Share

Bab 3

Author: Kayla Sango
Kalau aku pikir pesta pernikahan tadi sudah mewah, lalu apa yang harus aku bilang tentang tempat yang dibawa Adriel setelah itu?

Sebuah apartemen mewah di atas Hotel Anggita dengan pemandangan kota 360 derajat, kolam renang pribadi, dan dekorasi yang jelas menunjukkan, aku kaya, dan aku bahkan nggak repot lihat harga pada menu.

Dan aku... yah, aku terpukau total. Tapi juga bengong, seolah-olah seluruh malam ini adalah film di mana aku bahkan bukan pemeran utamanya.

"Astaga..." Aku menghela napas, memutar tubuh di tengah ruangan sambil mengamati setiap detail. Minibar besar, sofa yang lebih besar dari seluruh kamar tidurku, dan lampu gantung yang kayaknya harganya lebih mahal dari mobilku. Yah, aku bahkan nggak punya mobil. Tapi kalaupun punya, pasti tetap lebih murah daripada lampu itu.

Dan tentu saja, ada kolam tanpa batas yang diterangi lampu, persis seperti adegan di film.

"Ini gila! Gimana kamu bisa bayar tempat kayak gini? Kalau kamu keluar uang segini buat tiap klien, kamu pasti bangkrut, tahu?"

Adriel tertawa, lucu dan menenangkan, sejenak membuatku melupakan beban hampa yang menekan dadaku sejak aku melihat Alex dan Elisa bersama.

"Aku punya kenalan yang pinjamkan kamar ini padaku," katanya santai.

Keningku langsung berkerut dan curiga. Seorang pria sewaan punya akses ke apartemen di hotel termahal di kota? Apa dia benar-benar mau terus berpura-pura hingga detik ini?

"Oh, tentu. Kamu kenal seseorang." Aku membuat tanda kutip di udara, sambil memutar mata. "Masih main peran orang berpengaruh bahkan saat kita berdua? Kamu bener-bener totalitas ya."

Dia hanya memberiku senyum misterius, tanpa berkata apa-apa, yang malah membuatku semakin curiga. Aku mulai bertanya-tanya, pria sewaan macam apa yang bisa senyaman ini berada di kemewahan seperti ini.

Sekilas aku tertarik. Tapi sejujurnya? Ada kolam renang pribadi di depan mata, dan aku butuh sesuatu, apa saja itu yang bisa mengusir pikiran yang terus menghantuiku. Bayangan Alex mencium Elisa, kenangan janji-janji yang dia hancurkan...

Aku nggak pikir dua kali.

Aku melepaskan sepatu hakku, menurunkan resleting gaun, dan membiarkannya jatuh ke lantai. Angin malam menyentuh kulitku. Lingerie hitam yang sekarang terlihat jelas tampak kontras indah dengan cahaya biru dari kolam.

Adriel bersiul pelan, pandangannya meluncur pelan di seluruh tubuhku.

"Wow."

Aku menatap dia dengan ekspresi yang berusaha kelihatan bercanda, meski jelas gagal menutupi badai emosi di dalam diriku.

"Apa?"

Dia sedikit menundukkan kepalanya, matanya berkilau dengan campuran kagum dan... pengertian?

"Aku mulai berpikir, justru akulah yang membuat investasi sesungguhnya di sini."

Aku memutar mata dan tetap tersenyum juga, tapi mataku tidak ikut tersenyum.

Dan tanpa ragu, aku menyelam ke dalam air. Seolah aku bisa tenggelam beberapa detik, seolah air itu bisa membasuh rasa sakitku.

Benturan air lembut, suhunya sempurna. Air hangatnya menyelimuti tubuhku seperti pelukan mewah, melemaskan tiap otot. Aku berputar, membiarkan diri mengapung beberapa detik sebelum muncul kembali.

Dari tempatku, cahaya bintang memantul di laut, membentuk pemandangan seolah dari dunia mimpi.

"Ini luar biasa!" Aku berseru, memaksa tawa sambil mengayunkan tangan di air.

Tapi sebenarnya? Aku nggak merasa luar biasa.

Kehangatan air memeluk tubuhku, tapi nggak bisa meredakan rasa tegang di dadaku.

Karena bahkan di sana, dengan latar sempurna, dikelilingi kemewahan, dan bersama pria yang tampak tercipta untuk godaan... aku tetap memikirkan dia.

Alex, berdiri di pelaminan. Elisa di sampingnya, bersinar di gaun yang aku jual sendiri padanya.

Tatapan Alex ke aku di pernikahan tadi dengan kaget dan penuh keraguan...

Dia pikir aku sudah hancur. Menyembunyikan diri dan masih menangis karena dia.

Dan kenyataannya, memang begitu. Bukan di depan orang, bukan di tempat umum. Tapi sendirian, di kamar masa remajaku di rumah orang tua, tempat yang harus kutempati lagi setelah memergoki Alex dan Elisa bersama. Menangis tiap malam, merasa seperti kegagalan, persis seperti yang mereka anggap tentang diriku.

Aku mencintai pria itu. Aku percaya padanya. Aku merencanakan seluruh hidup dengannya.

Dan pada akhirnya, aku dibuang seolah aku nggak berarti apa-apa. "Kamu selalu membosankan." Kata-kata Elisa terus berputar di kepalaku seperti mantra yang kejam. Aku membosankan. Aku biasa saja. Aku gampang diganti.

Bagian yang paling parah? Kalau hari ini dia minta maaf, bilang semuanya cuma salah paham dan dia mau aku kembali...

Aku mungkin langsung lari ke pelukannya. Dan aku benci diri sendiri karena itu.

Tenggorokanku terasa mengencang, ada panas lain yang menusuk di balik mataku. Kali ini, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Setetes air mata jatuh, menyatu dengan air kolam. Tidak berhenti dan satu demi satu terus jatuh.

Aku menyelam lebih dalam, membiarkan air menyembunyikan kelemahanku. Saat muncul lagi ke permukaan, aku menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri.

Saat aku melihat Adriel, berharap dia nggak menyadari momen rapuhku, aku melihat dia masih bersandar di kursi, memperhatikanku dengan wajah serius, hampir terlihat khawatir.

"Apa?" Aku bertanya, berenang ke tepi, mencoba terdengar santai. "Belum pernah lihat cewek nikmati hidup, ya?"

Dia tersenyum miring, tapi tatapannnya tetap serius.

"Lucu aja lihat orang bisa semangat banget cuma karena apartemen."

Aku mengerutkan dahi.

"Apa maksudmu, semangat banget gitu??"

Dia mengangkat bahu, bajunya sudah setengah terbuka, menampilkan dada berotot dan terbentuk sempurna.

"Kamu bertingkah kayak belum pernah liat hal kayak gini sebelumnya."

Aku mendengus, memercikkan air ke arahnya, menyembunyikan sakitku di balik rasa kesal.

"Karena aku belum pernah. Aku nggak tahu biasanya kamu berurusan sama cewek kaya yang bosan kayak gimana, tapi di tempat aku, satu-satunya yang bersinar di rumah cuma tagihan listrik yang telat." Aku berhenti sejenak, menatapnya. "Tapi kamu memang jago berperan. Aku hampir percaya kalau kamu beneran ahli waris. Gimana sih seorang pria sewaan bisa ngomongin investasi dan kilang anggur dengan santainya kayak gitu?"

'Dan caramu bikin aku lupa, meski sebentar, kalau tiap malam aku menangis sampai tertidur...' Aku hampir menambahkan kata-kata itu, tapi menahannya.

Dia menatapku cukup lama, seolah bisa menembus semua topeng yang kubuat dengan susah payah.

"Vivian, aku suka kamu apa adanya."

"Terus siapa yang nggak suka?" Aku balas cepat, tapi suaraku pecah di akhir dan malah membocorkan perasaanku. Alex nggak suka. Elisa nggak suka. Nggak ada yang benar-benar suka.

Adriel tersenyum miring, memiringkan kepala seperti sedang membaca isi diriku.

"Rendah hati kayaknya juga jadi salah satu bakatmu, ya." Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Tapi aku penasaran, kamu mau nunjukin apa, atau malah mau lupain apa."

Kata-katanya seperti tamparan. Sesaat, aku ingin keluar dari kolam, ambil barang, dan pergi. Tapi ke mana? Kembali ke kamar lamaku di rumah orang tua? Mendengar helaan napas belas kasihan dari ibuku tiap aku keluar kamar mandi dengan mata yang memerah?

"Aku nggak mau nunjukin apa-apa." Aku bohong, suaraku lebih kecil dari yang kubayangkan.

Adriel menatapku lagi cukup lama, seolah menimbang apakah dia percaya padaku atau tidak. Lalu, tanpa sepatah kata pun, dia mulai membuka kancing bajunya.

Dan, ya Tuhan.

Kalau dia kelihatan bagus pakai jas, tanpa baju lebih parah. Kulit cokelat keemasannya menyala kena cahaya lembut lampu dek, setiap otot terbentuk sempurna, tato-tato tersebar di lengan dan dadanya, berbeda banget dengan kesan rapi dan berkelas yang biasanya dia tunjukkan.

Tubuhku bereaksi bahkan sebelum aku sadari. Tuhan ampunilah aku, tapi pria itu benar-benar sebuah godaan yang besar. Dan mungkin... malam ini dia bisa membuatku lupa betapa kosong dan nggaknya berartinya yang aku rasakan.

Dia menggulung lengan bajunya, melempar bajunya ke kursi, lalu mulai membuka ikat pinggangnya.

"Tunggu..." Aku mengangkat alis, mencoba merebut kembali sedikit kendali. "Kamu mau ikut masuk?"

"Kamu nggak mau ditemenin?" Ada sesuatu pada pandangannya, kelembutan yang nggak cocok dengan pekerjaannya atau peran yang seharusnya kita mainkan.

"Kupikir kamu bakal pura-pura nggak bisa kena air supaya rambut tetap rapi."

"Dan kupikir kamu tipe yang nggak bakal tunggu lama buat ngajak aku masuk."

Karena aku putus asa ingin merasakan hubungan apa pun, apa saja yang bisa membuatku merasa diinginkan lagi, tapi aku hanya berkata, "Kalau gitu masuklah." Aku mengundang dia, sepenuhnya sadar apa yang akan terjadi. Satu malam dengan orang asing, untuk membius rasa sepi yang bikin aku hancur sejak aku kehilangan semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Sewaanku Ternyata Miliuner?   Bab 50

    Hari terakhir acara, datang dengan energi yang hampir buat jantung berdebar. Setelah seharian sibuk antara persiapan pernikahan dan tuntutan Isabel yang tiada henti, serta penutupan konferensi antarsektor terasa seperti lega, meski kami kini menghadapi misi baru."Ingat, kalian berdua harus terlihat alami." Rivan ingatkan saat kami berjalan menuju kompleks. "Seperti pasangan yang sudah lewati badai dan kini lebih kuat dari sebelumnya.""Kami tahu," jawab Adriel dan nada suaranya agak kesal. "Ini bukan pertama kalinya kita pura-pura bersama."Rivan mengangkat tangan menyerah."Aku cuma bilang, taruhannya besar. Wartawan bakal ada di mana-mana."Adriel genggam tanganku, jarinya saling menyilang dengan hangat, sebuah keakraban yang seharusnya tak ada setelah tiga bulan berpisah, jika memang kami benar-benar berpisah."Kami akan baik-baik saja," ujarnya, meski aku tak yakin apakah ia bicara padaku atau Rivan.Di parkiran, aku ulang cerita yang sudah kami latihan di kepala. Kami nggak benar

  • Pria Sewaanku Ternyata Miliuner?   Bab 49

    Koridor batu terasa tak berujung saat Adriel menuntunku melewati bagian properti yang belum pernah kulihat. Setiap langkah buat udara semakin dingin, dan keheningan semakin berat. Nafasku mulai normal kembali, meski jejak air mata yang mengering masih tersisa di wajahku."Kita mau mana?" Akhirnya aku bertanya dan suaraku bergema ringan di antara dinding batu."Ke tempat favoritku di seluruh properti ini," jawabnya, tetap menggenggam tanganku.Kami menuruni tangga batu spiral sampai tiba di sebuah pintu kayu tebal. Adriel menekan kode di panel tersembunyi, dan pintu terbuka dengan suara klik lembut."Selamat datang di gudang utama Keluarga Mahendra."Aku melangkah masuk, napasku langsung tercekat. Ruang itu luas sekali, jauh lebih besar daripada yang pernah kubayangkan, diterangi lampu lembut yang menari di dinding batu kuno. Barisan demi barisan tong kayu oak membentang sejauh mata memandang, beberapa begitu besar hingga aku harus rentangkan tangan untuk memeluknya. Di sisi dinding, ce

  • Pria Sewaanku Ternyata Miliuner?   Bab 48

    Aku menutup pintu kamar tamu dan terhempas ke tempat tidur, lelah secara fisik dan emosional. Aku butuh bicara dengan seseorang yang bisa memahami situasiku, seseorang yang mengenaliku lebih baik daripada aku kenal diriku sendiri. Aku meraih ponsel dan menekan nomor yang lebih familiar bagiku daripada nomor orang lain."Vivian!" Suara Anna meledak di ujung telepon hanya setelah dua dering. "Apa-apaan nih? Pesan gilamu soal nikah? Mabuk? Pakai obat? Diculik gitu?"Aku tak bisa menahan senyum, bahkan di tengah semua kekacauan ini."Tidak satu pun dari itu. Aku benar-benar sadar dan bertindak atas kemauan sendiri.""Jadi kau mau nikah dengan pria yang menurut pengakuanmu sendiri, tidak kau cintai?" Nada tak percaya adikku membuatku menutup mata sejenak."Tepat.""Dan kau bilang aku yang paling salah dalam keluarga ini." Aku hampir bisa lihat Anna memutar matanya lewat telepon. "Vivian, kau harus tentukan sikap. Kalau cinta, nikah, kalau tidak cinta, melangkah maju. Orang normal nggak nika

  • Pria Sewaanku Ternyata Miliuner?   Bab 47

    Mobil meluncur pelan di jalan berkelok menuju kediaman. Dari jendela, aku lihat kebun anggur yang disinari cahaya bulan perak, sunyi dan hampir terasa sedih. Sopir menatap lurus ke depan, diam-diam abaikan ketegangan yang terasa di kursi belakang antara kami.Adriel duduk dengan kepala bersandar dan mata terpejam meski tidak benar-benar tidur. Kelelahan fisik dan emosional tercetak di setiap garis wajahnya. Saat dia akhirnya memecah kesunyian, suaranya serak dan rendah, "Kau tak perlu lakukan itu."Aku tetap menatap pemandangan di luar, berharap bayangan anggur gelap bisa memberi sedikit ketenangan."Aku nggak melakukannya untukmu," jawabku dan kepahitan terselip di kata-kata. "Aku melakukannya untuk kakekmu.""Meski begitu..." Dia bersikeras, dan dari sudut mataku kulihat dia buka mata menatapku. "Terima kasih."Aku merasakan tatapannya, tapi menolak menatapnya langsung. Aku takut jika kulakukan, dia akan membaca terlalu banyak, luka akibat kata-kata kejam pagi tadi, kebingungan pera

  • Pria Sewaanku Ternyata Miliuner?   Bab 46

    "Pak Adriel." Dokter Ardhan memulai, sambil menyesuaikan posisi kacamata. "Kakek Anda mengalami serangan angina, tapi kami berhasil menstabilkannya. Hasil tes mengonfirmasi diagnosis yang dibuat oleh spesialis di Kota Veredon."Adriel tetap diam, hanya garis rahangnya yang menegang memperlihatkan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya."Penyumbatan arteri koroner memerlukan tindakan operasi," lanjut dokter. "Tapi tidak perlu bertindak terburu-buru. Kita bisa jadwalkan operasi dalam enam bulan, beri waktu untuk perkuat tubuhnya dan tingkatkan peluang keberhasilan.""Dan risikonya tetap sama?" tanya Adriel. Suaranya terdengar tenang dan profesional, tapi aku bisa menangkap kerentanannya di balik itu."Risikonya cukup besar, mengingat usia dan kondisinya." Dokter Ardhan berhenti sejenak. "Tapi dengan persiapan yang tepat selama beberapa bulan ke depan, sebagian risiko bisa diminimalkan. Yang penting sekarang adalah jaga ketenangannya, bebas dari stres, dan mengikuti obat serta peraw

  • Pria Sewaanku Ternyata Miliuner?   Bab 45

    Lampu rumah sakit begitu kejam, cahaya putih kebiruan seolah menyedot seluruh warna dan kehidupan dari orang-orang. Aku berjalan menyusuri koridor steril sambil bawa tas termos kecil berisi kue yang dibungkus rapi, termos yang terasa berat di tanganku.Beberapa jam sejak ambulans pergi terasa seperti kabut. Setelah kejutan awal, pikiranku otomatis masuk mode kerja. Aku sudah telepon resepsionis rumah sakit, pastikan Damar sudah tiba di sana, dan putuskan bahwa tetap sendirian di kediaman, tenggelam dalam pikiran sendiri tidak akan bantu siapa pun.Aku menemukan Adriel persis di tempat yang resepsionis katakan, dia ada di ruang tunggu bangsal bagian jantung. Duduk sendiri di kursi plastik, siku menempel di lutut dan tangan terkubur di rambutnya yang kini benar-benar berantakan. Jas yang biasanya rapi kini kusut, dasinya hilang dan kancing pertama bajunya terbuka.Dia terlihat begitu... manusiawi.Aku mendekat perlahan, duduk di sampingnya tanpa memanggil. Adriel mengangkat kepalanya per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status