Share

Bab 3 : Angin Tak Dapat Ditangkap, Asap Tak Dapat Digenggam

    Tak menggubris pertanyaan Naya, sang perempuan melihat keadaan sekitar lalu matanya tertuju pada teleskop di belakang Naya, utamanya pada simbol sayap tegas di sisinya.

    “Ah... Simbol Almiya. Berarti benar di sini tempatnya.”

    Segera Bima maju melindungi Naya, meski badannya juga gemetaran. “K-Kalian mau apa?!”

    “Hush... Jangan berisik. Atau kalian mau mereka yang di dalam kami tangkap juga?”

    Naya menatap rumahnya yang sepi, berharap mereka masih aman tertidur pulas di dalam. Ia bimbang, apa yang sebaiknya dilakukan. Melawan atau melarikan diri? Keduanya punya resiko besar untuk nyawanya, sebab mereka bisa saja tak segan menembakkan senapannya saat bergerak sedikit saja.

    Mungkin menunggu semua lebih jelas dulu, apa maksud kedatangan mereka datang ke tempat terpencil seperti ini. Merampokkah, atau mereka hanyalah kumpulan psikopat yang sekedar ingin menghabisi orang. Sungguh, jika begitu, mereka telah memilih tempat yang tepat, sebuah panti asuhan penuh dengan jiwa-jiwa manusia tidak bersalah.

    “Ayo ikut kami. Kalian punya tugas yang harus diselesaikan,” perempuan itu mengambil tombak senapan yang sejak tadi tergantung di punggung.

    “Jangan sembarangan nyuruh kami. Beraninya masuk ke rumah orang tanpa ijin!” balas Naya melawan.

    Sang perempuan terdiam sejenak, lalu berkata, “Borgol mereka.”

    Dua prajurit yang mengapitnya menganggukkan kepala tanpa bicara apapun, menghampiri Bima dan Naya. Mereka dipaksa meletakkan kedua tangannya ke belakang, seketika itu dikunci dengan borgol kayu yang sangat mencengkeram. Meski telah diborgol, mereka terus melawan ketika coba ditarik-tarik. Dua prajurit itu menjadi kesal, menodong mereka di kepala dengan senapan yang dibawa. Tapi sang perempuan mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan agar jangan menembak mereka.

    “Kalau ada niat melarikan diri, mau tak mau aku harus melumpuhkan kaki kalian. Jadi, silahkan pilih.”

    Wajah Bima dan Naya menjadi pucat pasi. Mereka pun berhenti bergerak, membuat sang perempuan tersenyum puas.  

    “Hmm... Jika tahu anaknya diculik, seharusnya dia akan muncul dan menyerah dengan sendirinya.”

    Pernyataan sang perempuan mengarah pada satu entitas manusia yang mestinya dikenal Naya. Masa itu Ayah, tebak Naya dalam angan-angan. Hanya, apa yang membuatnya seakan menjadi buronan? Apa orang-orang ini berasal dari kepolisian? Tapi, anehnya, mereka berkostum sedemikian rupa. Tombak itu juga bukan hal yang biasa digunakan seorang polisi. Ia terus mencari-cari alasan logis mengapa semua ini bisa terjadi.

    Demi menjaga diri dan keamanan penghuni rumah, Naya dan Bima mau tak mau berjalan di depan seraya dikawal oleh dua prajurit tadi. Di paling belakang ada sang perempuan yang akan terus mengawasi keadaan sekitar. Mereka melewati gerbang kecil rumah Naya yang telah dirusak gemboknya menuju hujan terlarang.

    Mereka terus berjalan, seperti tahu akan kemana, hingga kemudian sampai di sebuah situs candi tepat di bawah pohon beringin besar. Naya belum pernah datang ke tempat ini karena selalu dilarang oleh eyangnya, bahkan masuk ke hutan saja pasti akan dimarahi habis-habisan. Kecuali jika ingin bermain di pinggiran sungai yang dangkal, posisinya bertolak belakang dengan letak situs candi. Itu pun harus ditemani oleh sang eyang atau Mbak Tini.

    Sang perempuan pun perlahan melangkah ke arah pintu masuk candi yang gelap di dalamnya. Ia mengangkat tangan kanannya. Tiba-tiba gelang di tangannya bereaksi, memunculkan lingkaran cahaya putih di pintu candi.

    Naya dan Bima menjadi terkesima sekaligus keheranan, tentu ini bukan pemandangan biasa dan masuk di akal.

    “Ayo giring mereka ke portal,” perintah sang perempuan.

    Dua prajurit yang sedari tadi di belakang Naya dan Bima menodong-nodong mereka agar terpaksa berjalan mengikuti sang perempuan. Dalam keadaan putus asa, Bima menatap Naya yang sedang menggigit bibirnya. Ia mengepalkan tangan, tak bisa berbuat apa-apa. Mereka masih belum tahu akan dibawa kemana. Mau tidak mau mereka harus maju.

    Mendadak terdengar suara hantaman kaki dan tangan yang bertubi-tubi dari belakang Naya dan Bima. Kedua senapan yang dibawa oleh para prajurit menjadi terpental, sedang mereka sendiri terjatuh ke tanah, kesakitan. Bima, Naya dan sang perempuan pun menoleh ke belakang. Seorang laki-laki berambut pendek, mengenakan ikat kepala berwarna hijau, dengan baju yang tak terlalu berbeda gayanya dengan sang perempuan berdiri tegak seperti pahlawan. Ada sebuah palu gada unik menggantung di punggungnya yang tak terlalu lebar.

    Sang lelaki mendekati salah satu prajurit lalu mengambil senapannya yang tergeletak di lantai. “Yang Mulia Radikal mengijinkan senjata seperti ini? Apa kalian sudah lupa sejarah?

    Apalagi menculik orang yang tidak bersalah. Anda benar-benar keterlaluan, Panglima Tasanee.”

    Sang perempuan bersiaga mengangkat tombaknya. Mengenali sang lelaki, ia tersenyum sinis.

    “Hah... Pemberontak berlagak menegakkan keadilan. Tidak ada tempat untuk ceramah sekarang. Senjata ini ada untuk memberantas orang-orang sepertimu!”

    Saat Tasanee mulai maju ke depan, buru-buru sang lelaki melemparkan sebuah kantong, memunculkan asap putih yang dapat mengaburkan pandangan. Tasanee menggeram, menebas-nebaskan tangan dengan harapan asapnya dapat segera pergi.

    “Kalian berdua, cepat bangun dan kejar mereka!”

    Setelah membuka borgol Naya dan Bima, mereka berlari secepat mungkin tanpa arah di dalam hutan, demi mencari tempat persembunyian yang strategis. Namun, Bima yang tak biasanya berlari merasa kelelahan. Tak sengaja kemudian ia tersandung batu, membuatnya terjerembab ke tanah. Naya segera membangunkannya, dan mereka berlari lagi.

    “Tidak semudah itu, Sunam.” seru sang perempuan tak tahu dari arah mana.

    Tasanee pun menghadang mereka seketika melompat turun dari salah satu pohon, disusul dua prajurit dari arah yang berlawanan. Mereka dipepet hingga terpojok di dinding lembah landai di belakang. Tasanee berisyarat kepada dua prajurit untuk menangkap Bima dan Naya, sedang dia masih menodongkan tombaknya kepada Sunam.

    Dua prajurit dengan sigap maju, berusaha menangkap Naya dan Bima lagi. Semakin merasakan bahaya, Naya terlihat ketakutan, tapi tetap juga ingin melawan. Ketika mereka semakin mendekat, Naya semakin panik.

    Ia pun menutup mata dan mengulurkan kedua tangannya ke depan, “Nggak, jangaaan!”

    Kala itu juga, dua bola cahaya muncul di kedua tangannya, menggempur kedua prajurit hingga terpelanting cukup jauh. Tasanee dan Sunam sejenak sama-sama diam terpaku, tercengang dengan pemandangan yang baru saja terjadi. Namun, agar tak menyia-nyiakan kesempatan, Sunam lagi-lagi melempar kantong ke tanah, asap pun mengepul, membuat Tasanee tak berkutik. Segera Sunam menarik tangan Naya dan Bima untuk berlari sekencang mungkin.

    Sembari melihat ke belakang, belum lama melangkahkan kaki, mereka tak sengaja terperosot jatuh ke tanah hutan yang lebih rendah, sedikit menggelinding. Mereka pun terkapar di tanah lalu memaksakan diri untuk segera bangun. Untungnya, ada gua kecil di dekat mereka, tanpa basa-basi segera bersembunyi di tempat itu.

    “Cari sampai ketemu!”

    Terdengar semakin jelas suara langkah kaki mendekati tempat mereka. Tepat di atas gua kecil persembunyian, seseorang berdiri memandangi area sekitar, mencari-cari kemana mereka pergi. Sunam, Naya, dan Bima menahan nafas dan pergerakan. Setelah memastikan bahwa tak ada seorang pun yang terlihat, ia pun pergi berlari ke arah lain. Akhirnya, mereka bisa bernafas lega, namun tidak dengan suasana hati.

    “Kalian mohon tunggu di sini. Aku akan kecoh mereka dengan membuka portal dan masuk sebentar, seakan-akan kita kabur ke Suryakanta,” kata Sunam menenangkan Naya dan Bima.

    Bima bertanya dengan keraguan, “Surya... Kanta?”

    “Nanti akan kujelaskan semua. Jadi mohon tunggu dulu.”

    Sunam pun keluar dari gua dan melompat ke atas, berlari menuju situs candi.

    Selagi menunggu, Naya meringkuk memeluk kedua kakinya, menyandarkan wajahnya pada kedua lututnya. Sedang Bima masih melihat lurus ke depan bersiaga, siapa tahu ada orang yang ingin menyergap mereka kembali.

    “Kau nggak apa-apa, Nay?”

    Naya membisu, tak menjawab apapun. Situasi ini bukan hal yang menyenangkan untuknya. Apalagi bila penyebab semua ini adalah ayahnya sendiri. Ada banyak hal yang masih belum sepenuhnya ia mengerti. “Istirahat dulu aja, Nay. Aku yang jaga.”

                                                                ***

    Pukul dua dini hari, Sunam, Naya, dan Bima berkumpul bersama di ruang tamu rumah, bersama Mbak Tini yang telah terbangun mendengar suara pintu rumah belakang terbuka. Sepoci teh hangat dan beberapa cangkir dihidangkan Mbak Tini untuk mengurangi ketegangan yang sejak tadi menyelimuti suasana di ruangan yang cukup luas itu. Meski begitu, tak ada yang berkeinginan menyentuhnya barang sedikit pun. Anak-anak asuh masih terlelap tidur, tidak ada yang menghilang atau kemungkinan terburuknya, terbunuh.

    Sunam yang sedari tadi berdiri di samping jendela sepanjang pintu terus melongok dengan waspada, siapa tahu ada sesuatu atau seseorang yang tidak diharapkan muncul. Posenya sudah seperti anggota polisi yang mau menggerebek rumah pengedar narkoba. Sedang yang lain duduk dengan cemas di sofa, saling bergantian menundukkan kepala maupun menengadah, kecuali Naya yang terus termenung dengan mata melihat ke bawah.

    “Untuk sementara ini kita aman. Entah kenapa setelah mengejarku, mereka kemudian menyerah dan memilih kembali ke istana," jelas Sunam sembari melonggarkan gestur bertahannya.

    “Terus kenapa kau nggak kembali juga? Malah seenaknya datang ke rumah orang," keluh Naya tanpa basa-basi. "Nggak ada bedanya kau sama mereka. Bukannya perempuan itu juga bilang kalo kau pemberontak?”

    Mbak Tini yang awalnya menunduk langsung menatap Naya tak terima. “Nay, nggak boleh gitu, dia sudah usaha bantu kau dan Bima tadi!”

    Mendengar teriakan Mbak Tini, Sunam tersenyum kecil. “Mohon maaf yang banyak, tapi aku tidak bisa mengambil resiko kalau-kalau mereka datang lagi. Tempat ini harus ada yang melindungi.”

    “Aku bisa telepon polisi kok, biar kau nggak perlu repot-repot numpang di rumah orang.”

    “Dengan harapan mereka bakal percaya ceritamu, Nay? Situs candi, portal, dan apapun itu?” balas Bima.

    Menghadapi kenyataan pahit, Naya cuma bisa mendengus kesal.

    “Kak Sunam, terima kasih sudah menyelamatkan kami. Sebenernya ada banyak hal yang pingin kutanyakan, tapi bingung darimana.”

    Sunam tertawa kecil. “Iya, pasti ini sangat mengejutkan buat kalian. Separuhnya kurasakan juga, karena tak sengaja menemukan orang yang kucari.”

    “Maksudnya, kak?”

    “Seseorang dengan Kapita Cahaya,” jelas Sunam sambil melihat Naya dengan wajah serius.

    Bima sontak menoleh ke arah Naya yang wajahnya masih cemberut tapi juga bertanya-tanya.

    “Apa? Apalagi? Kau juga mau nangkap aku? Apa pula itu?!” tukas Naya dengan nada putus asa. "Yang terpenting sekarang, kenapa perempuan itu kayaknya tahu tentang ayahku?"

    "Sekali lagi, maaf sebelumnya bila seperti memberikan kabar buruk, tapi ayahmu sudah menjadi buronan di planet kami selama beberapa tahun ini," jelas Sunam memasang wajah serius, tak main-main.

    Emosi Naya semakin memuncak, "Buronan gimana?! Nggak mungkin... Jelas-jelas Eyang bilang Ayah kerja di luar negeri. Sampe bilang, dia bakal lama nggak pulang ke rumah..."

    "Nama ayahmu Garrett, kan?" timpal Sunam masih tenang.

    "Kau... Kok bisa tahu?" Naya melongo tak percaya. "Nggak, nggak... Ini jelas kebetulan aja kan, Mbak? Nggak mungkin Ayah ke tempat nggak jelas seperti kata dia?"

    Mbak Tini menutup mulut erat-erat, diam seribu bahasa.

    "Mbak Tini...?"

    "Sebenernya Mbak sendiri juga kurang tahu, Nay..." jawab Mbak Tini ragu-ragu.

    "Maksud...nya?"

    Mbak Tini terdiam sejenak.

    "Mbak juga nggak bisa cerita apapun, nggak tahu apapun..." Suara Mbak Tini mulai parau.

    Naya mencoba mencerna segala informasi yang dia dapat malam ini, begitu mendadak bahkan seperti bom yang telah lama tak meledak. Kepalanya mulai pening, energinya sudah terkuras habis.

    "Aku ke kamar dulu," kata Naya setelah hening sejenak.

    "Tapi, Nay-" Bima berusaha menahannya, tapi Naya sudah keburu berbicara. "Kau orang asing juga baiknya pulang aja, kumohon jangan bikin tambah pusing lagi. Hari ini terlalu kacau, aku capek. Bye...!"

    Tanpa menoleh kemanapun lagi sekedar untuk berpamitan dengan orang-orang di ruangan, Naya pelan-pelan melangkah sembari memegangi kepalanya. Setelah menaiki tangga, wujudnya tak kelihatan lagi, meninggalkan orang-orang yang masih menyimpan banyak persoalan tak terjawab.

                                                                  ***

    Penglihatan yang awalnya kabur menjadi lebih jelas. Mata Naya mengedip pelan, melihat sekeliling. Kabut menyelimuti pandangan, samar-samar menampakkan suatu tempat yang sering dia kunjungi sebelumnya. Sebuah jalan raya kembar di batasi baja-baja panjang menghampar di hadapannya, diapit padang rumput dan pepohonan Tabebuya yang jarang-jarang. Bagai jalan tol, ada beberapa jalan melingkar menuju ke bawah atau ke atas, tapi tak tahu akan sampai kemana. Selama berada di tempat ini, Naya tak pernah mencoba menelusurinya.

    Ke sini lagi, batin Naya. Sudah berkali-kali, tapi rasanya tetap tak seperti bermimpi. Ia bisa berjalan, duduk, bahkan menggoyangkan badannya sekehendak diri. Pernah sekali ia mencoba untuk berdiri terpaku dalam waktu yang cukup lama, tapi akhirnya justru tak membuatnya segera bangun. Bila sudah begitu, suasana sepi akan semakin mencekik lehernya, hingga akhirnya memaksa dirinya untuk berlari sekuat tenaga mencari jalan keluar. Meski begitu, tak pernah sekalipun ia sampai ke suatu tempat. Atau suatu tujuan. Ia hanya akan tiba-tiba tersadar dengan kondisi tubuh yang lemas. 

    Kali ini ia terus berjalan dengan santai, mengurangi resiko akan terbangun dalam keadaan letih lagi, dan lagi. Mendadak muncul lesatan cahaya dari belakang Naya, meluncur jauh ke depan seperti pesawat jet. Bersamaan dengan itu, jalanan mulai bergetar, bagian demi bagian runtuh ke bawah, tak terlihat dasarnya. Ini bukan hal biasa. Segera Naya menghindar agar tidak terjatuh ke dalam kehampaan di bawahnya. Sebelah kanan kirinya mulai longsor, sesekali Naya harus melompat zig-zag melewati jalan yang sudah keburu berlubang. Wajahnya semakin panik.

    Tak lama, Naya merasa telah mencapai ujung jalan. Namun, yang ditemukannya bukanlah sebuah pintu atau apapun yang bisa menjadi jalan keluar. Ia melihat sesosok wanita melayang memunggunginya, memakai gaun panjang berkilauan. Di sekitarnya terpancar cahaya yang menyilaukan, hampir membutakan mata.

    Sesaat, sang wanita dengan mahkota batu lima warnanya menoleh ke belakang, menyadari keberadaan Naya yang ngos-ngosan. Wajahnya tak asing, mirip sekali dengan ibunya yang meninggal, bahkan persis. Ia tersenyum dengan anggun, mengulurkan tangan kanannya menjembatani celah kosong di antara dirinya dan Naya. Tanpa pikir panjang, Naya mencoba meraih tangannya. Tinggal sedikit lagi, tapi...

    BUKKK!

    Mendadak seseorang menggempur Naya dari belakang, ia pun kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke depan. Seakan waktu melambat, jantung Naya sempat berhenti berdetak, mata tak mampu mengedip, hawa dingin semakin erat menyergapnya. Ia jatuh juga ke dalam kehampaan. Sebentar Naya membalikkan badan dan berupaya mengenali siapa yang tadi mendorongnya. Namun, karena kabut ia tak bisa melihat apapun kecuali seringai yang mematikan. Semuanya menjadi gelap gulita.

    Naya pun terbangun dengan tergesa-gesa, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal, memegangi dadanya yang sakit. Semua yang dialaminya terasa begitu nyata, ia seperti benar-benar terjatuh dari lembah yang sangat curam. Lekas ia mencari segelas air di samping tempat tidurnya, tapi yang ia temukan hanya sebuah pot tanaman kaktus kecil kesayangannya. Ia pun menenangkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam terlebih dulu.

    Sudah hampir tengah hari. Untunglah Hari Minggu, Naya tak perlu merasa bersalah karena telat pergi ke sekolah. Setelah membersihkan diri dan mengenakan baju bermain, Naya melangkah ke lantai bawah. Tenggorokannya begitu kering.

    Setiba di dapur, Naya lekas-lekas menuangkan air dari teko kaca di dalam kulkas. Sembari menikmati kesegaran di dalam mulutnya, Naya mengamati taman belakang. Terlihat sosok laki-laki di dekat Bima yang sedang mengamatinya memanah seperti biasa. Tumben bawa teman ke rumah, pikirnya. Ia pun berjalan mendekat, masih berusaha menghabiskan air di gelasnya.

    Sang lelaki pun membalikkan badannya ketika menyadari adanya suara sandal jepit menggesek rerumputan. Saat itu juga Naya tersedak, hampir saja menyemburkan air seperti naga. Ternyata itu Sunam, bedanya dia mengenakan kaos dan jins biru seperti orang ‘normal’. Ia melemparkan senyumnya yang menawan, tak memperdulikan Naya yang batuk-batuk. Wajah Naya menjadi sengit, tak percaya akan apa yang dilihatnya.

    Segera Naya menarik paksa baju lengan Bima menjauh dari Sunam. “Hei, kenapa kau pinjamkan bajumu ke dia?! Kau pingin dia lebih lama di sini?” bisik Naya menekan.

    “Takut aneh kalo dilihat anak-anak, lagian kak Sunam masih pingin ngelindungi tempat ini. Dan sekarang palu gada-nya kusimpan di kamar, jadi aman terkendali,” jawab Bima datar tanpa rasa bersalah. "Kasih dia kesempatan dulu buat jelaskan semuanya, Nay."

    Naya memegang kepalanya yang terasa makin berat lagi. “Kemarin dia tidur dimana?”

    “Sebenernya kusuruh tidur aja di kamarku, tapi dia nggak terbiasa, akhirnya tidur di hutan. Aku jadi kepikiran, apa Suryakanta bukan tempat seperti yang kubayangkan? Aku kira isinya keluarga alien yang punya kubah-kubah baja dan pesawat terbang angkasa?” jelas Bima sambil memperbaiki letak kacamatanya.

    “Kau terlalu banyak lihat film macam Moon Wars, Bim. Lihat aja pakaian dia, beda seratus delapan puluh derajat."

    "Tapi mereka udah kenal teknologi senapan. Mestinya hidup mereka nggak sekuno pikiran kau, kan?"

    "Nggak ada yang tahu pasti, Bim, dan aku nggak peduli. Yang jelas, aku nggak mau berurusan sama dia atau perempuan gila itu," kata Naya sinis masih sedikit berbisik.

    "Tapi gimana kalau perempuan itu datang lagi nyerang kita? Atau gimana kalo... Kak Sunam bisa bantu kau ketemu sama ayahmu lagi?"

    "Dia dan perempuan itu sama-sama mencurigakan, Bim. Kelihatannya aja orang baik, tapi inget, perempuan itu nyebut dia pemberontak. So, sama aja, kan? Sama-sama nggak bisa dipercaya."

    Dahi Bima mengkerut, ia pun memegangnya sembari menunduk sebentar, "Ayolah, kau mesti dengar penjelasan dia dulu, Nay. Kita tarik logikanya bareng-bareng."

    "Ogah," jawab Naya singkat, padat, dan jelas.

    "Kalian sedang apa?" kata Sunam tiba-tiba dari kejauhan. "Bima, apa aku boleh coba pakai panahmu?"

    Sunam daritadi terlihat sedang berbicara dengan anak-anak asuh yang bermain di dekatnya. Mereka terlihat sangat akrab, anak-anak tidak melihat Sunam sebagai orang asing sama sekali. Mungkin bagi mereka dia sudah seperti kakak baru, padahal baru kenal sehari. Auranya memang sangat menyejukkan. Namun, bagi Naya, semua ketenangan bisa saja menipu.

    "Ya, silahkan, ka-"

    "JANGAN!" Naya berteriak sangat keras sampai semuanya menoleh ke arahnya.

    "M-maksudku, jangan sembarangan pakenya. Lagipula kau katanya mau ikut aku ke lapangan." Sunam memasang wajah bertanya-tanya, mengarahkan jari telunjuk ke wajahnya. "Bim, Mbak Tini mana?"

    "Lagi ada perlu keluar, Nay. Kenapa?"

    "Tolong kau jaga adik-adik dulu, ya. Aku latihan dulu sama dia," Naya buru-buru kembali ke dalam rumah, masih membawa gelas kacanya.

   "Ciye ciye, Kak Naya...! Mau latihan apa latihan...?" seru beberapa anak asuh dengan meriah.

   "Entar pas pulang ku-bogem satu-satu ya," balas Naya menunjukkan kepalan tangan kanannya.

    "Hiiii kabuuur!" anak-anak asuh langsung kocar-kacir, kembali bermain entah dengan smartphone, lompat tali, dakon, dll.

    "Bentar, Nay, kau langsung ke lapangan sekarang?" tanya Bima menghentikan langkah Naya. "Iya, kenapa?"

    "Kan belum mandi!" seru Bima setengah tertawa.

    "Percuma dah, ntar keringetan. Mandinya pas pulang aja!"

    "Kelakuan..." ujar Bima menggeleng-nggelengkan kepala.

                                                               ***

    Di perjalanan menuju lapangan, Naya membawa tas punggung hitam berisikan botol air minum, bola-bola besi, dan perlengkapan latihan lainnya. Di kanan kiri mereka terhampar pepohonan cemara, bersanding dengan suara kicauan sekumpulan burung. Orang biasa menyebutnya burung kutilang, tapi ada juga jenis burung lain.

    Naya dan Sunam tidak berjalan berdampingan, melainkan ada jarak yang cukup jauh. Naya di depan melangkah dengan pelan tapi panjang, sedang Sunam di belakang menikmati pemandangan di sekelilingnya. Saat ini mereka hanya sendirian, meski sesekali ada motor atau mobil lewat dari dua arah.

    "Tadi apa maksudmu mau pake panahnya Bima?" tanya Naya curiga, memecah keheningan.

    "Aku cuma mau main-main saja, soalnya teringat dengan sahabatku di sana."

    "Nggak akan kubiarkan. Gimana kalo kau tiba-tiba kepikiran buat bunuh orang?"

    "Silahkan berasumsi, tapi aku tidak akan melakukannya." jawab Sunam dengan santai sambil tersenyum menawan.

    "Hah... Kenapa kau nggak pulang aja, sih..." Naya berjalan sesekali menghentakkan kaki. "Bukannya kau pemberontak di sana?"

    "Yah, orang-orang bilang aku begitu."

    "Terus?"

    "Terus?" Wajah Sunam bertanya-tanya.

    "Kau nggak mau njelasin apapun gitu?"

    "Buat apa, aku cerita pun kamu pasti tidak akan percaya," jawab Sunam dengan santai.

    "Yap, betul sekali. Kau cuma ngada-ngada, mana mungkin ayahku yang baik hati dan tidak sombong jadi buronan. Kau nebak nama dia cuma kebetulan aja. Iya, pastinya itu," jelas Naya sambil berjalan lebih cepat, tak menoleh ke arah Sunam sama sekali. "Cuman, kenapa responnya Mbak Tini nggak seperti yang kuharapkan..."

    "Naya, dengar," panggil Sunam sebelum melanjutkan bicaranya. "Apa kamu akan percaya kalau aku mengatakan, ayahmu adalah pemimpin komplotan pencuri di planet kami?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status