Home / Romansa / Proposal Cinta Sang Miliarder / Bab 4: Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 4: Pertemuan Tak Terduga

Author: Resya
last update Last Updated: 2024-12-07 00:06:42

Suasana selepas Isya di pelataran masjid begitu damai. Lampu-lampu temaram menerangi jalanan yang mulai lengang, memberikan kesan hangat di tengah sejuknya malam. Farhan, yang baru saja selesai mengikuti kajian, masih berdiri di sisi luar masjid, menikmati keheningan itu. Udara malam terasa begitu lembut, seolah memberinya ruang untuk merenungi perasaannya yang semakin kuat pada Aisyah.

Perasaan itu datang tanpa diundang, seperti angin lembut yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Entah mengapa, setiap kali ia melihat Aisyah di masjid, ada ketenangan yang sulit dijelaskan, sebuah kedamaian yang langka ditemukan di tengah hidupnya yang penuh tekanan dan hiruk-pikuk dunia bisnis. Sebagai seorang miliarder muda, Farhan terbiasa berhadapan dengan kekayaan dan kesibukan, namun di hadapan Aisyah, semua itu terasa tak berarti.

Tanpa sadar, pikirannya melayang kembali pada percakapan singkat mereka beberapa waktu lalu. Senyum lembut Aisyah, suaranya yang penuh ketulusan, semuanya masih tergambar jelas dalam benaknya. Ia semakin yakin bahwa wanita itu memiliki sesuatu yang berbeda — ketenangan dan keyakinan yang membuatnya ingin menjadi sosok yang lebih baik. Namun, di balik keyakinan itu, terselip juga keraguan. Bagaimana jika Aisyah tahu siapa dia sebenarnya?

“Farhan!” sebuah suara lembut menyapanya dari arah samping, membuyarkan lamunannya.

Farhan menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok yang sangat ia kenal. Aisyah berdiri di sana, mengenakan jilbab warna pastel yang menambah kesan teduh pada wajahnya. Ada senyum kecil di bibirnya, senyum yang membuat hati Farhan berdegup lebih kencang. Suasana malam yang sepi dan dingin seketika terasa hangat di sekitar mereka.

“Wa’alaikumsalam, Aisyah,” jawab Farhan dengan suara tenang, meski di dalam hatinya ia merasakan getaran yang sulit dijelaskan.

Aisyah mengangguk pelan, masih dengan senyum hangatnya. “Saya tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini lagi, Farhan. Kamu sering ke masjid ini, ya?”

Farhan mengusap tengkuknya, sedikit canggung. “Iya, sebenarnya sudah lama saya rutin datang ke kajian ini, tapi ... baru belakangan ini saya merasa ada sesuatu yang lebih ... membuat saya nyaman.”

Aisyah menatapnya sejenak, seolah mencoba memahami maksud ucapannya. “Senang mendengarnya. Masjid ini memang memberikan ketenangan yang jarang ditemukan di tempat lain.”

Mereka mulai berjalan perlahan meninggalkan pelataran masjid. Langkah demi langkah mereka bergema lembut di atas lantai marmer, dan Farhan merasakan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia bahagia bisa berbicara langsung dengan Aisyah, tetapi di sisi lain, ada cemas yang terus menghantui pikirannya. Bagaimana reaksi Aisyah jika suatu saat mengetahui bahwa dia bukan sekadar orang biasa?

“Farhan,” panggil Aisyah tiba-tiba, membuat langkahnya terhenti.

“Iya, ada apa, Aisyah?” Farhan berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meski hatinya berdegup kencang.

Aisyah menatapnya serius, seolah berusaha mencari jawaban dalam tatapannya. “Saya sering melihat kamu di kajian, tapi saya penasaran ... apa yang membuat kamu begitu rutin hadir? Maksud saya, tidak semua orang bisa konsisten seperti itu.”

Farhan tersenyum kecil. Ia merasa pertanyaan Aisyah begitu dalam, seperti menyentuh bagian dirinya yang paling tersembunyi. “Saya ... saya rasa semua ini adalah cara saya untuk lebih dekat dengan Allah. Saya merasa ada banyak hal yang harus saya perbaiki dalam diri. Kajian di masjid ini memberikan saya pandangan baru tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup, dan saya merasa semakin tenang setiap kali berada di sini.”

Aisyah tersenyum tipis, seolah mengerti. “Saya juga merasakan hal yang sama. Kadang, hidup terlalu sibuk dengan urusan duniawi sampai kita lupa tujuan akhir kita.”

Perkataannya membuat Farhan merenung. Di hadapan Aisyah, ia benar-benar merasa menjadi dirinya sendiri, tanpa embel-embel status atau kekayaan yang selama ini mengelilinginya. Namun, bayangan tentang statusnya sebagai seorang miliarder kembali menghantui pikirannya. Bagaimana jika Aisyah tahu siapa dia sebenarnya?

“Aisyah, saya ingin bertanya sesuatu,” Farhan berkata pelan, sedikit ragu.

Aisyah mengangguk, memberikan isyarat bahwa ia siap mendengar.

“Bagaimana pendapat Aisyah tentang seseorang yang ... mungkin memiliki segalanya di dunia ini, tapi dia memilih hidup sederhana dan mengabdikan diri untuk kebaikan?”

Aisyah tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Menurut saya, itu adalah pilihan yang luar biasa. Hidup dengan cara sederhana ketika memiliki segalanya membutuhkan kekuatan hati yang besar. Saya sangat menghormati orang yang mampu melakukan itu. Tapi yang terpenting adalah keikhlasan hati dalam melakukannya. Semua akan sia-sia jika niatnya tidak benar.”

Mendengar jawaban itu, Farhan merasa sedikit lega, meskipun perasaan cemasnya masih ada. “Terima kasih, Aisyah. Jawabanmu sangat berarti bagi saya.”

Mereka terus berjalan hingga tiba di dekat halte yang cukup sepi. Aisyah tampaknya menunggu angkutan umum untuk pulang. Farhan, yang berdiri di sampingnya, merasakan dorongan untuk menawarkan tumpangan, namun ia ragu apakah itu akan dianggap berlebihan.

“Kalau boleh tahu, rumah Aisyah jauh dari sini?” tanya Farhan, mencoba mencari tahu tanpa terkesan memaksa.

Aisyah tersenyum kecil. “Tidak terlalu jauh, hanya beberapa menit naik angkutan umum.”

Farhan mengangguk, namun tetap merasa tak tenang. Bagian dirinya ingin memastikan Aisyah pulang dengan selamat. “Aisyah, jika tidak keberatan ... saya bisa mengantar. Tentu hanya jika Aisyah merasa nyaman,” tawarnya dengan hati-hati.

Aisyah tampak sedikit terkejut, namun segera mengangguk. “Baiklah, terima kasih banyak, Farhan. Saya tidak ingin merepotkan, tapi jika kamu bersedia, saya terima dengan senang hati.”

Perjalanan di dalam mobil terasa hening, namun keheningan itu bukan tanpa arti. Farhan sesekali melirik Aisyah yang duduk di sebelahnya, melihat wajahnya yang tenang. Dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa Aisyah adalah orang yang tepat. Ia merasa, untuk pertama kalinya, ia menemukan seseorang yang bisa memahami dirinya tanpa harus tahu tentang siapa dia sebenarnya.

“Terima kasih sudah mengantar saya, Farhan,” kata Aisyah saat mereka tiba di depan rumahnya.

“Sama-sama, Aisyah. Saya senang bisa membantu,” jawab Farhan tulus.

Aisyah menatapnya sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Semoga kita bisa bertemu lagi di kajian selanjutnya. Dan ... semoga niat baik kamu selalu diridhoi Allah.”

Ucapan itu membuat hati Farhan menghangat. “Aamiin. Terima kasih, Aisyah. Semoga Allah juga selalu melindungi dan membimbingmu.”

Aisyah tersenyum lalu melangkah masuk ke rumah, meninggalkan Farhan dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa bahagia bisa lebih dekat dengan Aisyah, tapi di sisi lain, ia merasa ada beban yang semakin berat. Bagaimana jika semua ini hanyalah bayangan indah yang akan hilang saat kebenaran tentang dirinya terungkap?

Malam itu, Farhan pulang dengan hati yang penuh doa. Ia meminta petunjuk agar diberi jalan yang terbaik untuk mendekati Aisyah, tanpa mengkhianati keikhlasannya. Meski ia memiliki segalanya di dunia, ia tahu bahwa cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kekayaan. Baginya, mendapatkan hati Aisyah dengan cara yang tulus adalah kebahagiaan yang tak ternilai.

Namun, dalam setiap doa yang ia panjatkan, ia juga tak bisa mengabaikan kecemasan di hatinya. Apakah Aisyah akan tetap melihatnya sebagai Farhan yang sederhana, ataukah semua ini akan berubah ketika ia tahu bahwa Farhan adalah seorang miliarder?

Perasaan itu terus menghantuinya, menjadi pertanyaan yang belum terjawab, menggantung dalam pikirannya, meninggalkan bab ini dengan akhir yang tak terduga namun penuh harap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Epilog: Awal yang Baru

    "Mas, kamu nggak pernah mikir buat kembali lagi ke sini suatu saat nanti?" Aisyah memecah keheningan sore itu. Suaranya lembut, tapi ada nada ragu yang terselip. Ia menatap Farhan yang sedang duduk di taman kecil belakang rumah baru mereka. Bayangan senja memulas wajah suaminya yang terlihat tenang, namun pikirannya jelas sedang mengembara. Farhan mendongak, matanya bertemu dengan mata Aisyah. Ia lalu tersenyum kecil. "Aku pikirin. Tapi sekarang prioritas kita di sini, Sayang. Kamu tahu itu." "Tapi ... ada hal-hal yang nggak bisa kita tinggalkan di sana," lanjut Aisyah pelan. Matanya menerawang, mengingat semua yang pernah mereka lalui di tanah air. Suara kereta api di kejauhan, aroma masakan ibu di dapur, dan tawa Safira yang dulu sering memecah kesunyian rumah mereka. Farhan mendesah. Ia menatap dua bayi kecil mereka yang sedang bermain di atas selimut di rumput. Salah satu bayi tertawa kecil saat kakaknya menarik mainan

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 154: Awal Baru

    "Kalau nanti di tempat baru ... kita menemukan hal-hal yang nggak kita duga, apa yang akan kamu lakukan?"Farhan menatap wajah Aisyah dengan raut serius. Suaranya terdengar berat, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang lebih dalam-sebuah ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat.Aisyah terdiam sesaat. Ia memandangi suaminya dengan mata yang penuh harap, meski pikirannya sedang berkecamuk. Jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan Farhan yang lebih besar. "Mas, aku tahu ini nggak mudah ... tapi aku percaya, apa pun yang kita hadapi, kita bisa selesaikan. Bersama."Farhan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Tapi, kamu tahu kan, ini bukan cuma soal kita, Sayang. Ada dua bayi yang sekarang bergantung sama kita. Kalau kita salah langkah ....""Kita nggak akan salah langkah, Mas," potong Aisyah lembut, namun tegas. "Aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan takut. Kalau kita terus mikirin kemungkinan buruk, kita nggak aka

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 153:

    "Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 152:

    Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 151:

    "Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.

  • Proposal Cinta Sang Miliarder    Bab 150:

    "Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status