Share

Part 7

Pisah Terindah

#7

Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar.

Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut.

"Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius.

"Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug.

"Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam.

"Kamu yakin?"

Mas Danar mengangguk penuh keyakinan.

"Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita."

Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?"

"Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris."

"Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?"

Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?"

Mas Danar mengembuskan napas berat.

"Okey, jika kamu maunya begitu."

***

"Kamu yakin ini, Ra?"

Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu.

"Sesuai saran kamu, kan?" Aku menjawab asal.

Windi semakin mendekat ke sebelahku.

"Tapi kamu nggak harus mengikuti apa yang aku sarankan. Yang aku bilang ke kamu hanya second opinion. Alternatif, Ra. Pilihan akhir tetap apa yang hati kamu yakini."

Aku memutar posisi hingga menghadap pada Windi.

"Kenapa, kok tiba-tiba kamu yang ciut?" Aku menatap serius pada Windi.

Windi balas menatapku dengan tatapan prihatin.

"Ra, aku ngebayanginnya kok jadi nggak tega, ya. Nanti kalau kamunya kenapa-kenapa, aku yang paling bersalah, Dara."

Aku tertawa pelan melihat ekspresi Windi.

"Kamu lucu, ah, Win. Ini murni pilihan aku. Apa pun resikonya nanti, harus aku jalani. Lagi pula, setiap pilihan akan selalu ada dua sisi, bukan?"

"Kamu dukung aku, ya, apa pun yang nantinya akan kujalani dalam hidupku," lanjutku lagi.

Windi tersenyum pilu. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku.

"Aku akan selalu ada untuk kamu dan Shahna. Aku sudah menganggap kamu seperti saudaraku sendiri, Dara. Kalau kamu ada apa-apa, selalu kasih tahu aku, ya."

"Iya, Win. Makasih, ya."

"Hai! Sorry guys, kalian sudah nunggu lama, ya," seru Mbak Tania begitu dia memasuki ruangan.

Aku dan Windi spontan sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Mbak Tania menampakkan wajah menunjukkan rasa bersalah. Wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu nampak sangat cantik. Dandanannya masih paripurna walaupun dia sudah beraktivitas sejak pagi.

"Gini, nih, kalau berurusan sama pengacara papan terbang. Sabarnya kudu setebal papan penggilasan," sindir Windi pada kakaknya.

Mbak Tania hanya memanyunkan bibirnya tanpa menanggapi ocehan Windi.

"Eh, iya, Mas Adit juga masih on the way. Paling sepuluh menitan lagi nyampai. Maaf banget, ya, Ra," ungkap Mbak Tania sembari melihat jam mungil yang melingkar di pergelangan tangannya yang mulus.

"Nyantai aja, Mbak. Lagian Mas Danar juga masih di jalan."

"Kita ke ruangan aku aja, yuk. Kita ngobrol di sana aja," ajak Mbak Tania lalu segera melangkah menuju salah satu ruangan di dalam kantornya tersebut. Aku dan Windi mengikuti ibu satu anak itu.

"Jadi, Dara benar-benar udah siap lahir batin ini?" tanya Mbak Tania setelah kami duduk di dalam ruangannya.

Sama seperti Windi, pertanyaan senada juga sudah dilontarkan Mbak Tania beberapa kali. Ketika pertama aku menyampaikan maksudku pada Mbak Tania, dia sangat kaget. Meskipun hanya sekadar kenal dengan Mas Danar dan tidak begitu dekat denganku, Mbak Tania juga sama sekali tidak menyangka badai ini bisa menerpa perkawinan kami.

Mengingat statusku yang fokus menjadi ibu rumah tangga, Mbak Tania memang tidak menganjurkan aku untuk buru-buru menggugat cerai. Memang, aku harus berpikir panjang. Aku harus memikirkan bagaimana kelanjutan hidupku pasca perceraian itu sendiri. Jadi, mau tidak mau bertahan adalah pilihan yang harus diambil saat ini.

Aku diam sesaat lalu mengangguk pelan. "Ya ... siap nggak siap, sih, Mbak."

"Setiap pilihan pasti ada resikonya. Tugas kita adalah mengambil pilihan dengan resiko terminim. Dara pasti udah punya pertimbangan tersendiri, bukan?"

Aku mengangguk pelan.

"Baiklah, kita tinggal nunggu Mas Danar dan Mas Adit."

Windi mengelus pelan punggungku. Memberi dukungan dan kekuatan yang memang sangat kubutuhkan di saat-saat seperti ini.

***

"Mas Danar tidak ada yang keberatan dengan poin-poin pada isi perjanjian ini?" Mas Adit kembali memastikan sebelum Mas Danar membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan.

"Tidak ada. Saya menyetujui semuanya," ujar Mas Danar tanpa ragu.

"Semuanya sudah jelas, ya. Dari pihak Dara sendiri juga sudah final, kan? Udah fix semuanya? " Mas Adit mengalihkan tatapan padaku.

"Iya, sudah." Aku menjawab pelan.

"Baiklah kalau begitu, kita tanda tangani dokumen-dokumennya agar secepatnya ditindaklanjuti," lanjut Mas Adit.

Aku mengajukan beberapa persyaratan pada Mas Danar sebelum aku memuluskan jalannya untuk meresmikan pernikahan siri yang entah dari kapan dia jalani. Mbak Tania dan Mas Adit pun mendukung maksudku itu. Menurut mereka, hal itu memang penting untuk melindungi hak-hak aku dan Shahna.

Memang perjanjian setelah berlangsungnya pernikahan, jarang terjadi. Kebanyakan adalah perjanjian pra nikah. Meskipun begitu, perjanjian setelah menikah pun diperbolehkan dalam undang-undang pernikahan dan legal, begitu kata Mbak Tania ketika aku berkonsultasi dengannya beberapa hari yang lalu.

Tidak begitu banyak poin yang aku ajukan, tetapi kupikir cukup krusial terhadap kelanjutan hidupku dan buah hatiku tercinta. Di antaranya, gaji Mas Danar enam puluh persen menjadi nafkah untukku dan Shahna dan langsung ditransfer ke rekeningku dari bendahara kantornya.

Selanjutnya, rumah yang kami tempati mutlak menjadi milik Shahna. Aku ataupun Mas Danar tidak berhak menjualnya kecuali atas keinginan Shahna sendiri kelak setelah dia dewasa. Terkait dengan mobil yang memang dibeli menggunakan uangku, maka Mas Danar tidak diperkenankan menggunakan mobil tersebut sebagai alat transportasi selain untuk berpergian bersamaku dan Shahna.

Terkait dengan pernikahan kedua yang akan dilegalkan Mas Danar, aku pun mengajukan syarat, selama Mas Danar bersama aku dan Shahna, dia tidak boleh berkomunikasi sama sekali dengan istri keduanya itu. Namun, hal itu tidak berlaku kebalikannya.

Kukira Mas Danar akan keberatan dengan poin terakhir itu. Ternyata di luar dugaanku, Mas Danar tidak keberatan sama sekali.

"Siapa yang mau duluan tanda tangan? Dara atau Mas Danar?" Pertanyaan Mas Adit menyentakkan aku dari lamunan.

Seketika aku dan Mas Danar saling tatap. Ada getar yang tak biasa di hatiku ketika pandangan kami bertemu. Rasa pilu menyergap, memelukku dengan perih yang tak terkira.

Tatapan Mas Danar padaku pun seakan menyimpan makna yang dalam. Tak berani aku untuk menerka walau di benakku menggunung rasa penasaran.

Entah apa yang ada di hati Mas Danar saat ini. Senangkah dia? Bahagiakah dia karena apa yang diinginkannya akan segera terwujud? Bahkan sudah di depan mata.

Lalu, bagaimana dengan aku? Siapkah aku? Benarkah aku sanggup untuk berbagi suami? Aku menghela napas pelan. Lanjut atau mundur?

"Bagaimana?" Lagi Mas Adit bertanya.

****

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
daripada kau menye2 g karuan lebih kau upgrade diri mu. buat diri mu berguna krn jadi pengangguran membuktikan kau tak lebih sampah di mata suami mu. makanya jangan terlalu percaya diri njing
goodnovel comment avatar
Mahzuni
thor aku udah kayak lg goreng peyek ngintip ceritamu ga lanjut²
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
duh Thor ceritamu selalu tentang istri yang dikhianati suaminya yang nikah lagi. syediih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status