Kali ini aku menggosok-gosok mata, lalu mengerjap-ngerjap, berharap apa yang terlihat ini salah.
Rambut wanita ini berubah menjadi putih.
Di dahinya muncul benda seperti mahkota dengan bagian tengahnya bertahta batu mulia berbentuk trapesium yang mengeluarkan cahaya menyilaukan.
Telinga wanita ini bagian atasnya terlihat berubah menjadi runcing.
Dalam wujudnya yang berubah itu, wanita ini masih kelihatan cantik dan anggun.
Wanita bergaun putih itu masuk ke kamar mandi yang berada di dekat tempat duduk ini.
Secepat kilat, aku beranjak dan melaksanakan saran Sinna untuk berada di dekat meja platting saja melaksanakan tugas tanpa harus mendekat pada orang-orang yang mungkin memiliki penampilan ganda.
“Penampilan ganda?!” gumamku tanpa suara.
Aku terkejut dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran, begitu saja pikiran ini memberikan nama pada wujud-wujud yang mendadak muncul dalam satu badan manusia itu.
Memang ada ya, hal seperti itu di dunia ini?
Hei Sinna! Ini bukan penyakit alergi dengan orang kaya ya? Diagnosis tanpa dasar itu terbukti ngaco, ini penyakit melihat penampilan ganda.
Ya, aku sebut saja seperti itu.
Sebaiknya aku segera berusaha berkonsentrasi pada tugasku mengawasi hidangan saja, daripada sakit kepala yang masih terasa dan tubuh yang masih sedikit gemetar ini makin menjadi.
Lebih dari satu jam kemudian makan malam itu usai.
Bel terdengar.
Sekelompak anak muda laki-laki dan perempuan dengan berbagai dandanan apik dipersilahkan naik ke lantai dua. Kemudian, para tamu yang semula duduk di meja makan, beranjak dan mengikuti orang-orang yang baru datang itu.
Setelah mereka semua naik, empat orang anggota tim Sinna yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan seorang perempuan terlihat turun dari tangga dan bergabung dengan yang lain di lantai ini. Kini seluruh anggota tim membereskan apa-apa yang ada di sini dan membuat ruangan ini rapi seperti sedia kala.
“Apa Kamu bisa membantu membawa barang-barang ini ke mobil?” ucap laki-laki muda yang menuduhku terkena goncangan jiwa.
Aku mengangguk.
Dan mengatakan aku baik-baik saja ketika ia kembali menanyakan kabar dari “gunjangan jiwaku”.
Kemudian, dalam waktu tiga puluh menit, barang-barang sudah terkumpul di dekat pintu dan siap dibawa ke bawah. Begitu juga dengan orang-orang yang menangani makanan di bawah pimpinan chef sudah siap-siap untuk turun.
“Katanya masih ada yang harus tinggal di sini untuk membereskan lantai dua?” tanyaku pada laki-laki muda itu untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan Sinna.
“Iya, tetapi kita tidak dizinkan tinggal di sini, jadi beberapa dari kita akan menunggu di lobi hotel lantai dasar dan naik ketika dipanggil,” jelasnya sambil menyerahkan tas dengan ukuran besar.
"Oh," ucapku pendek memahami penjelasan singkat itu.
“Letakkan saja barang-barang ini di mobil kita, dua orang akan menyambutmu,” ucap laki-laki muda itu sambil menunjuk pada dua laki-laki yang sedang berjalan menuju pintu keluar.
Aku mengangguk dan menyusul mereka keluar ruangan, ingin sekali segera menjauh dari tempat mewah ini.
Pintu lift tertutup ketika kaki ini sedang berusaha menyusul mereka.
Aku terpaksa berdiri di depan pintu lift menunggu pintu ini terbuka lagi.
Pintu lift terbuka, tapi empat orang anggota tim Sinna meminta izin untuk turun lebih dulu. Keempat perempuan itu mendorong dua meja yang memiliki roda dengan tumpukan barang yang menggunung.
Aku mengalah dengan sedikit menggeser posisi berdiri.
Kemudian pintu lift tertutup kembali dan aku yang sudah menjinjing tas-tas besar itu hanya berdiri mematung di depan pintunya.
“Hah!” jeritku terkejut.
Tiba-tiba perempuan cantik dengan gaun putih yang tadi muncul di dekat kamar mandi itu sudah berdiri di depanku.
“Gadis bodoh! Pergi dari sini!” Sebuah suara kembali terdengar di telinga dan otomatis kepala ini menoleh ke kiri ke kanan.
Mataku kembali menatap wanita cantik ini karena hanya dia yang berdiri di dekatku, tetapi ... wanita ini tidak mengucapkan apa-apa. Bibirnya sama sekali tak bergerak.
“Ya?” ucapku pada wanita yang sudah beberapa menit hanya berdiri mematung menatapku.
“Gadis bodoh! Pergi dan jangan pernah kembali ke sini!” Kembali kuping ini mendengar satu suara.
“Hah!” seruku tertahan.
Apa wanita ini yang melakukannya? Whoah! Bag-bagaimana bi-sa ...?
“Aaa.”
Belum sempat mulut ini bertanya, tiba-tiba angin berhembus dengan kencang dan membuatku terjerembab, padahal wanita yang masih berdiri mematung itu, terlihat tidak melakukan gerakan apapun.
Sepasang langkah kaki tergesa mendekat.
“Hei! Apa tas-tas itu terlalu berat?” seru suara laki-laki muda anak buah Sinna.
“Oh! Tidak,” jawabku sambil celingukan, wanita cantik tadi sudah tidak nampak.
“Mungkin Kamu masih terguncang ya jiwanya?” ucap laki-laki muda itu.
“Tidak, aku hanya terjatuh,” jawabku pasrah.
Sepertinya, apa saja yang aku katakan, tuduhan itu tidak akan berubah.
Aku menghela napas sambil berusaha bangkit dari tas-tas besar yang sedang kutindih.
“Untung isinya bukan sesuatu yang mudah pecah, kalau tidak, bisa kena omelan full satu minggu sama si pemilik,” sahutku sambil tersenyum.
Laki-laki muda itu ikut tersenyum, mungkin ia membayangkan Sinna mengomel tak berhenti selama satu minggu penuh.
Ia seperti ingin membantuku, tetapi kedua tangannya juga menenteng banyak barang.
Tak lama kemudian, lift terbuka dan kami masuk ke dalam diikuti oleh tiga laki-laki anggota tim yang akan menunggu di lobi lantai satu hotel megah ini. Sebelum pintu lift tertutup, terlihat kelompok yang mengurusi hidangan mengantri di depan pintu lift.
Nggak sampai lima menit lift sampai di lantai satu. Kami keluar ke depan hotel.
“Kamu bisa naik taksi, maaf tak bisa mengantar,” ucap laki-laki muda itu terdengar tulus, lirikan matanya di arahkan pada mobil van yang penuh dengan barang.
Aku mengangguk.
“Nggak papa. Terima kasih sudah banyak membantuku tadi, entah gimana jika tidak ada Kamu,” balasku tulus.
Laki-laki muda itu tersenyum.
“Jangan hiraukan tamparan tadi, oke! Jangan biarkan hal sepele membuat jiwamu terguncang! Aku tahu, selain cantik, Kamu adalah gadis yang kuat,” ucapnya sambil menatapku seakan menyalurkan aliran semangat dari pandangan mata.
“Hah!” seruku ternganga.
Luar biasa, dia baik, tapi sisi gelap anak buah Sinna ini adalah halusinasi dan tak masuk akal.
Aku hanya mengangguk agar ucapannya tidak diperpanjang dan kadar ketidakmasukakalannya nggak bertambah. Namun, aku tertawa terbahak-bahak dalam hati.
Sebuah taksi terlihat mendekat.
“Taksi!” teriak laki-laki muda itu.
Ia mencegat dua taksi untuk keempat perempuan anggota tim yang sedang berdiri tak jauh dari mobil van.
Dua buah taksi berhenti dan dengan segera membawa keempat anggota tim itu pergi.
“Sayang sekali, hanya satu mobil yang bisa beroperasi,” ujar laki-laki itu ketika giliranku yang pergi dengan taksi.
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Nggak apa-apa," sahutku sambil berlalu.
Taksi yang kutumpangi meluncur membelah jalan raya.
Aku menyandarkan punggung di jok penumpang dan berharap bisa sejenak istirahat dari semua keanehan yang terjadi.
“Hek!”
Mendadak hidung ini mencium bau yang menyengat. Pandangan mata berusaha mencari sumber bau dengan berusaha menahan napas.
“Hah! Apalagi ini?”
Aku tercekat.
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu