"Maaf, harga nasi gorengnya cuma dua belas ribu. Ambil saja uangmu itu, saya kasih gratis karna tidak kamu habiskan. Jangan pernah datang kembali! Saya tak ingin berurusan dengan perempuan yang mulutnya tak ada rem," tegas Fajar dengan ekspresi datar. Pedas bercampur pahit rasanya tenggorokan. Sejujurnya Raya suka dengan nasi gorengnya, tapi dengan menghabiskannya sama saja artinya mengakui kalau makanan pinggir jalan yang dimasak dengan raut muka masam rasanya enak. Namun, dia sedikit lega karena dua orang itu tak memaki dengan kata-kata kasar atau menyakitinya. "Ambil saja ini untuk masnya. Anggap sebagai ganti rugi karena sudah memelintir tangan Mas ini," ujar Raya, menggeser lembaran uang merah itu ke dekat Hardi. "Bawa saja uangmu itu! Dia bukan orang miskin. Saya tak mau kalau istrinya salah paham karena menerima uang dari seorang wanita," tegas Fajar. Meskipun tidak keras suaranya, tapi intonasinya penuh penekanan. Raya mengambil cepat uang dan kunci mobilnya, lalu segera
"Mama? A-aku cuma ...."Suara Yunita menggantung di udara, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Setahunya Bu Harum sudah tidur, tapi sekarang berdiri tak jauh dari mereka. Habislah aku. "Mama senang mendengar ide cemerlang kamu. Mama sudah pusing melihat tingkah anak itu, kerjanya keluyuran terus. Sikapnya juga tak bisa kayak perempuan. Mama malu sering diledekin punya dua anak laki-laki," ujar perempuan yang mengenakan piyama itu. Menarik kursi dan duduk di dekat calon menantunya. "Dia pasti tak bisa nolak lagi. Soal cinta, bisalah itu tumbuh belakangan. Mama sama Papa dulu menikah tanpa cinta kok," imbuh Bu Harum. Dia sudah pusing dengan tingkah kedua anaknya yang sudah diatur. David sering kali bikin ulah dengan memacari istri atau tunangan orang lain. Tak jarang datang ke rumah memaki-maki mereka sekeluarga. Bikin malu memang. Kayak tak ada perempuan lain saja. Perempuan berambut pendek yang sebagian dicat dengan warna pirang itu sedikit lega karena David akhirnya menemu
Suara dering ponsel Fajar membuatnya menghentikan langkah, langsung melihat nama kontak di layar. Kesempatan itu dijadikan Raya untuk kabur sebelum semua penyamarannya terbongkar. "Assalamualaikum, Bu," sapa Fajar langsung. "Walaikumsalam, Nak. Kamu belum tidur?" Nada suara wanita tua itu sedikit cemas. Hanya lewat ponsel dia bisa memantau putranya karena kembali dipisahkan oleh jarak. Jika dulu Fajar berstatus istri orang, sekarang duda yang sedang banyak pikiran. Tentu saja berbeda kecemasan Bu Sumi terhadap putranya, dulu dengan sekarang. "Belum, Bu. Bentar lagi.""Ini udah tengah malam, Nak. Tidak akan ada lagi orang yang mau beli. Lebih baik tutup warung dan tidur. Ibu takut kalau ada orang yang berniat jahat sama kamu kalau buka sampai tengah malam.""Iya, Bu. Tidak usah cemas, Fajar bisa jaga diri.""Jangan larang seorang ibu tidak cemas pada anak yang dilahirkannya. Kamu tak bisa melarangnya, Fajar. Ibu mohon, jaga kesehatanmu, Nak. Kalau kamu sakit, Ibu jauh dan tidak bisa
"A-aku yatim piatu, Pa." Dengan susah payah dan penuh pertimbangan, kalimat itu yang meluncur dari bibir. Terpaksa dan berharap kalau itu semua tak terjadi. Yunita masih punya seorang bapak yang sudah renta dan Fajar adalah menantu kesayangan. Perceraiannya mereka saja dengan Fajar tak ia kabarkan pada orang tuanya, apalagi pernikahan kedua. Sama saja akan mencari masalah dan gagal jadi menantu orang kaya. "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kalau begitu, kita ziarah saja ke sana sebelum pernikahan kalian dilangsungkan," ujar Papa. Sedikit iba melihat perempuan itu, meskipun kesan pertamanya dia tak suka. Seorang anak perempuan hidup sebatang kara pasti sangat menyedihkan. "Nantilah itu, Pa. Kita atur dulu waktunya," ujar David karena melihat kekasihnya sudah gugup dan bingung mau jawab apa. Sedikit banyaknya dia tahu tentang keluarga Yunita, termasuk calon bapak mertuanya yang lumayan cerewet. "Baiklah. Papa hanya tak ingin kalian kebablasan, makanya kalau memang sudah yakin den
"Kumisnya masih di situ. Emangnya palsu sampai bisa jatuh sendiri?" tanya Fajar bingung. Aneh sekali orang ini.Seketika Raya tersadar kalau sedang dikerjai oleh Papa, terlebih saat melihat senyuman terkulum lelaki tua itu. Berarti Papa sudah tahu kalau aku sedang nyamar. Bisa-bisanya dikerjai begini."Iya nih. Padahal saya cuma bercanda. Mas ini nganggap serius."Papa menepuk bahu Raya dengan sedikit memijit. Gadis itu berusaha menjauh dengan menggeser kursi. Bisa terbongkar penyamaran kalau begini caranya. "Mau kemana, Mas? Jangan buru-buru mau pergi. Temani saya mengobrol di sini." Papa menahan seraya tersenyum simpul. "Maaf, saya sakit perut." Raya sudah merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Padahal, tadi dia begitu senang karena para pelanggan sudah sepi dan hanya berdua saja dengan lelaki penjual nasi goreng. Kalau sesama lelaki, apalagi dipancing dengan persamaan nasib, lelaki bernama Fajar itu tak segan untuk sedikit bercerita tentang maslah kehidupannya yang dipenuhi jur
Di malam yang cerah dengan langit berhiaskan bintang dan bulan purnama, banyak orang berkumpul di halaman depan rumah Pak Tama yang luas. Beberapa rekan kerja serta keluarganya mereka, kerabat dan tetangga ikut hadir dalam acara sederhana hari anniversary Pak Tama dan Bu Harum. Meja kursi yang dibalut dengan kain putih serta diiringi lagu-lagu nostalgia yang diputar dari MP3 player. "Menunya kok kampungan banget sih, Yang? Cuma nasi goreng dan jajanan gorengan," keluh Yunita. "Hiburannya juga gak berkelas. Kita ini kayak orang gak mampu saja, Mas."Perempuan dengan riasan mencolok itu memasang muka masam. Dia sudah menyiapkan pesta mewah di sebuah hotel untuk mengambil hati mertuanya. Sayang sekali, semuanya harus gagal karena ternyata Pak Tama ingin konsep berbeda. "Sudahlah, Yang. Kita hormati keputusan Papa." David mengusap-usap lengan calon istrinya. David juga tak suka dengan acara yang tak layak disebut pesta ini. Dia pun tidak betah di sini karena tak ada acara hiburan musik
"Aku tak setuju kalau dilangkahi Raya, Pa, Ma. Pokoknya harus kami yang duluan menikah, baru mereka," sergah David setelah acara usai. "Papa sudah menyuruh kalian menikah secepatnya, tapi kalian yang menolak. Alasannya harus Raya yang duluan. Kenapa sekarang jadi ngotot? Apa kalian melakukan suatu kesalahan?" cetus Pak Tama, lalu masuk ke kamar. Berbagai upaya pun dilakukan Yunita dan David untuk menggagalkan rencana pernikahan yang tak dinginkan itu, tapi tidak berhasil. Segalanya sia-sia. Keputusan Pak Tama tak bisa diganggu gugat. Satu bulan kemudian, pernikahan sederhana antara Fajar dan Raya berlangsung dengan sakral. Suara duda itu terdengar lantang dan tegas mengucapkan ikrar.Mungkin bagimu ini cuma permainan, asal kamu tahu, aku tak pernah main-main dalam pernikahan.Fajar menatap wanita yang baru sah jadi istrinya. Cantiknya natural dan sekarang berpenampilan lebih feminim dari biasanya. "Ibu tak menyangka kalau kamu akan menemukan jodoh secepat ini, Nak. Ibu senang, akh
"Kalian kenapa sih? Batuk-batuk tak jelas. Kayak anak kecil saja, minum pun sampai tersedak," ujar Bu Harum. David dan Yunita nyengir, kelihatan pucat karena cemas yang berlebihan. "Mama jangan kebiasan nyumpahin orang sampai mandul, gak baik itu," ujar Yunita kesal. "Loh, kenapa kamu yang keberatan? Yang Mama bicarakan bukan kamu, loh. Ish, kalau ketemu mantan istrinya Fajar itu, bisa jadi Mama jambak rambutnya sampai botak. Dia telah mencemarkan nama baik seorang istri." Bu Harum merapatkan gigi karena gemas membayangkan cerita menantunya. Yunita tersenyum hambar dan merasa sedikit ngilu di kepala. Tadi dia mengajak David duduk berkumpul dengan keluarga agar terlihat akrab, tapi ternyata tetap saja ada yang membuatnya tak nyaman. Buat apa coba membahas masa lalu? Tak terbayangkan nasibnya kalau semuanya terbongkar. "Mungkin Mbak Yunita kesal karena punya kisah yang mirip kali, Ma," kekeh Raya, tersenyum menyebalkan. "Enak saja kalau bicara. Calon istriku masih gadis dan tak pun