Share

Bab 2 : Angin Tak Dapat Ditangkap, Asap Tak Dapat Digenggam

      Hampir dua bulan sudah ospek sekolah berlalu, Naya dan murid-murid lain sedang pusing melumat pelajaran kimia di kelas, masih setia menggunakan seragam putih abu-abu. Ia duduk sendirian di pojok belakang, menerawang angkasa dari balik jendela. Tangannya memegang bolpoin hitam di atas kertas buku, tapi tatapan matanya kosong, jiwanya berkeliaran entah kemana.

    “Anak-anak, setelah ini saya bagikan tugas kelompok yang harus diselesaikan dua minggu ke depan, ya. Sisa jam pelajaran ini kalian gunakan untuk berdiskusi saja. Sekarang waktunya kalian mencari anggota kelompok maksimal lima orang, nanti ditulis nama-namanya di kertas.”

    Lamunan Naya seketika buyar mendengar pengumuman sang guru yang menurutnya mendadak dan mencekik. Wajahnya berubah nanar, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ketika mengamati teman-temannya yang lain, semua menjadi heboh, ada yang berdiri menghampiri satu sama lain agar bisa segera membuat kelompok, saling berebut sambil bercanda. Melihat itu kepala Naya mulai pening, apalagi mengetahui bahwa tak ada satu pun dari mereka yang mau mendekatinya. Dia hanya diam terpaku menundukkan kepala.

    “Sudah dapat kelompok semuanya?” tanya sang guru dari depan kelas selang beberapa waktu kemudian.

    Tak ada yang menjawab. Sebenarnya ada satu orang hendak mengangkat tangan tapi ragu-ragu, menatap Naya yang masih menunduk dalam di pojokan.

    “Kalau begitu kumpulkan kertas nama seluruh anggota kelompok ke saya sekarang juga.”

    Sebanyak enam orang telah maju ke meja guru hampir berbarengan menyerahkan kertas sobekan. Sang guru mengecek satu per satu kertas, tapi kemudian berhenti pada satu kertas yang dianggapnya aneh. “Ini kenapa kok masih empat anak? Bukannya kelas ini pas 30 anak?”

    Beberapa anak memasang wajah tidak enak, Naya bisa menebak kenapa alasannya saat menoleh ke arah mereka satu per satu dengan sinis.

    “Yang mana namanya Suci? Suci Pratiwi?” panggil sang guru melihat nama paling atas di kertas yang dipegangnya.

    Seorang perempuan yang duduk di samping Naya berbeda meja mengangkat tangannya pelan-pelan, seperti tak ingin tertangkap. “S-Saya Bu.”

    “Kelompokmu masih kurang satu anak, siapa yang belum masuk?”   

    Suasana kelas kembali hening.

    “Saya Bu, belum dapat kelompok,” ujar Naya memecah kebisuan anak-anak dengan berani.

    Sang guru mengerjapkan matanya cepat-cepat, membenahi letak kacamatanya yang berantai, lalu menghela nafas panjang. “Kamu lagi? Tadi nggak coba tanya ke anak-anak lain?”

    “Saya mengerjakan tugasnya sendiri juga nggak masalah kok, Bu.”

    “Ini bukan sekedar tentang tugas, nak,” kata sang guru tak terima, tapi juga tak mau menjelaskan lebih. “Suci, tolong masukkan dia ke kelompokmu saja ya.”

    Bisik-bisik terdengar di dekat Naya. “Aduh... Kita harus sekelompok sama dia,” ucap Suci pelan, tak peduli Naya yang berada tepat di sampingnya. “Katamu dia pembawa sial. Kalau menolak, pulang-pulang kita malah jadi jenazah gimana? Aku sih nggak mau,” teman sebangkunya menimpali sambil terkekeh. Dia pun merespon dengan bergidik ngeri.

    Selesai memberikan pelajaran, sang guru mulai mempersilahkan anak-anak berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. beberapa kelompok berkumpul melingkar di bangku-bangku, ada juga yang memilih duduk lesehan di bagian belakang kelas.

    Naya dan kelompoknya terus saja bercanda selama diskusi, meski tak sekalipun mengikutkan dirinya. Seperti batu yang hanya bertengger di kursi, anak-anak lain sama sekali tak mengindahkan keberadaan Naya. Namun, ia tak memperdulikan hal itu dan memilih fokus dengan smartphone-nya, seakan perlakuan itu sudah hal yang biasa.

    “Eh iya, terus gimana ini tugasnya?” tanya Suci, memposisikan dirinya seperti ketua kelompok.

    “Kita kerjakan bareng aja di rumah Suci. Hari Minggu ini kayaknya cocok tuh! Pokoknya jangan lama-lama…” seru salah satu anak laki-laki dengan semangat.

    Kaget, Suci menepuk lengan anak laki-laki itu dengan tangan kirinya, mengernyitkan dahi. Sekilas matanya menuju Naya, memberi aba-aba. Yang awalnya semangat, anak laki-laki itu menjadi ciut, memegang tengkuk lehernya cemas. Keheningan yang tidak melegakan mulai disadari Naya, ia pun melepas fokusnya dari layar smartphone.

    “Kalian kasih tugas aja ke aku, kirim lewat Lane. Lagian, aku capek lihat kalian bercanda terus, berisik dan buang-buang waktu,” pinta Naya datar.

    Suci dan beberapa anak lain menatapnya dengan berang, menahan amarah. Tetap santai, Naya berdiri dari kursinya lalu mengangkat tangan kanannya. “Bu guru, saya ijin ke kamar mandi.”

    Selama berjalan ke arah pintu keluar, kembali ia mendengar bisik-bisik yang tidak enak didengar. “Apa sih, sok rajin dia. Sudah untung masuk kelompok kita,” tukas Suci tajam.

    “Ya udah, kan lebih enak gitu. Kita nggak perlu lama-lama deket sama dia.”

                                                                 ***

    Tengah malam di hari yang sama, Naya dan seorang laki-laki sebaya masih terbangun, merenung duduk di lantai balkon atas rumah, menghadap langit bermandikan titik-titik bintang. Sesekali sang lelaki mengatur letak kacamatanya, lalu meraih buku di sampingnya, buku tentang astronomi. Sedang Naya terus melumat keripik singkong satu per satu dari bungkus plastik yang dia pangku untuk mengobati mulutnya yang kesepian. Yah, tenang seperti biasanya. Satu-satunya saat dimana mereka bisa benar-benar beristirahat dari hiruk pikuk suasana rumah, dan sekolah yang seperti penjara bagi Naya.

    “Bim, pasti enak ya kalo jadi bintang di langit, nggak perlu ribet sama orang lain,” ujar Naya dengan siratan mata kosong.

    “Nanti yang ada malah mati kebosanan kau, Nay,” balas Bima masih fokus menatap buku.

    “Ya nggak akan bosan, lah… Menurutku ya, sendirian tu justru lebih enak. Kalo jadi bintang, aku bisa main pake HP-ku, kok”

    “Percuma, nggak ada sinyal lah. Lagian, kalo ikut tambah tua gimana? Jadi bintang keriput. Yakin seratus persen, kau bakal jadi bintang paling jelek sejagad raya.”

    Naya menoleh ke Bima dengan geram, membuat kunciran rambut hitam panjangnya terlambai. “He…! Sukanya ngerusak mood orang aja... Padahal aku cuma ngayal, emangnya aku bisa lari dari sini?”

    Bima kembali menghembuskan nafas panjang dan menutup bukunya, “Buat apa melarikan diri kalau ini rumah kau sendiri.”

    “Ya... Aku nggak bermaksud lari dari rumah, Bim, tapi...”

Naya berhenti sejenak. 

    “Ah, entah.”

    “Di sini masih banyak yang sayang sama kau, Nay.”

    “Gimana aku bisa move on semudah itu, Bim. Semenjak kejadian itu, semua orang bilang keluargaku pembawa sial. Sebelum meninggal, Eyang juga jadi suka bengong, aku kan sedih ngelihatnya.”

    Bima mengubah posisi duduknya ke arah Naya dan memasang wajah khawatir, “Naya... Mereka tu cuma berasumsi, kan. Jelas-jelas ibumu meninggal bukan karena kau, atau ayah kau.”

    “Hah… Ayah juga kemana… Nggak balik-balik,” keluh Naya berusaha menyunggingkan senyum, meski ekspresi matanya terlihat suram.

    Kali ini Bima hanya bisa terdiam. Dia telah bersama Naya selama hampir 6 tahun, tahu persis apa yang telah dialami teman baiknya ini. Tatapan jijik dan takut sering mewarnai kehidupan sekolahnya. Tak banyak yang ingin dekat, meski guru sudah berulang kali memperingatkan untuk memperlakukannya dengan lebih baik. Alhasil, Naya hampir setiap waktu sendirian. Namun, kesendiriannya sedikit terobati berkat Bima yang diundang ke keluarganya sebagai salah satu anak asuh. Bahkan, bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai bagian dari keluarga kecilnya.

    Demi membunuh rasa kesepian, Naya melakukan kegiatan-kegiatan olah fisik yang sangat disukainya. Pernah ia memberikan piala juara pertama kepada sekolah saat memenangkan lomba tolak peluru se-nasional tingkat SMP. Tak peduli pandangan orang lain, ia terus menyibukkan diri baik secara akademis maupun non akademis, hingga menoreh prestasi-prestasi gemilang.

    “Eh, Bim! Ada bintang jatuh! Langka tuh, ayo kita buat permohonan!” teriak Naya tiba-tiba saat menunjuk bintang berekor di langit.

    “Sejak kapan kau suka hal-hal mitos? Bintang mana bisa mengabulkan permintaan.”

    “Jangan salah paham dulu, itu cuma alasan buat nyampein sesuatu ke Tuhan, sekarang juga.”

    “Hmm.. Okelah.”

    Naya bergegas memasang tangan meminta dan berbisik dalam hati : Tuhan, kalo aku masih layak untuk memohon, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

    Karena setengah hati mengiyakan, Bima memilih mengintip Naya yang sedang menutup mata dan menyimpulkan senyum.

    Mendadak terdengar suara meja kayu yang digebrak seseorang di ruangan samping mereka, membuat kaget setengah mati. Sontak Naya dan Bima berpikir hal yang sama sembari menatap satu sama lain lalu menoleh ke belakang. Sudah diduga, itu adalah Mbak Tini, pembantu rumah tangga sekaligus pengelola panti asuhan milik ayah Naya, telah bersama keluarga itu selama bertahun-tahun. Meski dipanggil ‘Mbak’, umurnya sudah sekitar setengah abad.

    “Tengah malam kok masih belum tidur... Nggak baik buat kesehatan! Kalau besok sampe terlambat sekolah, nggak ada sarapan buat kalian!” teriak Mbak Tini. Hal itu membuat Naya dan Bima tersentak dan meringis.

                                                                ***

    Setahun telah berlalu. Terdengar bel berbunyi nyaring di area suatu sekolah. Para siswa mulai berhamburan keluar dari kelas, melanjutkan aktivitas baik di dalam maupun luar sekolah. UAS (Ujian Akhir Sekolah) kedua bagi Naya dan Bima sebentar lagi akan diadakan. Dan cara Naya menghibur diri sendiri salah satunya adalah menggerakkan badannya seaktif mungkin.   

    Karena Naya ingin berlatih tolak peluru di lapangan umum tanpa sang pelatih, Bima pun pamit pulang dulu. Di Indonesia, tolak peluru belum menjadi hal yang lumrah untuk dijadikan kegiatan ekstrakurikuler. Akhirnya Naya selalu mengaktuskan hobinya di luar, lagipula dia juga tak terlalu nyaman berlama-lama di tempat penuh rumor seperti sekolah.

    Setiba di lapangan, Naya mulai mempersiapkan diri. Ia mengeluarkan bola besi seberat tiga dan empat kilogram dari ransel hijaunya. Setelah itu berusaha membuat garis-garis untuk mengukur seberapa jauh ia melempar. Baru kemudian ia melakukan pemanasan, sekalian berlari kecil. Ketika ia sudah benar-benar merasa siap, ia pun mulai mengambil salah satu bola besi di dekat tasnya. Suasana siang yang mendung dan cukup berangin, mendukung Naya untuk menghibur diri dalam waktu yang cukup lama.

    Bila melihat bola besi yang dipegangnya, Naya kembali mengingat perkataan sang nenek yang tak akan pernah dilupakannya. Sejak kecil, ia suka sekali melempar-lempar batu kecil ke sungai dekat rumahnya kalau ada masalah.

    Suatu waktu saat masih SD, sehabis dimarahi bu guru karena mendorong teman yang mengolok-oloknya sebagai anak pembawa sial, pulang sekolah Naya langsung pergi ke pinggiran sungai. Sang nenek pun menghampirinya, mengelus rambutnya sembari tersenyum dan berkata:

    "Naya, daripada melempar tanpa arah, kenapa tak kau kendalikan dan jangkau lebih jauh?

    Eyang tahu, terkadang hidup memang tidak adil, Nay. Tapi amarah itu jangan kau umbar sembarangan, justru nanti banyak ruginya. Kendalikanlah dan jadikan amarahmu tepat sasaran.

    Eyang yakin, Naya akan jadi orang kuat setelah itu. Kalau kuat, tidak hanya bisa melawan penindasan, tapi Naya juga bisa membawa dunia ke arah yang lebih baik."  

    Menjelang matahari terbenam, setelah Naya puas berlatih tolak peluru, ia pun sampai di rumah. Dulunya tempat ini adalah villa besar yang disewakan. Lokasinya di kaki gunung, cukup terpencil dari rumah-rumah penduduk lain. Di sekitarnya terhampar hutan tropis yang cukup lebat. Bila melihat ke taman belakang, ia cukup luas untuk tempat outbond atau bermain para anak asuh. Secara keseluruhan, rumah ini adalah hunian yang cukup nyaman dan menenangkan. Lebih nyaman lagi bila warga tak menyebarkan gosip aneh tentang keluarganya.

    Terlebih, tak banyak yang berani mendekati rumah sekaligus yayasan milik keluarga Naya, terutama areal hutan di sekelilingnya, sebab secara turun temurun ia menjadi tempat terlarang bagi seluruh warga. Ada situs candi yang orang lain tak boleh sembarangan memasukinya, orang-orang lambat laun menganggapnya sebagai tempat keramat. Demi menjaga keamanan situs candi dan warga, nenek Naya bersedia menjadi juru kunci dari hutan terlarang itu.  

    Setelah beliau meninggal tiga tahun yang lalu, tugas juru kunci secara tidak langsung kemudian digantikan oleh Mbak Tini, mengingat para warga tak ada yang mau berurusan dengan tempat yang sedemikian berbahaya, menurut mereka. Mereka sama sekali tak mau berurusan dengan keluarga semisterius keluarga Naya. Apalagi sebelum sang ayah pergi dan sang ibu meninggal, pernah ada seorang warga dinyatakan menghilang ketika tak sengaja datang ke areal tersebut.  

    Sesampainya di kamar tidur, Naya melepas kaus kakinya dan mengganti baju. Samar-samar terdengar suara lesatan panah menghantam sebuah balok kayu di taman belakang. Ia pun melongok ke jendela, melihat Bima sedang berancang-ancang menembakkan panahnya kembali di bawah. Bima keren juga kalau lagi fokus memanah, ucap Naya dalam hati. Di sampingnya ada beberapa anak asuh sedang bermain lompat tali. Usia mereka berkisar antara enam sampai dua belas tahun.

    Setelah selesai mengecek smartphone, Naya pun memilih untuk turun dan menjumpai Bima di bawah.

    “Kak Bima kalau main panah kelihatan keren. Ajari aku juga dong, kak, biar sama kerennya!” pinta salah satu anak asuh sambil menarik-narik baju Bima.

    Bima meringis seakan ingin menolak tapi tak ingin menyakiti hati si anak. “Tunggu adek besar dulu ya, baru nanti kakak ajari. Gimana, deal?”

    “Maunya sekarang! Ngapain nunggu dewasa...” si anak memasang wajah cemberut.

    “Memangnya bisa kau bawa? Itu berat, lho. Bisa buat mukul kau, sih. Sini, mau dicoba?” sahut Naya tiba-tiba dari kejauhan, nyengir seperti kuda.

    Si anak jadi ketakutan. “Hiii... Nggak mau, Kak Naya kejam!”

    Naya terkekeh. “Ya udah, ayo main Boi-Boi[1]-an aja. Kalo main panah terlalu berat, lompat tali juga membosankan.”

    “Nggak ah, nanti kita kalah terus! Kan Kak Naya jago lempar bola sama larinya.”

    “Memang itu kan yang dicari,” balas Naya dengan bangga.  

    Bima menghembuskan nafas panjang melihat kelakuan Naya yang terkadang kekanak-kanakan. “Kalau begitu kita main petak umpet saja, tapi nggak usah lama-lama karena bentar lagi udah gelap.”

    Salah satu anak mulai menghitung mundur, sedangkan anak-anak lain bersama dengan Naya dan Bima mulai berpencar mencari tempat persembunyian. Bima dan Naya pun masuk ke dalam rumah, celingukan. Berlari ke sudut-sudut rumah, mereka lalu memutuskan masuk ke dalam kamar sang nenek. Menurut mereka kamar ini tempat yang bagus untuk bersembunyi, sebab anak-anak jarang yang berani masuk ke sini. Agar lebih efektif lagi, mereka berdiam di lemari milik sang nenek yang lumayan besar, cukup untuk menampung maksimal tiga orang.  

    “Sudah mulai ya. Aku cari kalian semua!” teriak sang anak setelah selesai menghitung mundur.

    Naya cekikikan sambil mengintip dari sela pintu lemari yang sedikit terbuka. Dengan kepribadian Bima yang tenang, ia lebih memilih untuk tetap diam sembari mengatur letak kacamatanya. Agar duduk lebih nyaman, ia menggeser tubuhnya pelan sampai ke pojok lemari, berlawanan dengan Naya. Cuma, ada benda yang menghalangi pergerakannya tepat di belakang pantat. Ia pun mengambil benda itu, yang ternyata adalah teleskop monocular dengan desain yang cukup unik. Terdapat simbol sepasang sayap tegas di salah satu sisinya. Melihat itu mata Bima menjadi berbinar-binar, mengingat ia suka sekali hal-hal berbau astronomi. Sebelum ini ia tak pernah memiliki teleskop yang dapat membuatnya mengamati bintang lebih dekat.  

    “Nay, aku boleh pinjem ini nggak ya?” bisik Bima penuh harap.

    Naya berhenti mengintip dan menoleh ke arah Bima. “Apa itu? Teleskop?”

    Bima mengangguk-angguk.

    “Bawa aja nggak apa-apa, Bim. Siapa pula yang mau pakai, Mbak Tini juga pasti nggak akan peduli sama benda kayak gitu.”

    Bima tersenyum puas, ia terus mencoba mengotak-atik teleskop tersebut. “Nanti malam ayo kita coba pakai teleskop ini, Nay.”

    “Ogah. Aku mau main Middle Fantasy aja. Udah lama aku nggak lanjut main, mumpung baru selesai UAS...”

    “Ya udah kalau gitu,” balas Bima agak kecewa.

    Mendadak Naya menutup pintu lemari di depannya, yang sedari tadi sedikit terbuka. Ia lalu menoleh ke Bima dan meletakkan telunjuk jarinya di depan bibir.

    “Aduh... Kak Naya sama Kak Bima kemana sih... Carinya susah,” gerutu sang anak sambil mondar-mandir di depan pintu kamar sang nenek.

    Mengetahui waktu semakin malam, Bima mengisyaratkan sesuatu kepada Naya agar lebih baik mereka keluar saja. Bukannya setuju, Naya malah memasang wajah geram dan menyilangkan kedua tangannya. Dasar anak kecil, tukas Bima dalam hati.

    “Sudah, sudah. Berhenti main petak umpetnya. Sekarang istirahat, adik-adik tersayang!” seru Mbak Tini, kemudian lanjut berbicara dengan nada yang lebih galak, “Naya Bima juga cepat keluar!”

    Mendengar itu, Bima tersenyum sombong ke arah Naya. Kali ini Naya yang menghembuskan nafas panjang, mau tak mau membuka pintu lemari. Langsung ia meloncat dan berencana membantu Mbak Tini menyiapkan makan malam. Sementara itu, Bima keluar dari lemari sembari menyembunyikan teleskop di belakang tubuhnya dan segera balik ke kamarnya di atas.

    Malam hari setelah Mbak Tini dan semua anak-anak asuh tertidur, Naya masih terjaga bermain mobile game menggunakan smartphone-nya . Sesekali ia melongok ke jendela. Ia bisa menyaksikan Bima masih sibuk menggunakan teleskop di taman belakang, berdiri di depan bangku panjang kayu, menghadap lembah yang di bawahnya merupakan areal hutan terlarang. Ada tangga ke bawah dan gerbang kecil yang bisa menjadi akses langsung menuju hutan. Sang nenek seringkali lewat situ.

    Apa sih yang bisa dilihat selain bintang, lama sekali dia menggunakan teleskop itu, gerutu Naya dalam hati. Tak lagi memusingkan perilaku Bima sedari tadi, Ia pun kembali fokus menatap layar smartphone-nya.

    Tak selang beberapa lama, terdengar suara langkah kaki cepat mendekati Naya.

    “Nay, kau harus lihat ini bentar!” seru Bima tepat di belakang posisi Naya yang duduk di meja belajar.

    Seruan yang tiba-tiba itu membuat Naya tersentak. “Aduh, apa sih, Bim, bikin kaget aja!”

    “Kau pasti bakal lebih kaget kalau lihat ke teleskop sekarang juga!”

    “Hash... Lagi ngelawan bos, nih.”

    “Ayo lah, Nay, sebentar aja. Penting!”

    Naya pun mendengus kesal. “Kalau besok kau mau belikan aku oseng mercon di Mbak Marni, kita impas.”

    Bima berpikir sejenak sembari memegang dahinya. “Ya ya, terserah.”

    “Nah begitu dong,” ucap Naya tersenyum nakal.

    Mereka pun tiba di taman belakang. Tanpa berkata-kata lagi, Bima mengambil teleskop yang diletakkan di atas bangku kayu dan menyodorkannya kepada Naya. Dengan ogah-ogahan ia terima dan mulai memfokuskan matanya pada lensa teleskop. Ia gerakkan teleskop pelan-pelan mendongak ke atas, coba menggeser penglihatannya ke arah kanan. Tak ada yang istimewa, tapi dia cukup terkesima juga dengan permukaan bulan yang belum pernah dilihatnya.

    “Maksudmu bulan purnama ini, Bim?” tanya Naya.

    “Bukan, coba kau lihat lebih ke kiri.”

    Naya mengikuti ucapan Bima. Pelan-pelan tapi pasti, ia berusaha menangkap hal-hal tak biasa selama menggerakkan teleskop yang ia pegang.

    “Nemu, nggak? Permukaannya hampir mirip sama bumi. Cuman, dia diselubungi sesuatu yang raksasa, agak transparan gitu. Kayak cincin Saturnus atau nggak, aku masih belum yakin.”

    Naya berhenti menatap lensa teleskop, memandangi wajah Bima dengan muka datar. “Aku bingung apa yang kau cerewetkan, Bim. Pokoknya ada warna hitam dan titik-titik putih, kan. Udah?”

    Tadinya mata Bima berbinar-binar, tapi harapannya yang besar terhempas sudah. Naya memang sejak dulu tak pernah paham astronomi, apalagi itu pertama kalinya ia menggunakan teleskop. “Hah... Yah, tambah bulan juga.”

    “Kalo masalah beginian, kau salah cari teman bermain, Bim,” Naya cekikikan tanpa rasa bersalah, “Tapi keren juga nyoba lihat angkasa lebih dekat, setidaknya sekali.”

    Bima berpikir keras, bagaimana agar Naya memahami apa yang dia temukan di angkasa, sesuatu yang asing dan tak pernah dijelaskan dalam buku atau berita apapun. Sepengetahuan Bima begitu. Tiba-tiba, momen ‘aha’ datang juga di otaknya.

    “Nay, aku coba foto objeknya pake HP-ku lewat lensa teleskop. Nanti hasilnya kutunjukkan ke kau ya.”

    “Terserah kau saja, Bim. Aku balik ke kamar dulu.”

    Tanpa menghiraukan Bima lagi, Naya pun langsung membalikkan badan, tapi Naya tak segera menggerakkan kakinya. Mengetahui Naya yang terdiam, Bima pun penasaran dan ikut memutar. Sontak matanya terbuka lebar-lebar. Di depan mata, tak jauh dari mereka berdiri seorang perempuan dan dua laki-laki berbaju aneh, kesannya seperti habis shooting film kolosal khas Nusantara, bedanya ada gaya modern menghiasi pernak-pernik mereka. Kedua laki-laki itu masing-masing membawa senapan TMP, sedang sang perempuan membawa tombak merah yang cukup unik di punggungnya, seperti menggabungkan antara fungsi menusuk dan menembak selayaknya bazooka.

    “Selamat malam, nona,” ujar sang perempuan seraya menyeringai.

    Naya mundur selangkah, ia ketakutan, tangannya bergetar. “Siapa.. Kalian?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status