TOK!
TOK!
TOK!
CEKLEK
"Loh, kamu kok ada di sini, Mas?" tanya Nia saat melihat sang suami membukakan pintu. Padahal beberapa jam yang lalu suaminya tersebut berpamitan akan pergi ke luar kota, tetapi nyatanya saat ini Nia melihat jika suaminya tengah berada di rumah ibunya, sehingga hal tersebut cukup membuat Nia kaget.
"K-kamu sendiri ngapain di sini?" wajah Edi telah berubah pucat karna tak menyangka jika sang istri akan datang ke rumah ibunya.
"Aku mau nganterin barang pesanan Ibu," jawab Nia dengan memperlihatkan tote bag yang berada di tangannya.
"Pesanan apa?" tanya Edi.
"Ada siapa Di?" terdengar suara Ratmini dari dalam rumah.
"N-Nia!" wajah Ratmini berubah menjadi pucat karna melihat menantunya berada di depan rumahnya. Nia yang melihat ibu mertuanya seketika mencium punggung tangan wanita paruh baya tersebut.
"Aku mau nganterin barang pesanan Ibu yang kemarin Ibu pesan." Nia menyerahkan tote bag yang ia bawa kepada mertuanya.
"B-bukannya kamu akan mengantarkan besok?" tanya Ratmini dengan nada gugup.
"Tadi aku ada perlu dan kebetulan lewat sini, jadi aku sekalian mampir saja," jawab Nia.
"Kenapa wajah Ibu dan Mas Edi terlihat pucat? Apa kalian sedang sakit?" tanya Nia menatap wajah sang suami dan ibu mertuanya secara bergantian.
"K-kami tidak apa-apa," sahut Edi.
Sejak pagi hari perasaan Nia sangat gelisah dan tak tenang, entah kenapa setiap sang suami meminta izin akan keluar kota atau akan menginap di rumah mertuanya perasaan Nia menjadi tak tenang. Bahkan hari ini pula hatinya mengatakan untuk datang berkunjung ke rumah mertuanya, padahal selama ini Nia sangat jarang sekali berkunjung jika bukan bersama dengan sang suami. Akibat hubungan antara Nia dan sang mertua terkadang tak baik membuat Nia menjadi sedikit enggan untuk datang.
"Apa kamu tidak jadi berangkat ke luar kota, Mas?" tanya Nia.
"Jadi, sebentar lagi aku akan berangkat," jawab Edi.
"Sayang, ada siapa? kenapa nggak di suruh masuk aja."
Suara perempuan tersebut menggema di gendang telinga Nia, pikiran-pikiran buruk tentang sang suami seketika terlintas dalam pikiran Nia.
"Itu suara siapa Bu?" tanya Nia menatap ke arah mertuanya.
"Suara apa?" tanya Ratmini.
"Suara perempuan tadi Bu," ujar Nia.
"Ibu nggak dengar suara apapun kok," kilah Ratmini.
"Masa sih aku salah dengar ... Kamu juga dengar kan, Mas?" Nia bertanya kepada Edi.
"Aku nggak dengar suara apapun. Mungkin kamu salah dengar," elak Edi.
"Nggak mungkin aku salah dengar, jelas-jelas suara itu berasal dari rumah Ibu dan bahkan suaranya terdengar sangat jelas," ucap Nia.
"Kamu jangan ngada-ngada deh!" ujar Edi.
"Iya nih, Istri kamu kalo lagi kumat suka banget berhalusinasi kaya gini," timpal Ratmini.
"Iya mungkin tadi aku hanya salah dengar," lirih Nia. Sedangkan Edi dan Ratmini seketika menghembuskan nafas lega dan hal tersebut di sadari oleh Nia sehingga membuat Nia menjadi semakin curiga dengan sang suami dan ibu mertuanya. Nia menebak jika ada suatu hal besar yang tengah mereka sembunyikan, tetapi Nia pun tak tau hal apa yang sedang mereka simpan. Nia hanya bisa berharap jika hal yang sedang mereka sembunyikan bukan tentang perselingkuhan.
"Sudahlah, lebih baik sekarang kamu pulang saja," ujar Edi
Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat, Nia menajamkan matanya untuk melihat sosok tersebut. Sedangkan Edi dan Ratmini semakin pucat dan mengeluarkan keringat dingin sebesar biji jagung.
"Mas, kenapa lama banget sih! Aku udah nungguin dari tadi, loh."
DEGTubuh Nia mematung saat melihat seorang wanita yang tengah bergelayut di lengan suaminya. Ingin menanyakan siapa sosok perempuan tersebut, tetapi suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Nia hanya bisa memandangi sang suami dan wanita tersebut secara bergantian. Ingin sekali Nia menepis semua fikiran-fikiran buruk yang sudah memenuhi isi kepalanya, tetapi lagi-lagi bukti nyata yang ia lihat saat ini semakin memperkuat tudahan tersebut. Air mata semakin mengalir deras di sudut matanya menyaksikan perempuan lain sedang bergelayut manjan di lengan suaminya."Wanita itu siapa, sayang?" tanya perempuan tersebut kepada Edi."Emm ... Emm ... Anu." Edi terlihat tampak bingung untuk menjawab. Berulang kali Edi melirik ke arah sang ibu, berharap Ratmini membantu dirinya di saat keadaan terjepit seperti ini.Sedangkan perempuan tersebut semakin di buat penasaran karna ia tak kunjung mendapatkan jawaban dari Ratmini maupun Edi. Perempuan tersebut akhirnya memilih bertanya langsung kepada N
"Semua sudah terjadi, Nia. Mau bagaimana pun Riri saat ini sudah menjadi Isriku dan saat ini Riri tengah mengandung anakku," jelas Edi.DEGKedua kaki Nia terasa lemas, ia tak mampu menopang beban berat tubuhnya. Nia menatap nanar ke arah suaminya, suami yang selama ini sangat di cintai oleh Nia dan suami yang selama ini selalu Nia banggakan di depan keluarganya tetapi nyatanya kini suaminya sendiri lah yang sudah menorehkan luka terdalam di hatinya. Nia segera menghapus buliran bening yang menetes di pipinya, Nia akan memberikan dua pilihan untuk suaminya dan setelah itu Nia akan mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya dan putrinya Gea."Kamu pilih aku atau dia?" tunjuk Nia ke arah Riri dan hal tersebut membuat Ratmini yang sebelumnya berwajah pucat kini tergantikan oleh wajah me-merah karna emosi."Apa maksudnya kamu menyuruh anakku memilih! Se-cantik apa dirimu sehingga harus membua Edi memilih kamu!" Ratimini memandang penampilan Nia dari ujung kaki hingga kepala dengan tat
Tak terasa angkot yang di tumpangi oleh Nia telah berhenti tepat di depan rumahnya. Nia lantas turun dan membayar angkot tersebut. Nia harus mengambil Gea yang ia titipkan di tetangga samping rumahnya. TOK! TOK! TOK! "Kamu sudah pulang ternyata, saya kira siapa pake acara ketuk pintu segala," ucap bu Rani. "Sudah Bu, terima kasih sudah menjaga Gea," ujar Nia. "Sama-sama. Lagian Ibu itu seneng di titipin Gea, dia anaknya nggak rewel juga." "Mata kamu bengkak seperti orang habis menangis, kenapa?" tanya bu Rani. "Tidak apa-apa Bu, tadi hanya kelilipan debu saja," kilah Nia. "Saya ambil Gea ya Bu, sekali lagi terima kasih sudah mau di titipkan Gea." Nia lantas berjalan meninggalkan rumah bu Rani dan menuju ke rumahnya. Rasa sesak di dadanya hingga saat ini masih terasa. Rasanya semua ini seperti mimpi di siang bolong, mimpi yang terasa sangat nyata dan membuatnya ingin segera terbangun. Nia merogoh tas selempangnya untuk mengambil kunci, setelah itu ia membuka pintu tersebut. I
Gea yang melihat Edi seketika turun dari pangkuan Nia, Gea merentangkan tangannya berharap untuk di peluk oleh sang Papa, tetapi kenyataannya Edi hanya mengelus kepala Gea lalu beranjak mendekat ke arah Nia. Nia yang melihat hal tersebut hatinya seketika berdenyut nyeri, Edi-suaminya kini telah berubah. Bukan hanya dirinya saja yang di sakiti oleh laki-laki tersebut, tetapi Gea putrinya yang tak memiliki dosa apapun ikut tersakiti oleh sikap Edi. Nia tersenyum getir ke arah suaminya, pandangannya mengisyaratkan luka mendalam bagi dirinya. "Nia, ada yang mau Mas bicarakan," ucap Edi mendudukan tubuhnya di kursi sebelah istrinya. "Ada apa?" tanya Nia. "Karna saat ini kamu sudah mengetahui semuanya, hari ini Riri akan tinggal bersama kita di sini," jelas Edi. Nia membulatkan matanya, Nia tak menyangka jika suaminya akan secepat ini membawa madunya ke dalam rumah yang di tempati dirinya bahkan Nia harus tinggal serumah dengan madunya tersebut. Nia menggelengkan kepalanya berulang kal
Pagi yang cerah tak secerah hati dan wajahNia saat ini. Sebab, baru saja keluar kamar, Nia melihat dengan kedua matanyasecara langsung bagaiaman suaminya berlaku sangat lembut kepada madunya. Bukanitu saja, berbagai makanan mewah tersaji di meja ruang tamu. Selama empattahun pernikahan dengan Edi, Nia bahkan tidak pernah sama sekali mencicipimakanan-makanan mewah seperti itu.‘Sabar, sabar….’ Lagi-lagi Nia hanya bisamengelus dadanya.Hari ini Nia tidak ingin melakukan apapun, selain sudahtidak mempunyai simpanan uang untuk memasak, Nia pun memang sengaja inginmenghidar dari kedua pasangan sejoli tersebut. Nia melirik ke arah jam dindingyang menunjukan pukul delapan lewat, Nia segera membawa Gea ke kamar mandiuntuk memandikan putrinya sekaligus Nia ingin mendinginkan pikirannya yangkembali memanas.Setelah selesai dengan ritual mandi bagi dirinya dan Gea,Nia memutuskan untuk mengajak Gea bermain di rumah tetangga sebelahnya.Sayangnya, daripada mengawasi anaknya bermain, N
"Berjualan?" Nia tampak berfikir dengan ide yang di berikan oleh wanita setengah baya yang ada di sampingnya, setelah itu Nia menggeleng dengan cepat. "Nia tidak bisa berjualan Bu, berjualan itu harus membutuhkan modal dan tempat yang stategis," jelas Nia. "Kalo masalah tempat, kamu bisa gunakan tempat yang Ibu punya di pasar," sahut bu Rani. "Lalu Nia harus berjualan apa Bu?" tanya Nia. Bu Rni terdiam, ia berfikir dengan bola mata bergerak ke kanan ke kiri hingga pandangannya tertuju ke atas meja. "Kamu jualan bubur saja, lagi pula kalo nggak salah di pasar itu belum ada yang berjualan bubur." "Kira-kira modal untuk jualan bubur berapa Bu?" tanya Nia. "Kurang lebih satu juta. Untuk peralatannya mungkin kamu punya panci di rumah dan mangkok-mangkok." Nia menganggukan kepalanya, senyum mengembang di wajahnya. Kini Nia hanya harus memikirkan bagaiamana caranya Nia mendapatkan uang satu juta untuk modalnya berjualan. Meminta kepada suaminya sepertinya sangat mustahil bagi Nia, m
Nia membalikan tubuhnya, setelah itu ia mulai melangkah kembali menuju kamar untuk menelpon sang adik dan membicarakan niatnya saat ini. Nia berharap jika adiknya tersebut akan memberikan dirinya pinjaman, jika tidak Nia tak tau lagi harus meminjam kepada siapa. Riri yang merasa di abaikan oleh Nia seketika menjadi emosi, ia mengepalkan tangannya ingin sekali rasanya Riri memberikan pelajaran kepada kakak madunya tersebut agar tak berlaku kurang ajar kepada dirinya. Menurut Riri jika saat ini dirinya lah yang lebih pantas bersanding dengan Edi dari pada Nia yanng hanya perempuan kampungan dengan penampilan yang memalukan. Riri yang melihat Edi di ambang pintu seketika memegangi perutnya dan memasang mimik muka kesakitan, ia berniat akan memberikan pelajaran kepada Nia sebab sudah mengabaikan kehadiran dirinya. Edi yang melihat Riri tengah meringis memegangi perutnya seketika berlari mendekat, wajah Edi terlihat sangat cemas saat melihat Riri istri keduanya tengah memegangi perut.
"Sudahlah Nia, tidak usah membela diri sendiri. Sejak awal memang kamu tidak menyukai Riri sehingga kamu dengan tega menyakiti dia," bentak Edi."Aku memang tidak menyukai dia. Tapi aku masih memiliki hati untuk tidak menyakiti janin yang tidak berdosa itu," jawab Nia."Kamu memang tidak menyakiti calon anakku, tapi kamu menyakiti Ibunya sehingga itu akan berdampak kepada calon anakku!" seru Edi. "Sudahlah Nia berbicara denganmu memang akan menguras emosiku saja. Kamu wanita tidak berpendidikan sehingga percuma aku berbicara sama kamu, yang sudah pasti kamu tidak akan mengerti." Edi lantas keluar dari dalam kamar dan menuju ke ruang tengah yang dimana Riri berada. Edi masih merasa cemas, ia takut terjadi sesuatu kepada calon buah hati dirinya bersama Riri. Edi sudah di butakan oleh rasa cintanya kepada Riri sehingga Edi tidak bisa melihat mana yang salah dan mana yang benar. Gea yang melihat pertengkaran di antara kedua orang tuanya lantas berjalan mundur dan duduk di pojok kamar de