Share

Part 7

last update Last Updated: 2023-03-26 14:02:20

Pisah Terindah

#7

Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar.

Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut.

"Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius.

"Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug.

"Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam.

"Kamu yakin?"

Mas Danar mengangguk penuh keyakinan.

"Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita."

Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?"

"Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris."

"Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?"

Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?"

Mas Danar mengembuskan napas berat.

"Okey, jika kamu maunya begitu."

***

"Kamu yakin ini, Ra?"

Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu.

"Sesuai saran kamu, kan?" Aku menjawab asal.

Windi semakin mendekat ke sebelahku.

"Tapi kamu nggak harus mengikuti apa yang aku sarankan. Yang aku bilang ke kamu hanya second opinion. Alternatif, Ra. Pilihan akhir tetap apa yang hati kamu yakini."

Aku memutar posisi hingga menghadap pada Windi.

"Kenapa, kok tiba-tiba kamu yang ciut?" Aku menatap serius pada Windi.

Windi balas menatapku dengan tatapan prihatin.

"Ra, aku ngebayanginnya kok jadi nggak tega, ya. Nanti kalau kamunya kenapa-kenapa, aku yang paling bersalah, Dara."

Aku tertawa pelan melihat ekspresi Windi.

"Kamu lucu, ah, Win. Ini murni pilihan aku. Apa pun resikonya nanti, harus aku jalani. Lagi pula, setiap pilihan akan selalu ada dua sisi, bukan?"

"Kamu dukung aku, ya, apa pun yang nantinya akan kujalani dalam hidupku," lanjutku lagi.

Windi tersenyum pilu. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku.

"Aku akan selalu ada untuk kamu dan Shahna. Aku sudah menganggap kamu seperti saudaraku sendiri, Dara. Kalau kamu ada apa-apa, selalu kasih tahu aku, ya."

"Iya, Win. Makasih, ya."

"Hai! Sorry guys, kalian sudah nunggu lama, ya," seru Mbak Tania begitu dia memasuki ruangan.

Aku dan Windi spontan sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Mbak Tania menampakkan wajah menunjukkan rasa bersalah. Wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu nampak sangat cantik. Dandanannya masih paripurna walaupun dia sudah beraktivitas sejak pagi.

"Gini, nih, kalau berurusan sama pengacara papan terbang. Sabarnya kudu setebal papan penggilasan," sindir Windi pada kakaknya.

Mbak Tania hanya memanyunkan bibirnya tanpa menanggapi ocehan Windi.

"Eh, iya, Mas Adit juga masih on the way. Paling sepuluh menitan lagi nyampai. Maaf banget, ya, Ra," ungkap Mbak Tania sembari melihat jam mungil yang melingkar di pergelangan tangannya yang mulus.

"Nyantai aja, Mbak. Lagian Mas Danar juga masih di jalan."

"Kita ke ruangan aku aja, yuk. Kita ngobrol di sana aja," ajak Mbak Tania lalu segera melangkah menuju salah satu ruangan di dalam kantornya tersebut. Aku dan Windi mengikuti ibu satu anak itu.

"Jadi, Dara benar-benar udah siap lahir batin ini?" tanya Mbak Tania setelah kami duduk di dalam ruangannya.

Sama seperti Windi, pertanyaan senada juga sudah dilontarkan Mbak Tania beberapa kali. Ketika pertama aku menyampaikan maksudku pada Mbak Tania, dia sangat kaget. Meskipun hanya sekadar kenal dengan Mas Danar dan tidak begitu dekat denganku, Mbak Tania juga sama sekali tidak menyangka badai ini bisa menerpa perkawinan kami.

Mengingat statusku yang fokus menjadi ibu rumah tangga, Mbak Tania memang tidak menganjurkan aku untuk buru-buru menggugat cerai. Memang, aku harus berpikir panjang. Aku harus memikirkan bagaimana kelanjutan hidupku pasca perceraian itu sendiri. Jadi, mau tidak mau bertahan adalah pilihan yang harus diambil saat ini.

Aku diam sesaat lalu mengangguk pelan. "Ya ... siap nggak siap, sih, Mbak."

"Setiap pilihan pasti ada resikonya. Tugas kita adalah mengambil pilihan dengan resiko terminim. Dara pasti udah punya pertimbangan tersendiri, bukan?"

Aku mengangguk pelan.

"Baiklah, kita tinggal nunggu Mas Danar dan Mas Adit."

Windi mengelus pelan punggungku. Memberi dukungan dan kekuatan yang memang sangat kubutuhkan di saat-saat seperti ini.

***

"Mas Danar tidak ada yang keberatan dengan poin-poin pada isi perjanjian ini?" Mas Adit kembali memastikan sebelum Mas Danar membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan.

"Tidak ada. Saya menyetujui semuanya," ujar Mas Danar tanpa ragu.

"Semuanya sudah jelas, ya. Dari pihak Dara sendiri juga sudah final, kan? Udah fix semuanya? " Mas Adit mengalihkan tatapan padaku.

"Iya, sudah." Aku menjawab pelan.

"Baiklah kalau begitu, kita tanda tangani dokumen-dokumennya agar secepatnya ditindaklanjuti," lanjut Mas Adit.

Aku mengajukan beberapa persyaratan pada Mas Danar sebelum aku memuluskan jalannya untuk meresmikan pernikahan siri yang entah dari kapan dia jalani. Mbak Tania dan Mas Adit pun mendukung maksudku itu. Menurut mereka, hal itu memang penting untuk melindungi hak-hak aku dan Shahna.

Memang perjanjian setelah berlangsungnya pernikahan, jarang terjadi. Kebanyakan adalah perjanjian pra nikah. Meskipun begitu, perjanjian setelah menikah pun diperbolehkan dalam undang-undang pernikahan dan legal, begitu kata Mbak Tania ketika aku berkonsultasi dengannya beberapa hari yang lalu.

Tidak begitu banyak poin yang aku ajukan, tetapi kupikir cukup krusial terhadap kelanjutan hidupku dan buah hatiku tercinta. Di antaranya, gaji Mas Danar enam puluh persen menjadi nafkah untukku dan Shahna dan langsung ditransfer ke rekeningku dari bendahara kantornya.

Selanjutnya, rumah yang kami tempati mutlak menjadi milik Shahna. Aku ataupun Mas Danar tidak berhak menjualnya kecuali atas keinginan Shahna sendiri kelak setelah dia dewasa. Terkait dengan mobil yang memang dibeli menggunakan uangku, maka Mas Danar tidak diperkenankan menggunakan mobil tersebut sebagai alat transportasi selain untuk berpergian bersamaku dan Shahna.

Terkait dengan pernikahan kedua yang akan dilegalkan Mas Danar, aku pun mengajukan syarat, selama Mas Danar bersama aku dan Shahna, dia tidak boleh berkomunikasi sama sekali dengan istri keduanya itu. Namun, hal itu tidak berlaku kebalikannya.

Kukira Mas Danar akan keberatan dengan poin terakhir itu. Ternyata di luar dugaanku, Mas Danar tidak keberatan sama sekali.

"Siapa yang mau duluan tanda tangan? Dara atau Mas Danar?" Pertanyaan Mas Adit menyentakkan aku dari lamunan.

Seketika aku dan Mas Danar saling tatap. Ada getar yang tak biasa di hatiku ketika pandangan kami bertemu. Rasa pilu menyergap, memelukku dengan perih yang tak terkira.

Tatapan Mas Danar padaku pun seakan menyimpan makna yang dalam. Tak berani aku untuk menerka walau di benakku menggunung rasa penasaran.

Entah apa yang ada di hati Mas Danar saat ini. Senangkah dia? Bahagiakah dia karena apa yang diinginkannya akan segera terwujud? Bahkan sudah di depan mata.

Lalu, bagaimana dengan aku? Siapkah aku? Benarkah aku sanggup untuk berbagi suami? Aku menghela napas pelan. Lanjut atau mundur?

"Bagaimana?" Lagi Mas Adit bertanya.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
daripada kau menye2 g karuan lebih kau upgrade diri mu. buat diri mu berguna krn jadi pengangguran membuktikan kau tak lebih sampah di mata suami mu. makanya jangan terlalu percaya diri njing
goodnovel comment avatar
Mahzuni
thor aku udah kayak lg goreng peyek ngintip ceritamu ga lanjut²
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
duh Thor ceritamu selalu tentang istri yang dikhianati suaminya yang nikah lagi. syediih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pisah Terindah   Part 62

    Pisah Terindah #62Meski malam semakin larut, tetapi rasa kantuk belum juga datang menyambangi. Biasanya jam seperti ini aku sudah terlelap baik itu karena kelelahan atau karena harus bangun lebih pagi lagi esok harinya dengan kondisi yang bugar. Namun kali ini sepertinya aku akan terjaga lebih lama lagi. Pikiranku masih belum bisa dijinakkan. Aku kembali terbawa ke masa-masa yang telah berlalu. Tentu hal-hal yang dulu sempat terbesit di benakku atau lebih tepatkan pernah kuharapkan untuk terjadi. Mas Danar. Ya, lagi-lagi tentang lelaki itu mengusikku. Dulu, di saat masih dalam fase terpuruk aku meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa bangkit bahkan tumbuh menjulang tinggi. Sedangkan dia, dia yang telah menyakiti kuyakini akan menuai hasil taburannya. Bak roda, kehidupan itu juga berputar. Begitu ungkapan yang diwariskan turun temurun semenjak nenek moyang. Bahwa yang sekarang bersenang-senang suatu hari nanti akan menangis. Yang menindas suatu hari pasti juga akan merasakan ditinda

  • Pisah Terindah   Part 61

    Pisah Terindah #61"Bu Dara, ini Pak Danar. Sewaktu-waktu jika saya berhalangan, Pak Danar ini yang akan mewakili saya." Aku tetap berdiri dalam bisu. Jujur, aku tidak tahu harus memberi reaksi apa. Haruskah aku melebarkan tangan, mengucapkan selamat bertemu lagi, lalu menyebut namanya selayaknya dua orang yang sudah saling kenal bertemu lagi, atau malah harus pura-pura berkenalan lagi selayaknya orang baru pertama kali bertemu? Mas Danar sepertinya juga tidak jauh berbeda denganku. Dia pun tampak canggung setelah didahului oleh ekspresi kaget. Perlahan Mas Danar mendekat. Sementara aku yang masih setia dengan posisi berdiri sejak awal. Untuk beberapa saat aku mempertahankan tatapan yang tertuju pada Mas Danar. Dia pun sama. Hingga akhirnya jarak yang tersisa antara kami hanya seukuran meja. Aku pun buru-buru menyibukkan diri dengan memindahkan map dari tangan kiri ke tangan kanan dan menaruhkannya ke meja guna menghindari kontak fisik dengan Mas Danar. Aku berharap dengan begit

  • Pisah Terindah   Part 60

    Pisah Terindah #60 Aku pun membenahi penampilan. Ini akan menjadi kali pertama aku bertemu dengan klien dengan status sebagai pengacara. Kalau biasanya aku hanya sekadar tahu dan membantu. Sekarang, aku menjadi salah satu tim inti yang harus ikut jungkir balik mengumpulkan data, fakta, alat bukti, saksi, dan sebagainya yang nantinya akan dibutuhkan sebagai senjata dalam menghadapi pertempuran di pengadilan. Kemarin sudah cukup panjang dan lebar kami menganalisa. Sekarang saatnya menindaklanjuti dan menentukan strategi. Aku serta Pak Beni telah menyepakati janji untuk bertemu dengan pihak Joan Persada. Mereka mengundang kami ke sebuah restoran yang menyediakan 'meeting room'. Aku mempersiapkan diri sebaik-baik mungkin. Bagaimana cara bersikap, bertutur kata, menyanggah pendapat orang, serta yang paling penting bagaimana menjadikan diri sebagai magnet. Kemampuan berbicara dan penampilan adalah modal utama seorang pengacara. "Kita harus menampilkan diri sesempurna m

  • Pisah Terindah   Part 59

    Pisah Terindah #59 "Mama hebat, selamat mama!" Shahna berseru riang sembari menyerahkan buket bunga mawar putih padaku. "Terima kasih, Sayang mama. Anak hebat, anak cantik yang paling mama sayang se-jagad raya." Aku mendapatkan pelukan dan beberapa ciuman dari Shahna. Dia pun tampil sangat menawan dalam balutan gaun panjang didominasi warna nude. Senada dengan kebaya yang kupakai hari ini. Kebahagiaan pun jelas terpancar di wajah imutnya. Momen wisuda ini memang sudah sangat ditunggu Shahna. Karena selepas ini aku berjanji akan menebus waktu kebersamaan kami yang belakangan ini semangat jarang. Pengertian Shahna yang mempermudah aku menjalani semua ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada putri semata wayangku itu. "Selamat, ya, cintaku, sayangku, bestie terbaikku." Windi memelukku erat. Kebahagiaan dan rasa haru tergambar dari wajahnya. "Terima kasih, sahabatku tersayang. Tanpa kamu aku takkan bisa apa-apa." Tanpa diundang embun bermunculan di mataku. Aku benar-benar terh

  • Pisah Terindah   Part 58

    Pisah Terindah #58 (POV Danar) "Pak Danar, antarkan ini ke proyek A-14. Pak Anthoni sedang menunggu di sana. Sekalian berkas ini kebagian pemasaran." Pak Hamdi memberikan dua tumpuk berkas padaku. Setelah itu, lelaki yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku itu berlalu begitu saja. Tak ada basa basi, tidak ada ucapan terima kasih. Begitulah gambaran hari-hariku di salah satu kantor Avalia Utama selama beberapa bulan belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kekalahan di pengadilan waktu itu dan proyek yang sedang digarap menderita kerugian atas ganti rugi terhadap pihak yang menang. Awal-awal memang aku masih berada di kantor pusat dengan tekanan kerja yang luar biasa serta target yang besar. Dalihnya sebagai bentuk pertanggung jawabanku. Lalu, beberapa bulan ini aku dipindahkan ke kantor cabang. Aku memang tidak dipecat tetapi luntang-lantung tanpa jobdesk yang jelas. Tiap bulannya hanya menerima gaji standar. Tidak ada bonus-bonus sama sekali. Sehingga penghasilanku mandek s

  • Pisah Terindah   Part 57

    Pisah Terindah #57Ikhlas adalah kunci bahagia menjalani kehidupan. Begitu mendiang ibu pernah berkata. Dulu bagiku semua itu adalah bentuk kenaifan belaka. Bentuk ketidak berdayaan melawan kesemena-menaan atau dengan kata lain sekadar memperindah istilah pasrah ke versi yang religius. Ternyata aku keliru. Kenyataan demi kenyataan yang kujalani dengan segala pasang surut emosi mematahkan anggapan yang dulu. Pernah memelihara sakit hati, amarah, bahkan dendam pun sempat bersarang. Namun justru hal itu makin membebani. Harusnya memang dibuat sederhana saja. Salah satu permisalan, ketika seseorang sudah tidak ingin bersama kita lagi. Dia ingin pergi, sebaiknya memang dilepaskan saja. Kenapa masih ingin tetap memiliki? Kenapa harus mati-matian dengan segala daya upaya menahan orang yang memang sudah ingin pergi? Namun kadang ego manusia susah untuk ditaklukkan sehingga ujung-ujungnya memperdalam rasa sakit untuk diri sendiri. Ikhlas adalah titik tertinggi yang tak mudah untuk dirai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status