Bab Bonus Gems : 1/2. Bab Extra Juni : 0/1. Bab Utama : 2/2 Selesai. Pertarungan dasyat akan terjadi ... bisakah Kevin mengatasinya?
Liam Arka perlahan mengangkat tongkatnya, dan di saat yang sama, cahaya emas gelap mulai bergelung di sekujur benda itu, seakan tengah diberkahi energi purba.“Seribu Nafas Naga!!” katanya, suaranya bergema, bergelombang, memenuhi seluruh medan pertempuran.Langit seketika menggelap, awan bergumpal dan bergelung, kemudian … seribu ular api emas meledak keluar dari tongkatnya, melesat ke segala penjuru, bagai lidah neraka yang tengah mencari mangsa.Api itu bukan api biasa—setiap ekor ular tampak hidup, bergeliat, mencari aura makhluk hidup, kemudian menyelam ke dalamnya dan memanggang dari dalam, seakan memang dimaksudkan untuk melenyapkan bukan hanya raga, tapi juga jiwa.Kevin melompat, melesat ke angkasa, melawan gelombang api yang tengah bergelung di bawahnya. Dalam cahaya perak yang memenuhi tangannya, rune dan lambang kuno mulai tampak, menyatu, dan bergelung di lengan dan telapaknya.“Flying Gods Blast!” katanya sambil melepaskan sebuah pedang spiritual, murni, perak, dan berg
Langit di atas Pegunungan Abadi mulai bergelayut merah darah. Kabut yang tadi masih pekat perlahan menipis, dan di balik selubungnya … ratusan siluet mulai tampak. Sosok-sosok berjubah hitam dan emas, masing-masing menyandang lambang naga melingkar di dada, tengah melangkah, perlahan tapi tak terhentikan.“Pengintai mereka tiba lebih dahulu dari kita.” Valkyrie bergumam, matanya menyala, menyimpan gelombang kemarahan dan kewaspadaan.Kevin mengangguk perlahan. “Mereka tahu aku datang.” katanya, lalu menyungging senyum tipis, dingin dan gelap. “Dan … mereka tak akan membiarkanku keluar hidup-hidup.”Valkyrie menyelipkan liontin peraknya kembali ke balik baju zirah, menyembunyikan cahaya yang masih bergelung di kalung itu. Wajahnya mengeras, rahangnya terkatup erat. “Kalau begitu … kita harus membuka jalan … dengan darah.Kevin perlahan membuka topengnya, menyibakkan sebagian wajahnya. Sepasang mata, yang sebelah kanan bersinar gelap, dan sebelah kiri bercahaya keemasan, tampak tengah b
Kabut di Pegunungan Abadi mulai menipis, bergelayut di sela-sela bebatuan yang basah dan akar-akar raksasa. Aroma tanah yang tercemar racun spiritual masih mengambang di udara—pahit, menusuk, dan bikin pernapasan terasa berat—meskipun cahaya pagi perlahan menyelusup dari celah-celah awan yang tengah bergeser.Angin, yang sebelumnya terdiam bak patung, mulai bergeliat pelan. Hembusannya membawa bisikan dari dunia lain—suara-suara yang tak kasat mata, seakan tengah menceritakan kisah kematian dan kelahiran yang terjadi di tempat itu.Di tengah lapangan yang masih diselubungi sisa-sisa kabut, Kevin berdiri tegak tanpa bergeser, seakan akar-akar pegunungan tengah menahan kakinya. Topeng iblis yang dikenakannya masih menyala samar, cahaya merah gelapnya tampak bergelung di sekitar wajahnya, bagaikan bara yang tengah meredup.Sosok gadis yang menyebut dirinya Iblis Ashura, yang tadi masih tampak di depannya, kini lenyap—bukan mati, tapi melarut ke dalam sebuah celah dimensi yang terbuka seb
Setelah Axel lenyap, menyisakan pusaran gelap yang perlahan pudar, Kael dan Helena melangkah keluar dari lorong yang tengah runtuh, menyibakkan debu dan kerikil yang bergemeretak di bawah langkah mereka. Malam tengah turun, menyelubungi jalanan Risingdale dengan cahaya neon yang bergelung di tengah asap dan kesunyian.Helena masih menyimpan gelisah di dadanya. Di sebelahnya, Kael melangkah tenang, tapi matanya yang perak masih bergelombang, menyimpan sisa pertempuran dan rahasia yang tengah bergelut di dalam jiwanya.Tak butuh waktu lama sebelum langkah keduanya membawa mereka ke depan Bar Red Smoke. Tempat itu hidup sesuai namanya—dipenuhi gulungan asap rokok tebal yang berayun lambat di bawah lampu temaram. Asap-asap itu melayang seperti roh gelisah yang tersesat, menari di langit-langit rendah yang seolah tak pernah mengenal sinar matahari. Aroma tembakau tua bercampur alkohol murahan, menusuk hidung, membuat paru-paru terasa penuh bahkan sebelum sempat menghirup udara segar.Helen
Suara yang tenang namun tegas itu bergema dari balik kabut. Langkah demi langkah, Kael keluar dari kegelapan. Mata kirinya bersinar perak, dan lengan kirinya perlahan berubah menjadi bentuk kristal dewa—kilauan biru dan perak yang terbentuk dari energi murni.Helena melirik ke arahnya, cahaya ungunya masih bergelung, tapi hatinya yang tadi gelisah, mulai menemukan secercah harapan. Dalam kegelapan yang tengah melanda, cahaya perak dan ungu mulai bergabung—perlawanan tengah dimulai."Kau sentuh satu helai rambutnya lagi, Axel…"Suara Kael pecah, bergulung di lorong yang dipenuhi bayangan, menghantam dinding retak seperti badai yang menahan diri untuk meledak. Suaranya bukan sekadar ancaman. Bukan gertakan kosong dari seorang cultivator biasa. Itu sumpah. Itu vonis kematian. Dan lorong itu—gelap, berdebu, sunyi seakan mematung—menjadi saksi sumpah tersebut."…Aku akan hancurkan topengmu. Dan aku akan cabut satu per satu rahasia busuk yang kau sembunyikan di balik wajah palsumu."Di mata
Lorong di luar ruang arsip tengah diselimuti kabut hitam pekat, bergumpal dan bergelung bagaikan asap hidup yang tengah mencari mangsa. Dalam gelap yang bergelayut, suara langkah yang seharusnya tak mungkin terdengar bergema—perlahan, teratur, dan lembut—namun di telinga spiritual, langkah itu bergemuruh bak guntur yang tengah bergulir di kejauhan.Dinding-dinding lorong mulai retak, seakan tak mampu menahan energi gelap yang tengah mendekat. Dalam celah-celah retakan itulah sebuah siluet perlahan terwujud. Sosok berjubah hitam, kepalanya terlindung di bawah sebuah tudung gelap, dan wajahnya… sebuah topeng obsidian tak bernyawa, licin dan dingin, tanpa mata, tanpa mulut—hanya sebuah permukaan gelap yang bergelayut di tengah kegelapan.“Axel Gods.”Nama itu jatuh dari bibirnya seperti kutukan. Helena bergidik, seolah sebuah gelombang es menjalari tulang belakangnya. Napasnya terhenti sesaat, dan meskipun wajahnya tetap tegar, gemuruh ngeri perlahan mendesak dari dalam dadanya. Ia tahu