Share

Bab 2

"Aku nggak mau nikah sama Rose, Mi."

Dafin Rafael Daman, pria bertubuh tinggi yang mencapai 172 cm itu dengan tegas mengungkapkan ketidaksetujuannya atas rencana pernikahan yang dirundingkan bersama seseorang yang dia yakini sebagai orang tua Rose. Bagi Davin, antara dirinya dan Rose tidak memiliki hubungan apapun selain teman kecil yang terpisah belasan tahun yang lalu. Bagaimana bisa dia mencintai seorang wanita yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. TIDAK MUNGKIN.

Hal itulah yang sedang ia ributkan bersama Dina, ibunya, di pagi hari seperti ini.

"Jaga ucapanmu Dav! Tante Rika bisa denger omongan kamu," kata Dina setelah mematikan ponselnya. Bahkan, dia tidak berani mengangkat ponselnya yang terus berdering karena ulah putranya.

"Itu bagus, Mi. Mami yang maksa aku buat nikahi Rose, sementara aku nggak cinta sama dia," tekan Davin. "Pokoknya aku nggak bisa menikahi Rose, aku udah punya pacar Mi. Dan aku mau nikah sama pacarku, bukan Rose."

"DAVIN!" teriakan Bagas menggema mengisi ruangan yang besarnya seperti lapangan basket tersebut.

Mereka sedang berada di ruang keluarga. Tadi Dina sedang asyik mengobrol bersama Rika sebelum Davin datang dan mengacaukan segalanya.

"Jaga ucapanmu, Davin!," bentak Bagas begitu melihat putranya menentang ibunya sendiri.

Bagas memang curiga ketika Davin menolak ajakan berlibur yang selalu mereka lakukan di akhir tahun. Namun, bagas tidak menyangka bahwa Davin telah memiliki kekasih.

"Kamu pikir pacarmu itu tulus sama kamu?" tantang Bagas kepada putra pertamanya. Bagas heran, kenapa hanya Davin yang selalu membangkang. Sementara Alda, adik kandung Davin, justru selalu mengikuti kemauan mereka.

"Pi, aku nggak mau denger apapun mengenai wanita yang aku cintai." Davin tidak terima jika kekasihnya yang bahkan belum dia kenalkan pada keluarganya sudah dihina di depan matanya.

"Kalau gitu denger kata papi. Kamu hanya akan menikah dengan Rose. Setuju atau tidak setuju. Itu sudah menjadi takdirmu."

Davin yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya diam dan meninggalkan kedua orang tuanya. Pria itu lebih baik menenangkan diri di apartemennya.

Kringgg kringgg

Akhirnya Dina mengangkat telepon Rika yang sudah berulang kali. Tadi dia sengaja tidak mengangkatnya supaya Rika tidak mengetahui keributan di rumahnya.

"Halo Ka, gimana - gimana?" tanya Dina berusaha tenang setelah emosinya memuncak karena ulah putranya sendiri.

"Halo Na, anakku terbang ke Indonesia sekarang. Tolong telpon dia dan jaga dia. Rose nggak mau ngangkat telponku," kata Rika sambil menangis.

"Rika, ada apa sebenarnya?" Dina turut khawatir.

"Ceritanya panjang, nanti aku ceritain. Tolong aku Na, aku percayakan Rose padamu."

"Kamu tenang aja, aku akan menjaga Rose seperti anakku sendiri."

"Makasih Na," putus Rika.

Bagas yang tidak tahu pembicaraan Dina hanya menatap wanita itu. Dia yakin, istrinya sedang berbicara dengan Rika mengenai Rose.

"Kenapa Mi?"

"Rose dalam perjalanan ke sini Pi, ke Indonesia. Sepertinya terjadi sesuatu sehingga dia tidak mau mengangkat telpon Rika."

"Kalau gitu cepat telpon Rose."

Dina mengangguk kemudian mengutak-atik ponselnya, berusaha menghubungi Rose. Namun tidak ada jawaban.

"Hp-nya dimatiin Pi."

Bagas menghembuskan napas, menenangkan diri dari kekacauan yang terjadi. Dia yakin semua ini ada hubungannya dengan Davin. Tidak mungkin Rose mendadak pulang setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki di Indonesia. Wanita itu hanya akan pulang setelah pendidikannya selesai.

"Kalau gitu kita perkirakan aja kedatangan Rose, nanti biar aku stand by di bandara," putus Bagas. "Kira-kira berapa jam perjalanan Rose ke Indonesia?"

"Mungkin sekitar 16 - 17 jam Pi,” kata Dina yang sudah hapal karena seringnya pergi ke London.

Bagas langsung memutar arah kepalanya ke jam dinding di belakangnya. Menghitung perkiraan kedatangan Rose.

"Kemungkinan Rose akan tiba jam lima pagi. Coba terus hubungi Rose!"

"Iya Pi."

***

Rose tiba di bandara Soekarno-Hatta di pagi hari, ia langsung menghidupkan ponselnya karena sejak kemarin ponsel itu dalam keadaan mati. Rose akan berjalan keluar untuk mencari taksi ketika ponselnya berdering nyaring. Sebuah panggilan dari Dina.

"Iya Tante?"

"Akhirnya Ros, kamu angkat juga telepon Tante. Kamu dimana sekarang?" Dina menghembuskan napas lega begitu Rose mengangkat panggilannya.

"Di bandara Tan, aku mau nyari taksi."

"Nggak usah!" sela Dina. "Nggak usah nyari taksi, Om-mu sudah di sana sejak tadi. Coba langsung telpon Om Bagas ya, Sayang."

"Iya Tan." Dina sudah akan mematikan ponselnya sebelum Rose.. "Tante, makasih ya. Maaf udah ngerepotin."

"Sayang... Udahlah, nanti kita bicara lagi. Segera hubungi Om Bagas."

"Iya Tan." Rose mematikan panggilannya, kemudian mencari nomor Om Bagas di kontaknya.

***

Dalam perjalanan pulang Bagas tidak banyak tanya perihal kepulangan Rose yang tiba-tiba, dia tidak ingin membuat wanita itu merasa tidak nyaman. Akhirnya Bagas menyuruh Rose untuk istirahat karena jalanan kota Jakarta yang selalu macet di pagi dan sore hari. Rose mengikuti perintah Bagas, ia langsung tertidur karena kelelahan. Bukan hanya badan, tetapi juga pikiran. Selama di pesawat, Rose hanya memikirkan perkataan Rika. Rose ingin menelpon Davin, namun ia urungkan karena dia ingin bertanya secara langsung pada pria itu.

Disaat Rose sudah masuk ke alam mimpi, Bagas menghubungi Davin dan meminta pria itu untuk segera pulang. Namun, Bagas tidak memberi tahunya bahwa Rose sudah pulang ke Indonesia. Bagas yakin Davin tidak akan pulang jika ada Rose di rumah, mengingat bagaimana penolakan pria itu atas perjodohannya dengan Rose.

"Davin, pulang ke rumah sekarang. Ada yang mau papi omongin," perintah Bagas.

"Iya Pi."

Bersyukur Davin tidak banyak bertanya dan setuju untuk pulang meskipun mereka bertengkar kemarin.

Bagas tiba di pekarangan rumah bertepatan dengan Davin yang baru memarkirkan mobilnya. Bagas tidak langsung membangunkan Rose, ia keluar lebih dulu dan mengambil koper Rose di bagasi. Sementara Davin sedikit memicingkan mata melihat wanita yang duduk di sebelah kemudi ayahnya. Davin menghampiri Bagas untuk membantu pria itu. Meskipun Davin marah, tetapi ia tetap bersikap baik pada ayahnya.

"Biar aku bantu Pi," tawar Davin.

"Nggak usah, kamu gendong aja Rose yang masih tidur di dalam mobil."

"Rose?"

 "Iya, dia pulang."

"Pulang?"

Bagi Davin kata pulang sangat tidak cocok untuk di sematkan pada wanita itu. Pasalnya, Rose sudah pindah kewarganegaraan. Dan untuk apa wanita itu tiba-tiba pulang.

"Udah sana gendong Rose, tidurin di kamar kamu."

"Kamarku?"

"Davin, kamu itu banyak tanya kayak mamimu aja. Kamar tamu belum Dibersihin sama Bi Idha. Satu lagi, jangan sampai Rose kebangun, kasian dia kecapekan."

"Iya Pi."

Sementara Bagas masuk dengan meneteng koper Rose, Davin menuju depan mobil untuk menggendong wanita itu.

"Belum kenal aja udah ngrepotin," keluh Davin.

Davin terkejut begitu membuka pintu mobil.

"Wanita ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status