Share

5. Gudang Senjata

Sesuai rencana diawal, maka aku akan mulai dari tempat yang terdekat denganku.

Selain untuk memudahkan ku menyusun rencana, juga menghindari agar tidak terlalu menimbulkan perhatian dari berbagai pihak.

Hanya kami bertiga yang berangkat ke pelabuhan. Menurut Eva kehadiran dia dan adiknya sudah cukup bisa menjagaku.

Mobil berhenti di salah satu gudang di samping pelabuhan.

Aku mulai gugup, di depan pintu saja sudah ada dua orang yang berjaga.

"Ini." Evan yang duduk di kursi pengemudi menengok dan menyerahkan satu senjata api.

Jenis Glock tapi aku tidak yakin ini tipe yang mana.

Isinya bisa enam sampai delapan peluru tergantung tipe. Kecepatan dan jarak tembaknya juga berbeda-beda dalam setiap tipe.

Mungkin aku harus mulai mecari tahu tentang jenis-jenis senjata api dalam waktu dekat ini.

"Tuan muda tidak usah diberi." Eva mengambil langsung dari tangan adiknya.

"Apa salahnya? Dia butuh itu sebagai jaga-jaga."

"Bisa saja ini menjadi senjata makan tuan, bagi Tuan muda yang belum terbiasa memegang senjata."

Evan kembali ke posisi awalnya, memeriksa peluru dan menyimpan kedua senjata itu dibalik saku jas hitam yang dikenakannya. Begitu pun hal yang sama dilakukan oleh Eva.

"Ayo." Ajakku pada keduanya setelah mental ini sudah cukup kuat untuk menghadapi yang ada di depan sana.

Kami berjalan dan sepertinya kedua penjaga pintu mulai mengamati kami.

Bukan tidak mungkin bahwa penjaga itu juga menyembunyikan senjata dibalik pakaian mereka.

"Sudah ada janji?" Cegah salah satu saat Evan hendak melangkah lebih jauh.

"Pemilik yang sebenarnya ada disini, buat apa minta izin?" Ekspresi wajah Evan sangat sangar membuat kedua penjaga itu tersulut.

Tangan yang siap melayangkan tinju ke wajah Evan ditahannya langsung, lalu tangan tersebut diputar balikan hingga terdengan bunyi 'krek'.

Penjaga satunya yang tidak bisa melihat rekannya diperlakukan seperti itu, ikut menyerang Evan.

Dua lawan satu.

Tapi Evan sama sekali tidak kerepotan bahkan Eva tidak merasa khawatir dengan adiknya itu.

Apakah mereka selalu dilatih dengan cara yang sama saat aku berada di dalam ruang bawah tanah.

Keduanya tumbang dalam hitungan menit. Sengaja satu orang tidak dibuat pingsan oleh Evan.

"Bilang pada yang lainnya Tuan muda sudah pulang." Ucap Evan penuh intimidasi dan tanpa disuruh penjaga yang masih sadar itu lari kocar kacir ke arah yang berlawanan.

Eva yang di bantu Evan membuka pintu gudang yang sepertinya terbuat dari stainless steel.

Luas gudang ini mungkin ada sekitar 105 x 68 meter (115 x 74 yards) atau 7.140 meter persegi, Satu ukuran dengan lapangan sepak bola.

Hanya ada beberapa peti yang berada dipinggir-pinggir tembok sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong begitu saja.

Di ujung sana ada podium, entah apa fungsinya. Tapi lama kelamaan saat kita memasukinya, ada satu set meja dan kursi. Cukup megah hanya untuk diletakan didalam gudang yang kosong ini.

"Kakak enggak mau duduk?" Evan langsung meluncur menempati salah satu kursi.

"Memangnya boleh?"

"Itu hak Tuan muda. Dahulu Tuan besar yang membantu mereka memasok senjata."

"Hingga tersebar berita, boss yang sekarang adalah anak yang tega membunuh ayahnya sendiri demi bisnis ilegal ini."

"Padahal semua berawal milik Tuan besar."

Ekspresi Evan memang bisa berubah secepat kilat. Dia tahu bagaimana caranya bersikap dimana dan dengan siapa juag dalam situasi macam apa.

"Hingga dalam surat wasiat Ayahnya. Isi wasiatnya pun ini masih mengakui kalau ini masuk dalam aset keluarga Theodora."

Kami kemari sebenarnya tidak ingin menimbulkan keributan. Sudah kami siapkan barang bukti dan juga hal-hal yang menguatkan posisi kami atas bisnis ilegal ini.

Mendengar ceritanya begitu, aku tahu ini bukan situasi yang akan berjalan dengan mudah.

Benar saja!

Apa yang dikatakan Eva, 'Boss' yang mereka panggil itu muncul dengan gaya yang terbilang cukup rapi dengan setelan jas.

Para anak buah juga ikut dibelakangnya. Kami jelas kalah jumlah.

Tapi kualitas, aku berani mengadu. Melihat Evan dengan mudahnya mengalahkan dua penjaga didepan tadi cukup membuatku sedikit tenang.

"Berani-beraninya kau duduk di kursi Boss kami!" Hardik salah satu anak buahnya. Satu tangan terngakat dari Boss mereka.

"Tenanglah, mereka hanya anak-anak yang sedang bermain mafia-mafian."Ucapnya angkuh.

"Aku rasa kita tidak usah berbasa-basi lagi. Aku ingin semuanya kembali padaku."

Cukup tegas, aku sudah tidak mau membuang-buang waktu dengan orang yang tidak menghargai lawan bisacara sama sekali.

Hanya pakaiannya yang rapi. Tapi tetap saja mereka itu para preman jalan. Tidak sepadan dengan gelar mafia yang ingin mereka pakai.

Gelegar tawa orang itu membahana di gudang. Apanya yang lucu, dasar!

"Aku membunuh Ayahku untuk mendapatkan posisi ini, dan kau datang-datang minta itu? Jangan ngaco! Anjing!"

Sangat cepat, untung aku bisa menghindar satu peluru yang dia tembakkan kearahku.

Eva dan Evan mulai murka, mereka membalas peluru itu.

Masing-masing mengeluarkan langsung kedua pistol yang mereka sembunyikan sedari tadi.

Tidak asal bidik, Eva dan Evan mengefisiensikan peluru yang mereka miliki.

Satu peluru harus mengenai satu lawan tidak boleh lebih dan aku melihat polanya, mereka tidak menyerang titik vital.

Melainkan otot lawan. Bertujuan melemahkan pergelakan lawan.

Lawan juga tidak tinggal diam. Berbagai peluru balasan mulai menyerang kami.

Evan menggiring kami ke tempat yang aman untuk bersembunyi di balik peti-peti yang berjejer di pinggir gudang.

Sambil bersembunyi keduanya menggunakan waktu yang singkat itu untuk mengisi amunisi peluru yang mulai habis.

"Berikan aku senjata!"

"Tidak Tuan muda. Anda harus selalu dekat dengan saya."

"Aku juga bisa melindungi diriku sendiri."

"Kakak cukup percaya pada kami berdua. Apa yang dikatakan Kak Eva enggak usah dibantah."

Desingan perluru mulai membombardir peti-peti kayu yang kami jadikan tempat berlindung.

"Kita hanya perlu melumpuhkan Boss mereka, maka semua akan berakhir." Evan mulai berargumen yang diikuti anggukan kepala Eva.

"Dalam hitungan ketiga, kita mulai." Eva memberikan aba-aba pada adiknya.

"Satu, dua, tiga!" Evan berteriak dan muncul lebih awal. Melindungi posisi Eva dan aku.

Itu dia! posisinya yang nyaris tidak ada celah tapi bukan Eva namanya jika tidak bisa menangani kemungkinan 0,1% itu. Shoot!

Satu tembakan peluru langsung bersarang di kepala Boss mereka. Aku juga tidak menyangka Eva akan menargetkan pelurunya disana.

"BOSS?!" Satu teriakan anak buahnya mampu menghentikan sejenak peluru yang berhamburan keluar.

Senyap. Aku harus segera memanfaatkan situasi ini, sebelum semuanya nampak kacau.

"Aku sudah meminta baik-baik, aku hanya membalas apa yang diperbuat padaku. Apa kalian tidak punya nurani di pimpin oleh seorang anak yang membunuh Ayahnya sendiri."

Mereka mulai memperhatikan, aku harus sedikit wasapada karena bisa saja mereka menembakku dalam posisi terbuka ini.

"Ayahnya saja dia khianati apa kalian tidak akan?" Aku tegaskan lagi.

Satu orang melepaskan senjatanya dan itu menular pada yang lainnya. Mereka akhirnya bisa ditundukan. Benar apa yang sudah menjadi keputusan Evan tadi.

"Kalian tenang saja, aku menghargai dia yang sudah menjadi Boss kalian selama ini. Kami akan menguburkannya dengan layak." Eva dengan cekatan langsung sibuk dengan ponselnya.

Sementara Evan mulai membantu para anak buah yang terluka.

Tak lama suara sirine ambulance terdengar, para tim medis mulai masuk kedalam gudang. Membantu para anak buah yang terluka.

"Apa ini akan masuk halaman utama berita besok pagi?" Bisiku pada Eva.

"Jika Tuan muda mau, saya bisa mengaturnya."

"Hey, maksudku bukan begitu."

"Tenang saja Tuan muda. Rumah sakit yang berada disini itu adalah milik anda." Evan sama dengan Raka yang bisa membaca pikiranku.

"Benarkah? Jadi hal ini tidak akan bocor keluar?" Eva mengangguk.

Wah! Benar-benar tidak aku sangka kekuatan keluarga Theodora bisa sehebat ini. Apa ada yang lebih hebat dari keluarga Theodora?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status