Share

4. Trouble Maker

"Cuman ini yang bisa aku lacak."

Kami sedang berkumpul di meja makan. Raka turun sambil menyerahkan tumpukan kertas yang dia jepit diatas papan dada.

Aku pikir ini akan setebal aset-aset keluarga Theodora. Nyatanya kurang dari lima puluh lembar.

"Apa... Enggak sesuai ekspetasi Kakak?" Raka mulai bergabung menyantap makan malam miliknya.

"Aku jamin! Ini paling akurat. Kakak mau cari dimanapun engga akan seakurat yang aku temukan ini." Lanjutnya lagi.

"Kenapa bisa begtu?"

"Karen Tuan sudah menghapus dan mengganti sebagian besar data dirinya."

"Wah. Aku pikir selama ini Tuan memang anak kandung dari Tuan besar."

"Maksud kamu?" Tanyaku pada Genta yang mulai memperhatikan Raka.

"Sepertinya kalau aku yang ngomong, kalian engga akan percaya. Gimana kalau Kak Eva aja?" Usul Raka sambil menyendokan nasi ke mulutnya.

Kini lagi-lagi semua mata tertuju pada Eva.

"Tuan adalah menantu Tuan besar. Sama seperti kalian. Dia adalah anak yang diselamatkan dari peperangan antar anggota mafia."

"Apa Kakek hanya memiliki Ibu?"

"Nyonya merupakan anak bungsu keluarga Theodora. Sebelumnya Tuan besar memiliki empat putra dan satu putri."

"Semua putranya sudah mati dibantai. Tersisa hanya Nyonya, karena beliau terlebih dahulu di pindahkan ke negara Asia sejak umur sepuluh tahun."

"Sebelum menjadi menantu, Tuan adalah tangan kanan Tuan besar. Beliau sangat menyayanginya."

"Jadi ketika Nyonya memberitahu ingin menikah dengan Tuan. Tuan besar tidak terlalu mempermasalahkannya."

"Anthea Theodora, adalah putri kandung mereka?" Ini masih tebakanku saja.

"Betul Tuan Muda. Nyonya hampir tidak bisa memiliki keturunan. Karena ada kangker dalam rahimnya."

"Tapi Nona membawa keberuntungan. Nona bisa sehat hingga saat dilahirkan. Maka dari itu setelah operasi sesar. Rahim Nyonya ikut diangkat."

Jujur aku lelah. Terlalu banyak informasi yang aku serap hari ini. Kepalaku juga mulai pusing.

"Sebaiknya Tuan muda istirahat dan jangan lupa untuk minum obatnya."

"Ide bagus Genta. Kalau begitu aku pergi ke kamar dulu."

---

Dari dalam lemari aku masih bisa melihat situasi ruang kamarku.

Para pria bersenjata itu datang dan membombardirkan peluru ke segala arah.

Aku ingin teriak tapi suaraku tidak keluar sama sekali.

Hanya keringat dingin yang terus membasahi pelipis kepalaku.

Salah satu dari mereka mencoba mendekati lemari tempat aku bersembunyi.

Tidak! Aku harus tetap bersembunyi disini sesuai perintah Mommy.

Tapi siapa yang aku tunggu, bagaimana kalau aku tidak bisa selamat seperti harapan Mommy.

"Tuan muda!"

Panggilan Eva membuatku terbangun. Hah! Aku memimpikannya lagi?

"Anda tidak apa-apa?" Eva langsung nendekat ketepi tempat tidurku.

"Kakak berteriak cukup kencang." Raka menunjukan raut cemasnya.

"Kami semua jadi khawatir. Apa yang Tuan muda rasakan. Ada yang tidak aku ketahui?" Genta mulai memeriksa denyut nadi dan jantungku secepat dokter profesional.

Aku juga tidak pernah menanyakan apakah Eva dan juga Genta memang memiliki sertifikat lulusan kedokteran.

Atau mereka terbiasa terlatih menghadapi situasi macam ini. Situasi apapun yang dialami keluarga Theodora tidak boleh diketahui publik.

"Awalnya aku pikir itu hanya mimpi buruk."

"Lalu mimpi itu, sangat terasa seperti aku pernah merasakannya. Ingatanku yang hilang."

"Ini akibat kepala Tuan muda sering terbentur. Memori yang hilang bisa muncul secara perlahan-lahan." Jelas Genta.

"Apa itu tidak mengganggu anda? Jika mengganggu saya akan meminta resep penenang untuk anda." Saran Eva.

"Untuk sementara tidak perlu. Maaf jika nanti aku tetap mengganggu kalian dengan teriakanku pada tengah malam."

"Bukan mengganggu sih Kak. Kita yang kahwatir kalau Kakak kurang istirahat itu mempengaruhi pemulihan Kakak." Benar apa yang di tuturkan Raka.

Aku melirik nakas yang tidak jauh dari tempat tidurku. Banyak botol-botol obat berjejer disana.

Hampir semua permukaan nakas tertutupi oleh botol obat. Aku sudah lelah meminum mereka.

"Apa mau saya buatkan janji dengan psikiater?" Genta mulai mengecek ponselnya.

"Tidak, aku malah ingin mengurangi insterkasi dengan orang-orang selain kalian."

"Aku tidak tahu reaksi ayah, kalau tahu aku masih hidup." Semuanya terdiam, setuju dengan apa yang aku ucapkan.

"Sebaiknya kalian kembali ke kamar kalian." Merekapun langsung mengikuti apa yang aku katakan.

Kenapa selalu stuck disana, tidak bisakah aku mengingat secara keseluruhan ingatanku pada waktu itu.

---

"Kenapa kalian belum bersiap-siap?" Aku melihat Raka tengah bermain playstation dan Genta sedang mendengarkan lagu sambil membaca buku.

"Memangnya kita mau pergi kemana?" Di sela-sela permainannya Raka menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi ukuran 163 inci.

"Apa Tuan Muda tidak apa-apa?" Genta mulai mencabut earpohne yang di gunakannya.

"Jangan terlalu menundanya terlalu lama. Itu tidak baik."

"Hm, sayangnya kami tidak bisa berada dilapangan." Jelas Genta yang membuat dahiku berkerut.

"Itu perjanjiannya. Kami bukan tugas di lapangan." Lanjut Raka.

Jadi benar mereka sudah ada porsinya masing-masing. Tidak mencampuri urusan pekerjaan orang lain.

Fokus hanya pada tugas yang diberikan pada mereka.

"Mungkin Kakak akan bertemu kembarannya Kak Eva."

"Kembaran?"

"Mereka lebih sering diajak Tuan besar kalau soal lapangan."

"Namanya Kak Evan. Dia bukan kembar yang lahir secara bersama-sama. Tapi muka mereka sangat mirip satu sama lain."

Genta lebih rinci jika menjelaskan apapun dibandingkan Raka.

"Oh iya. Evan seumuran sama kami Kak. Jadi nanti Kakak enggak usah sungkan sama dia."

Benar saja. Keduanya datang, dengan setelan jas hitam yang sama.

Kalau Eva tidak berambut panjang mungkin aku benar-benar tidak bisa membedakan mereka berdua.

Antara Eva yang terlihat muda dari umurnya atau Evan yang terlihat lebih tua. Cukup membuatku tersenyum memikirkannya.

"Evan." Ah, aku mengerti. Evan memang berwajah boros. Dia terlihat lebih dewasa dari umurnya.

"Trouble Maker." Celetuk Raka mulai merangkul Evan sambil menepuk pundaknya.

"Ah, bukan konotasi negarif kok. Kakak tenang saja." Sambungnya lagi.

"Dia umpan yang baik, serta pengendali situasi jika mulai tidak sesuai dengan rencana." Tutur Genta.

"Aku lebih suka menyebutnya dengan plan B." Itu terdengar positif dari pada trouble maker.

"Itu terlalu norak. Aku lebih suka di sebut Trouble Maker." Evan tersenyum dengan hanya mengangkat ujung bibirnya sebelah.

"Dia menamai dirinya sendiri begitu Kak!" Sewot Raka.

"Bersikaplah sopan di depan Tuan muda. Perhatikan Genta sebagai contoh."

"Ah! Kak aku ini adikmu. Bukan Genta. Genta. Genta mulu."

Bertambah satu orang normal lagi di rumah ini. Mungkin suatu hari nanti, rumah ini akan menjadi hangat.

Layaknya rumah yang memiliki keluarga lengkap.

Memikirkan tentang keluarga lengkap aku jadi merindukan keberadaanku ditengah keluarga Theodora.

Lebih rindu lagi dengan dirinya. Apa dia hidup bahagia? Walaupun dia harus dijodohkan dengan suaminya.

Aku berharap dia bisa mendapatkan suami yang pantas untuknya. Mencintai dan melindunginya sepenuh hati.

Raka, mungkin suatu hari nanti aku butuh bantuanmu untuk mencari tahu tentangnya.

Tidak sekarang, sebelum aku memiliki kekuatan untuk bertemu dengannya.

Tanpa ketakutan yang tidak pasti, mungkin akan hasilnya akan sama dengan yang terakhir.

"Jadi kalian berdua yang akan menemaniku ke pelabuhan?"

"Tentu Tuan muda." Evan mengcungkan tangannya.

"Boleh aku memanggil Kakak, kayak Raka memanggilmu."

"Evan!" Eva mulai geram dengan kelakuan adiknya yang dia rasa kurang sopan.

"Kenapa lagi? Orangnya juga belum jawab dan kelihatan baik-baik saja."

Aku tersenyum melihat tingkah kedua kakak adik itu.

"Tentu saja boleh, kalau Eva dan juga Genta ingin memanggilku dengan Kakak juga boleh."

"Tuh dengerin. Kali ini aku yang memang."

"Tuan muda mohon maafkan kelakuan adikku yang tidak sopan ini."

"Hahahha, tidak apa-apa Eva. Malah Raka dan Evan lah yang membuatku menjadi waras."

"Memangnya apa yang salah dengan kami?" Ops! Apa Genta tersinggung.

Tapi saat melihat ekspresi wajahnya. Sama datarnya, seperti dia menjelaskan atau sedang dalam permbincangan serius ataupun santai.

"Kalian beruda terlalu sempurna untuk disebut manusia."

Aku mengoreksinya, mereka terlalu profesional samai pada kehidupan sehari-hari.

"Maksudnya?" Jawab Evan dan Raka berbarengan.

"Lihat saja ekspresi wajah mereka. Datar." Tawa Evan dan Raka pun pecah. Seolah aku berada dipihak mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status