LOGINSetelah hari itu, selama tiga hari, Ayu tidak lagi merasa diawasi.
Tidak ada pesan-pesan misterius di ponselnya dan tidurnya bisa kembali nyenyak. Selama tiga hari pula Ayu dan Rangga tidak melakukan panggilan video untuk memuaskan hasrat mereka. Entah apa alasan Rangga untuk menghentikan hubungan intim itu terlebih dahulu. Meski demikian, Ayu menjadi sedikit frustasi akibat nafsu yang tak terpuaskan. Selain itu…, Ayu juga tidak berhenti memikirkan Daniel. Kadang suara berat Daniel di hari itu terus menyapa telinganya, membuat Ayu teringat apa yang hampir mereka lakukan. Membayangkannya membuat wajah Ayu memanas. “Sial…,” Ayu menghela napas sambil mengusap wajahnya. Ada rasa bersalah yang terus menghantui Ayu tanpa henti. Potret dirinya dan Rangga yang tersenyum bahagia menghiasi beberapa titik di ruangan kamar seolah menjadi saksi atas lakuannya hari itu. Ayu merasa kacau dan malu. Di tengah dilemanya, Ayu tetap menjalankan rutinitas sehari-harinya. Bekerja, pulang lalu berbenah apartemen, juga menelepon Rangga untuk melepas rindu. Pergelangan kakinya yang terkilir beberapa hari lalu seolah sudah dilupakan, malah terbayang mimpi kotornya dan tentu saja… Daniel. Sore itu, Ayu tengah menenteng barang belanjaan dari minimarket. Tangannya terlalu sibuk menggenggam barang-barang itu karena ia lupa membawa tas belanja. Pikirannya kembali bercabang padahal pesan-pesan misterius itu tak lagi muncul. “Aduh…,” Ayu menggerutu sambil berusaha menekan tombol lift, berupaya agar barang belanjaannya tidak jatuh. Ayu harus berhati-hati karena ia membawa sekotak telur. Di tengah kesulitannya, seseorang tiba-tiba mendahului jarinya untuk menekan tombol lift. Ayu kaget ketika menoleh dan mendapati Daniel yang sudah berdiri di sana. Daniel. Sepertinya sudah lama sejak kali terakhir Ayu melihatnya, padahal baru tiga hari. “Oh… Daniel…,” kata Ayu sedikit gugup dan canggung. “Biar aku bantu, Yu,” dengan hati-hati, Daniel mengambil beberapa barang dari tangan Ayu. Ayu belum sempat berkata apa-apa dan hanya membiarkan Daniel membantunya. Setelah lift terbuka, Daniel melangkah masuk lebih dahulu, kemudian menekan tombol “6”, lantai unit Ayu. Ayu sendiri masih terdiam dengan canggung. Lift yang bergerak lama membuat Ayu gugup. Namun cepat ditangkis dengan Daniel yang memulai pembicaraan lagi. “Ayu, kakimu masih sakit?” “O-oh.. Enggak, Niel. Udah mendingan,” jawab Ayu pelan. Daniel mengangguk. “Baguslah, Yu. Kalau masih sakit, aku juga yang jadi khawatir.” “Terima kasih, Niel. Aku enggak apa-apa. Ini juga berkat pijat dari kamu.” Daniel menoleh dan tersenyum, membuat Ayu tersipu. Lift kemudian berhenti di lantai 6 dan Ayu melangkah keluar diikuti oleh Daniel. Langkah Ayu rasanya begitu berat dan canggung, tak kalah dengan pikirannya yang terus merasa bahwa kejadian beberapa waktu lalu adalah bagian dari nafsunya yang tak bisa ia tahan. ‘Padahal Daniel sudah mengobatiku, tapi aku malah…,’ batin Ayu, ia mengutuk dirinya sendiri. Begitu sampai di depan pintu unit apartemennya, Ayu berbalik badan menatap Daniel. “Niel…, mau masuk dulu?”, ucap ayu dengan nada ragu-ragu. “Masuk?” Daniel bertanya dengan wajah yang kebingungan. Ia juga masih terlihat canggung. “Aku bisa buatkan makan malam, Niel. Sebagai bentuk terima kasihku, kamu sudah tolongin aku kemarin,” jelas Ayu. Daniel tersenyum dan lagi-lagi Ayu tidak dapat membaca arti senyumannya. “Baiklah, Yu.” Ayu menghela napas lega mendengarnya. Ayu pikir, setidaknya, ini akan membuat hubungan keduanya membaik. Maka, Ayu memutar kunci apartemennya dan mempersilakan Daniel untuk masuk. “Permisi,” kata Daniel sopan sebelum melangkah masuk. Makan malam itu kiranya berhasil mencairkan suasana kembali. Ayu bercerita tentang tidurnya yang kembali nyenyak akibat pesan-pesan misterius yang mulai menghilang. Daniel terdengar lega mendengarnya. Mata Daniel lalu memperhatikan seisi ruang, seolah-olah memastikan bahwa memang Ayu sudah aman dan tidak lagi diawasi. Namun, Ayu gagal menangkap sebuah senyum seringai yang terbesit di wajah Daniel untuk sesaat. “Aku mau cuci tangan dulu, Yu. Izin ke dapurmu, ya,” ujar Daniel sambil beranjak dari duduknya. Ayu hanya mengangguk dan mulai merapikan alat makan kotor di atas meja. Tak lama, suara Daniel memanggilnya dari dapur. “Yu! Kayaknya keranmu rusak deh!” Setengah berlari, Ayu cepat-cepat menuju dapur dan melihat Daniel yang memutar-mutar keran, namun tak kunjung keluar air. “Duh, tadi masih bisa,” Ayu menggerutu dan mendekat ke Daniel. “Aku bisa bantu betulkan. Kamu punya perkakas, Yu? Rangga simpan di mana?” Daniel merapatkan tubuhnya dan Ayu dapat mencium aroma segar di sana. Kepala Ayu rasanya berputar. Itu aroma yang familier, kembali mengingatkannya kepada beberapa waktu lalu. “Kami punya, tapi sepertinya enggak lengkap, Niel. Aku cari dulu-” “Kalau begitu,” Daniel memotongnya. Tangannya menggenggam lengan Ayu tiba-tiba. Ayu dapat merasakan jari-jari Daniel yang mengusap pelan lengannya. “Aku ambil di apartemenku saja. Nanti aku kembali lagi, ya?” “Iya, Niel. Aku tunggu.” Aroma tubuh Daniel rasanya begitu sulit untuk meninggalkan Ayu. Bahkan ketika Ayu mengantarkan Daniel ke pintu depan untuk pulang terlebih dahulu, seisi ruang seolah masih disinggahi Daniel. Ayu menghela napas dan berbaring di atas sofa. Matanya masih menatap pintu depan yang baru ditinggalkan Daniel. Sialnya, sofa itu juga mengingatkannya kepada Daniel. Termakan nafsu dan pikiran yang liar serta aroma tubuh Daniel yang masih membekas di hidungnya, tangan Ayu mulai bergerak. Suasana yang membangun gairah dan bayang-bayang akan sentuhan orang lain membuat nafsu Ayu meluap. Ia memejamkan mata dan tangannya turun, mengangkat kaos yang dikenakan. Ayu meremas pinggangnya, membayangkan seseorang yang pernah melakukan itu kepadanya. Daniel. Ayu terus terbayang aroma tubuh Daniel yang begitu kuat dan dadanya yang bidang entah kenapa muncul tiba-tiba dalam pikirannya. Ayu terbayang bagaimana rasanya jika Daniel berada di atas tubuhnya yang jauh lebih kecil, kemudian membayangkan tangan-tangan nakal Daniel yang sudah sempat menyentuh kaki jenjangnya. Ia juga terbayang jika dadanya yang penuh ditangkup tangan besar Daniel. “Ahh..sssh..” Tangan Ayu turun lagi, kini masuk ke dalam celana pendek yang dikenakan. Kedua kakinya sudah melebar. Pikirannya semakin kacau dan liar, jari-jarinya mulai bermain di atas sana. Tubuhnya menggeliat, mencari titik-titik paling nikmat. Ayu dapat merasakan keringatnya jatuh bercucuran. Ayu berusaha menahan suaranya untuk keluar namun gagal. “A.. ahh.. mmm..Daniel….” Ketika ingin mencapai puncak, tangannya lihai memainkan bagian bawah dan juga menyentuh dadanya sendiri, membuat tubuh Ayu bergetar hebat. Kakinya masih bergetar ketika Ayu mengambil napas, mencoba mengatur napasnya yang terengah. Ayu membuka matanya perlahan, pandangannya masih kabur. Dadanya yang masih membusung dan tak ditutupi kaos itu juga masih naik turun. Ayu butuh beberapa saat sebelum menyadari sesuatu. Seorang pria berdiri di hadapannya dengan wajah yang memerah. Ayu dengan sigap menutup kaki dan merapikan pakaiannya. “Daniel!?”Setelah hari itu, selama tiga hari, Ayu tidak lagi merasa diawasi. Tidak ada pesan-pesan misterius di ponselnya dan tidurnya bisa kembali nyenyak. Selama tiga hari pula Ayu dan Rangga tidak melakukan panggilan video untuk memuaskan hasrat mereka. Entah apa alasan Rangga untuk menghentikan hubungan intim itu terlebih dahulu. Meski demikian, Ayu menjadi sedikit frustasi akibat nafsu yang tak terpuaskan. Selain itu…, Ayu juga tidak berhenti memikirkan Daniel. Kadang suara berat Daniel di hari itu terus menyapa telinganya, membuat Ayu teringat apa yang hampir mereka lakukan. Membayangkannya membuat wajah Ayu memanas. “Sial…,” Ayu menghela napas sambil mengusap wajahnya. Ada rasa bersalah yang terus menghantui Ayu tanpa henti. Potret dirinya dan Rangga yang tersenyum bahagia menghiasi beberapa titik di ruangan kamar seolah menjadi saksi atas lakuannya hari itu. Ayu merasa kacau dan malu. Di tengah dilemanya, Ayu tetap menjalankan rutinitas sehari-harinya. Bekerja, pulang l
Ayu refleks melempar ponselnya jatuh, lalu ia dengan cepat meringkuk dan menarik selimut untuk melilit tubuhnya. Kepalanya berputar cepat, seolah mencari-cari seseorang yang mungkin bersembunyi di dalam apartemennya. Jantung Ayu berdebar kencang. Tubuhnya gemetar. Jelas-jelas ia sudah memblokir nomor asing itu, mengikuti perintah Daniel. Namun, kini orang itu kembali menghubunginya dengan nomor yang berbeda dan lebih parah. Tangannya gemetar saat berusaha menjangkau ponselnya yang tergeletak di atas karpet. Susah payah Ayu mencari kontak Rangga, padahal kontak Rangga ia sematkan di paling atas. Ayu tempelkan ponsel itu ke telinga, menunggu Rangga mengangkat teleponnya, namun suaminya itu tidak kunjung menerima panggilan Ayu. Sampai panggilan keenam, suara serak Rangga di ujung terdengar. “Halo? Rangga …,” Ayu menghela napas. Suaranya terdengar begitu payah dan Ayu yakin Rangga dapat merasakannya. “Ay? Sayang?” suara Rangga tiba-tiba terdengar panik. “Kenapa, Ay? Kenapa sua
Sore itu, setelah melewati hari yang terasa begitu panjang dan pulang kembali ke apartemennya, Ayu sekarang tengah memijat-mijat kakinya sambil berbaring di atas kasur. Kaos polos dan celana pendek telah menempel pada tubuhnya setelah berganti baju selepas pulang kerja. Tak lama, ponsel Ayu berdering. Panggilan dari Rangga. Ah, ia lupa mengabari pada Rangga bahwa ia terjatuh tadi karena terlalu sibuk bekerja, lagipula Rangga juga pasti sibuk bekerja tadi. “Sayang, kakimu terkilir? Tadi Daniel cerita,” Rangga terdengar khawatir. “Aku tadi jatuh, tapi udah enggak terlalu sakit,” Ayu menjelaskan keadaannya sambil memijat-mijat pergelangan yang masih sedikit nyeri. Mendengar penjelasan sang istri, Rangga dapat menghela napas lega. “Syukurlah tadi ada Daniel. Kamu tau, ‘kan, Ay? Daniel itu fisioterapis, dia ahli pijat dan urut. Aku sudah memintanya untuk datang ke tempatmu. Biar kakimu dipijat saja, supaya cepat sembuh.” Ayu terkejut, meskipun Daniel sahabat mereka, tetapi men
Ayu masih membeku. Pesan anonim itu seperti tamparan yang dingin dan keras, memaksanya kembali ke realitas yang menakutkan. Rangga mengernyitkan dahi. "Ayu, kamu dengar aku? Kenapa tiba-tiba diam?" Ayu menarik napas, berusaha agar suaranya terdengar normal. "Aku... aku enggak apa-apa, Sayang. Cuma kaget saja tadi ada suara aneh di luar," bohongnya, suaranya tercekat. "Suara aneh? Ah, mungkin suara angin, Sayang." "Sudah, kamu istirahat ya. Mungkin kamu berhalusinasi karena capek. Aku matikan videonya, Love You," ucap Rangga sembari menenangkan Ayu. "Iya, Sayang. I love you more," balas Ayu dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ayu cepat-cepat meraih selimut dan menutup tubuhnya hingga leher. Rasa panas karena gairah tadi kini berubah menjadi rasa panas karena malu dan panik. Kamu cantik malam ini, Ayu. Jangan matikan panggilannya... aku sedang menikmati. Kata "menikmati" itu menusuknya. Itu artinya, orang ini sudah menyaksikan keseluruhan obrolan intim mereka. Sejak i
Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Ayu duduk di ruang tamu yang hening. Di seberang meja, layar laptop menyala, memancarkan wajah Rangga dengan senyuman khasnya yang hangat. Saat ini, Rangga tengah berada di Perth untuk menjalankan tugas perusahaan memimpin proyek luar negeri. Di sana, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Enam bulan sudah sejak kepergian Rangga ke Australia, yang membuat mereka terpisah jarak ribuan kilometer."Gimana harimu tadi, Sayang? Aku lihat foto steak yang kamu kirim. Enak, ya?" tanya Ayu sambil menyeruput teh hijau melati hangat favoritnya. Rangga tertawa. "Lumayan sih, tapi rendang daging buatanmu tetap juara, Sayang. Di sini semua serba keju, aku bosan." Mereka mengobrol ringan tentang urusan kantor, hal-hal yang terjadi seharian, dan janji kapan Rangga bisa pulang. Tapi, di balik obrolan itu, ada ketegangan yang tidak asing. Selama enam bulan ini, sesi video call adalah ritual bagi mereka. Bukan hanya untuk saling bertukar kabar, tetapi juga untuk pele







