Suasana selepas Isya di pelataran masjid begitu damai. Lampu-lampu temaram menerangi jalanan yang mulai lengang, memberikan kesan hangat di tengah sejuknya malam. Farhan, yang baru saja selesai mengikuti kajian, masih berdiri di sisi luar masjid, menikmati keheningan itu. Udara malam terasa begitu lembut, seolah memberinya ruang untuk merenungi perasaannya yang semakin kuat pada Aisyah.
Perasaan itu datang tanpa diundang, seperti angin lembut yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Entah mengapa, setiap kali ia melihat Aisyah di masjid, ada ketenangan yang sulit dijelaskan, sebuah kedamaian yang langka ditemukan di tengah hidupnya yang penuh tekanan dan hiruk-pikuk dunia bisnis. Sebagai seorang miliarder muda, Farhan terbiasa berhadapan dengan kekayaan dan kesibukan, namun di hadapan Aisyah, semua itu terasa tak berarti. Tanpa sadar, pikirannya melayang kembali pada percakapan singkat mereka beberapa waktu lalu. Senyum lembut Aisyah, suaranya yang penuh ketulusan, semuanya masih tergambar jelas dalam benaknya. Ia semakin yakin bahwa wanita itu memiliki sesuatu yang berbeda — ketenangan dan keyakinan yang membuatnya ingin menjadi sosok yang lebih baik. Namun, di balik keyakinan itu, terselip juga keraguan. Bagaimana jika Aisyah tahu siapa dia sebenarnya? “Farhan!” sebuah suara lembut menyapanya dari arah samping, membuyarkan lamunannya. Farhan menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok yang sangat ia kenal. Aisyah berdiri di sana, mengenakan jilbab warna pastel yang menambah kesan teduh pada wajahnya. Ada senyum kecil di bibirnya, senyum yang membuat hati Farhan berdegup lebih kencang. Suasana malam yang sepi dan dingin seketika terasa hangat di sekitar mereka. “Wa’alaikumsalam, Aisyah,” jawab Farhan dengan suara tenang, meski di dalam hatinya ia merasakan getaran yang sulit dijelaskan. Aisyah mengangguk pelan, masih dengan senyum hangatnya. “Saya tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini lagi, Farhan. Kamu sering ke masjid ini, ya?” Farhan mengusap tengkuknya, sedikit canggung. “Iya, sebenarnya sudah lama saya rutin datang ke kajian ini, tapi ... baru belakangan ini saya merasa ada sesuatu yang lebih ... membuat saya nyaman.” Aisyah menatapnya sejenak, seolah mencoba memahami maksud ucapannya. “Senang mendengarnya. Masjid ini memang memberikan ketenangan yang jarang ditemukan di tempat lain.” Mereka mulai berjalan perlahan meninggalkan pelataran masjid. Langkah demi langkah mereka bergema lembut di atas lantai marmer, dan Farhan merasakan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia bahagia bisa berbicara langsung dengan Aisyah, tetapi di sisi lain, ada cemas yang terus menghantui pikirannya. Bagaimana reaksi Aisyah jika suatu saat mengetahui bahwa dia bukan sekadar orang biasa? “Farhan,” panggil Aisyah tiba-tiba, membuat langkahnya terhenti. “Iya, ada apa, Aisyah?” Farhan berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meski hatinya berdegup kencang. Aisyah menatapnya serius, seolah berusaha mencari jawaban dalam tatapannya. “Saya sering melihat kamu di kajian, tapi saya penasaran ... apa yang membuat kamu begitu rutin hadir? Maksud saya, tidak semua orang bisa konsisten seperti itu.” Farhan tersenyum kecil. Ia merasa pertanyaan Aisyah begitu dalam, seperti menyentuh bagian dirinya yang paling tersembunyi. “Saya ... saya rasa semua ini adalah cara saya untuk lebih dekat dengan Allah. Saya merasa ada banyak hal yang harus saya perbaiki dalam diri. Kajian di masjid ini memberikan saya pandangan baru tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup, dan saya merasa semakin tenang setiap kali berada di sini.” Aisyah tersenyum tipis, seolah mengerti. “Saya juga merasakan hal yang sama. Kadang, hidup terlalu sibuk dengan urusan duniawi sampai kita lupa tujuan akhir kita.” Perkataannya membuat Farhan merenung. Di hadapan Aisyah, ia benar-benar merasa menjadi dirinya sendiri, tanpa embel-embel status atau kekayaan yang selama ini mengelilinginya. Namun, bayangan tentang statusnya sebagai seorang miliarder kembali menghantui pikirannya. Bagaimana jika Aisyah tahu siapa dia sebenarnya? “Aisyah, saya ingin bertanya sesuatu,” Farhan berkata pelan, sedikit ragu. Aisyah mengangguk, memberikan isyarat bahwa ia siap mendengar. “Bagaimana pendapat Aisyah tentang seseorang yang ... mungkin memiliki segalanya di dunia ini, tapi dia memilih hidup sederhana dan mengabdikan diri untuk kebaikan?” Aisyah tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Menurut saya, itu adalah pilihan yang luar biasa. Hidup dengan cara sederhana ketika memiliki segalanya membutuhkan kekuatan hati yang besar. Saya sangat menghormati orang yang mampu melakukan itu. Tapi yang terpenting adalah keikhlasan hati dalam melakukannya. Semua akan sia-sia jika niatnya tidak benar.” Mendengar jawaban itu, Farhan merasa sedikit lega, meskipun perasaan cemasnya masih ada. “Terima kasih, Aisyah. Jawabanmu sangat berarti bagi saya.” Mereka terus berjalan hingga tiba di dekat halte yang cukup sepi. Aisyah tampaknya menunggu angkutan umum untuk pulang. Farhan, yang berdiri di sampingnya, merasakan dorongan untuk menawarkan tumpangan, namun ia ragu apakah itu akan dianggap berlebihan. “Kalau boleh tahu, rumah Aisyah jauh dari sini?” tanya Farhan, mencoba mencari tahu tanpa terkesan memaksa. Aisyah tersenyum kecil. “Tidak terlalu jauh, hanya beberapa menit naik angkutan umum.” Farhan mengangguk, namun tetap merasa tak tenang. Bagian dirinya ingin memastikan Aisyah pulang dengan selamat. “Aisyah, jika tidak keberatan ... saya bisa mengantar. Tentu hanya jika Aisyah merasa nyaman,” tawarnya dengan hati-hati. Aisyah tampak sedikit terkejut, namun segera mengangguk. “Baiklah, terima kasih banyak, Farhan. Saya tidak ingin merepotkan, tapi jika kamu bersedia, saya terima dengan senang hati.” Perjalanan di dalam mobil terasa hening, namun keheningan itu bukan tanpa arti. Farhan sesekali melirik Aisyah yang duduk di sebelahnya, melihat wajahnya yang tenang. Dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa Aisyah adalah orang yang tepat. Ia merasa, untuk pertama kalinya, ia menemukan seseorang yang bisa memahami dirinya tanpa harus tahu tentang siapa dia sebenarnya. “Terima kasih sudah mengantar saya, Farhan,” kata Aisyah saat mereka tiba di depan rumahnya. “Sama-sama, Aisyah. Saya senang bisa membantu,” jawab Farhan tulus. Aisyah menatapnya sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Semoga kita bisa bertemu lagi di kajian selanjutnya. Dan ... semoga niat baik kamu selalu diridhoi Allah.” Ucapan itu membuat hati Farhan menghangat. “Aamiin. Terima kasih, Aisyah. Semoga Allah juga selalu melindungi dan membimbingmu.” Aisyah tersenyum lalu melangkah masuk ke rumah, meninggalkan Farhan dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa bahagia bisa lebih dekat dengan Aisyah, tapi di sisi lain, ia merasa ada beban yang semakin berat. Bagaimana jika semua ini hanyalah bayangan indah yang akan hilang saat kebenaran tentang dirinya terungkap? Malam itu, Farhan pulang dengan hati yang penuh doa. Ia meminta petunjuk agar diberi jalan yang terbaik untuk mendekati Aisyah, tanpa mengkhianati keikhlasannya. Meski ia memiliki segalanya di dunia, ia tahu bahwa cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kekayaan. Baginya, mendapatkan hati Aisyah dengan cara yang tulus adalah kebahagiaan yang tak ternilai. Namun, dalam setiap doa yang ia panjatkan, ia juga tak bisa mengabaikan kecemasan di hatinya. Apakah Aisyah akan tetap melihatnya sebagai Farhan yang sederhana, ataukah semua ini akan berubah ketika ia tahu bahwa Farhan adalah seorang miliarder? Perasaan itu terus menghantuinya, menjadi pertanyaan yang belum terjawab, menggantung dalam pikirannya, meninggalkan bab ini dengan akhir yang tak terduga namun penuh harap.Setelah Farhan pergi, Aisyah tetap terdiam di kursi ruang makan. Dingin pagi itu terasa semakin menusuk, meskipun matahari sudah mulai naik perlahan. Ia menatap kosong ke piring sarapan yang masih menyisakan nasi dan telur yang belum ia habiskan. Perasaannya campur aduk. Ada rasa bersalah, namun juga kekecewaan yang tak bisa ia abaikan."Aku cuma butuh dia ada," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Tangannya menyentuh perutnya yang mulai membesar. Ada kehidupan di dalamnya, sebuah keajaiban yang seharusnya menjadi kebahagiaan. Tapi kenapa semuanya justru terasa begitu berat? Ia merasa sendirian, meskipun Farhan selalu berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak sendiri.Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Layar menunjukkan nama Farhan. Aisyah menghela napas dan mengangkatnya tanpa semangat."Mas?" suaranya terdengar datar."Aisyah, aku baru selesai sama Arman. Aku pulang sekarang," suara Farhan terde
Malam itu, setelah hari yang begitu panjang, Aisyah akhirnya bisa tidur lebih awal. Farhan duduk di sisi tempat tidur, memandangi wajah tenang istrinya yang terlelap. Ada rasa lega yang perlahan mengisi dadanya. Sudah beberapa hari ini Aisyah terlihat begitu gelisah, bahkan sulit tidur. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, ia bisa tidur lebih cepat.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.Di tengah malam, Aisyah terbangun mendadak. Napasnya terengah-engah, tangannya mencengkeram perutnya dengan panik. Matanya terbuka lebar, penuh ketakutan. Farhan yang baru saja memejamkan mata langsung tersentak bangun."Aisyah!" panggil Farhan sambil meraih bahu istrinya. "Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi?"Aisyah menggeleng cepat, tapi air matanya sudah mengalir. "Mas ... aku nggak bisa ... nggak bisa tenang. Aku takut, Mas. Aku takut banget." Suaranya bergetar, penuh kepanikan yang sulit dijelaskan.Farhan menarik napas panjang, menenangkan dirinya dulu sebelum mencoba menenangkan Aisyah. Ia
Farhan memijat pelipisnya, mencoba menjelaskan situasi tanpa terdengar terlalu khawatir. "Dia masih ... gitu, Man. Banyak kecemasan. Gue nggak tahu harus gimana lagi. Kayak semua yang gue lakuin nggak cukup buat bikin dia tenang."Arman terdiam sejenak sebelum menjawab. "Gue ngerti, Bang. Tapi lo juga harus sabar. Kehamilan tuh pasti bikin dia lebih sensitif. Lo ingat nggak dulu waktu Ibu hamil gue? Bapak juga sering cerita, Ibu jadi sering cemas. Apalagi Aisyah ini kehamilan pertama, kan?"Farhan terdiam. Ia ingat cerita itu. Tapi rasanya apa yang dialami Aisyah jauh lebih berat dari sekadar kehamilan biasa. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum Aisyah ungkapkan."Tapi ini beda, Man," balas Farhan akhirnya. "Dia sampai nggak bisa tidur, nggak mau keluar rumah. Tiap hari cuma khawatir soal bayi. Gue takut dia terlalu stres.""Kalau gitu, lo harus ajak dia bicara lebih dalam, Bang. Mungkin ada sesuatu yang dia pendam. Kadang, kit
Aisyah duduk di sofa ruang tamu, kedua tangannya menggenggam erat secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Pandangannya tidak fokus, terus tertuju pada jendela besar yang menghadap ke taman kecil di depan rumah. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi dedaunan, menciptakan irama menenangkan. Tapi dalam hati Aisyah, tidak ada ketenangan. Hanya kecemasan yang terus merongrong pikirannya."Masih hujan, ya?" Suara Farhan memecah keheningan. Lelaki itu muncul dari dapur dengan segelas kopi di tangan, lalu duduk di sebelah Aisyah. Ia menatap istrinya, mencoba membaca ekspresi yang sejak beberapa hari terakhir terasa sulit ia pahami.Aisyah hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. "Iya, Mas. Hujan," jawabnya singkat.Farhan menghela napas pelan. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sejak kehamilan Aisyah memasuki trimester kedua, istrinya itu mulai berubah. Semakin sering termenung, memilih tinggal di rumah, dan kadang terlihat seperti orang yang sedang dihantu
Aisyah memandang kotak kecil di tangannya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membukanya perlahan. Di dalamnya, ada alat tes kehamilan yang baru saja dia gunakan beberapa menit lalu. Farhan berdiri tak jauh darinya, menatap dengan campuran rasa khawatir dan harapan yang tadi sempat terlukis di matanya. "Aku lihat hasilnya, Mas?" tanya Aisyah dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Farhan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Dia meraih tangan Aisyah, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan. "Bareng aja, Sayang. Kita lihat bareng." Aisyah mengangguk kecil. Ia menarik napas panjang dan berusaha menenangkan debaran jantungnya yang terasa semakin kencang. Dengan tangan yang masih bergetar, ia mengangkat alat tes kehamilan itu untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Mata Aisyah membelalak. Ia menatap alat itu, memastikan apa yang dilihatnya benar. "Mas ... ini ... dua garis,"
Matahari mulai memancarkan sinarnya, mengintip dari sela-sela tirai kamar. Suara burung di luar jendela terdengar ceria, seolah menyambut hari baru dengan semangat. Namun, di dalam kamar, suasana masih hening. Farhan membuka matanya perlahan, merasa berat untuk bangun dari kasur. Ia menoleh ke samping, melihat Aisyah yang masih terlelap. Wajah istrinya terlihat tenang, meski ada jejak kelelahan yang sulit disembunyikan. Farhan menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan apa saja untuk membuat Aisyah bahagia. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan. Sekitar setengah jam kemudian, Aisyah mulai menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka, dan ia tersenyum tipis saat melihat Farhan sudah bangun. "Mas, udah bangun duluan?" tanyanya dengan suara serak khas pagi. Farhan tersenyum balik. "Iya, aku nggak mau bangunin kamu. Kamu kelihatan capek semalam." Ais