Share

BAB 7 ~ Menolak Penolakan

“Bagaimana wanita pilihan papa? Cantik, kan?”

Erlan langsung menghentikan kegiatannya, begitu mendengar pertanyaan dari sang papa yang jelas mengganggu konsentrasinya dalam hitungan detik. Dia tampak menggantung sendok berisi makanan di depan mulutnya, lalu memfokuskan pandangan ke arah pria paruh baya yang duduk berhadapan dengannya.

Sebenarnya, dia masih enggan untuk berbicara dengan sang papa lantaran perdebatan tadi malam yang membuat mood-nya berantakan. Bagaimana tidak? Setelah berbagai alasan dia keluarkan, nyatanya keputusan sang papa sudah bulat dan perjodohannya dengan Elfara benar-benar tidak bisa dibatalkan.

Kini, lagi-lagi dia harus mendengarkan pembahasan tentang wanita itu, padahal waktu masih sangat pagi. Tidak adakah waktu lain? Atau tidak adakah pembahasan yang lebih penting daripada membahas wanita itu? begitu pikirnya.

“Semua wanita cantik, nggak ada yang tampan, Pa,” jawab Erlan seraya melahap sendok makan itu dengan kesal.

“Papa sedang serius, Erlan!” bentak Haris seraya mengalihkan perhatian putra dan istrinya.

Seketika sendok di tangan Erlan pun terlepas begitu saja. Tidak menyangka jika sang papa akan semarah itu mendengar jawaban darinya. Dia menatap serius sepasang mata elang yang tengah menatapnya tajam.

Sementara itu, Dania langsung mengusap-usap bahu Haris secara perlahan. Sekadar ingin menenangkan sang suami. Namun, tatapannya tertuju ke arah Erlan, seolah-olah memberikan isyarat agar putranya tidak membuat Haris semakin emosi.

“Kalau kata Papa cinta nggak bisa dijadikan jaminan atas kebahagiaan, maka wanita cantik juga sama. Nggak bisa dijadikan jaminan kalau dia adalah wanita yang baik pula. Silakan, Papa mau pilih yang mana? Menantu cantik atau menantu baik? Semua ada konsekuensinya, bukan?” celetuk Erlan yang berhasil membuat Haris semakin membulatkan mata. Nyatanya, isyarat dari Dania pun tak mampu meluluhkan hatinya.

“Kamu—“

“Ah, sudahlah, Pa! Dari awal aku sudah bilang kalau aku nggak setuju dengan perjodohan itu!”

Erlan bangkit dari tempat duduknya. Memutuskan untuk mengakhiri saja kegiatan sarapan yang belum selesai. Nafsu makannya tiba-tiba hilang begitu saja dan menurutnya menghindar adalah cara yang tepat saat ini.

“Aku berangkat dulu!”

“Erlan, Papa belum selesai bicara!” teriak Haris, tetapi tidak mendapat tanggapan apa pun dari Erlan.

Pria itu telah beranjak dari tempat makan dan segera keluar dari rumah. Memilih untuk berangkat kerja lebih dahulu dibandingkan papanya.

“Kamu lihat ‘kan, Ma? Anak tidak tahu diuntung, dikasih wanita cantik malah nolak!” gerutu Haris pada istrinya yang sedari tadi masih belum berhenti mengelus tangan dan bahunya.

“Sabar ya, Pa. Itu karena Erlan masih belum mengenal Elfara lebih jauh. Mama yakin, suatu saat nanti dia bisa menerima Elfara dengan baik,” ucap Dania dengan nada sangat lembut.

“Sial, masih pagi Papa sudah bikin gue jengkel!” gerutu Erlan sambil sibuk mengemudikan kendaraannya menuju kantor.

“Cantik? Cantik dilihat dari mananya? Cantikan juga Tania,” ucap pria itu lagi seraya membandingkan Elfara dengan Tania, mantan kekasihnya.

Suasana hening seketika. Tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut Erlan. Namun, tidak bisa dipungkiri jika pikirannya masih saja berperang. Memikirkan berbagai hal yang akan terjadi jika sampai dia menikah dengan Elfara.

“Tapi, kok bisa dia nolak gue? Emangnya apa yang kurang dari gue?” gumam Erlan tampak bingung. Sungguh sulit dipercaya jika ada wanita yang berani menolak dirinya. Padahal selama ini dia yang selalu dikejar oleh para wanita di luar sana.

“Nggak! Nggak bisa dibiarin. Ini sama saja dengan sebuah penghinaan. Awas saja Nona, gue akan pastikan lu jatuh cinta sama gue. Gimana pun caranya. Nggak ada satu pun yang bisa menolak gue, tanpa terkecuali!” tegas Erlan penuh keyakinan.

"Kayaknya seru banget kalau bisa naklukin cewek sombong itu. Setelah berhasil, gue tinggal cari masalah dan tinggalin dia hahaha!" imbuh Erlan tertawa jahat.

Erlan tampak melangkah dengan pasti memasuki pintu utama kantor perusahaannya. Sebagai seorang pemimpin perusahaan, tentu kehadirannya selalu menjadi pusat perhatian para pegawai di sana.

Walaupun dia masih baru mengelola perusahaan property milik keluarganya, tetapi keahliannya patut diacungi jempol. Itulah mengapa kehadirannya selalu saja membuat sebagian besar para pegawai merasa kagum padanya, terlebih lagi pegawai wanita yang selalu terpesona dengan kecerdasan dan ketampanannya.

“Astaga, Dave!” Erlan terkejut saat baru saja membuka pintu ruang kerjanya dan mendapati seorang pria yang tak lain adalah David, sahabatnya. Entah sejak kapan David berada di ruangannya. Sunggguh tidak sopan masuk tanpa izin.

Dia refleks menghentikan langkahnya di ambang pintu, bahkan sempat mundur lagi saking terkejutnya melihat keberadaan sang sahabat.

“Sejak kapan lu di sini?” tanya Erlan setelah berusaha menetralkan perasaan kagetnya. Dia berjalan menghampiri David yang baru saja bangkit dari tempat duduk.

“Baru sepuluh menit yang lalu,” jawab David datar.

“Tumben banget sepagi ini? Ada hal penting?” Erlan menatap curiga sambil mengulurkan tangannya, mempersilakan David untuk duduk kembali. Dia pun mendaratkan tubuhnya di sofa yang berhadapan dengan yang diduduki oleh David.

“Gue lagi pusing.” David memasang wajah kusut, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak sedang baik-baik saja.

“Why? Lo ada masalah?”

“Gue putus sama doi,” jawab David to the point.

“Serius lo?” Erlan mencondongkan badannya ke depan seraya menatap serius wajah David, seolah-olah tidak percaya.

Bagaimana tidak? Yang Erlan tahu, Davi sudah menjalin hubungan cukup lama dengan wanita itu. Bahkan, dia sudah mendengar kabar jika sang sahabat akan segera meresmikan hubungan itu melalui jenjang pernikahan. Namun, bagaimana bisa tiba-tiba hubungan mereka putus di tengah jalan.

“Apa muka gue kelihatan gak serius, Bro?” David menunjuk ke wajahnya sendiri seraya menatap kesal wajah Erlan.

"Gila! Dikenalin aja belum, udah putus aja," ujar Erlan menatap heran.

"Dia salah paham dan sekarang malah dijodohin sama cowok lain, sial!" kesal David seraya merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya tampak menjambak rambutnya sendiri, seolah-olah ingin menetralkan rasa pusing di kepalanya. Pusing lantaran memikirkan masalah yang terasa begitu berat.

Sementara itu, Erlan hanya menatap iba sahabatnya. Namun, dia masih bisa terlihat santai, berbanding terbalik dengan David yang tampak sangat kacau.

"Udahlah, Bro ... cewek 'kan bukan cuma dia. Di luar sana masih banyak cewek-cewek yang lebih cantik dari dia. Lo tampan, uang banyak, mana mungkin ada yang mau nolak lo, kecuali cewek bodoh!" celetuk Erlan yang langsung mendapat lemparan bantal sofa dari David.

"Enak aja lo ngomong! Lo pikir segampang itu!" gerutu David seraya mencebikkan bibirnya, kesal.

Erlan terdiam beberapa saat, seolah-olah sedang mencerna ucapan David. 'Iya juga, ya. Buktinya cewek sombong itu juga nolak gue, padahal gue tampan dan mapan. Sialan emang tuh cewek!' gumamnya dalam hati.

"Lo jomblo, gak usah sok nasehatin gue!" ketus David yang berhasil membuat Erlan berdecak kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status