Share

Planet Suryakanta dan Ke-5 Kapita Almiya
Planet Suryakanta dan Ke-5 Kapita Almiya
Penulis: Andara Neena

Bab 1 : Ada Beras, Taruh dalam Padi

     “Yang sayang anak, sayang anak, silahkan gasing asapnya!” seru seorang lelaki tua sembari memperagakan dagangannya yang bisa mengepulkan asap berwarna-warni ketika diputar.

     Kerumunan manusia terlihat di pinggiran plaza depan istana dan jalanan utama kota. Berbagai ornamen terbuat dari kain batik warna-warni, rangkaian bunga, dan anyaman kayu dipasang di beberapa sudut tempat, menambah kemeriahan. Jalanan dipenuhi stan-stan kayu kecil yang berjejer, entah berisi makanan, minuman, barang-barang antik, dll. Ada yang berteriak menjajakan barang dagangannya, ada yang bergelak tawa bercanda dengan orang-orang di sebelahnya sambil berjalan menuju plaza. Aroma asap sate, gorengan ikan, hingga arumanis bercampur menjadi satu.

     Sayembara tari merupakan salah satu hiburan paling terkenal, selain drama musikal yang suka diselenggarakan di berbagai kota. Kebetulan hari ini Kota Talang Tuwo menjadi tuan rumah untuknya. Dan plaza depan istana merupakan tempat paling cocok untuk mengadakan sayembara tersebut, mengingat desainnya yang fenomenal. Alasnya yang sangat luas terpampang simbol Almiya begitu besar, bila terbang dengan tinggi pun ia tetap akan kelihatan.

     Di antara hiruk pikuk perayaan, Sunam melangkah pelan tapi pasti, mengikuti seseorang yang terlihat jelas mencurigakan. Sepasang parang berselimutkan bungkus kulit yang menjuntai di kiri kanan pinggangnya bergoyang saat kakinya bergerak ke depan, termasuk selempang kain yang menjulur dari lengan hingga pinggul.

     Lelaki yang diikutinya menggunakan jubah hijau gelap, wajahnya hampir tak terlihat sama sekali. Auranya yang redup remang tertutupi oleh wajah sumringah dan gegap gempita khalayak ramai. Sangat berbeda dengan aura Sunam yang cukup berwibawa, saat ini menggunakan baju besi tanpa lengan, tapi di dalamnya ada kaos lengan pendek berwarna hijau, diikuti celana batik selututnya. Sesekali sang lelaki berjubah celingukan, entah mencari tempat atau orang. Bisa juga menghindari sesuatu, salah satunya Sunam yang sepertinya masih tak sadar akan keberadaannya.

     Ketika sang lelaki berjubah menemukan gang sempit di belakang kumpulan stan yang berjejer di sampingnya, ia buru-buru membelok hingga menabrak seorang ibu muda yang membawa sekeranjang lemper dan kue cucur. Meski dimaki, ia tetap terus maju dengan langkah yang lebih cepat.

     Sunam berharap di gang itu sudah ada seseorang yang bisa menyergapnya. Dan asanya terkabul, ada Efren telah bersiaga menghunuskan pedang mengarah pada lelaki berjubah. Ia menjadi gentar untuk maju, berusaha membalikkan badan, tapi yang ia temukan justru Sunam yang sedang berdiri tegak melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum.

     “Selamat siang, Tuan Fathi Abyasa. Bagaimana kabarnya hari ini?”

     "Kau terlalu sopan menyebutnya tuan," timpal Efren, membuat Sunam meringis.        

     Sang lelaki berjubah semakin terpojok. Ia terus berusaha menutupi wajahnya yang tertutup tudung meski tak sempurna. “Saya bukan orang yang kalian cari, Tuan-Tuan. Kalian salah orang.”

     “Kalau begitu tunjukkan saja wajahmu. Tenang, aku tak akan melukaimu," ujar Efren tenang sambil tetap menghunuskan pedangnya. "Sunam, tahan dia,”

     Efren mulai mendekati sang laki-laki berjubah pelan-pelan, perlahan-lahan mengembalikan pedangnya ke dalam sarung di paha kirinya. Saat hampir saja ia meraih kedua tangan laki-laki tersebut, seketika sang lelaki menendangkan salah satu kakinya ke belakang, membuat Efren jatuh tersungkur ke depan. Dengan kesempatan yang ada, sang lelaki langsung berlari sekuat tenaga melintasi jalanan gang.

     “Sunam, cepat!” teriak Efren sambil berusaha berdiri secepatnya.

     Sunam berlari mengejar laki-laki berjubah tersebut, disusul Efren setelahnya. Gang sempit yang berliku-liku membuat mereka kesulitan memacu diri secepat mungkin. Mengingat tidak hanya barang-barang yang berjejer awut-awutan di bahu jalan, melainkan juga sedikit orang yang berlalu lalang dari berbagai arah. Sang lelaki berjubah terus menggoyang atau melempar barang di samping kanan kirinya untuk meperlambat laju Efren dan Sunam.

     “Ini tidak akan berhasil, Mayjen. Sebentar,” seru Sunam berhenti sejenak lalu berlari ke jalan di kanannya.

     Memahami niat bawahannya, Efren hanya menoleh ke belakang sebentar sambil tetap berlari secepat mungkin.

     Sunam tahu usahanya saat ini bisa saja sia-sia, bila sang lelaki lebih memilih berlari lurus menuju jembatan dibanding belok ke kanan. Namun ia ingat betul bahwa jembatan itu dijaga oleh dua orang prajurit dari istana. Mestinya mereka tak membiarkannya lewat dengan mudah, terlebih ada Efren yang bersikeras mengejarnya dari belakang.

     Setelah berbelok kiri lalu berlari menuju jalan bantaran sungai, samar-samar Sunam mendengar Efren berteriak, “Prajurit, cepat tangkap dia!”

     Sekali lagi harapannya terkabulkan. Ia berlari lebih kencang, sudah hampir sampai di bibir gang, bersiap menangkap sang lelaki yang jelas-jelas akan berlari ke arahnya.

      “Sunam, dimana kau...!” Teriak Efren tak sabar.

      Nafas sang lelaki sudah tersengal-sengal, mulai kehabisan tenaga. Meski begitu, ia tetap memaksakan diri untuk terus kabur. Sampai kemudian...

      “Maaf ya, Tuan Fathi.”

      Sunam yang muncul dari sisi kanan Fathi menghantam tubuhnya keras-keras, selain meraih sebuah tas serut coklat gemuk di punggungnya secepat kilat. Alhasil Fathi pun terpental jatuh ke sungai. Ia hanya bisa berteriak, membiarkan sekujur tubuhnya basah kuyub. Jubahnya sudah sempat ditarik salah satu prajurit yang mengejarnya. Mengingat tinggi air mencapai perut, Fathi dipastikan tak akan mudah melarikan diri lagi. Ketika dicek Sunam, isi tas yang diambilnya berisi ratusan lembaran uang kertas, terbuat dari daun pohon Suvayas.

      Sedikit terkekeh meski engap-engap, Efren segera memerintahkan kedua prajurit penjaga jembatan untuk melompat ke sungai dan menangkap sang lelaki. Mengingat sungainya tak terlalu dalam tapi juga tak terlalu dangkal, ia dipastikan sulit melarikan diri lagi.

      “Kau seringkali tak terduga, Sunam. Terima kasih bantuannya,” puji Efren masih mengatur nafasnya menghampiri Sunam.

      “Hanya kebetulan saja, Mayjen,” Sunam tersenyum dengan lesung pipit dan giginya yang cukup rapi.

                                                                ***

     Semakin sore, suasana plaza depan istana semakin ramai. Orang-orang yang selesai berkeliling mencari jajanan berkumpul di pinggiran lapangan kotak beralaskan batu bata putih itu. Satu per satu kelompok tari menampilkan diri di tengah-tengahnya, saling menunjukkan keunggulan masing-masing. Dari sisi istana, duduk seorang perempuan berdahi berlian pelangi dengan gaun panjang dan mahkota lima batu warnanya di sebuah singgasana, ditemani para prajurit dengan gaya baju yang tak jauh berbeda dengan Efren dan Sunam. Selain prajurit, juga ada sebaris dayang menggunakan kebaya berdiri di belakang singgasana, siap melayani keperluan sang perempuan kapan saja.

     “Ratu Sharma, Tuan Sunam telah tiba,” kata salah satu prajurit mendekati sang perempuan yang sedari tadi mengamati pertunjukan.

     Belum sempat Sunam menampakkan diri sampai di depan singgasana, Sharma dengan rambut peraknya yang terurai panjang sudah berceloteh, “Sedang sayembara begini kau masih saja sibuk menolong orang lain? Benar-benar darah muda.”

     Sunam tetap terus melangkahkan kaki dan berdiri tepat di samping Sharma, meletakkan tangan kanannya yang melebar seperti sebelah sayap di dada kirinya dan menundukkan kepala tanda hormat. Gestur itu sudah dilakukan turun temurun oleh semua orang bila hendak memberi hormat kepada orang lain, utamanya oleh para penghuni istana. “Saya tidak berniat menolong siapapun, Ratu. Kebetulan saja bertemu pencuri kelas kakap di gang, ternyata sedang diincar Mayjen Efren.”

     “Kau pikir aku akan percaya alasanmu? Yang sudah bersamamu cukup lama?” Sharma menghela nafas panjang, “Tugasmu saat ini hanya menjadi pengawalku, Sunam. Kau harus ingat itu. Bagaimana kau bisa meninggalkanku di sini tanpa teman bicara… Radikal masih sibuk dengan penemuan batu berharganya di daerah gunung dekat Zahikarta.”

     “Batu berharga?”

     “Aku masih belum tahu banyak, jadi biarkanlah dulu saja dia.  

     Yang pasti, kalian mestinya lebih mempercayai bawahan kalian. Pemimpin sejati tak perlu bisa segalanya, tak perlu melakukan semuanya sendirian. Suatu saat kau akan memerlukan nasehatku ini,” jelas Sharma sedikit menyungut kemudian tersenyum lagi melihat pertunjukan di depan.

     Mendengar ocehan Sharma, Sunam hanya mengangguk-anggukkan kepala menghormati, “Baik, Ratu, baik. Perkataan Anda memang benar, maafkan saya.” 

     “Ya sudah, kau di sini saja.

     Lihat, mereka menampilkan tarian yang mirip dengan Tari Merak. Bukankah itu tarian dari Indonesia? Mereka tampil dengan lemah gemulai, sangat terlatih. Menurutku mereka pantas jadi pemenang tahun ini.”

     “Sayangnya saat berlatih patroli ke bumi Bersama Letjen Uda, saya semakin jarang melihat tarian ini, Ratu.”

     “Wah, begitukah? Sudah lama sekali aku tak pernah ke bumi. Ratusan tahun bahkan. Lantas, apa hiburan di sana sekarang?”

     “Aku tak begitu paham, Ratu. Yang pasti banyak orang lebih suka melihat benda persegi panjang kecil yang bisa digenggam di tangan. Saat berjalan ataupun duduk, mereka terus memandangi benda itu seperti orang yang sedang diguna-guna.”

     Sharma tertawa terbahak-bahak, tapi tetap anggun. “Ternyata di bumi masih marak dengan perdukunan, ya.”

     “Yah, bisa dibilang begitu. Mungkin?”

     Perbincangan mereka tiba-tiba disela oleh teriakan para penonton yang begitu meriah, ketika para penari secara tak terduga mengganti kostumnya hanya dengan satu kejap mata. Yang awalnya menari dengan lemah gemulai, gerakan mereka semakin agresif, seakan sedang berlari menghindari terkaman predator. Sharma melihatnya takjub, bertepuk tangan dengan anggun.

     “Kalau berbicara tentang Indonesia, aku jadi rindu Sanoh. Sudah berapa tahun dia tidak menemuiku. Apa dia sudah meninggal?”

     “Perlu kucari tahu kah, Ratu?” tanya Sunam menawarkan diri.

     “Tidak usah. Lagipula sejak awal aku sudah merelakannya tinggal di bumi. Cuma…”

     “Seperti kehilangan sahabat karib?”

     “Salah satunya itu, tapi ada hal lain yang terus menggangguku.”

     “Apa itu, Ratu?”

     Mata Sharma masih terus tertuju ke depan, meski terlihat kosong. Namun kemudian ia mengedipkan mata pelan dan tersenyum.

     “Sudahlah, Sunam. Hari yang bahagia seperti ini memang tak baik kalau disia-siakan,” jawab Sharma memutus topik pembicaraan, yang sebenarnya membuat Sunam jadi semakin penasaran. Tapi karena dia hanyalah pengawal pribadi, Sunam pun tak berani bertanya lebih lanjut. Yang awalnya serius, raut wajah Sharma kembali melemas sembari menampilkan senyum terbaiknya, mengapresiasi apapun yang tampil di depannya.

     Mereka pun sesekali berbicara santai sambil menikmati suasana perayaan hingga malam hari. Bukannya semakin sepi, tapi justru semakin riuh. Semakin banyak pedagang yang tidak hanya memasang stan, tetapi juga berkeliling berkoar-koar akan barang yang dibawanya. Plaza depan istana telah menjadi salah satu penggerak roda ekonomi bagi warga Talang Tuwo sejak dahulu, bahkan untuk kota-kota selainnya. Pantaslah bila Talang Tuwo dianggap sebagai ibukota kedua setelah Zahikarta.  

     Semua orang bersorak sorai ketika Sharma memberikan pengumuman pemenang sayembara tari. Diikuti pidato singkat sebelum ditutup dengan sesi duet penyanyi kawakan. Piala emas diberikan secara langsung oleh Sharma kepada kelompok tari yang sudah membuatnya takjub, termasuk juga penonton lainnya dengan perubahan kostumnya yang sekejap mata.

                                                                  ***

     Sayembara tari telah berakhir seminggu yang lalu. Tiap orang telah kembali pada aktivitasnya masing-masing, termasuk Sunam. Meski ia seringkali menambah sendiri pekerjaan karena kondisi kota dan istana yang kelewat damai. Setidaknya sampai sejauh ini, seperti membantu Nikko merawat kuda-kuda bersayap dan berkepala kadal milik kerajaan.

     “Sudah kubilang ini urusanku, kau pergi sana,” suruh Nikko sebal, masih sibuk menggosok tubuh bersisik sang kuda di depannya dengan sikat khusus.

     Sunam tak menggubris Nikko seraya menyodorkan tikus ke mulut salah satu kuda lalu mengelus kepalanya, “Aku bosan, Nik. Tuan Uda masih belum kembali dari patroli, padahal sudah waktunya latihan. Lagipula Ratu memberiku waktu istirahat, dan aku suka bergaul dengan mereka, termasuk kau.”

     Sang kuda menelan tikus yang diberikan bulat-bulat, kemudian mengerang seperti knalpot motor murahan, cukup melengking. “Bilang saja kau mau menghindar dari keluhan orang-orang.”

     “Meskipun bukan aku yang menerima, tapi kalau berjam-jam hanya berdiri dan mendengarkan tentu saja aku bosan, Nik. Aku pikir peranku sebagai pengawal utama jauh lebih heroik. Adu jotos, misal.”

     “Yah, pekerjaanmu memang lebih damai. Tapi jika kau dikirim ke daerah-daerah, tentu kondisinya berbeda. Utamanya di kota pemberontak.

     Kau pasti sudah tahu baru-baru ini ada satu lagi Prasasti Bertuah yang hancur, milik kota Ligor, setelah sekian tahun lamanya. Sekarang di daerahnya tak lagi ada selubung pelindung seperti korban kota sebelumnya, ditambah ancaman kekeringan yang parah. Padahal kota itu menggantungkan hidup dari pertanian.”

     “Berarti sudah ada empat yang hancur. Apa kau akan dikirim ke sana?”

     “Sepertinya begitu, kemungkinan besok. Kota itu pasti butuh penjagaan ekstra, setidaknya sampai mereka bisa dipindahkan ke kota lain yang lebih aman.”

     “Ceritakan padaku semuanya saat kau kembali.”

     “Jika masih hidup. Melawan Matos-Matos liar siang malam tak pernah mudah, berbeda dengan mereka,” Nikko menunjuk kuda kadal di sampingnya.  

     Tiba-tiba seseorang berbicara dengan nada tidak mengenakkan, terdengar dari jarak yang cukup jauh dari Sunam dan Nikko, “Wah lihat, pengawal utama lebih suka kerjaan rendahan. Aku masih tak habis pikir kenapa Aagam sepertimu bisa menang sayembara. Seharusnya kandang kuda itu jadi tempatmu.”

     Sunam dan Nikko menoleh bersamaan ke arah yang sama. Tampak sekelompok prajurit berdiri di selasar istana menghadap kandang kuda tempat Sunam dan Nikko.

     “Oh, hai, Bayu. Selamat siang,” balas Sunam dengan senyuman, tak sedikit pun terprovokasi. Raut wajahnya masih selembut saat berbicara dengan Nikko.

     Melihat Sunam yang masih santai, Bayu memasang wajah jijik, “Cih, senyumanmu selalu memuakkan. Untunglah aku tak berada di bawah komandonya. Sungguh penghinaan, pendekar tanpa Kapita Almiya berderajat tinggi di istana.

     Namanya juga konyol. Ai Sunam? Apa-apaan...”

     Sunam melihat Nikko mengepalkan tangan, wajahnya seperti akan mengeluarkan semburan api. Ia pun menepuk bahu Nikko dengan harapan bisa menurunkan amarahnya.

     “Kalau masih terus ngelantur, kupanah saja kau!” Seru Nikko tak terima.

     Segera Sunam menahan Nikko yang berusaha meraih panah biru langit di sampingnya.

     “Hoo, santai santai. Aku hanya menyatakan yang sejujurnya, dan sebenarnya. Seorang Aagam yang tak ada bedanya dengan orang bumi yang lemah dan rendahan. Tak bisa dibandingkan dengan kita. Seharusnya kau juga setuju, Nikko,” lanjut Bayu tersenyum sinis.

     “Kalau dia lemah dan rendahan, semestinya waktu itu kau yang menang sayembara, Bayu.”

     Seketika Efren datang, membuat Bayu dan teman-temannya buru-buru memberi hormat, mengingat Efren memiliki pangkat yang lebih tinggi dari mereka. Seperti gerombolan pelajar yang takut dimarahi guru, mereka langsung melarikan diri menghindari gertakan Efren, meski Bayu terlihat tidak puas. Perkataan Efren yang seringkali tepat sasaran telah membuat Sunam kagum sejak lama, ia selalu menilai orang sesuai kenyataan yang ada. Tanpa melihat dirinya memiliki Kapita Almiya atau tidak.

     “Sunam, kenapa kau di sini? Aku pikir kau mau bertemu Letjen Uda.”

     “Semestinya, Mayjen. Tapi aku dengar beliau masih patroli.”

     “Dia sudah kembali dan sedang melapor, coba kau cari saja ke aula singgasana.”

     Tanpa basa-basi, Sunam segera memberi hormat kepada Efren dengan semangat dan berlari menuju tempat ia biasa berdiri berjam-jam. Nikko yang tadi di sampingnya tak digubrisnya sama sekali, membuat Nikko hanya melambai tangannya pelan sembari menggeleng-gelengkan kepala.

     Sesampai di aula singgasana, Sunam tak menemukan Sharma dan Uda selain para prajurit dan dayang yang biasanya berjaga di dalam. Sunam bertanya-tanya, tapi kemudian teringat kalau ada ruangan khusus bila Sharma ingin menyendiri atau fokus pada sesuatu. Posisinya tepat di belakang singgasana.

     Sunam sudah tinggal tiga jengkal dari pintu, ingin sekali menyerbu masuk karena ingin segera menemui Uda dan berlatih, tapi ia mengingat kembali bahwa ruangan itu bukan tempat yang bisa dimasuki sembarangan. Pernah ia berusaha mengikuti Sharma ke dalam, tapi ia sudah buru-buru dicegat, Sharma justru menyuruhnya untuk beristirahat saja kemanapun yang dimau.

     Sebelum Sunam benar-benar membalikkan badan, ia tak sengaja mencuri dengar samar-samar percakapan Sharma dan Uda.

     “Sejak kapan Radikal dengan mudahnya berubah pikiran?” kata Sharma dengan nada frustasi.

     “Sepertinya demi meredam perlawanan, Ratu. Para pencuri Prasasti Bertuah juga sudah cukup membahayakan penduduk. Kondisi saat ini semakin tidak stabil.”

     Sunam bertanya-tanya dalam hati, apakah ini berkaitan dengan batu berharga yang baru-baru saja ditemukan.

     “Mau apapun alasannya tetap tidak bisa dibiarkan. Terus selidiki gerak-gerik mereka.”

     “Baik, Ratu.”

     Perlahan-lahan suara tapak sepatu terdengar mendekati pintu, Sunam pun berlari pelan, berusaha tidak mengeluarkan suara yang tidak perlu dan berpura-pura berdiri di samping singgasana, seakan berjaga seperti yang biasa dilakukannya.

     Saat Uda keluar dari ruang belakang singgasana, ia melihat Sunam dan menghampirinya, menepuk bahunya pelan.

     “Letjen Uda, saya mencari anda sejak tadi,” sapa Sunam, nyengir seakan sebelumnya tak terjadi apa-apa.

     “Maaf Sunam, hari ini aku ada tugas penting. Ke depan sepertinya akan sulit berlatih bersama. Mulai sekarang cobalah berlatih sendiri, atau kau minta tolong si Efren.”

     Uda pun berjalan cepat keluar dari ruang singgasana, dengan tetap mempertahankan wajah tenangnya. Tak lama kemudian, Sharma keluar dari balik pintu lalu menyapa Sunam dengan senyuman anggunnya.  

                                                               ***

     Suasana istana cukup hening, dihiasi taburan bintang di angkasa. Temaram lampu yang berjejer menambah keindahan malam, meski sayang saat ini bulan tak sedang ingin menampakkan diri. Bendera bersimbol Almiya masih berkibar di beberapa sudut istana. Di suatu tempat, terlihat dua prajurit muda sedang bergantian piket jaga, agar yang lain dapat beristirahat dengan tenang untuk sementara waktu.  

     Malam itu, mata Sunam terus tertuju pada buku berisi laporan-laporan kerja yang harus dikumpulkan esok hari. Dengan cahaya lampu teplok yang remang-remang, tangannya sibuk menarikan pena hijaunya untuk merangkai kata satu demi satu. Sudah genap tengah malam, tapi rasa kantuk belum segera menyerang dirinya. Di sekeliling ada banyak buku yang ditumpuk, sebagian besar berkaitan dengan kenegaraan, pertanian, hingga kedokteran.

     Beberapa menit kemudian, seorang prajurit penjaga kamar pribadi Sunam mengetuk pintu lalu membukanya. “Tuan Sunam, Ratu Sharma ingin berbicara dengan anda di aula singgasana.”

     “Baik, terima kasih, saya akan segera ke sana,” balas Sunam masih menulis laporan di depannya.

     Sang prajurit pun menutup pintu dan kembali berjaga di depan kamar.

     Siang atau pun malam tak akan pernah menjadi waktu Sharma untuk beristirahat, mengingat takdirnya yang tak membutuhkan tidur barang sedetik pun. Ia harus selalu menjaga kekuatan Almiya tetap hidup demi keberlangsungan umat. Kebaikan hati dan keadilan yang selalu ia tegakkan menjadi sebuah berlian berharga untuk seluruh penduduk, termasuk Sunam. Ia sangat bersyukur bisa menjadi pengawal utamanya, walau tak diwarisi Kapita Almiya sedikit pun. Meski begitu, sudah cukup lama Sharma mengeluh tentang semakin banyak orang yang ingin memiliki Kapita Almiya agar benar-benar bisa bertahan hidup, padahal dia hanyalah pelindung, bukanlah pemberi kekuatan.

    Setelah menyelesaikan penulisan laporan, Sunam segera beranjak dari kursi lalu membuka pintu kamarnya, memberi salam sebentar kepada para prajurit saat berpapasan, dan berjalan menuju aula singgasana melewati lorong-lorong terbuka. Mungkinkah tentang batu berharga, tanyanya dalam hati.

    Sampailah Sunam di depan pintu. Namun, ia melihat sesuatu yang mengenaskan. Dua prajurit penjaga terkapar menyender di dinding, berlumuran darah.

    Mereka tak bergerak sedikit pun, membuat Sunam khawatir luar biasa. Tidak hanya tentang kondisi mereka yang sudah tak bernyawa, tetapi juga keberadaan Sharma di dalam aula singgasana.

    Ketika dicek, pintunya terkunci, atau tertahan dari dalam. Bukan hal biasa bila Sharma atau siapapun menutup pintu aula, karena tak ada satu hari pun pintunya tertutup apalagi terkunci. Istana ini sudah seakan-akan milik semua orang.

    “Aaahhhh...!” teriak Sharma panjang tiba-tiba memecah keheningan, seperti sedang kesakitan. Saat itu suara dalam ruangan pun menjadi gaduh bak puting beliung yang bisa memporak-porandakan tempat.

    Sunam mendengar itu tangannya bergetar dan dahinya berkerut, wajahnya pucat pasi. “Ratu Sharma?! Ratu!” panggil Sunam sambil menggedor-gedor pintu. Dia terus berusaha membuka pintu, tapi tak kunjung berhasil. “Penjaga, penjaga!” seru Sunam mencari bala bantuan.

    Selang beberapa waktu, terdengar pecahan kaca dari arah berlawanan tempat Sunam berada. Setelah itu, lima lesatan cahaya berwarna merah, hijau, kuning, perak, dan biru keluar dari aula singgasana melalui atap, bergerak berpencar ke segala penjuru. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status