pekerjaan rumah aku sendiri yang mengerjakan?" gumamnya. 

Yanti mengambil pakaian Salwa dan Salma di lemari plastik berwarna merah muda di sudut kamar. Wanita yang memakai daster berwarna kuning itu menggandeng Salwa dan Salma ke kamar mandi. 

Yanti meletakkan pakaian ganti si kembar di atas sofa ruang keluarga lalu segera memandikan cucu-cucuya. 

Satu ember besar berisi air telah disiapkan Yanti di kamar mandi. Kedua bocah itu segera masuk ke dalam ember berisi air. Kedua anak kembar itu asyik bermain air sambil tertawa. Yanti menyabun tubuh Salwa dan Salma secara bergantian. Kehangatan hubungan cucu dan nenek terlihat jelas di sana. 

Sementara di kamar, Rendi berusaha menyadarkan Naya. Dua kali mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung sang istri. Berharap Naya segera membuka mata. Dalam hati ia menyesali sikap dinginnya semalam. Bukan salah Naya jika sampai hamil karena dirinya turut ikut andil hingga akhirnya istrinya hamil. 

Naya membuka mata secara perlahan. Sudut bibir Rendi ditarik ke atas saat melihat Naya membuka mata. Rasa cemas di hatinya perlahan sirna. 

"Kamu kenapa,Nay?" tanya Rendi sambil membantu Naya bersandar ditembok. 

"Pusing Mas." Naya memegangi kepala yang masih terasa berdenyut. Benda-benda yang ia lihat seperti berputar-putar. 

"Tunggu sebentar, Mas buatkan teh hangat dulu." Rendi segera berjalan menuju dapur, membuatkan teh hangat untuk Naya. 

Tak berapa lama Rendi datang dengan membawa secangkir teh hangat. Dengan telaten Rendi membantu Naya untuk meminum tehnya. 

"Sekarang bagaimana, Nay? Masih pusing?" tanya Rendi setelah meletakkan cangkir teh di atas meja. 

"Masih, Mas." 

Rendi kebingungan harus bagaimana, tak mungkin ia memberi Naya obat sakit kepala yang dijual di warung. Naya tengah hamil tidak boleh minum sembarang obat. Ingin membawa Naya ke dokter tapi ia tak memiliki uang. Uang gajian telah habis untuk kebutuhan sehari-hari sedang gajian masih tiga hari lagi. 

"Periksa ke bidan ya, Nay. Mas antar!" ucapku walau hati bingung mendapatkan uang dari mana. 

"Apa Mas punya uang?" tanya Naya pelan. Sebenarnya Naya tak kuasa menanyakan hal itu. Ia takut menyinggung perasaan Rendi. 

"Mas akan cari uangnya. Kamu tunggu sebentar." Tanpa menunggu jawaban Naya, Rendi berlalu pergi meninggalkan Naya. 

Rendi sudah berdiri di samping Yanti yang sedang menyisir rambut Salma. Rambut lurus sang cucu ia kunci satu. Sudah seperti air mancur di taman kota. Salwa sendiri asyik bermain lego di depan televisi yang menyala. 

"Bu ...," panggil Rendi pelan. Ada rasa keraguan yang muncul di hatinya. Apa Yanti bersedia meminjamkan uang untuk biaya berobat Naya. 

"Ada apa Ren? Istriku masih pingsan?" tanya Yanti datar. 

"Em ... Itu ...," Mulut Rendi tiba-tiba kelu. Bingung harus memulai dari mana. 

"Ngomong yang jelas!" 

"Rendi mau pinjam uang untuk memeriksakan Naya ke bidan. Kasihan Naya, bu, dia dari tadi menahan sakit kepala. Rendi tak tega melihatnya. Tak mungkin kan, Rendi memberikan obat warung."

Yanti menghembuskan nafas kasar. Menatap tajam Rendi yang berdiri di samping sofa. 

"Ini yang ibu tak suka, ngurus dua anak saja kerepotan tapi pakai hamil segala. Giliran periksa minta ke ibu! Harusnya istrimu itu menuruti perkataan ibu kamarin. Tak mudah mengurus anak dengan jarak usia yang dekat." 

"Tolong bu, kasihan Naya," ucap Rendi mengiba. 

"Bagus digugurin saja biar tidak bikin repot!" omel Yanti. 

Nyeri yang kini dirasakan Rendi. Tak menyangka jika ibu kandungnya bisa berkata demikian. 

"Maksud ibu apa? Menggugurkan kandungan Naya?"

"Bukan, maksud ibu itu repot kalau punya anak dengan jarak yang dekat," kilah Yanti. 

Yanti merogoh saku dasternya. Mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan lalu memberikannya pada Rendi meski dengan rasa kesal. Ia tak mau Rendi terus bertanya maksud perkataannya tadi. 

Jangan lupa tinggalkan jejak. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status