Share

Bab 3 (Cemburu)

"Baiklah.” Zay tersenyum.

"Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai bocor.” Aku mendekat dan berbisik di telinga Zay.

"Kayak ember saja mulutku, enggak mungkin lah bocor, kamu itu sahabatku sejak dari kecil," sahut Zay.

"Terus usaha toko bajuku bagai mana?"

"Oke! Aku yang akan urus untuk sementara waktu," jawab Zay.

"Terima kasih banyak. Kamu memang temanku yang paling baik.” Aku memuji Zay dengan menepuk pundaknya.

Rencanaku mulai berjalan. Semua orang terdekatku mendukung rencanaku dan ikut menjalankan misiku. “Yes, yes. Semoga berjalan dengan lancar,” ucapku sembari tersenyum dalam hati.

Zay terus memandangku dengan tatapan yang tak seperti biasa. Aku kemudian memegang wajahku, melihat bajuku, seluruh tubuhku, apa ada yang salah dengan penampilanku? Kok, Zay memandangku seperti itu.

"Kenapa?" tanyaku dengan kening yang mengerut.

"Aku hanya bingung," jawab Zay.

"Kenapa bingung?"

"Biasanya seleramu gadis papan atas dan berkelas, kok bisa ya kamu jatuh cinta sama asisten rumah tangga. Lagi pula dia bekerja di rumahmu sendiri, kamu masih waras kan?" Zay menyentuh dahiku.

"Ya iyalah, aku masih waras, memangnya kau kira aku kesurupan apa?" Aku menaikkan sedikit alisku dengan nada yang agak tinggi.

"Santai bos, maksudku kenapa kamu kok bisa jatuh cinta sama Jannah? Ia kan enggak selevel sama kamu.”

"Jannah itu gadis yang baik, ia punya sopan santun, budi pekerti, lemah lembut, cantik, lugu, dan shalehah.” Aku mencoba menjelaskan pada Zay.

"Oh.” Mulut Zay membulat.

"Tutup mulutmu nanti di kemasukan lalat.” Aku mulai bergurau.

"Ah, kamu Sien.” Zay menepuk pahaku.

"Itu kan resep awet mudaku," jawabku santai.

Keluar lagi deh resep awet mudaku yaitu bergurau walaupun dalam keadaan pikiran yang juga lagi pusing memikirkan bagaimana caranya menjalankan misi selanjutnya? Aku ingin tahu lebih dalam seperti apakah gadis seperti Jannah? Ia membuatku semakin hari semakin penasaran saja.

Dari caranya berdandan yaitu memoles wajah dengan make up seadanya dan berpakaian ala kadarnya, pakaiannya juga tak bermerek, tak juga murahan. Pakaiannya juga tak seksi. Ia selalu mengenakan hijab ke mana pun ia pergi kecuali di dalam rumah ia melepas hijabnya. Itu yang selalu membuat aku penasaran dengan gadis itu.

"Sien, aku ada ide," ucap Zay sembari menepuk pundakku lalu membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku tentang Jannah.

"Ide apa? Kau mengagetkanku saja," jawabku dengan nada sedang.

"Bagai mana kalau kita ajak Jannah ke tokomu?" Usul Zay.

"Untuk beli baju, seolah-olah aku kan pemilik tokonya," jawab Zay dengan semangat.

"Apa Jannah mau? Apa Jannah punya uang?" Aku bingung dengan ide konyol Zay.

Zay mendekat padaku dan berbisik pelan di telinga sebelah kiriku. Dengan panjang lebar ia jelaskan padaku rencana selanjutnya agar aku benar-benar yakin jika ia adalah gadis yang cocok untuk mendampingi hidupku.

"Kau mengerti?" Mata kiri Zay mulai bermain.

"Tapi ...." Aku bimbang.

"Kau ragu?"

"Iya, aku takut rencana ini tidak berhasil Zay."

"Tenang bos, pasti ada jalan menuju roma, yakin saja jika ini semua akan berhasil dengan mulus tanpa ada hambatan.” Zay meyakinkanku.

"Ah, kau ini bisa saja, kayak lagu Bang Rhoma Irama saja," jawabku.

"Mana semangat empat limanya Bos?" Tanya Zay sembari mengangkat tangan kanannya.

"Tos." Aku mengangkat tangan kananku dan menepuk tangan kanannya sebagai tanda setuju.

"Oke, ini sudah larut malam. Aku pulang ya?"

"Minum dulu jus buatan Jannah ini pasti enak,” godaku pada Zay.

"Iya, baiklah.” Zay meminum jus itu sampai habis.

"Kok buru-buru Zay pulangnya? Menginap saja di sini.” Ibu keluar dari kamarnya. Ibu akan mengambil kacamata yang tertinggal di atas meja tamu.

"Lain kali sajalah Tante. Aku masih terlalu lelah karena baru saja habis pulang dari luar kota," jawab Zay dengan sopan.

"Ada jalankan bisnis apa di sana?"

"Bisnis kecil-kecilan Tante."

"Boleh tahu dong bisnis apa?"

"Bisnis konveksi Tante."

"Waw, hebat ya kamu. masih muda sudah bisa merintis usaha sendiri tanpa tergantung dengan orang tua," puji ibu.

Zay tersenyum setelah unjuk gigi pada ibu dan hadiahnya adalah pujian dari ibu.

"Sudah punya pacar Zay?"

"Belum Tante."

"Kenapa? Kamu kan sudah mapan dan dewasa. Cari dong calon pendamping hidup agar kamu punya keturunan agar ada yang meneruskan usaha kamu jika kamu sudah tua nanti," saran ibu.

"Iya Tante, ini juga lagi mencari, tapi belum dapat.” Zay tersenyum kembali.

"Bukan belum dapat, tapi belum ketemu sama orang yang tepat. Benar enggak? Tante bisa loh baca pikiran kamu," gurau ibu.

"Iya Tante, benar!"

"Ah, Ibu kayak paranormal saja bisa menerawang segala."

"Ibu kan sudah tua Sien jadi pikiran Mami itu lebih dalam ketimbang yang masih muda," jawab ibu.

"Iya, Bu.”

"Tante tinggal dulu ya Zay ke kamar, Tante mau istirahat dulu karena besok mau menemani om rapat di kantor.” Ibu beranjak berdiri dari kursi tamu lalu memalingkan tubuhnya dan berjalan menuju kamarnya.

"Mamimu itu ramah ya. Dari dulu sifatnya enggak pernah berubah selalu bisa menghargai orang lain."

"Ya, seperti itulah Ibuku, Zay.”

Zay melirik ke sudut ruangan ruang tamu.

"Mana fotomu, Sien?"

"Sudah aku suruh Bi Lasmi mencopotnya dari semua sudut ruangan," jawabku pelan.

"Ya, sudah aku mau pulang dulu. Aku mengantuk. Aku mau tidur dulu di rumah. Besok kita jalankan misi kita," tutur Zay.

Tunggu sebentar.

"Jannah," teriakku.

"Iya, Bang," terdengar sahutan Jannah dari ruang makan.

"Ada apa Bang?" Tanya Jannah yang kemudian langsung menghampiriku setelah ia mendengar teriakanku tadi memanggil namanya.

"Nih teman Abang mau pamit pulang. Sebelum pulang, ia mau menyampaikan sesuatu sama kamu," ucapku.

"Apa Bang?" tanya Jannah pada Zay. Matanya tajam menatap mata Zay.

Bulu matanya yang lentik, tebal, dan panjang juga bola matanya yang tajam dan menawan membuat aku semakin tergoda pada Jannah. Sungguh cantik jelita parasnya.

"Besok kamu mau enggak jalan sama aku?" tanya Zay yang tidak berani menatap netra Jannah, ia mengalihkan pandangan ke sana kemari.

"Berdua?" Tanya Jannah kaget.

"Iya, kenapa?"

"Aku enggak mau jika hanya berdua. Takut. Kita kan baru kenal. Maaf Bang!" jawab Jannah dengan melirik netraku.

"Kita main ke toko bajuku," ajak Zay.

Jannah terdiam. Ia melirik netraku lagi.

"Mau aku temani?" Aku angkat bicara.

"Ayolah Jannah, aku enggak akan macam-macam kok, cukup satu macam saja yaitu mengajak kamu main ke toko bajuku.” Zay mulai mengeluarkan aksinya yaitu ronde pertama merayu Jannah.

Tidak ada jawaban.

"Please." Zay memelas.

"Aku pikir-pikir dulu deh.” Jannah mulai akan masuk perangkap Zay.

"Jangan lama-lama ya mikirnya Jannah cantik." Rayuan gombal Zay muncul kembali.

"Ah, Abang bisa saja." Jannah tersipu malu.

"Benar, kok.” Zay mencubit pipi Jannah.

Ih, rasanya hatiku terbakar ketika Zay berani menyentuh pipi Jannah. Magnet cintaku sampai saat ini belum berfungsi untuk menarik Jannah agar ia jatuh cinta padaku. Ia masih saja menganggapku hanya sebatas teman.

“Zay, kau mencoba membuatku cemburu.” Aku meremas-remas tanganku.

"Ehem.” Aku berpura-pura batuk. Padahal tenggorokanku tak gatal. Aku sengaja membuyarkan pembicaraan mereka.

"Silakan pulang Zay. Ini sudah malam. Bukannya aku mengusirmu, tapi tidak baik jika bertamu sudah terlalu larut malam begini." aku mulai emosi.

"Kamu masuklah ke dalam Jannah nanti Nyonya marah jika anak gadis masih bersenda gurau dengan pria karena ini sudah larut malam." Kuperjelas pembicaraanku pada Jannah.

"Baiklah, Bang." Jannah masuk ke kamarnya.

Aku tarik tangan kiri Zay.

Prak!

"Aduh, sakit Sien.” Zay memegang pipi kanannya.

"Kamu ingkar janji.” Mataku melotot menatap netra Zay.

"Ingkar janji apa? Bukankah itu sudah sesuai dengan kesepakatan kita?" Bantah Zay yang terus memusut pipinya yang merah bekas tamparanku tadi.

"Iya, tapi kamu berani mencubit pipinya. Jangan sentuh dia, paham!" Aku mencubit dengan keras tangan kanan Zay.

"Pa-ham Sien! Aduh, tolong jangan cubit aku, sakit Sien.” Zay merintih kesakitan.

"Kamu tahu aku kan Zay?"

"Iya Sien, aku tahu kamu. Jika kamu akan selalu menjaga orang yang sangat kamu cintai."

"Kalau kamu sudah tahu itu, kenapa kamu memancing amarahku tadi?"

"Aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar mencintai Jannah atau tidak? Itu saja, Sien." Zay menyapu keringat yang mengucur di wajahnya dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari dalam sakunya.

"Kenapa aku sampai cinta banget seperti itu ya sama Jannah? Rasanya aku tak ingin jika ia di sentuh oleh pria lain. Ada apa ini? Kacau. Apa otakku sudah bleng? Huh, entahlah," pikirku dalam hati.

"Oke, begini saja, kita lanjut sandiwara ini, tapi aku akan memakai surat perjanjian. Kamu akan aku bayar setelah semua rencana ini selesai, bagaimana? Dil?"

"Kenapa harus begitu?" Tanya Zay dengan mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan sikapku.

"Aku tak percaya lagi denganmu. Bagaimana dengan tawaranku?"

"Baiklah, Sien, aku setuju.”

"Datanglah besok ke toko bajuku, aku akan kirim alamatnya melalui whatshapp, bagaimana?"

"Oke.”

"Sampai ketemu besok, aku tunggu kamu di toko bajuku," kataku.

"Siap Bos." Zay pergi meninggalkan halaman rumahku.

Aku masuk ke dalam rumah dan betapa terkejutnya aku ketika aku temui Jannah sedang berada di ruang tamu. Semoga saja dia tidak mendengar tentang percakapanku barusan bersama Zay.

"Kamu lagi apa di sini?" Tanyaku sembari menunjuk Jannah dengan jari telunjukku.

"Nunggu kamu."

"Kenapa nunggu aku?"

"Mengajak makan bareng.”

"Kamu belum makan?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Inginnya makan di temani sama kamu."

"Kenapa harus sama aku?"

"Ah, Abang banyak tanya." Jannah merajuk.

Pucuk di cinta ulam pun tiba. Kenapa Jannah makan ingin di temani sama aku? Ah, jangan-jangan ia juga punya perasaan yang sama sepertiku? Tingkat penasaranku mulai lagi.

"Tunggu, Abang temani kamu makan. Jangan merajuk begitu dong.” Aku mengekor Jannah yang berjalan menuju ruang makan.

"Siapa yang merajuk?" Jannah memutar tubuhnya menatap wajahku yang sedang terdiam di belakangnya.

"Kamu." aku menunjuk wajahnya.

"Aku enggak merajuk cuma mengambek saja.”

"Aduh Jannah, itu sama saja.” Aku memukul keningku pelan dengan tangan kananku.

Jannah berlari ke dapur.

Aku berlari juga mengejarnya dari belakang. Sesampainya di dapur.

"Kena kau." Aku peluk Jannah dari belakang.

"Ih, Abang apa-apaan sih! Main peluk saja. Ayo lepaskan!" Jannah mencoba melepaskan kedua tanganku yang melingkar di pinggang rampingnya.

"Aku akan lepaskan tanganku ini asalkan kamu mau jawab pertanyaanku?"

"Apa?"

"Maukah kau jadi ... Kenapa aku enggak bisa utarakan perasaanku padanya? Seperti ada getaran yang kuat dan membuat jantungku berdetak kencang. bagaimana ini?"

"Jadi apa?"

"Jadi sahabatku. Iya, jadi sahabatku. Itu maksudnya.” Aku tertawa.

"Iya, dong Bang. Aku mau, lagi pula kita kan satu atap dan orang yang paling bisa mengerti aku dan bikin aku tersenyum itu ya Abang. Jadi sebelum Abang minta aku jadi sahabat Abang, aku sudah menganggap Abang sahabatku sendiri," jawab Jannah panjang lebar.

"Besok bagaimana?" Tanyaku dengan melepaskan kedua tanganku yang melingkar di pinggang Jannah.

"Lihat saja besok ya. Aku pikir dulu,” jawab Jannah.

"Nanti Abang temani. Kita bertiga ke toko baju."

"Jannah pikir dulu ya, Bang."

"Oke." Aku mengedipkan mata kananku.

"Ih, dasar genit."

"Siapa?"

"Abang."

"Biar, ayo makan! Abang sudah lapar," ajakku.

"Ayo, makan yang banyak ya biar gendut."

"Ih, aku enggak mau gendut."

"Ya sudah! Ayo makan! Jannah sudah lapar nih," ucap Jannah sambil mengambil sepiring nasi dan sepotong ikan goreng nila.

Beberapa menit ....

"Kenyang, Bang," ucap Jannah.

"Sana istirahat dulu." Aku menyuruh Jannah untuk beristirahat.

"Selamat malam, Bang." Jannah menuju ke kamarnya.

"Malam juga. Jangan lupa besok ya. Abang tunggu jawabannya," teriakku.

"Iya, Bang," sahut Jannah sambil menutup pintu kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status