Share

Bab 4 : Sedepa Jalan ke Muka, Setelempap Jalan ke Belakang

    Mendengar pernyataan Sunam, Naya serasa mendapatkan durian runtuh. Entah antara kemalangan atau keberuntungan, dia mendapatkan kabar yang tidak terduga untuknya. Seketika itu juga ia menghentikan langkah, menoleh kepada Sunam untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari rumah.

    “Jangan bercanda lah... Masa pencuri? Gila kau, ayahku orang bermartabat!”

    “Biarkan aku menjelaskan sebagai bukti. Pertama, mustahil kalau aku tahu nama ayahmu hanya dalam sekali tebak. Kedua, Tasanee jelas-jelas menculikmu sebagai umpan agar ayahmu menyerahkan diri. Dia tidak mungkin tiba-tiba datang ke bumi hanya untuk bermain-main dengan keluargamu. Ingat, langsung tertuju pada keluargamu,” jelas Sunam panjang lebar.

    Naya pun membisu, namun dengan mulut sedikit menganga. Sejenak berpikir, Naya kemudian kembali menghadap ke depan sembari melangkahkan kaki, diikuti Sunam.

    “Wah, semesta lagi nguji habis-habisan…”

    “Apa kamu tidak tertarik mempertanyakan semuanya? Kekuatanmu, silsilah keluargamu, ayahmu, planetku,” tanya Sunam.

    Naya masih diam, tak menghiraukan Sunam. Kepalanya penuh, saking penuhnya tak dapat berkata-kata, meski baru satu dua hal ganjil yang dia temukan.

    “Lebih baik terlambat daripada tidak tahu sama sekali, Nay. Meski aku tidak tahu setelah ini apakah kamu akan bisa bersatu lagi dengan ayahmu atau tidak.”

    Naya tetap bergeming, kakinya masih terus menapak dan bergerak mendaki jalanan yang semakin meninggi karena berbukit. Hutan di kanan kiri jadi tak bisa dinikmati, mengingat matanya terus tertuju ke bawah.

    “Kamu menunggu dan mencarinya selama ini kan? Bagaimana kalau kita menca-“

    “Berisik ah! Daritadi ngomong mulu kau,” teriak Naya geram menghadap ke belakang lagi dan berhenti, “Lagian sejak awal ngapain kau ikut campur urusan keluarga kami? Pake nolong-nolong segala.”

    “Bukankah kalian saat itu akan diculik ke tempat asing? Memang kalian menginginkannya?” jawab Sunam santai.

    Sejenak Naya gentar merespon. “Ya nggak juga, tapi… Kau ngelakuin itu pasti karena ada maunya. Ya kan?”

    “Pada awalnya, tidak ada alasan khusus. Aku hanya berpikir bahwa menculik orang tak bersalah adalah sebuah kejahatan,” kata Sunam tanpa ragu, “Tapi setelah tahu kamu punya Kapita Cahaya juga seperti ayahmu, aku seperti punya kesempatan langka. Tak semua keturunan memiliki atau mampu membangkitkan Kapita Cahaya yang terpendam dalam dirinya.”

    “Terus, kau juga mau nyulik aku pada akhirnya, kan? Maksa aku buat ikut kau atau apapun itu? Kalo gitu pantes lah kalau kau juga dikejar-kejar.”

    “Aku tahu, situasinya cukup rumit. Sejak awal aku juga tak pernah mau merepotkan orang lain. Permasalahannya, kekacauan di planetku tak akan selesai tanpa Kapita-mu. Kekuatanmu, Nay.”

    “Nggak, nggak, aku nggak mau ikut campur gimanapun kau njelasin masalahmu. Kalau omonganmu benar, kenapa nggak minta tolong ke ayahku aja, dia yang lebih dulu paham sama situasi di planetmu. Itu lebih logis.”

    “Tentu aku sudah pernah mencoba, tapi aku sulit sekali menemukannya. Hidupnya berpindah-pindah, lagipula motif beliau dan komplotannya berseberangan denganku. Pasti bekerjasama dengan mereka tidak akan mudah.”

    Tak kuasa mendengar penjelasan Sunam, Naya memegang kepalanya yang terasa semakin berat. “Hash… Bikin ribet aja sih! Sana urus aja hidupmu sendiri!” bentak Naya, “Pulang aja sana ke tempatmu, nggak usah ikuti aku lagi sekarang.”

    “Kamu sendirian, Nay, harus di-“

    Belum selesai Sunam bicara, Naya sudah belari sekuat tenaga, segera menghilang dari peredaran setelah menuruni jalanan berbukit.  

                                                             ***

    Di bagian samping lapangan dengan rerumputan yang jarang-jarang, Naya berancang-ancang sembari membawa sebuah bola besi seberat tiga kilogram. Berseberangan darinya, sudah ada beberapa kayu yang ditancapkan untuk menandai jarak, berpijak pada posisi Naya saat ini. Suasana siang ini cukup sepi, mengingat matahari cukup terik menyinari bumi. Tapi untungnya di samping-samping lapangan ada pepohonan yang membuat di sekitarnya lebih teduh.

    Semenit bersiap-siap, dengan gaya khasnya, Naya pun melemparkan bola besi yang dibawa sejauh mungkin, sampai ia sedikit berteriak. Kakinya berusaha tidak melampau garis yang dibuat, alhasil bola itu jatuh ke tanah dengan jarak melebihi sepuluh meter. Berbekal meteran, Naya berjalan mendekati bola seraya menyeka keringat. Dari batang ranting yang menandakan jarak mencapai sepuluh meter, ia mengukur jarak bola di depannya dan mendapat ukuran sepanjang tiga meter.

    “Assh… Kurang jauh,” gerutu Naya pelan.

    Ingin Naya kembali berlatih, tapi ternyata tenggorokannya berkata lain. Mau tak mau ia meraih botol air yang ia letakkan tepat di bawah pohon. Seteguk, dua teguk, tidak cukup, ia hampir mengosongkan persediaan airnya.

    “Tadi lemparan yang cukup jauh dan kuat, Nay. Kalau kamu mendaftar ke militer kerajaan, aku yakin kamu pasti akan diterima, dengan sedikit polesan di sana-sini pastinya,” celetuk seseorang dari arah atas Naya.

    Ketika Naya menengadah, terlihat Sunam duduk santai di atas batang pohon yang cukup tebal, meluruskan kedua kakinya sambil memainkan dedaunan.

    “Batu emang ni orang, udah dibilang ga usah ngikutin,” keluh Naya hanya bisa menghembuskan nafas lebih panjang.

    “Mestinya aku bawa seruling juga ya, suasananya sangat mendukung”. Sunam kemudian turun ke tanah dengan melompat. Meski cukup tinggi, kakinya tidak terlihat kesakitan sama sekali.

    “Kalo kau anggap aku udah kuat, ya udah balik aja sana. Nggak ada gunanya kau di sini.”

    “Obrolan kita belum selesai, Nay. Aku belum menjelaskan, supaya kamu tidak banyak berprasangka,” jelas Sunam tak perduli Naya tengah bersungut melihatnya.

    “Justru aku nggak mau berprasangka, nggak mau ikut campur, titik.”

    “Meski itu ada hubungannya dengan keluargamu? Tidak hanya ayahmu, tapi juga nenekmu.”

    Seketika Naya mematung, “Nenek? Kau mau cari-cari alasan apalagi…”

    “Aku diberitahu Bima kalau nenekmu meninggal tiga tahun lalu,” Sunam pun duduk bersila di samping tas Naya, “Turut berduka cita, semoga pahlawan sepertinya mendapat tempat terbaik di sisi-Nya,” Sunam meletakkan tangan kanannya dengan jari melebar ke dada kiri sebagai bentuk penghormatan.

    “Sebentar… Kau bilang apa? Pahlawan?”

    “Tentu saja dia punya kemampuan sepertimu dan ayahmu,” mata Sunam menerawang ke tengah lapangan lalu menatap Naya, “Apa beliau tak pernah cerita padamu?”

    “Haha… Omonganmu makin absurd!”

    “Berarti selama ini nenekmu menyembunyikan semua tentang Planet Suryakanta dan Kapita Almiya…” gumam Sunam sembari menyangga dagunya dengan tangan kanan, “Kenapa?”

    Tanpa menghiraukan Sunam yang tenggelam dalam pikirannya, Naya meraih bola besi yang tergeletak di dekatnya. Demi mendinginkan kepala, ia berniat berlatih lagi. Meskipun Sunam akan mengoceh bagaimanapun juga, dia merasa sudah tak ada tenaga untuk merespon. Dia masih belum tahu mana yang kenyataan dan mana yang hanya bualan semata. Semua yang dia tahu masih hanya di bibir, kecuali satu hal. Dua bola cahaya yang sempat keluar dari kedua tangannya. Seumur-umur ketika belajar Ilmu Pengetahuan Alam, manusia jelas tak bisa mengeluarkan cahaya. Apa yang dialaminya adalah hal di luar nalar. Dan anehnya, bagi Naya, kalaupun benar dia punya kemampuan seunik itu, kenapa baru sekarang? Kalau benar Nenek selama ini tak pernah cerita, bisa jadi Ayah juga akan sama terkejutnya dengan dirinya.    

    Tak lama ketika Naya sudah memasang pose melempar, segerombolan anak kecil laki-laki berlari memenuhi lapangan, setelah sembarangan memarkir sepedanya ke tanah. Salah satu di antara mereka membawa sebuah bola sepak, tak perlu menunggu ia langsung melemparnya ke tengah lapangan dan berkoar-koar lantang. Mengingat posisi Naya dan Sunam yang berada di pinggiran, mereka bisa bermain sepuasnya tanpa perlu merasa terusik. Hanya saja, beberapa di antara mereka memasang wajah jijik dan risih ke arah Naya. Sekelebat tapi menusuk, Naya menyadari tatapan itu tapi tetap bersikukuh untuk tidak acuh.

    Bola besi terlempar lebih jauh. Tapi bagi Naya, hal ini masih tidak cukup. Ia ingin mencapai garis batas terakhir, bahkan lebih, demi menguras amarah, rasa tidak adil, dan keruwetan yang sedang ia rasakan sampai habis tak tersisa. Matanya tertuju ke depan begitu tajam, fokus pada titik jauh di depan. Dengan bola besi kedua, Naya berancang-ancang tak memperdulikan Sunam yang sedari tadi menyenderkan bahunya ke pohon, termasuk juga anak-anak yang saling riuh bersahut-sahutan sembari bermain sepak bola. Entah itu makian, perintah, hingga candaan terdengar bergantian sepanjang permainan.

    Kali ini, tak ragu-ragu Naya melempar bola besi di tangan kanannya sambil berteriak lantang, menggunakan seluruh sisa tenaganya. Dan sekilas, tanpa disadarinya, percikan cahaya muncul di tangannya. Bola pun melambung jauh, perlahan-lahan mendekati garis batas terakhir. Namun, ternyata ia tak berhenti di situ. Justru ia mengincar pohon cemara di depannya, menubruknya cukup keras di bagian batang sampai membuat bekas, lalu jatuh ke bawah. Naya yang masih ngos-ngosan melihat itu di seberang langsung girang kesenangan. Sedang diam-diam mata Sunam berbinar-binar menatap bekas hantaman yang terpatri di pohon.

    “Kamu memang tidak biasa, Nay,” puji Sunam sembari bertepuk tangan pelan.

    “Kan aku emang kuat,” balas Naya santai meski masih mengatur nafas.

    Mendengar itu, Sunam mengerjapkan matanya cepat-cepat. “Oke baiklah… Kepercayaan dirimu perlu kuacungi jempol juga.”

    Tanpa menggubris Sunam, Naya mengambil bola-bola yang ia lempar sambil berlari.

    “Sepertinya tadi kekuatanmu muncul saat melempar tanpa kamu sadari. Benar tak merasakan apapun?”

    “Nggak tuh, nggak usah ngada-ngada,” sentak Naya tak terima. “Lagian, emang kau nggak ada kerjaan di tempatmu sana? Dasar pengangguran.”

    “Ini sudah termasuk pekerjaanku, tenang saja.”

    Naya mendengus kesal berusaha mencerna sikap Sunam yang keras kepala tiada ampun. Padahal dia hanya butuh jeda untuk bertemu dengan siapapun apalagi dirinya. Suasana di sekolah sudah cukup menyengsarakan baginya, dan dia tak sepenuhnya tahu apakah dia hanya korban, atau memang benar keluarganya tak layak hidup di muka bumi ini.

    Baru saja Naya mau melempar lagi, ada seorang anak kecil laki-laki mendekatinya dengan terburu-buru. Wajahnya sudah jelas tidak enak dilihat, meski Naya kenal betul siapa anak kecil itu. Adik dari Suci, sumber gosip dari segala gosip kejam tentang dirinya di kampung dan sekolah dari SMP hingga SMA. Padahal Naya berpikir saat SMA justru akan menjadi tiket kebebasannya, tapi ketika tahu perempuan mulut besar itu sesekolah bahkan sekelas dengannya, harapannya pupus sudah.    

    Sang anak kecil menggertakkan giginya menahan amarah. “He kak, jangan main di sini bisa nggak?” protesnya sambil menunjuk-nunjuk Naya walau gemetaran, “Lihat tuh temenku jadi kena sial! Kaki dia kegigit ular… Kan sakit!”

    Suara rintihan terdengar samar-samar di pinggir lapangan. Tampak salah satu anak terduduk memegang kaki kirinya, meringis menahan sakit.

    “B-bentar, No, kau nggak takut ngelabrak dia? Lihat kelakuan dia tadi, itu pohon sampe penyok!” seru salah satu teman Nino, adik Suci.

    “Daripada kita makin sial di sini. Kan kita masih pingin main. Apa kalian pingin tiba-tiba ilang gara-gara dia?” kata Nino penuh dendam. “Kayak papaku. Gara-gara dia… Gara-gara dia sama keluarganya!”

    Antara kasihan, kesal, dan marah bercampur aduk, membuat Naya terpaku tak berdaya. Bagaimana bisa seorang anak kecil sudah mempunyai dendam begitu besar padanya. Meski sempat Naya memasang tampang marah dengan kepala menunduk, ia pun mengurungkan niatnya. Selama ini walau sudah menjelaskan apapun tentang hilangnya ayah Suci dan Nino, mereka tetap saja menyalahkan keberadaannya, dan keluarganya. Karena, siapa lagi yang menjaga hutan terlarang itu kalau bukan keluarganya. Sampai pernah ada polisi datang ke rumahnya memeriksa apakah benar keluarga Naya melakukan pembunuhan terhadap ayah Suci dan Nino, mereka mencari bukti di sembarang tempat, tapi upaya itu hanya sia-sia.  

    Bila terlalu agresif merespon, ia dicap anarkis, bahkan dicurigai punya hawa pembunuh, persis seperti ayahnya yang tiba-tiba menghilang tepat sehari setelah meninggalnya sang ibu. Mereka sudah terlanjur berprasangka, tapi mungkin, itu benar adanya. Nenek, Mbak Tini, dan Bima, semua meyakinkan Naya bahwa kematian Ibu bukanlah salah Ayah, jelas-jelas bahwa matinya karena kecelakaan. Tapi, ketika tahu bahwa keluarganya ternyata menyimpan sekumpulan rahasia besar yang tak pernah disampaikan kepadanya, apapun menjadi kabur. Naya belum bisa memutuskan mana yang benar dan salah. Lagipula, semua kejadian itu, tak pernah ia lihat secara langsung.

    Sekilas melirik Naya yang kebingungan bersikap, Sunam segera menghampiri sang anak yang kesakitan. Awalnya anak-anak lain kebingungan dan sedikit curiga, takut kalau temannya akan diperlakukan lebih parah lagi. Tapi Sunam tak peduli, ia mengambil sebuah kantung kecil terbuat dari daun kering berserat, isinya berupa bubuk putih. Diletakkannya sedikit bubuk putih itu di telapak tangannya, lalu mengoles pelan bagian kaki yang habis digigit ular.

    “Untung ularnya tidak berbisa. Jadi adik masih aman, tinggal dikasih obat luka saja di rumah ya. Sekarang pakai punyaku dulu.”

    Rintihan sang adik perlahan-lahan mengendur. Obat yang diberikan mulai bereaksi, setidaknya ia juga menghentikan pendarahan yang tak terlalu mengucur, hanya mencembung di tempat gigitan. Salah satu dari mereka kemudian membopongnya, berteriak hendak mengantarkan dia pulang agar bisa beristirahat di rumah.     

    “Aku balik dulu,” pamit Naya, entah kepada siapa.

    “Bagus, kak. Gitu dong. Mending pindah rumah sekalian! Atau nggak, kembalikan papaku!” teriak Nino sedikit lantang.

    Naya tak merespon, ia hanya mengepalkan tangan sebentar lalu mengemasi barang-barangnya.

    Decakan lidah terdengar dari arah Sunam, “Adik-adik yang manis, kakak tanya dulu, bagaimana bisa ada hubungannya antara gigitan ular dan adanya kak Naya?”

    “Ya soalnya kemarin-kemarin juga kalo main nggak akan ada masalah kok. Pas ada dia, kenapa tiba-tiba ada ular?” jawab Nino tak terima. “Dia kan emang bukan orang normal, sama keluarganya juga!”

    “Bukannya wajar kalau hutan banyak binatangnya, salah satunya ular?” jelas Sunam dengan sabar sembari tersenyum,  “Coba kakak tanya lagi, di lapangan ini kalian pasti pernah terjatuh saat bermain, kan? Kadang bisa sampai berdarah juga.”

    “Iya, terus kenapa?”

    “Pas itu ada kak Naya atau tidak?”

    “N-nggak.”

    “Terus penyebabnya siapa?”

    “Ya… B-bisa aja aura sial dia masih ketinggal di sini! Dia kan sering ke sini juga buat lempar-lempar bola itu.”

    “Udahlah, balik aja. Percuma, nggak usah cari masalah lagi,” timpal Naya melerai perdebatan.

    Naya dan Sunam pun pergi meninggalkan lapangan. Sempat Sunam menawarkan diri untuk membawakan tasnya, tapi tentu saja ditolak mentah-mentah. Mereka berjalan semakin jauh, sedang anak-anak kecil masih terus menatap mereka, terdiam, hanya kepala yang bergerak seiring dengan arah langkah kedua orang yang mereka anggap aneh dan ‘berbahaya’.

                                                                 ***

    3 hari telah berlalu.

    Plang gantung bertuliskan “Perpustakaan” sedikit bergoyang diterpa angin. Di antara sekian pelajar dan guru yang berlalu lalang, Bima berdiri terpaku menatap sebuah pintu kayu tua yang mestinya jadi tempat dia bersembunyi dari gegap gempita class meeting sekolah sehabis pengadaan UAS. Ia pun tertunduk lesu sembari mengucek-ngucek matanya yang lelah, kacamatanya sampai naik turun mengikuti irama tangannya. Bel terakhir tak segera berbunyi, sedangkan shift jaga stan kelas untuknya pada acara bazaar sekolah sudah selesai. Kalau saja di sekolah ada lomba memanah, Bima tak akan mati kebosanan menunggu stan hanya untuk menjajakan balon tiup jadul, martabak manis mini, es gabus, dll. Yah, temanya memang nostalgia mainan dan makanan tahun 90-an, unik dibandingkan stan bazaar yang lain. Makanya sejak hari Senin kemarin, stannya cukup laku dan dia mesti bertegur sapa dengan banyak orang. Itulah yang buat dia cukup lelah, apalagi jika harus berhadapan dengan cewek-cewek yang berusaha mendekatinya, baik yang malu tapi mau atau terang-terangan seperti abang-abang di pengkolan.

    Masih meratapi nasib, Bima duduk sendirian di lantai depan perpustakaan dengan kaki menggantung, mengingat lorong sekolah dibuat lebih tinggi dari dasar tanah, termasuk lapangan yang bisa difungsikan untuk futsal atau basket. Sesekali ada teman yang menyapanya, lalu ia fokus menatap layar smartphone-nya demi membunuh sisa waktu. Naya lama juga selesainya, pikir Bima dalam hati.

    Tak lama Bima duduk, sepasang perempuan hendak menyebrangi lorong melewati pintu perpustakaan. Ketika ia melirik ke arah mereka, kedua perempuan itu sedang saling menyenggol sambil cekikikan. Ketika salah satu di antara mereka curi pandang ke Bima, tak sengaja mereka saling menatap, membuat sang perempuan kelabakan. Entah pipinya memerah atau tidak, dia membuang muka, sepertinya karena malu.

    “Mumpung ada si Bima tuh, cepetan kasih!” Bisik perempuan yang lain, terdengar samar-samar di telinga Bima.

    “Aduh… Malu ah…”

    “Kesempatan nggak datang dua kali cuy! Bentar lagi kan sekolah udah libur.”

    Bima mendengar semua itu hanya bisa menghela nafas. Mereka benar-benar tidak bisa mengecilkan suara sedikit pun. Namun dengn itu Bima jadi bisa bersiap untuk pergi. Buru-buru dia berdiri, sayangnya salah satu perempuan tadi sudah duluan mendekatinya, dengan terburu-buru pula.

    “H-halo Bim.. Kenal aku nggak?” tanya si perempuan hampir menyentuh lengan baju Bima.

Wajah Bima yang semula datar, alisnya meninggi dan tersenyum sedikit, berusaha sopan, “Hmm? Siapa ya? Maaf saya lupa.”

    “Hehehe, Bima bercanda aja, kan aku pernah jadi kakak pembimbingmu pas ospek.”

    “Ohh kakak yang waktu itu… Kenapa kak?”

    “Anu… Cuma mau ngasih ini sih. Lumayan bisa buat kamu pake pas olahraga.”

Si perempuan menyodorkan sebuah kotak yang dikemas dengan kertas kado berwarna abu-abu perak. Dalam hati Bima berpikir, bagaimana bisa dia memberikan hadiah padahal mereka jarang bertemu, apalagi berbicara. Yah, kecuali kalau dia suka memandangi Bima dari jauh.

    “Ah… Dalam rangka apa ya kak? Kalo ulang tahun, saya juga masih jauh,” tanya Bima tanpa mengambil kotak hadiah yang sudah disodorkan ke hadapannya.

    “Nggak papa, ambil aja Bim, sebagai perayaan habis UAS pertama di SMA. Dalemnya sepatu lho, bagus kok!”               

    “Maaf kak, kayaknya mending dikasih ke orang lain aja, kan saya kenal kakak juga belum lama.”

    “Terima aja kenapa sih… Nggak ada salahnya kok, ya kan?” timpal si perempuan sembari menyenggol temannya yang kemudian mengangguk-ngangguk cepat.

    “Aduh, gimana ya kak..” Bima berpikir keras bagaimana menolak mereka yang terus memaksa.

    “Bim!” Panggil seseorang dari kejauhan.

    Ketika menoleh ke sumber suara, wajah Bima jadi sumringah. Penyelamatnya telah datang di waktu yang tepat.

    “Aku udah selesai lomba kebersihannya. Ngeselin ah, masa yang kerja sampai akhir cuma aku…” keluh Naya, kemudian mencoba memahami situasi Bima beserta kedua perempuan tadi. “Kau ngapain di sini?”

    Naya dan kedua perempuan saling tatap-tatapan. Mereka langsung membuang muka, lalu pergi tanpa berpamitan. Bima pun tak jadi menerima hadiah yang diberikan kedua perempuan itu, ia menghela nafas lega.

    “Siapa mereka?”

    “Kakak kelas. Pernah ngospekin kita,” balas Bima sembari mereka berjalan.

    “Makin lama makin populer aja kau. Sampe ada yang mau ngasih hadiah.”

    “Males bahasnya ah. Tapi makasih Nay udah jadi tolak bala, terus aja gitu,” Bima cekikikan.  

    “Emang di antara mereka nggak ada yang buat kau tertarik?”

    “Pingin fokus belajar dulu ah. Lagian… Kalo aku pacaran, entar siapa yang nemenin kau?”

    “Lah, kenapa ngurusin daku? Kalo kau mau pacaran ya pacaran aja kalik, temenku bukan cuma kau.”

    “Hmmm… Gitu ya. Emang siapa? Ada nggak di sini?”

    “Y-ya… Mbak Tini sma adik-adik panti lah!” jawab Naya gelagapan “Cuman aku masih sebel sama Mbak Tini juga… Kayak ngehindar sih, padahal mestinya aku ya yang gitu,” Naya tertawa kecil. Sahabatnya ini telah melalui banyak hal.

    Tersenyum miris, Bima memandangi punggung Naya yang melangkah lebih cepat.

    “Kak Sunam jangan-jangan nungguin kita di depan kayak biasanya ya.”

    “Gila tuh orang ya batunya kebangetan.”

    “Kau juga batu, apa bedanya. Mau diceritain malah ngehindar terus, kalo aku yang ngebahas juga kau selalu minta ganti topik. Mau lari sampe kapan?”

    “Sampe dia bener-bener balik, nggak nambah masalahku lagi, dan keluarga kita.”

    “Kau bisa aja malah nambah masalah, Nay,” kata Bima serius, menghentikan langkahnya.

Setelah itu juga, bel sekolah berbunyi, membuat sebagian besar para siswa berhamburan kesana kemari, ke kelas masing-masing atau langsung bergegas menuju gerbang sekolah. Suasana menjadi cukup riuh.

    “Ayok pulang, Bim. Aku ambil tas dulu, kita ketemu di depan,” ajak Naya membalikkan badan seraya menyunggingkan senyum, tak merespon Bima yang masih menunggu jawaban.

                                                                   ***

    Setelah turun dari angkot, Naya, Bima, dan Sunam menghabiskan jarak ke rumah dengan berjalan kaki. Seperti biasa, Naya menapak lebih cepat, sedang Bima dan Sunam berada di belakang lebih santai. Mereka terlihat sedang memakan sebungkus cimol yang dilumuri saus sambal dan kecap.

    “Makanan seperti ini jarang sekali ada di sana. Makanan kaya akan karbohidrat. Biasanya yang masih sering makan ini hanya kaum Aagam.”

    “Wah, kenapa gitu kak? Bukannya bisa lebih kenyang? Aagam juga apa?”

    “Kami sering kebanyakan stok daging dan sayur. Mencampurnya dengan nasi atau mie jadi terlalu berlebihan. Tanpanya kami sudah sangat kenyang,” jelas Sunam sambil melumat cimol. “Kalau Aagam itu orang-orang yang tidak punya Kapita Almiya, sepertiku. Hmm… Lebih enak kalau kalian datang langsung ke Suryakanta dan silahkan bandingkan sendiri.”

    “Aku jadi makin penasaran, kayaknya seru. Kamu bener nggak mau ke sana, Nay?” tanya Bima antusias.

    Tak ada respon. Naya sudah tak mood menanggapi segala pertanyaan atau pernyataan tentang pergi ke tempat asing seperti Suryakanta. Ia lebih memilih memandang rentetan pohon yang menjulang tinggi menutupi terik sinar matahari. Jalanan begitu sepi, seperti biasa. Memang bukan jalan utama, apalagi rumah Naya benar-benar berada di pojok samping jalan yang terputus, atau mungkin yang tak pernah dilanjutkan lagi pembuatannya. Di ujung hanyalah hutan belantara dengan berbagai flora dan faunanya. Sedang di depan dan samping ada villa-villa yang jarang ditempati pemiliknya, hanya terisi terutama jika sedang ada liburan panjang.

    “Kak Sunam, nanti habis mandi ayo kita main panah bareng!” ajak Bima  sembari memperbaiki letak kacamatanya.

    “Sebentar,” jawab Sunam dengan wajah serius.

    “Kenapa kak?” tanya Bima kebingungan.

    Dengan terburu-buru Sunam menyerahkan bungkus cimolnya kepada Bima lalu secara kilat memanjat pohon di sampingnya. Ia melompat dengan cepat dari satu pohon ke pohon lain seperti musang.

    Naya yang agak melamun jadi tersentak dengan kelakuan Sunam di luar nalarnya. “H-Hei, kenapa dia?”

    Sebelum Sunam sempat mencapai gerbang, terdengar ledakan keras dari arah rumah Naya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status