Share

BAB 8 ~ 30 Menit Saja!

Erlan tampak melangkah dengan pasti, memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Di belakangnya tampak pria berkemeja maroon yang tak lain adalah Ryan, sekretarisnya.

"Kamu bisa cepetan dikit nggak?"

Pria yang mengenakkan setelan kerja berwarna abu-abu itu, tampak memutar sebagian badannya ke belakang. Melirik Ryan yang berjalan terlalu santai dibandingkan dirinya. Padahal dia sedang terburu-buru karena klien yang akan meeting dengannya kali ini sudah menunggunya di salah satu resto di tempat itu.

"Baik, Bos!" tegas Ryan segera mendekati Erlan yang berjarak beberapa langkah dengannya. Tampaknya dia telah siap melakukan permintaan sang atasan.

Tak ada komentar apa pun lagi dari Erlan. Pria itu segera melanjutkan kembali kegiatannya yang sempat tertunda. Namun, baru tiga langkah tiba-tiba dia berhenti kembali, tepat saat mendapati seorang wanita tidak asing di depannya tengah berjalan berlawanan arah.

"Kamu lagi?" Erlan membulatkan mata menatap wanita yang tak lain adalah Elfara.

Elfara yang sedang tidak fokus pun langsung menghentikan langkah dan terlonjak kaget, saat mendapat teguran tiba-tiba dari Erlan.

"Kamu?" Elfara menunjuk Erlan dengan mulut sedikit terbuka. Dia tercengang beberapa saat, seolah-olah tidak percaya akan bertemu dengan Erlan di tempat itu.

"Kenapa sih, di mana-mana selalu ada kamu? Kamu sengaja ngikutin saya?" ketus Elfara langsung memasang ekspresi tidak senang, begitu menyadari pria yang berdiri di depannya adalah Erlan.

"Apa? Ngikutin kamu?" Erlan mencondongkan sebelah telinganya ke depan, seolah-olah sedang memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah.

"Nggak usah kegeeran! Emangnya kamu sepenting itu sampai harus saya ikutin?" tukas Erlan jelas tidak terima tuduhan semacam itu.

Wajah Elfara langsung menciut mendapat tanggapan seperti itu. Entah karena merasa bersalah lantaran telah menuduh Erlan sembarangan, atau merasa malu karena telah bersikap terlalu percaya diri. Padahal dia juga yakin jika Erlan tidak mungkin mengikutinya sampai ke tempat itu. Sudah jelas pria itu menolak dijodohkan dengannya.

Tidak ada komentar apa pun lagi dari Elfara. Dia hanya mengamati penampilan Erlan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sudah dapat ditebak jika Erlan datang ke tempat itu karena ada urusan pekerjaan.

Ditambah lagi keberadaan Ryan yang tampak berdiri di belakang Erlan. Meskipun Elfara tidak mengenal pria itu, tetapi dia semakin yakin dengan dugaannya. Ah, rasanya memalukan sekali telah menuduh Erlan seperti itu.

"Harusnya saya yang bilang kayak gitu. Kenapa kamu selalu ada di mana pun saya berada. Jangan-jangan—"

"Loh, emangnya kenapa?" pungkas Elfara segera menyangkal ucapan Erlan yang sudah pasti akan menuduhnya yang menguntit. "Ini tempat umum, kok," imbuhnya membela diri seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

"Ck!" Erlan berdecak kesal, lalu melengos sejenak. "Buang-buang waktu saja!" kesalnya seraya melangkahkan kaki kembali. Mengingat kliennya sudah menunggu sejak 15 menit lalu.

Semetara itu, Ryan yang sedari tadi hanya memperhatikan perdebatan mereka berdua pun, segera menyusul langkah Erlan. Wajahnya tampak bingung. Tidak biasanya dia melihat Erlan berbicara selantang Sssttststsitu pada seorang wanita.

Ryan tampak menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, tanpa menghentikan langkah kakinya mengikuti sang atasan.

"Tunggu!"

Langkah Erlan kembali terhenti. Dia berdiri tegak sambil memejamkan matanya, lalu menghela napas berat, sesaat sebelum membalikkan badan.

"Ada apa lagi?" tanyanya sinis. Entah apa yang akan dilakukan Elfara sampai menghentikan langkahnya seperti itu.

Ryan yang tidak mengerti pun tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi, lagi-lagi hanya bisa menatap bingung keduanya.

Elfara mendekat tanpa memberikan jawaban apa pun. Hal itu sontak membuat Erlan menukik alisnya, karena merasa heran.

"Ini untukmu!"

Erlan tersentak melihat Elfara yang tiba-tiba mengulurkan sebuah paper bag kecil padanya. Dia melirik sejenak paper bag berwarna putih itu, tanpa berniat mengambilnya.

"Apa ini?" tanyanya penuh selidik. Heran saja mengapa Elfara tiba-tiba memberi sesuatu padanya.

"Maaf sudah membuat handphone kamu rusak. Sesuai janji, saya akan bertanggung jawab," balas Elfara semakin mengulurkan tangannya, berharap Erlan akan menerima benda itu sehingga masalah mereka selesai.

Akan tetapi, nyatanya harapan Elfara tidak sesuai dengan kenyataan. Bukannya mendapat tanggapan positif, Erlan justru hanya menarik sebelah sudut bibirnya membentuk senyuman getir. Ah, dia pikir pria itu sengaja meremehkan upayanya untuk menebus kesalahan tempo hari.

"Oh, jadi maksudnya kamu mau gantiin handphone saya yang rusak?" tanya Erlan memastikan kembali. Lagi-lagi dia melirik sejenak paper bag itu.

"Ya, saya rasa hanya itu yang bisa saya lakukan," ucap Elfara seraya menghela napas pendek. "Saya sengaja membeli handphone dengan merk dan tipe yang sama dengan handphone punyamu. Tolong diterima," lanjutnya datar.

Namun, tentu tidak semudah itu mengambil hati Erlan. Buktinya pria itu diam saja dan seolah-olah tidak berniat untuk mengambil paper bag di tangan Elfara.

"Maaf, saya sedang ada urusan dan harus pergi sekarang juga."

Alih-alih menerima pemberian Elfara, Erlan justru membalikkan badan dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, segera dihentikan oleh Elfara, hingga dia mengurungkan niatnya.

"Loh, terus ini gimana?" protes Elfara seraya mengangkat paper bag di tangannya, tepat di depan wajah Erlan.

"Oke, tunggu saya tiga puluh menit lagi!" tegas Erlan tanpa basa-basi.

Elfara tercengang, tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Erlan.

"Maksudnya?"

"Apa kamu nggak ngerti apa yang saya bilang barusan? Tunggu tiga puluh menit lagi!" tegas Erlan sekali lagi dengan tatapan sedikit membulat.

"Kenapa harus nunggu? Tinggal ambil saja apa susahnya, sih? Ribet amat jadi orang!" gerutu Elfara mulai naik darah.

"Mau masalahnya selesai, kan?" balas Erlan dengan tatapan tajam, membuat Elfara kembali menciut dan tidak bisa berkutik lagi.

"Ya sudah, kalau emang nggak bisa sekarang, kita bisa ketemu lain waktu saja! Aku juga ada perlu!" Lagi-lagi Elfara melayangkan protesnya. Entah mengapa dia merasa ada yang tidak beres.

"Tunggu saya tiga puluh menit saja, paham?" ucap Erlan penuh penekanan, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari hadapan Elfara.

"Saya tunggu di mana?" teriak Elfara, menatap Erlan yang sudah berjalan membelakanginya.

"Terserah! Asal jangan tunggu di neraka saja!" balas Erlan sambil melambaikan tangannya ke atas, tanpa membalikkan badan.

"Ish, nyebelin banget tuh orang! Dulu waktu kecil di kasih makan apa sih sama Om Haris?" gerutu Elfara seraya mengentakkan kaki kanannya, merasa sangat kesal.

Elfara tampak mengedarkan pandangan, menatap bingung ke sekeliling ruangan. Entah dia harus menunggu di mana. Jika menunggu di tempat lain, nanti bagaimana Erlan bisa menemuinya, sementara dia belum memiliki nomor handphone pria itu. Menunggu di tempat itu pun, rasanya tidak akan nyaman karena tidak ada tempat untuk duduk. Tiga puluh menit bukan waktu yang sebentar, bukan?

Di tengah kebingungannya, sebuah notifikasi pesan seketika membuat Elfara tersadar. Dia segera mengambil ponsel dari saku celana jeans yang dikenakannya. Tampak sebuah pesan dari nomor baru.

[Tunggu saya di Sky Cafe!]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status