Hana menahan tubuh Raka yang hendak berbalik. Ia bahkan dengan sengaja mendekapnya begitu erat. Hanya agar pria itu tetap melihat lurus ke depan.
“Jalan, Bang!”
“Abang cuma mau memastikan.”
“Jangan menengok ke belakang!”
“Kenapa, Sayang? Kamu takut? Ada Abang di sini.”
“Mereka enggak cuma sendiri.”
Raka yang semula berniat berbalik. Merasakan tangan Hana yang dingin dan mulai gemetar itu. Ia pun mengurungkan niatnya.
“Kita berhenti di Cafe itu, di sana cukup ramai. Aku yakin mereka enggak akan berani mengikuti sampai ke sana.”
“Sayang, tanganmu sampai gemetar begini.”
“Aku baik-baik saja, Abang. Aku bukannya enggak mempercayai kemampuan bela dirimu. Hanya saja. Aku takut jika mereka membawa senjata tajam. Aku sudah menghitungnya ada 3 orang, tapi sepertinya mungkin lebih dari itu.”
“Astaghfirrull
“Abang harus ke kantor polisi, pamit dulu ya Pak, Bu.”“Aku ikut, ya?”“Hm, kamu enggak apa ketemu Mamah?”“Cepat atau lambat kita juga pasti akan ketemu lagi ‘kan?”“Hm, tapi tetap di sampingku, ya. Jangan bertemu hanya berdua saja.”“Hati-hati ya, Nak. Semoga ada jalan terbaik buat kita semua,” ucap Pak Ramdan mengiringi langkah mereka yang hendak pergi.“Urusan Wira, biar nanti kita selesaikan. Kamu bisa menyusul Arham. Saya akan ke sana nanti, setelah di kantor polisi,” ucap Raka sebelum pergi.Arham pergi dengan sepeda motornya. Pria itu lebih senang menggunakan kendaraan roda dua, selain menghemat waktu, karena bisa menembus kemacetan. Ia juga menyukai adrenalin.~Di kantor polisi asisten rumah tangga Bu Sina masih menunggunya dengan setia. Raka meminta wanita paruh Baya itu untuk pulang. Ia merasa iba, karena rela menunggu m
“Ini baru dugaan,” kata Ayah, sembari tersenyum simpul. Lantas, sedikit melirik ke arah Hendrawan yang hanya diam. Sejak ketiganya memulai obrolan.Seolah mengerti Raka berusaha memecah suasana dengan menawarkannya camilan.“Makan aja dulu, baru kita diskusikan masalah ini, Yah. Jangan terlalu tegang.”Sadar akan Hana yang ingin protes, terlihat dari bagaimana ia bersiap membuka mulut. Seketika Raka, lekas menggenggam lengan istrinya itu. Hana menatap sekilas, lalu menangkap saat suaminya mulai menggerakkan kepalanya perlahan ke kanan dan kiri.Saat itu juga ia langsung diam.“Berapa lama masa tahanannya, Pak Hendrawan?” tanya Ayah. Sekaligus mengawali pembicaraan.“Seharusnya 2 tahun 8 bulan.”“Oke.”“Itu sangat lama, Ayah,” ucap Hana.“Kamu lihat itu, Raka! Pilihanmu memang enggak pernah salah. Wanita mana yang masih mau memperjuangkan
“Jadi 1 atau 2, Nona?” tanya Arham.Sawa langsung mendecak kesal. Wanita itu lantas, membuang wajahnya ke arah jendela.“Aku enggak melakukan apa pun.”“Kok bisa ya, sudah jelas ketahuan masih mau mengelak.”“Kalian sengaja menjebakku. Aku enggak tahu apa-apa.”“Oke, kalau udah enggak bisa bicara baik-baik. Kita selesaikan di luar.”Raka sudah bangkit dari tempatnya, sedang Arham bersiap mencengkeram lengan Sawa.“Lepasin! Aku memang melakukan semuanya, tapi tolong jangan membawa kasus ini kantor polisi.”“Sudah direkam, Ham?” tanya Raka kemudian.Arham yang sudah mengerti langsung menunjukkan pena perekam yang sejak tadi berada di genggamannya. Ia tampak memutar benda itu. Sengaja, hanya untuk membuat Sawa terancam.“Apa-apaan sih, Mas?”“Kamu yang apa-apaan. Aku sudah menikah, tapi kamu malah masih mengej
Hisapan demi hisapan itu seolah membuat candu. Sudah sekian lama ia telah meninggalkan kebiasaannya itu. Namun, entah hari ini. Ia benar-benar butuh ketenangan.Ingin marah, tetapi bukan salahnya. Ingin membenci, tetapi ia adalah orang yang mustahil dibenci. Ia selalu kalah oleh statement, “Surgaku ada di telapak kakinya.”Sampai batang terakhir, ia menyadari jika malam sudah semakin larut. Seharusnya Hana sudah terlelap, begitu pikirnya.Sayangnya, siluet di balik jendela ruang tamunya menandakan jika, ada seseorang yang tengah berjalan menuruni tangga. Ia buru-buru memadamkan rokoknya. Mengibaskan piyama, berharap itu mampu menghilangkan jejak abu dari aksinya barusan. Ia lupa jika, aroma khas roko sudah melekat di tubuhnya. Bahkan ji
Kedua petugas sipil itu menarik paksa Mamah Sina kembali ke sel. Wanita paruh baya itu, meronta minta dilepaskan.Raka yang saat itu masih menjadikan dirinya tameng untuk Hana. Kini mulai melonggarkan rengkuhannya. Melihat ketiganya semakin jauh dari tempatnya berpijak.Raka melihat bagaimana Hana terlihat bernafas dengan tak beraturan. Bagaimana dadanya kembang kempis dengan cepat. Seolah ia tak cukup mendapatkan pasokan oksigen ke paru-paru-parunya.“Sayang, kita pulang sekarang!”Tanpa menunggu persetujuan dari istrinya. Raka langsung membawa Hana ke luar tempat pengap dan lembap itu. Setelah sebelumnya ia membereskan kekacauan di meja.Ia membawa kembali kotak makan yang bercecer di bawah. Sementara, sisa makanannya dibersihkan petugas kebersihan.Teriknya sinar mentari siang itu, membuat Hana sampai menyipitkan matanya.“Sayang, minum dulu!”Mana kala mereka berada di dalam mobil, Raka menyerahkan a
“Tidak akan pergi sesuatu yang indah, kecuali digantikan dengan yang lebih indah,” ucap Raka kala Hana semakin melangkah jauh.Wanita itu tak berbalik, tetapi ia hanya memelankan langkah. Ia sengaja tak menahannya untuk tetap tinggal. Ia tahu jika, berat berada di posisi Hana sekarang. Ia mungkin butuh ruang dan waktu untuk bisa menenangkan diri, seperti ia yang sering kali butuh menepi sejenak setiap kali asa itu hampir pupus.“Dan sampai detik ini, kamu masih menjadi alasan kenapa hatiku enggak bisa menerima siapa pun, selain kamu.”Raka sengaja mengeraskan nada bicaranya. Hanya agar Hana masih bisa menangkap suaranya. Dan ya, usahanya tak mengkhianati. Hana berbalik dan berhenti melangkah.“Dia lebih cantik dan modis. Pengetahuannya luas, enggak sepertiku yang sederhana dan apa adanya begini.”“Aku menyukai kesederhanaanmu dan semua tentang kamu. Jadi peduli, apa tentang Sawa.”“Bohong
“Sabar, mungkin Allah mau angkat drajat kamu Mbak.”“Aamiin.”“Dia pasti enggak akan tinggal diam melihat pengorbanan seorang istri demi mempertahankan rumah tangganya.”“Aku berharap begitu, tapi aku paling lemah jika masalahnya tentang pengkhianatan.”“Posisimu kuat Mbak, ada mereka di sisi kamu! Mas Raka pasti bakal mikir ulang buat kembali sama mantannya itu.”Hana melirik pada kedua putranya yang kini telah menyuapkan sendok demi sendok berisi es krim. Melihat mulutnya yang berantakan. Wanita mengusap kedua wajah putranya dengan tisu secara bergantian.“Enak?”“Enak, Bunda. Makasih,” ucap Rafa.“Lihat mereka La, yakin masih takut buat menikah?”“Hm, lucu sih, tapi enggak mau ah. Nanti kalau dapat mertua jahanam macam Mbak, bisa mati berdiri aku.”“Haha mana ada orang mati berdiri, ngarang aja kamu
Hari itu mempertimbangkan permintaan putra dan menantunya. Pria berusia 56 tahun itu, untuk pertama kalinya menyambangi sel, tempat Sina ditahan.Melihat kedatangan mantan suaminya. Ekspresi Sina yang seperti ogah-ogahan itu, mendadak berubah. Ia tak menyangka jika yang datang kali ini Adi.“Sehat?” tanya Adi.“Mau apa ke sini?”Bukannya menjawab pertanyaan Adi, Sina justru memalingkan wajahnya ke arah lain.“Bertemu kamu.”“Enggak perlu, di antara kita enggak ada hubungan apa pun.”“Aku tahu, saya ke sini juga bukan untuk membahas hal itu.”“Terus mau apa?”“Menantumu –““Kenapa lagi dengan dia? Menggodamu lagi? Belum puas mendapat putraku, masih berharap orang lain.”Mendengar kalimat pedas dari mulut Sina. Adi malah terkekeh pelan. Sudah hampir sebulan ia melewati masa taha