Share

Pengkhianatan

"Sh---sakit. Kenapa gelap sekali?" pikir Reta masih memejamkan mata,

Rasa sakit serta hawa dingin yang menusuk kutikula membuat kesadaran gadis itu kembali. Terbit kerutan di kedua alis berkat hal aneh tengah mengoyak organ dalam tubuhnya.

Dengan susah payah dia berhasil membuka mata namun terkejut ketika mendapati diri tengah tersungkur tak berdaya. Tubuh itu terlentang melirik langit mobil yang sekarang justru menjadi alasnya berbaring,

Berusaha keras mengingat kejadian yang telah menimpa hingga muncul sekelebat ingatan buruk dalam benak Reta.  Bersama ketiga temannya, mobil putih itu sedang berada dalam perjalanan pulang sampai insiden rem yang tiba tiba tak berfungsi lalu menyebabkan kendaraan beserta seluruh penumpang jatuh ke dalam jurang. 

"Ryan, Ryan, bangun!" pekik suara gadis begitu tergesa gesa, suaranya cukup keras sampai mengalihkan lamunan Reta.

"Suara siapa?" gumamnya mendongak, berusaha meraih benda apapun sebagai tumpuan agar tubuh itu mampu beranjak.

Begitu naas ketika merasakan jemari lentiknya tak lagi mampu untuk menggenggam bahkan tak kuasa merubah posisi tubuh. Sakit! Bagai pisau yang berulang kali menyayat setiap organ, membuat gadis itu putus asa.

Entah kemalangan apa yang harus ia tanggung, baru beberapa jam lalu Reta berhasil melaksanakan upacara tukar cincin yang telah lama diimpikan. 

"Syla?" gumamnya sekilas memandang sosok wanita dari jendela mobil tanpa kaca.

"Syukurlah, kalau dia selamat." Sekilas tersenyum setelah menghela nafas lega,

Setidaknya kedua manik hitam itu masih mampu menatap, memandang laki laki yang sedang berusaha keras menahan sakit di bahu kanannya demi keluar dari mobil yang telah terhenti dalam keadaan terbalik.

"Tapi, bagaimana Reta?" ucap Ryan, menatap sekilas helai rambut tak tertata yang terlihat dari jauh.

"Apa lagi? Tujuanmu sudah berhasil---tidak perlu berpura pura bersimpati. Selama ini kan, kau hanya berpura pura mencintainya."

Deg.

Bibir kering itu terkatup rapat, sorot mata penuh harap telah memadam ditemani tertegunnya tubuh tanpa daya tadi. Tanpa sadar linangan air mulai memenuhi pelupuk mata setelah mendengar ucapan bak ratusan tombak yang berhasil menorehkan luka ke dalam hati Reta.

Benar benar pedih, bagaimana bisa wanita yang telah dianggapnya sahabat mampu membicarakan kalimat tak berperasaan bahkan sebelum memastikan kematiannya. 

Sulit untuk percaya bahwa kasih sayang serta kenangan yang selama ini mereka buat tak lebih hanyalah karangan dan sandiwara semata. Terlebih lagi itu direncanakan bersama pria yang dicintainya,

Harta, perusahaan, jabatan, bahkan kesucian yang merupakan hal terpenting bagi setiap wanita telah ia berikan karena percaya kalau pria itulah dermaga terakhir dalam hidup Reta.

"A-apa yang Syla maksud? tujuan?" sontaknya dalam hati, berusaha menyadarkan diri dari mimpi buruk.

"Tidak! Ryan sangat mencintaiku..."

Cinta yang masih berharap membuat gadis itu berusaha membuka mulut, namun secuil suara tak mampu sampai dalam telinga mereka.

"Kau benar. Tujuanku untuk merebut seluruh kekayaan keluarga Sidney telah tercapai," lugas Ryan dengan raut datar.

"K-kenapa!" benak Reta menggigit bibir.

"7 tahun! Selama itu kita telah bersama, dan setelah semua yang kita lalui. Apakah sedetik saja, kau---tidak pernah tulus mencintaiku?" Harapnya dalam hati, semakin menambah linangan yang membasahi pipi.

"Ayo cepat! kita harus pergi. Tak lama lagi mobil ini akan meledak," timpal Syla

Mereka berdua tak ragu melangkah pergi, menyisakan suara hentakan kaki yang terdengar jelas oleh Reta. Perlahan menjauh dan menghilang,

"Bukankah harta itu telah lama kau dapatkan! Apakah masih belum cukup, sampai kau tega bersekongkol dengan sahabatku untuk membunuhku.." 

"Huh, kau telah dikhianati Reta." bergumam sendiri sambil tersenyum sepat,

Lengkungan bibir yang ia ukir untuk menertawai kebodohannya selama ini, karena tak menyadari kepalsuan yang telah bersembunyi dibalik cinta.

Soro mata tak sengaja berbalik hingga terbelalak berkat terkejut. Mendapati gadis lain tengah terbaring dengan mata terpejam, membuat benaknya semakin kesal.

"Bagaimana bisa, mereka juga tidak segan meninggalkan Lia?"

"Apakah sebegitu murah nyawa manusia di mata mereka! Bahkan jika aku memang akan mati---tidak akan kubiarkan orang lain mati karenaku."

"Aku harus mengeluarkan Lia dari sini," Berusaha keras menggerakkan tubuh.

"Sial! Suaraku tidak bisa keluar, bahkan tubuhku sulit untuk bergerak. Sekarang----bagaimana caranya aku membangunkan Lia?" 

Benak yang sibuk berpikir seketika merasa risau saat kabut asap mulai bermunculan dari segala sudut mobil. Mengerahkan segala upaya untuk menahan sakit ketika tubuhnya berhasil berpindah tempat, 

"Li-a," ucap Reta lirih, mulai menghentakkan kaki demi menyadarkan temannya.

Usaha yang tak henti dilakukan, perlahan membuahkan hasil ketiga gadis itu mengernyit seraya membuka mata. "Eurgh.." 

Bak orang linglung dengan respon sama, manik hitam membulat sempurna ketika menatap langit aneh. Segera menoleh dan mendapati sosok lemah tak berdaya,

"Reta! Kamu gapapa?" pekik Lia, dengan sigap beranjak segera mengulurkan telapak demi membopong tubuh temannya.

"Li--a c-cepat pergi!" tegas Reta menepis cepat bantuan itu,

"T-tapi Ta! aku harus bantu kamu keluar dulu," sanggahnya merasa cemas, menolak untuk pergi tanpa berbuat sesuatu demi mengeluarkan gadis tadi.

"Jangan Lia! ga ada waktu lagi,"

"Cepat pergilah. Mobil ini akan meledak!" pekiknya antusias

"Kamu ga bisa nyuruh aku seenaknya! aku ga akan pergi tanpa kamu," bentak Lia, berusaha menahan linangan air mata.

"Huhu…"

"Ayo Ta! kamu bangun juga," masih berusaha memapah tubuh Reta yang sudah tak berdaya,

"Aku mohon. Demi aku! larilah," pintanya memelas.

"Engga!" tegas Lia enggan menuruti, masih sigap menunggu tak bergerak sedikitpun.

"Hubungi Om Zachta! suruh dia mengambil alih seluruh perusahaan dan harta milikku,"

"Jangan biarkan. Ryan menyentuh harta milik keluarga Sidney," pinta Reta yang berhasil berbicara dengan jelas, tak henti meneteskan air mata.

"Hiks..."

"Sebenarnya apa yang terjadi? Reta, ayo kita pulang." rengek Lia

"Pulanglah. Dan turuti permintaanku,"

"Aku mohon..." gumamnya tersenyum.

Seketika dengan berat hati, gadis itu harus pergi meninggalkan Reta sendiri di dalam mobil. Langkah kakinya semakin menjauh, membuat gadis itu kembali merasakan keheningan.

Menyadari bahwa saat ini dia benar benar sendiri dalam kendaraan yang hampir meledak. "Hhh, aku akan mati."

"Sangat sunyi dan juga gelap. Aku akan kesepian," gumam Reta, merasakan sesuatu dari dalam tubuhnya berusaha untuk keluar secara paksa. 

Srash..

Cairan berwarna merah pekat terlempar ke segala arah, semakin menambah rasa sakit yang Reta rasakan. Sensasi terbakar serta nyeri tak mampu ditahannya lagi,

"Hah. Apakah ini rasanya kematian?" Mulai terengah engah,

"Om Zachta, bisakah om memaafkanku? Terakhir kali aku berbohong dan tidak sempat menjelaskan,"

"Jika ada kesempatan kedua. Aku akan memilih untuk tinggal bersamamu! A-aku juga, ingin membalas dendam."

Dap..

Seketika berjuta kegelapan datang menyerang, berhasil mengepung cahaya dan mencabut semua rasa sakit dalam hidup Reta. 

Memasuki ruang kesunyian tanpa sinar yang membuat gadis itu tak mampu mendengar sekaligus melihat, hanya memahami bahwa inilah akhir dari kesadaran yang masih tersisa.

Masih jelas dalam ingatan bahwa beberapa saat lalu gadis itu telah berada di antara hidup dan mati berkat rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Bahkan merasa yakin jika jiwanya akan terbangun di alam lain,

Tut...

Tut...

Tut...

Sepetak kamar steril mulai terpenuhi dengan bunyi singkat, terlihat satu buah sofa empuk ditemani meja kaca serta layar televisi berukuran sedang. Benda kotak itu menghadap pada gadis yang tengah terpejam di atas ranjang luas berselimut putih,

Meski lirih, namun dengan pasti pasien tadi mendengar suara alat EKG yang diletakkan di samping tempat tidurnya (Elektrokardiografi adalah suatu sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas listrik otot jantung, merupakan rekaman informasi kondisi jantung yang diambil dengan memasang elektroda pada badan)

Perlahan semakin jelas indra penciumannya menghirup aroma obat farmasi yang begitu menyengat hingga mampu menyebar ke seluruh ruangan.  Perlahan membuat gadis tadi membuka mata,

Kedua maniknya tengah berusaha beradaptasi dengan cahaya lampu. Raut datar sekaligus sorot lemah itu merasa aneh ketika mendapati langit kamar, bagaimana mungkin? Padahal terakhir kali tubuh tanpa dayanya sedang tergeletak dalam mobil berasap.

"Ini rumah sakit?"

***Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status