Share

Bab 5 : Orang Mau Seribu Daya, Bukan Seribu Dali

Mendengar ledakan yang tak biasa, Naya secara refleks berlari sekuat tenaga, diikuti Bima yang tak akan mampu menandingi kecepatannya. Gerbang rumah ia dorong dengan tergesa-gesa, menemukan sebagian adik-adik panti memojok di dinding seberang rumah, gemetar ketakutan. Kepingan-kepingan bangunan berserakan di halaman, sedang atap rumah bagian kamar Naya terlihat berlubang cukup besar. Asap masih mengepul menyentuh angkasa. Jelas ini bukan sekedar hantaman, melainkan sumbernya juga mengeluarkan api. Entah itu roket, rudal, bom, atau apapun itu.

Tidak menunggu aba-aba lagi, Naya melesat mengecek isi dalam rumah yang masih penuh asap. Sedikit berbatuk, dia menelusuri satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya menemukan Mbak Tini di lantai 2. Ia sedang menggendong salah satu adik panti yang pingsan sementara dahinya terluka dan berdarah. Di belakangnya ada Sunam yang membopong adik panti lain yang masih sadar meski tubuhnya lemas sembari batuk-batuk, tidak ada luka-luka berarti selain bekas debu kotor reruntuhan.

“Nay, tolong cari Fani deket kamarmu! Dia pingsan, aku nggak bisa mbopong satu anak lagi,” teriak Mbak Tini.

Saat itu juga, Bima akhirnya mampu mengejar Naya dari belakang dan menawarkan bantuan, “Biar aku, Nay! Kau coba cari yang lain, siapa tahu masih ada yang belum keluar.”

Menoleh kesana kemari, Naya masih terus mencari adik-adik panti yang mungkin masih tertinggal. Wajahnya terlihat sangat khawatir, tapi dia harus tetap terus bergerak agar bisa benar-benar memastikan bahwa semua penghuni selamat.

Sampai di pintu kamarnya, mata Naya menelusuri dari satu sudut ke sudut lain, setelah itu meratapi langit-langit kamarnya yang berlubang. Karena ini adalah tempat terakhir untuk dicek dan ia tak menemukan satu pun lagi adik panti, kini ia bisa bernafas sedikit lega. Hanya saja, ia tak bisa lama-lama di sini, waspada bila bagian gedung ini masih bisa runtuh ke tanah. Sungguh, Ini bukan lagi pekerjaan orang iseng. Dan lagi-lagi, ia berusaha mencerna kejadian yang lebih tak biasa ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apakah ini bentuk penebusan dosa atas keluarganya yang dianggap pembawa sial? Naya semakin tak habis pikir. Bila terus begini, bisa-bisa dia jadi gila.

Sebelum sempat berbalik badan, Naya mulai menyadari sesosok manusia yang dengan santai bertengger di atas batang pohon yang cukup kuat, posisinya di balik pagar dinding rumah Naya yang atasnya terdapat jeruji dan kawat-kawat tajam. Dari lubang kamarnya, Naya melihat seorang perempuan yang benar-benar tak ingin ia hadapi, dan temui. Tasanee dengan tombak merah gadangnya. Dia tersenyum licik, seakan mengejek orang-orang di bawah sana sebagai kaum lemah. Naya pun menggeram.

“Mau kau apa, hah?! Sudah puas sekarang?!”

Tasanee tidak berniat menjawab, dia cuma merespon dengan meludah ke bawah. Dengan mata penuh dendam, Naya mencari cara bagaimana agar perempuan kejam itu enyah dari rumahnya. Ia pun melirik ke bawah lantai, menemukan sebuah bongkahan beton yang besarnya masih bisa digenggam tangan. Tasanee memahami niat Naya lalu berdecak lidah.

“Apa yang mau kau lakukan? Memang bisa sampai ke sini?” ejek Tasanee yang kemudian duduk, masih memegangi tombak raksasanya.

Tak menggubris ocehan Tasanee, Naya berancang-ancang, lalu melempar bongkahan beton di tangan kanannya sembari berteriak. Kesannya meyakinkan, tapi ternyata tak cukup kuat untuk sampai melewati dinding pagar. Tasanee pun merespon dengan tertawa. Namun, dari sisi bawah Sunam diam-diam melompat dan berupaya menyerang Tasanee dengan palu gadanya. Masih siaga, Tasanee berhasil menangkis benturan palu gada Sunam dengan tombaknya. Mereka terus saling beradu senjata baik di tanah maupun di udara. Sudah beberapa lama, Sunam tetap saja tak bisa menembus pertahanan Tasanee.

“Berani sekali melawanku, dasar pemberontak!” seru Tasanee tak sabar.

Ketika keduanya dalam keadaan jeda, Tasanee mulai mempersiapkan serangan andalannya. Kedua tangannya memegang tombaknya yang -pasti- cukup berat, mengarah ke tempat Sunam menapak. Sinar merah mengumpul di ujung tombak seperti bola api, semakin lama semakin besar. Sunam tak gentar sekalipun, seperti siap mati kapan saja.

“Sepertinya memang tempat ini dihancurkan saja,” gumam Tasanee cukup keras.

Hampir saja Tasanee melancarkan serangan mautnya, sebuah bongkahan beton melesat menuju keberadaannya. Ia yang mulai tahu bahwa pukulan itu akan sangat kuat kemudian melompat, berusaha menghindari serangan Naya. Batang pohon yang ia injak terhantam hingga patah dan roboh ke tanah. Dari atas batang pohon lain, Tasanee melihat ekspresi Naya yang tajam, diikuti percikan cahaya yang sesekali muncul di sekitar badannya.

“Boleh juga, tapi masih kurang,” ujar Tasanee masih santai.

“Nggak usah banyak omong!” balas Naya sengit.

Ingin Tasanee melanjutkan serangan, tapi ia mulai menyadari ada sekumpulan orang dari kejauhan mendekati rumah Naya. Tasanee pun memutuskan untuk mundur, melompat dari satu pohon ke pohon lain. Dengan kesempatan itu Naya bergegas turun ke bawah.

Terdengar orang-orang dari kampung sebelah mulai berdatangan, mengingat suara ledakan yang besar dan asap yang mengepul cukup pekat sampai ke langit. Namun, alih-alih membantu, mereka hanya memandangi rumah Naya dari balik gerbang yang terbuka. Tak ada satupun dari mereka yang berani masuk, apalagi menawarkan bantuan. Maka jelas, kedatangan mereka hanyalah sekedar penasaran. Parahnya, di antara mereka ada Suci beserta ibu dan adiknya Nino.

“Mbak Tini, anak-anak gimana?” tanya Naya setelah keluar dari gedung rumah, tidak mengacuhkan keramaian di depan gerbangnya.

Naya melihat Sunam dan Mbak Tini sedang menenangkan adik-adik panti yang masih ketakutan. “Ada yang masih pingsan, tapi aku cek idungnya masih nafas. Moga-moga mereka cepet sadar.”

“Aku udah panggil ambulans, Nay. Bentar lagi udah nyampe. Entar yang nungguin di rumah sakit biar aku aja dulu,” sahut Bima sembari memegang smartphone-nya.

Adik-adik panti yang tak terluka atau pingsan diarahkan Mbak Tini untuk tetap duduk meski di atas rerumputan sampai kondisi lebih tenang. “Nay, aku coba cari air dulu,” kata Mbak Tini. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Mbak Tini hendak melangkah kembali ke dalam rumah, mencari air entah di dalam kulkas atau di atas meja makan, semoga masih utuh. Tapi sebelum itu, dia mendekati kerumunan yang muncul di depan gerbang rumah, wajahnya sudah tidak enak dilihat. Sontak beberapa warga mundur teratur, takut akan diamuk Mbak Tini yang terkenal garang di seantero wilayah mereka.

“Kalian ngapa di sini, kalo nggak mau nolong sana pergi!” teriak Mbak Tini, sembari menutup gerbang dengan keras. Gumaman terdengar dari balik gerbang, para warga asyik bergosip.

Setelah kepergian Tasanee dan para warga, termasuk juga Bima dan sebagian adik panti ke rumah sakit, situasi mulai terkendali, otot-otot yang tegang pun mengendur. Hari sudah menuju petang, langit memerah jingga. Rumah sudah dicek baik-baik oleh Sunam, menyarankan semua untuk beristirahat sementara di lantai pertama. Sebagian di kamar Nenek, sebagian lain bisa di bagian rumah yang luas tanpa sekat dekat dapur. Ruang tamu belum menjadi tempat yang aman, mengingat letaknya tepat di bawah kamar Naya, demi menghindari adanya reruntuhan susulan.

Selain Naya dan Sunam, semua sudah masuk ke dalam rumah. Naya duduk meringkuk memeluk kedua kakinya di atas rumput, matanya kosong. Sesekali tangannya bermain-main dengan rumput di depannya. Sesekali juga ia menatap langit-langit kamarnya yang sudah terlanjur hancur.

“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nay. Sekarang ayo istirahat,” ajak Sunam lembut.

Naya menggelengkan kepala. “Kau duluan aja.”

“Biasanya kamu suruh aku pergi,” Sunam tertawa kecil berusaha mencairkan suasana. Yang semula berdiri untuk berjaga melihat sekitar, ia pun duduk bersila menemani Naya.

“Maaf…” gumam Naya pelan.

Sunam mengernyitkan dahi. “Kamu bilang apa, Nay?”

“Semua karena aku, maaf…”

“Bukan, ini bukan salahmu,” jawab Sunam meyakinkan, “Hal seperti ini sebenarnya pasti terjadi, karena itu aku tak bisa meninggalkanmu. Hanya aku tak menyangka kalau targetnya tidak hanya dirimu, tapi juga mereka. Aku kurang waspada.”

“…Apa ayahku udah bikin susah orang di sana?”

Sunam diam sejenak, sampai Naya menoleh menatapnya. “Kesampingkan itu dulu, Nay. Yang jelas cara Tasanee tidak bisa dibenarkan.”

Jawaban itu menjadi penutup pembicaraan yang masih teramat singkat. Semua masih menjadi misteri bagi Naya, terutama setelah dia masih begitu keras kepala ‘melarikan diri’. Dia paham betul bahwa dialah sebenarnya yang ‘batu’. Apa dia sudah terlambat mengakuinya? Sementara langit semakin gelap, titik-titik bintang di angkasa pun semakin jelas. Di sela-sela keheningan, angin berhembus lebih kuat, udara kian mendingin.

***

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Karena darurat, semua penghuni rumah makan malam dengan nasi, mie instan goreng, dan telur dadar yang dibagi-bagi agar bisa merata. Tentu saja, kondisi ini tak bisa dipertahankan seterusnya. Untungnya bibi Naya, donatur utama panti asuhan ayahnya mau segera membantu, walau tak bisa datang secara langsung. Dia tinggal di luar negeri, bekerja sebagai peneliti di perusahaan bonafit dengan gaji lebih dari sepuluh ribu Dollar per bulan. Bila di-Rupiah-kan, penghasilannya mencapai ratusan juta. Esok hari bila memungkinkan, akan datang orang konstruksi langganan bibinya untuk memperbaiki kerusakan rumah, kemudian mereka diminta menginap dulu di villa miliknya yang lain, masih dekat jaraknya dengan rumah Naya. Saat ini mereka masih menunggu penjaga villa yang kebetulan sedang pergi ke luar kota.

Di tengah canda tawa adik panti yang menghibur diri dengan mengejek satu sama lain, Naya memandang ke luar jendela. Tadi saat masak bersama Mbak Tini, ia mendapati ada bekas biru di lengan kanannya. Ketika ditanya, dia hanya bilang tidak masalah, hanya terbentur dinding saat mencari adik-adik panti yang masih terjebak di dalam rumah. Padahal Naya tahu betul lebam itu pasti sakit, terutama di umurnya yang sudah tidak muda. Kenyataan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Dengan situasi yang sedemikian aneh bin ajaib, apa yang mesti dia lakukan? Apakah benar pilihannya hanya satu? Pergi ke tempat asing nun jauh di sana untuk meminta pertanggungjawaban kepada ayahnya?

Naya masih saja mencari-cari alasan. Ia meminta Sunam untuk membuktikan keberadaan ayahnya dengan membawakan sebuah barang yanng berkaitan langsung akan ayahnya. Bila ia berhasil memberikan barang itu, maka ia bersedia pergi bersamanya. Maka dari itulah sejak Naya memasak, Sunam sudah tak bisa dilihat di manapun. Dia tidak keberatan atau mengeluh, pergi begitu saja.

Sebenarnya, Naya terpikirkan satu solusi yang lebih baik menurutnya. Untuk itu, ia diam-diam keluar rumah, tak lupa membawa tas kecil. Ia melewati gerbang kecil menuju hutan terlarang, menyusuri setapak jalan menuju tempat yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa menit kemudian, ia pun sampai tepat di depan candi. Tempat semua awal dari semua awal permasalahan, itu yang dipikirkannya. Pohon beringin di sampingnya melambai diterpa angin, menutupi rembulan yang telah lewat masa purnamanya.

Memastikan bahwa dirinya benar-benar sendirian, Naya celingukan. Ia ada kekhawatiran kalau-kalau Tasanee datang lagi ke sini, bila begitu rencananya bisa gagal. Terlebih, dia sendirian. Mungkin nyawanya bisa melayang, tapi mau tidak mau dia harus siap dengan kemungkinan itu. Jika itu adalah cara menebus dosa keluarga-keluarganya di masa lampau, mungkin itu yang terbaik.

Naya membuka tas kecil yang sedari tadi ia bawa. Ternyata isinya adalah dua bola besi kesayangannya, yang telah menemaninya tak lama setelah insiden meninggalnya Ibu. Ia ambil salah satu bola besi di dalamnya, setelah itu meletakkan tas kecilnya ke tanah secara sembarangan. Tangan kanannya menggenggam kuat bola itu, sementara matanya memandang pintu candi di depannya lekat-lekat. Kumohon, kalau benar aku punya kemampuan atau apapun itu, bantu aku, pinta Naya kepada dirinya sendiri dalam hati seraya menutup mata. Ia pun mengambil awalan dan bergumam, “Ini bisa jadi malam yang panjang.”

Sekuat tenaga Naya lalu melempar bola besi ke arah atas pintu candi, sekarang percikan cahaya langsung muncul di sekujur tubuhnya, tak perlu percobaan kedua atau ketiga kali. Sekilas Naya tersenyum puas, bola yang ia lempar sudah hampir menyentuh dinding candi. Rencananya perlahan-lahan akan berhasil, memporak-porandakan tempat ‘suci’ ini agar tidak ada lagi orang aneh datang mencelakai diri dan keluarganya. Walaupun berarti dia mengorbankan diri, menutup kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya lagi entah kapan.

Namun, tiba-tiba dua buah irisan angin menyilang muncul dari arah samping, menubruk bola besi yang melesat hingga membuatnya terbelah menjadi beberapa bagian. Irisan angin itu kemudian menghancurkan sebagian kecil ranting pohon, selepas itu menghilang tak berjejak ke angkasa.

“Aku pikir kamu tidak akan melarikan diri lagi.”

Suara itu sangat familier. Tanpa menoleh pun Naya tahu itu adalah Sunam. Rencananya yang gagal membuatnya menundukkan kepala, tangannya gemetaran.

“Apa ini yang benar-benar kamu inginkan?” ucap Sunam lagi.

Naya mengangkat kepalanya kuat-kuat, “Emang kamu paham perasaanku?! Kamu nggak paham!”

“Katakan padaku supaya paham,” balas Sunam singkat padat dan jelas, tapi tetap lembut.

Naya terduduk lemas, kepalanya menunduk lagi. Dari sela-sela poninya, titik demi titik air mata berjatuhan ke tanah. Rambut panjangnya yang dikuncir bergoyang sedikit saat Naya sesekali menyeka air matanya. “…Kau pikir, menghukumi ayah sendiri itu gampang? Ayah yang udah membesarkan aku… Mana bisa aku ngelakuin itu?! Siapa lagi yang harus ngadepin dia kalo bukan aku... Aku aja masih nggak habis pikir, ayah sehebat dia…”

Tangisan Naya makin menjadi-jadi, ia sampai sesenggukan. Sunam masih belum memberikan respon berarti, tapi ia berjalan mendekat. Sesampai di depan Naya, ia menekuk lututnya agar bisa sejajar dengan Naya.

“Aku sudah bilang padamu kan berkali-kali, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” ujar Sunam lembut. “Kalau kamu keberatan melakukannya, ayo kita lakukan bersama-sama.”

Naya pun menengadah, menatap mata Sunam yang menyejukkan, begitu juga dengan senyumnya yang menawan. Sunam lalu menyodorkan telapak tangan kanannya, seperti ingin membantu Naya berdiri kembali. Entah kenapa, hatinya menjadi lebih ringan setelah mendengar perkataan Bima.

Sayang, ketenangan hati itu tak berlangsung lama, mengetahui Mbak Tini tahu-tahu muncul sambil ngos-ngosan. Bak mendapat buah simalakama, dia mengabarkan kalau ada sekumpulan polisi datang ke rumah tanpa pemberitahuan.

"Kau baiknya nggak usah ikut kita, takutnya nambah masalah karena kau nggak punya KTP. Ya kan?" kata Naya sembari berjalan beriringan dengan Mbak Tini.

"Kalau begitu aku akan mengawasi di antara pepohonan," Sunam pun mulai memanjat dan melompat di antara pepohonan hingga batang hidungnya tak terlihat.

Sesampainya di halaman rumah, Naya disuguhi gerbang yang terbuka, di depannya ada 1 mobil berwarna dasar putih dengan garis biru dan merah, khas mobil polisi pada umumnya. Seorang polisi laki-laki yang tambun masih duduk di dalam mobil memandangi smartphone, sedang satu lainnya -yang lebih kurus dan tegak- memandangi rumah Naya terutama di bagian atap dan dinding yang berlubang. Ketika kedatangan Naya dan Mbak Tini mulai disadari, ia menoleh dan menghela nafas panjang.

Tanpa basa-basi lagi Naya bertanya kepada mereka, "Ada apa Pak malam-malam dateng ke sini?"

Sebelum menjawab, sang polisi meraih smartphone-nya yang ia simpan di saku celana, mematikan telepon yang terus berdering. "Maaf Ibu kalau kami mengganggu, karena kami diteror Pak RT untuk langsung memeriksa, katanya ada warga yang meresahkan," ia melirik tajam lubang di rumah Naya. "Sebenarnya kami sudah nggak mau menggubris, dulu kami juga pernah kesini dan nggak menemukan hasil. Tapi sepertinya untuk hari ini, ceritanya bisa berbeda."

"Terus maksud Bapak mau gimana?" respon Naya datar.

"Kita harus tahu dulu kenapa rumah Ibu bisa rusak begini. Warga menginfokan kalau Ibu bersama keluarga punya rencana melakukan aksi terorisme. Kata mereka kalian ada ketidak sengajaan saat mencoba alat peledak yang sudah dibuat."

"Hah?! Lha kok bisa kesimpulannya ke situ?!" teriak Mbak Tini nggak terima.

Naya maju ke depan selangkah menutupi pandangan Mbak Tini, menjaga agar emosi yang tersulut tak akan membuat masalah baru. "Di sini kami lagi berduka, Pak. Kami juga nggak tahu penyebabnya apa. Entah ada meteor jatuh kek atau gimana, kami masih syok. Mending tuduhannya langsung dicek aja Pak. Silahkan kalau mau keliling-keliling rumah. Kalik ada bahan-bahan peledak kayak yang dibilang."

Sang polisi tertegun sejenak. Dia terlihat ragu-ragu.

"Kenapa Pak? Nggak perlu sungkan." kata Naya melanjutkan sambil tersenyum tipis. "Yah, meskipun saya yakin Bapak lebih paham dari saya, karena sisa-sisa dinding yang ancur kebanyakan jatuh ke dalam daripada ke luar."

"O-Okelah kalo gitu, kami minta ijin ya," ia pun berbalik arah menuju mobil. "Woe, ayo! Hape-an aja kau! Biar cepet selese!"

Sekitar setengah jam 'menggeledah' sembari menyapa adik-adik panti yang duduk di ruangan samping dapur, mereka lagi-lagi tak menemukan apapun seperti yang dituduhkan warga. Kembali, mereka datang hanya untuk kesia-siaan. Meski begitu, dahi mereka masih berkerut-kerut memikirkan secara logis siapa pelaku dibalik 'serangan' tak berdasar itu.

"Kalian ini... Unik ya. Besok kalo ada waktu segera lapor ke Pak RT aja ya Bu biar salah pahamnya diluruskan," ujar polisi yang lebih kurus dan tegap.

"Lagian kita sebagai warga kan juga harus menjaga hubungan baik dengan tetangga-tetangga... Kalo begini kita repot teru-" belum selesai polisi lain berucap, pundaknya disenggol, membuatnya gelagapan.

Gerbang pintu rumah pun ditutup. Mobil para polisi telah melaju menjauhi tempat yang penuh dengan misteri dan keanehan, terlebih bila malam hari, suasana di sekitar bisa kelihatan sangat angker. Naya memergoki polisi yang gendut sempat bergidik ngeri saat masuk ke mobil, mungkin baginya tempat ini sungguh mistis. Bisa jadi ada makhluk ghoib macam Genderuwo yang marah lalu datang mengganggu mereka. Ya, polisi gendut itu berspekulasi sedemikian rupa, berbisik-bisik ke temannya yang cuma nyengir seperti kuda.

***

Naya mengabarkan kejadian malam ini kepada Bima via chat, sekaligus memintanya untuk kembali ke rumah kalau memang tidak ada adik panti yang harus dirawat di rumah sakit. Untungnya mereka cukup rawat jalan saja, minum obat yang rajin dan terartur mengganti perban sampai lukanya sembuh.

Memikirkan banyak hal, Naya enggan tinggal di dalam. Ia memilih duduk di bangku halaman belakang, memandangi angkasa dengan bintang yang terlihat berserakan indah di atas sana. Suara jangkrik dan angin berdesir menambah suasana malam yang cukup sepi. Rambut hitam yang ia kuncir melambai-lambai pelan, sedang matanya semakin sayu.

"Apa boleh aku duduk di sebelahmu?" tanya Sunam berdiri tak jauh di belakang Naya. Naya menoleh ke belakang dan membalasnya dengan senyum. Bagi Sunam, ini bentuk persetujuan. Ia pun berani melangkah perlahan kemudian duduk di sampingnya memberi jarak. Di tangannya tak lupa ada teleskop milik sang nenek.

"Sekarang aku semakin paham, Nay, apa yang kamu hadapi selama ini."

"Nggak usah bahas itu ah, santai aja dulu sekarang," kilah Naya seraya tersenyum manis. Sekilas ia melirik memandangi teleskop yang dibawa Sunam. "Kenapa ya planetmu itu nggak kelihatan dari sini? Ato dia salah satu dari bintang itu? Jauh banget brati ya?"

"Sengaja diberikan selubung ilusi supaya tersembunyi. Tapi dengan teleskop khusus ini, kamu bisa melihatnya. Mau coba?"

"Aku sempet coba lihat sama Bima, tapi aku tetep nggak nemu."

"Nanti aku arahkan yang benar dan lihat baik-baik, pakai perasaan saat mencari," jelas Sunam sedikit bercanda, tertawa kecil.

Naya meraih teleskop sang nenek yang disodorkan Sunam dan langsung meletakkannya di depan mata kanan. Kedua tangannya sibuk memutar, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Sunam segera memandunya ke arah yang benar, perlu memandang ke arah kiri agak ke atas, berseberangan dengan posisi bulan saat ini. Seketika mata Naya membelalak, ia benar-benar bisa melihat planet asing itu. Planet dengan selubung seperti lollipop bulat bak kaca pembesar, tapi permukaannya tak jauh berbeda dengan bumi. Jadi inikah yang dinamakan Planet Suryakanta?

"Akan lebih bagus kalau kamu mencoba melihat langsung. Kurasa kamu akan banyak terkejut."

"Kalo gitu pasti seru kayaknya ya? Seperti di game-game fantasi?"

"Hmm? Game? Apa itu?" jawab Sunam kebingungan. "Tapi ingat bahwa nyawamu bisa melayang kapan saja kalau tidak waspada," jelas Sunam meringis.

"Kalo gitu, Sunam, ayo ke sana!" ajak Naya riang, membuat mata Sunam langsung melebar, "Bantu aku nemuin ayahku, dan aku bantu misimu. Nggak ada tempat buat masa bodo dan melarikan diri lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status