Bab Utama : 3/3 Selesai. Bab Bonus Gems : 3/3 Selesai. Bab Extra Author : 1/1 Selesai. Bab Extra Author merupakan bab terakhir malam ini ... selamat beristirahat.
Tubuh Valkyrie terangkat, ringan namun tajam, tak ubahnya anak panah yang ditembakkan dari dewa angin sendiri.“Heaven-Piercing Storm Fang!”Suara pekiknya menggema tinggi, tak hanya menembus langit malam, tapi juga mengguncang sumsum tulang setiap orang yang mendengarnya. Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan hanya kekuatan, tapi ketetapan ilahi, seperti putusan yang tak bisa diganggu gugat.Dari ujung Arashi-no-Hime, petir meledak. Bukan sembarang petir, tapi arus perak tebal dengan kilatan ungu pekat di dalamnya—bentuk murni dari qi badai surgawi yang telah disempurnakan selama seratus tahun. Kilatan itu tak hanya mengiris udara, tapi membelah dimensi, menciptakan celah sesaat di ruang antara langit dan bumi.SREAAAKK!!Benturan terjadi.Tombak petir komandan Caelestis menyambut serangan itu, namun ia seperti mencoba menahan badai dengan ranting. Dalam sepersekian detik, tombaknya terpental, aura petir di dalamnya tercerabut paksa. Tubuhnya berputar di udara, seperti boneka kain da
Valkyrie... dia bukan lagi sekadar pengikut Kevin Drakenis. Dia adalah pemurni zaman, yang datang membawa jawaban dari langit—dalam bentuk pedang, badai, dan keputusan akhir.Tanpa menunggu aba-aba, Valkyrie melompat ke udara, tubuhnya berputar seperti bintang jatuh, langsung menuju barisan prajurit yang mulai gemetar ketakutan.“Raging Gale-Hundred Cuts of Tempest!”SRRRAAAKK!!!Seratus tebasan muncul dalam sekejap, masing-masing membentuk busur angin tajam yang menghujani barisan pasukan Caelestis. Tebasan-tebasan itu tidak terlihat seperti angin, tetapi seperti sayatan dimensi. Tubuh-tubuh terpotong bahkan sebelum rasa sakit sempat dikirim ke otak.Kabut darah dimana-mana. Tubuh terpental. Jeritan tertahan.Namun mereka yang selamat langsung menutup barisan, mata mereka tidak lagi memperlihatkan rasa takut, melainkan tekad fanatik yang tak bisa dibeli dengan nyawa.Salah satu komandan yang terluka tadi mengayunkan senjata besar seperti kapak langit, membelah angin ...“Jangan biark
Langit di atas Menara Kota Dewa tidak lagi hanya hitam oleh malam. Ia menyimpan kesunyian yang tidak biasa, seolah menjadi saksi abadi bagi dua sosok yang kini melangkah dengan tujuan yang tak tergoyahkan. Awan-awan kelam menggantung rendah, meliuk seperti ular naga, berputar mengelilingi puncak menara dengan tekanan qi yang nyaris tak tertahankan.Kevin dan Valkyrie berdiri di kaki menara. Di sekitar mereka, badai qi mengalir seperti pusaran neraka dan surga yang bertabrakan. Suara gemuruh spiritual berdentum dari kejauhan, kadang terdengar seperti denting logam, kadang seperti jerit jiwa-jiwa yang terlupakan.Valkyrie, berdiri di atas puncak reruntuhan balok qi yang sudah retak, menatap ke arah menara megah yang menjulang di depannya. Pandangannya tajam, seperti pedang yang tak pernah tumpul oleh keraguan.“Ini waktunya,” gumamnya. Suaranya nyaris tertelan oleh deru angin, namun cukup untuk didengar langit yang menjadi saksi malam itu. “Menara ini bukan lambang keadilan. Ini simbo
Kelap-kelip api kecil masih menari di ujung reruntuhan. Bara merah menyala di balik puing-puing, seperti bara dendam yang tak pernah padam. Bau besi panas merayap di udara, menggigit lubang hidung seperti peringatan kematian yang baru saja lewat. Tanah yang dipijak bergetar pelan—tidak karena gempa, melainkan dari sisa-sisa energi spiritual yang tak sepenuhnya menghilang. Masih ada suara samar seperti gumaman roh... keluhan dari jiwa-jiwa yang tercerai tanpa sempat meminta ampun.Di tengah semuanya, Kevin berdiri tegak, tubuhnya menjadi poros keheningan. Sosoknya tampak membatu, seperti patung kuno yang ditinggalkan para dewa dan iblis untuk saling mengenang luka-luka lama. Jubahnya sobek, bagian bahunya hitam terbakar. Rambut panjangnya menjuntai lembab oleh darah, menetes pelan dari ujung ke tanah yang merah pekat.Matanya... kosong. Dingin. Tajam. Tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi belas kasihan.Tak jauh dari situ, Valkyrie berdiri di balik bayangan reruntuhan, tangan kanannya ma
Langkah-langkah mereka awalnya terdengar mantap. Derap sepatu baja para prajurit Caelestis menghantam tanah dengan irama keyakinan. Tapi semakin mereka mendekat ke pusat kehancuran itu—semakin berat kaki mereka melangkah. Seolah bumi sendiri mencoba menahan mereka, memperingatkan mereka agar tidak maju lebih jauh.Kini, barisan terakhir, dua lusin prajurit elit dengan zirah bercahaya dan senjata spiritual terasah sempurna, berdiri kaku di ambang batas tak kasatmata. Hanya dua puluh meter dari titik yang telah berubah menjadi legenda kelam dalam hitungan menit.Dan di pusatnya ... berdiri satu sosok.Kevin Drakenis.Atau mungkin ... sesuatu yang pernah menjadi Kevin Drakenis.Dia tidak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya melayang—sekitar satu meter di udara—tidak disangga oleh sayap, tidak ditopang alat, melainkan oleh gravitasi miliknya sendiri. Sebuah medan tekanan tak kasatmata berdenyut di sekeliling tubuhnya, membuat debu dan puing-puing ringan mengambang seperti tertahan di antara wak
Langit di atas Perfektur Caelestis masih belum pulih.Awan-awan qi retak seperti kaca yang digores ujung pisau surgawi. Cahaya bulan tak lagi terasa hangat—hanya menjadi saksi pucat dari pertumpahan darah yang tengah berlangsung.Kevin, sosok itu berdiri di atas puing-puing menara yang telah hancur. Di tangan kanannya, Pedang Dewa Ilahi terangkat tinggi, seperti pilar penghakiman yang memecah langit. Pancaran cahaya dari bilahnya bukan keemasan agung, melainkan kilau dingin, menyilaukan seperti obsidian beku yang memantulkan sinar bulan.Tiada suara selain desiran napas para prajurit Caelestis yang tersisa—dan detak jantung mereka yang menggila dalam dada.“PHANTOM GODS BLAST!”Suara Kevin membelah udara seperti gemuruh di tengah badai.Dan dalam sekejap, pedangnya mengayun. Gerakannya tampak tenang, bahkan anggun, namun di balik itu, kekuatan ilahi mengalir seperti tsunami tanpa ampun.Dari bilah pedang itu, sebuah busur energi transparan tercipta. Diam dan tak berwarna seperti angin