Bab Utama : 2/2 Selesai. Bab Extra Author : 2/2 Selesai. Bab Bonus Gems : 0/1. Ada satu bab bonus gems hari ini ... ditunggu ya ...
Di kota Godam, barat jauh dari pusat Vandarian, malam menetes perlahan seperti tinta hitam di atas kanvas langit. Angin gurun yang dingin menyapu balkon tertinggi kediaman gubernur, membawa aroma pasir, garam, dan bunga kering.Di sanalah seorang gadis duduk, gaun putihnya berkibar seperti lembaran kabut bulan. Rambut hitam panjangnya terurai, sebagian menempel di wajahnya yang pucat karena lembap embun malam. Sepasang matanya menatap bulan purnama—penuh luka, tapi di balik luka itu, ada bara aneh yang sulit dijelaskan.Namanya... Selene Adamara Smith.Putri tunggal mendiang Gubernur Adam Smith—pria yang kepalanya pernah dipenggal oleh Kevin, di hadapan pasukannya sendiri. Darah, jeritan, dan tatapan terakhir sang ayah masih membekas jelas dalam ingatan Selene, seakan baru terjadi kemarin.Di tangannya, ia menggenggam erat sebuah kalung kristal, benda terakhir yang diwariskan sang ayah. Kristal itu berkilau pucat diterpa cahaya bulan, tapi jari-jemari Selene bergetar saat menyentuhnya
Malam itu, Nagapolis tidak pernah tidur. Kota yang dikenal sebagai jantung berdetaknya Negara Vandarian, selain Centralpolis, memamerkan kemegahannya tanpa henti.Lampu-lampu spiritual bergantungan di udara, memancarkan sinar biru, hijau, dan keemasan yang berkelip seperti bintang jatuh. Jalan-jalan utama dipenuhi riuh manusia dan cultivator, deras bagai arus sungai. Di setiap sudut, lentera roh menari ditiup angin malam, membentuk jejak cahaya halus yang membuat kota baja dan kristal roh itu seolah hidup.Gedung-gedung tinggi menjulang, atapnya berlapis formasi pelindung, memantulkan cahaya seperti perisai raksasa. Di beberapa distrik, paviliun megah milik sekte-sekte besar berdiri angkuh, pilar-pilarnya berlapis rune, setiap ukiran memancarkan aura kekuatan yang tak kasat mata. Di alun-alun utama, patung raksasa para pendiri Vandarian terpatri dalam kristal roh, menatap abadi ke arah cakrawala.Namun bukan hanya kemegahan yang membuat Nagapolis hidup. Malamnya dipenuhi hiruk pikuk p
Koridor utama Paviliun Dracarys malam itu sangat sunyi, hanya diterangi lampu kristal listrik yang menyala samar. Namun di depan pintu besar berukir naga hitam, ketukan keras Valkyrie terus menggema, seakan setiap dentumannya hendak memecahkan kesunyian malam.“Tuan Muda! Kau ada di dalam kan?!” serunya, nada suaranya tegas tapi menyimpan nada tak biasa—antara gusar dan... gelisah.Entah kenapa, tiba-tiba Valkyrie mencari Kevin di malam hari. Biasanya ia tidak ikut campur urusan majikannya ini.Tidak ada jawaban.Hanya suara samar dari balik pintu. Desahan. Tawa kecil. Dentuman ranjang yang bergetar.Wajah Valkyrie menegang. Kedua alisnya berkerut tajam, dan jantungnya berdetak lebih cepat tanpa ia sadari.“Apa... yang mereka lakukan di dalam?” gumamnya pelan, tapi nadanya lebih seperti geraman dan rasa penasaran.Tangannya mengepal, nyaris menumbuk pintu. Namun pada detik terakhir, ia menahan diri. Aura ilahinya bergetar, memancarkan tekanan yang membuat udara di sekitar mencekam.“T
Kamar utama Paviliun Dracarys dipenuhi cahaya temaram dari lampu downlight di atas plafon. Tirai hitam berhias bordir naga berkibar tipis, dihembus angin malam dari jendela yang terbuka. Di atas ranjang besar berhias ukiran obsidian, Claudia Xander bersandar dengan rambut tergerai, kulit putihnya masih terasa hangat setelah pelukan panjang yang mereka bagi.Kevin duduk di tepi ranjang, punggungnya telanjang, tubuhnya masih berkilat oleh keringat hasil permainan sensasi yang dilakukannya bersama Claudia. Pedang Dewa Ilahi bersandar di dinding, jauh dari jangkauannya tapi tidak sulit baginya untuk memanggil pedang kesayangannya ini dari jauh. Ia juga tidak menyimpan Pedang Dewa Ilahi di dalam Cincin Ruang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tampak santai—bukan sebagai tetua, bukan sebagai pembunuh, hanya sebagai pria biasa.Claudia merapatkan tubuhnya, menyandarkan kepala di bahu Kevin. “Chief...” suaranya lembut, nyaris berbisik. “Kau tahu, sejak pertama kali kita melakukann
Udara sore di Paviliun Dracarys terasa hangat namun berat, seakan masih menyimpan sisa aroma darah dan debu dari medan perang. Cahaya matahari menembus jendela paviliun, membias pada pilar-pilar batu hitam yang menjulang kokoh. Di ruangan utama, Claudia Xander berdiri di hadapan Kevin dengan napas sedikit tercekat. Tangannya masih menggenggam kotak kecil hitam berlapis segel spiritual—di dalamnya bersemayam Pil Racun Iblis yang berhasil mereka rebut dari tangan Raisa Aleta dengan susah payah.“Chief...” suara Claudia terdengar agak ragu tapi penuh semangat. “Kami berhasil mendapatkan Pil Racun Iblis dari Raisa Aleta. Apakah Chief masih memerlukan penawarnya?”Kevin yang tengah duduk santai di kursi batu hitam berhias ukiran naga menegakkan tubuhnya. Sepasang matanya yang tajam berkilat sesaat, lalu ia menyeringai kecil. “Kalian benar-benar berhasil?” Kevin tertawa ringan, suaranya bergema dalam ruangan. “Hebat! Padahal sebelumnya... kau sampai ketahuan ketika menyamar, bukan? Hahaha!”
Nagapolis—kota terbesar di daratan timur, pusat perdagangan, sekte, dan markas para kultivator terkuat. Menara-menara kristal menjulang, dinding baja bercampur sihir melingkarinya, dan sungai emas yang bercahaya membelah kota megah ini. Di tengah hiruk pikuknya, berdiri satu bangunan baru yang menyedot perhatian semua mata:Paviliun Drakenis.Megah. Hitam berlapis emas. Pilar-pilar naga menjulang dengan ukiran api dan es. Bendera besar bergambar naga hitam dengan mata keunguan berkibar gagah, menantang langit. Semua yang melihat tahu—paviliun ini bukan sekadar paviliun baru, tapi ancaman bagi seluruh sekte lama.Kevin Drakenis melangkah masuk bersama tiga orang di sampingnya:~ Ravena Xenagon, dingin, misterius, dengan aura iblis es yang menekan udara.~ Helena Caraxis, elegan namun menyimpan bara api persaingan.~ Valkyrie, tenang, bersenjata pedang petir Arashi-No-Hime, selalu menjadi penyeimbang.Di aula utama yang baru selesai dibangun oleh tangan Claudia, Kevin berdiri di depan si