Share

Bab 2

Author: Fadila_mla
last update Last Updated: 2024-11-28 15:33:32

Malika memacu langkahnya semakin lebar. Ia menjadi tidak sabar untuk pulang ke rumah untuk bertemu sang adik.

Keselnya Sampek ke ubun-ubun, bayangkan saja di dalam masjid yang tadinya dalam kondisi berduka malah dibuat riuh karena Malika yang tersedu meratapi kematian Pak Seno yang ia pikir adalah Malik.

Malika jadi terngiang ucapan ustadz Yusuf beberapa saat lalu. "Kalau kedatangan mbak Malika kesini cuman mau jemput Malik, bilang dong dari awal ketika masuk, jadi kami tidak terkendala untuk menguburkan Pak Seno sore ini. Mbak Malika harus tau sebelum mbak-nya datang, Bu Saidah sudah terlebih dulu menjemput Malik dengan keponakan nya yang bernama Bagus itu. "

"BAGAS ustadz. Bukan Bagus. " Ralat Malika cepat membenahi nama pria itu. Mungkin saja orang tuanya dulu sudah memotong kerbau lima untuk menamai putranya. Eh, Ustadz Yusuf malah seenaknya mengganti nama orang sesukanya. Kan nggak bener.

"Iya itu maksud saya. Kayaknya sama aja cuman beda 'U' di dua huruf belakang. ''

Orang kampung memang mengenal Bagas adalah keponakan Saidah. Entah keponakan dari mana juga mereka tidak tau. Karena bagaimanapun Saidah menutup mulutnya ketika di tanyain hal yang lebih detail mengenai Bagas dan asal usulnya yang jelas Saidah tidak tau juga dari mana. Ia hanya berusaha melindungi orang yang mengontrak di huniannya. Tujuan biar betah dan Saidah tidak kehilangan income setiap bulannya.

Malika mendengus dingin, menyipit ke arah matahari yang telah naik setengah tiang. Sudah hampir Zuhur tapi Malika tak kunjung menyelesaikan tugasnya.

Sayuran yang ia beli tadi pun sudah layu seolah kehilangan gairah untuk dimasak. Kalau bukan karena Malik yang berulah, Malika tidak akan kesiangan memasak.

"Aduh Lika, sakit!! "Erang Malik tertahan ketika capitan kecil mendarat di telinga lelaki itu. Malika sudah hilang kesabaran ketika sampai di rumah ia langsung menuju ke kamar Malik yang letaknya dekat dapur.

"Sakit yah, lebih sakitan mana saat kamu adu tonjos dengan anak muda kampung sebelah, Hah. Bikin malu aja kamu. " Geram Malika emosi. Tangan yang nganggur ia gunakan untuk mengurut dadanya seraya berucap istighfar dalam hati.

"Ya jelas beda Lika. Kalau itu saya berani ngelawan dan menangkis setiap perlawanan. Kalo kamu digituin yang ada kamunya yang kalah dan nangis. Saya nggak mungkin nyakitin perempuan apalagi saudara sendiri. " Malika spontan melepas kaitannya dan duduk menatap Malik tajam.

"Katakan siapa yang mulai."

"Kamu" jawab Malik enteng, seketika mendapat tatapan sinis dari Malika.

"Enak aja, saya nggak pernah ngajarin kamu berkelahi. Saya tau pasti Bagas yang mempengaruhi kamu kan. "

"Jangan nyalahin mas Bagas, dia itu orang baik. Mereka-mereka aja yang cari gara-gara duluan. "

Malika jadi terngiang ucapan Saidah, mungkin benar Bagas sudah memberi pengaruh buruk kepada adiknya. Malika juga sering melihat interaksi keduanya di warung sambil merokok. Padahal sebelumnya Malik belum pernah bersikap seberani itu di depan orang lain. Jika dicegah, alasan Malik kata nya stress mikir beban hidup. Apa yang dia pikirkan, lah makan aja masih nimbrung ke orang tua.

"Pinter kamu ngeles nya. Mulai sekarang kamu nggak boleh bergaul dengan Bagas. Habis jemaah kamu harus balik ke rumah, nggak usah keluyuran. "

Malika berontak " Ya nggak bisa dong, aku ini udah gede jadi terserah aku dong mau berteman sama siapa aja. Lika, buka pintunya. Lika!!!"

Teriak Malik berusaha keras mendobrak pintu kamarnya yang dikunci dari luar.

"Untuk sehari ini kamu dapet hukuman nggak boleh kemana-mana. Inget Malik, kamu harus merenungi kesalahan kamu. Berubahlah sebelum terlambat. Jangan sampek nambah beban masalah ibu yang puyeng mikirin kamu." Cecar Malika sebelum melenggang ke dapur.

****

Malika shock bukan main mendapati Saidah keluar dari kamar dengan koyok yang menempel di keningnya.

Wanita dengan jilbab instan itu terlihat lemas dan tak bertenaga. Malika memapah tubuh ringkih itu duduk di kursi ruangan dengan pijatan lembut ia berikan untuk menenangkan Saidah yang mengeluh pusing.

"Migran lagi Bu??"

Saidah mengangguk lemah. Malika tau, kalau penyakit ibunya kumat begini karena mikirin kelakuan Malik. Melihat Malika sudah bersiap, Saidah mencekal lengan itu untuk menjauh.

"Pergi sana, ntar yang ada kamu malah telat ngajar ngaji nya. "

"Lika mau izin nemenin ibu aja di rumah. Lagian ngajinya bisa di ganti lusa. "

"Nggak bisa, Lika. Kalau kamu izin, pasti gaji kamu yang di potong. Bulanan ibu secara otomatis pun akan berkurang. Ibu nggak mau Sampek itu terjadi. Bisa-bisa makan tempe tahu kita. "

Malika menggeleng, sudah sakit begitu Saidah masih memikirkan pemasukan. Padahal satu pintu kontrakan terisi pun masih lebih untuk mencukupi kebutuhan keduanya.

"Ya sudah kalau begitu, Malika pamit yah Bu. Malika janji akan balik lebih awal. "

"Nggak perlu Lika. Di rumah kan ada Malik. Kamu fokus aja ngajarnya nggak usah pikirin ibu. Ibu itu wanita kuat, di tinggal Ayah kamu aja ibu masih sanggup membiayai pendidikan kalian berdua."

Malika berlalu, ia tidak mau berdebat panjang.

Langkahnya terseok menuju ke luar. Sebelumnya ia menoleh ke rumah kecil yang letaknya sepuluh langka dari dirumahnya. Tepatnya pada rumah yang di huni Bagas.

Entah kenapa Malika merasa ada yang memperhatikannya dari jarak dekat. Ketika pandangannya tertoleh, ia tidak menemukan siapapun.

"Mungkin cuman perasaanku saja. " Gumam Malika kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti. Ketika Malika sudah menjauh barulah sosok pria itu memperlihatkan dirinya.

Senyumnya terpatri tatkala melihat wajah teduh Malika yang sempat berbalik. Wanita dengan gamis kuning telur itu memang sangat manis, sehingga menggetarkan siapapun yang menatapnya. Tak hanya sekali bahkan hampir setiap kali Malika berangkat, ia menunggu di balik pintu untuk sekedar mengamati sosok bidadari surga di kejauhan. Berbeda ketika keduanya bertemu, ia malah memilih menghindari kontak mata dari sang gadis bahkan tak berani mengajaknya berbicara.

Satu notif pesan masuk membuyarkan lamunan singkatnya. Sekilas ia membaca dan segera memasukkan benda pipih itu ke saku celananya.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

***

Malika baru kembali setelah jam menunjukkan pukul lima sore. Dia yang baru datang pun terkejut ketika disodorkan sepiring nasi dengan teh hangat lengkap air putih.

"Baik banget sih Bu. Makasih loh udah mau repot-repot. "

Meski Saidah masih agak lemas ia masih memaksakan diri untuk menyiapkan makanan. Dan secara kebetulan Malika memang sangat lapar.

"Bukan untuk kamu, tapi Malik. Dari tadi ibu telpon kamu buat nanyain kunci kamar Malik, eh kamunya nggak angkat. "

Malika nyengir. Ternyata alasan inilah ibu nya sejak tadi menelpon tanpa jeda. Malika jadi ngerasa bersalah karena mengabaikan dan malah sengaja menonaktifkan ponselnya. Semoga saja Malika tidak di kutuk jadi batu.

"Padahal kunci Malika taruh di laci meja loh Bu." Malika berlalu mengambil benda itu dan di berikan pada Saidah.

"Kamu aja yang masuk, antar makanan ini ke kamar Malik. Ibu mau istirahat. " Ucapnya sebelum beranjak pergi.

Malika menurut, kaki jenjangnya pun mulai menapak mendekat ke pintu kamar Malik. Membuka perlahan setelah menekan kunci yang menggantung.

Suasana kamar menjadi gelap, entah kenapa Malik menutup gorden serta jendelanya sore ini.

Apa Malik sakit karena luka ringan yang di deritanya.

"Saya bawa makanan untuk kamu. Dimakan yah. " Malika meletakkan nampan di atas meja kecil kemudian berbalik menatap sosok pria yang berdiam di tempat tidur dengan wajah yang tertutup persis seperti orang mati.

Malika yang penasaran lantas menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuh Malik. Tak disangka bukan Malik yang berbaring di sana melainkan seorang yang Malika tidak bisa kenali karena pencahayaan ruangan yang temaram.

Malika menjerit keras, tangannya terulur memukuli pria itu membabi buta. Di waktu bersamaan Saidah yang kini membawa beberapa temannya menjenguk pun berlari mendekat, hingga lampu menyala memperlihatkan Malika sudah berbaring di atas Bagas yang menatapnya lekat.

"Lika, apa yang kalian berdua lakukan??" Pekik Saidah yang membuat keduanya sontak menoleh ke ambang pintu

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Preman Kampung itu Suamiku   Bab 57

    [Kamu balik jam berapa, Aku udah siapin makan malam ]Sebuah pesan singkat yang ia terima membuat Bagas di kursi kebesaran nya tak berhenti mengulas senyum. Bagaimana tidak, sejarah dalam rumah tangganya baru kali ini Malika bersikap manis. Biasanya Bagas yang selalu berinisiatif untuk sekedar mengirim nya pesan atau pun menelpon. Tapi siang ini.. akh, dia ingin sekali menyudahi kepenatan ini dan langsung bergegas pulang. Bagas berniat menghubungi wanitanya, namun tak di sangka ponsel istrinya itu sudah tidak aktif lagi. Mungkin setelah mengirimnya pesan. Ponsel Malika lowbat, pikir nya saat ini. "Pak setengah jam lagi kita ada rapat dengan PT. Windira. " ucap sekretaris Bagas menahan langkah pria itu"Batalkan saja. Saya ada urusan yang lebih penting di luar. " Sahut Bagas tanpa menoleh ke arahnya. "Tapi Pak..""Yang bos di sini siapa sih, saya atau kamu. Kamu turuti aja perintah saya atau kamu memang mau saya pecat" Tukas Bagas menajam, jika begini wanita itu tak bisa membantah.

  • Preman Kampung itu Suamiku   Bab 56

    Pinkan nyaris tak bisa berkata-kata, wajah nya pias ketika beradu pandang dengan manik hitam legam di depan nya. "Kenapa Mama kaget gitu. Mama nggak senang ngeliat anak Mama sehat dan bisa berjalan normal begini. " Sebuah suara menyentak Pinkan dari lamunan, Jelas membuktikan jika saat ini ia benar tidak sedang bermimpi."K-kkamu...Uda sehat nak. Lalu tadi??" Pinkan masih ingat bagaimana Bagas kejang dan banyak mengeluarkan darah ketika ia menjenguknya tapi sekarang justru sebaliknya pria itu terlihat baik-baik saja tanpa kekurangan apapun. Atau jangan-jangan.."Mama pikir aku akan mati setelah memakan sup yang Mama berikan waktu itu. Mama salah telah menargetkan orang yang salah. Nyatanya saya masih bisa bernafas dan berdiri tegap di sini untuk membongkar semua kebusukan Mama. " Sarkas Bagas hilang kendali. Buku jarinya mengetat ketika mengingat bagaimana perlakuan Pinkan padanya. Pinkan gelagapan. "Kamu salah paham, Tam. Kamu tau kan kalau Mama itu sayang banget sama kamu. Mama n

  • Preman Kampung itu Suamiku   Bab 55

    "Mama apakan suami saya??"Satu pertanyaan mengejutkan membuat Pinkan berbalik. "Kamu??" Seolah tak terima dengan tuduhan yang Malika lontarkan, Pinkan mencecar wanita itu tatapan penuh kebencian. Ruangan yang tadinya hening kini mendadak tak terkendali. "Ini pasti ulah kamu buat menjebak saya. Seharusnya saya yang tanya apa yang udah kamu lakukan pada putra saya sampai dia jadi begini." Tuding Pinkan yang dengan berani menarik lengan Malika dan menghempaskan nya di lantai. Malika meringis, memegangi pergelangan tangannya yang tampak memerah. "Tolong, suster. Dokter.. Tolong saya."Beberapa perawat jaga yang mendengar teriakan Malika pun berbondong-bondong datang. Dari ekspresi yang mereka tunjukan mereka juga sangat terkejut melihat kondisi Bagas yang sudah berlumuran darah. "apa yang terjadi pada Pak Bagas, kenapa dia bisa mendapat luka begini. " Tanya salah seorang suster itu sambil cekatan menghentikan pendarahan."Saya juga nggak tau suster. Tadi saya menemukan Mama mertua s

  • Preman Kampung itu Suamiku   Bab 54

    Pintu ruangan terbuka, Bagas yang berbaring di ranjang pun menoleh saat langkah Pinkan mendekatinya. Senyum tipis ia perlihatkan, seolah tak benar tau apa yang terjadi. "Mama sengaja bawain makanan kesukaan kamu. Sup iga buat putra Mama tersayang. Kamu pasti rindu kan masakan Mama." Aroma bau harum sup yang Pinkan buka menggugah selera. Dalam sekejap wanita paruh baya itu sudah menyendok kan nasi beserta lauk yang ia bawa" tangannya tersodor dengan mulut yang mengintruksi terbuka"Boleh nggak Ma, kalau suapan pertama saya kasih buat Mama. " Bagas mengambil alih mangkok itu, Ia meminta hal sederhana tapi mengapa wajah Pinkan terlihat pucat sekali. "Ma.. Mama kok bengong. Buka dong mulutnya. " Bagas mengintruksi. Namun Pinkan masih saja bergeming tanpa melakukan tindakan apapun."T-tapi, ini kan masakan buat kamu. Kenapa Mama yang makan lebih dulu. Mama udah kenyang , Tam. Buat kamu aja. " "Tidak Ma... Saya akan makan setelah Mama makan. Ayo dong Ma. Tidak ada racun di makanan itu

  • Preman Kampung itu Suamiku   Bab 53

    Bersamaan itu pintu ruangan terbuka memperlihatkan Pinkan yang sudah berdiri bingung menatap ketiganya. "Ada apa?? Kenapa kalian liatin Mama seperti itu??"Pinkan menelisik tajam, ternyata Malika sudah lebih dulu sampai di rumah sakit ketimbang dirinya. Ia berpikir wanita berbahaya itu sudah memberitahukan semua kebenaran ini pada Bagas. "Bukan apa-apa Ma. Tadi Malika cuman bilang kalau dia, Akhh.."Bagas tak jadi melanjutkan ucapannya. Malika sengaja mencubit lengan pria itu keras untuk tutup mulut. "Malika bilang apa ke kamu? " Desak Pinkan penasaran. Bagas hanya menggeleng cepat, dan memilih tetap menyembunyikan kebenaran itu dari Pinkan sesuai intruksi yang Malika inginkan. Pinkan dibuat geram dan melayangkan tatapan tak suka pada Malika. Wanita itu pasti sudah mencuci otak putranya. ***Setelah Pinkan pergi. Malika mengeluarkan jarum suntik dari laci meja di samping ranjang Bagas. Tentu nya ia menggunakan sapu tangan untuk menghindari banyak sidik jari pada benda tersebut.

  • Preman Kampung itu Suamiku   Bab 52

    Malika merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk. Raganya memang berada di kamar itu tapi tidak pikirannya yang selalu saja memikirkan kondisi Bagas yang belum juga sadar. Malika bangkit dari tempat nya, ia tidak bisa meninggalkan suaminya itu tanpa pengawasan. Meski disana ada Malik yang menjaganya tapi ia tidak bisa tenang jika belum memastikannya sendiri. Setelah bersih-bersih, Malika bersiap pergi. Ketika ia baru membuka pintu, ia cukup terkejut melihat keberadaan Pinkan yang berdiri menatapnya tak suka. "Kamu itu tu li atau bagaimana? Dipanggilin dari tadi nggak nongol-nongol. Atau kamu sengaja mengabaikan saya biar saya kesel, gitu?? " "Maaf Ma. Mungkin tadi saya lagi di kamar mandi. Makanya nggak dengar Mama manggil. " Jawab Malika jujur. Meski hubungan keduanya belakangan itu tak begitu baik, Malika tetap menghargai Pinkan sebagai ibu nya. Malika tau, jika apa yang dilakukan Pinkan sekarang adalah bentuk rasa cintanya pada putra nya. Pinkan mencebik melipat kedua tanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status