Share

Senandung Pagi 3

Keduanya kembali mengangkat suapan dari makanan yang mereka miliki saat ini, sang ibu beberapa kali menatap putri tertuanya itu.

Raut wajah wanita itu tampak sedih, banyak hal mengganggu pikirannya hari ini.

Tapi sebagai seorang ibu, dia tidak ingin membebankan anaknya, terlebih Yotta, putrinya itu sudah cukup banyak membantu.

Selain membantu di ladang, dia juga harus mengurus kedua adiknya dan beberapa pekerjaan rumah lainnya.

Seorang anak perempuan yang seharusnya, berdandan cantik menggunakan bedak dan pakaian yang bersih.

Tapi putrinya berbeda, meskipun sudah berusia delapan belas tahun, Yotta masih terlihat seperti remaja.

Dia begitu polos, baik dari perilaku dan juga penampilannya, Yotta tidak suka berdandan, apalagi berpakaian aneh seperti wanita muda pada umumnya.

Dia akan terlihat semakin dibawah usianya, ketika bermain bersama kedua adik kembarnya.

Sang ibu menyudahi makanannya, merapikan peralatan makan dan mencuci tangan.

Sejenak wanita itu duduk diam, menatap lurus pada luasnya ladang, pandangan terlihat menerawang tidak jelas apa yang sedang di pikirannya.

"Bu, apa kau baik-baik saja?" tanya Yotta, gadis itu menangkap raut wajah gelisah dari sang ibu.

"Ehm, Yo cepatlah pulang. Adik-adikmu pasti sudah menunggu di sekolah." Wanita tua itu melihat matahari yang sudah sedikit turun.

"Bu, kenapa kau begitu gelisah. Katakan apa yang sedang kau cemaskan. Apa kau sakit?" tanya Yotta mendekati sang ibu.

"Tidak nak, Ibu baik-baik saja. Cepat pulang urus adik-adikmu dengan baik." Tutur sang ibu menatap lekat pada putrinya.

" . . . " Yotta diam tidak bersuara.

Dia bisa menangkap kegelisahan dari raut wajah sang ibu, tapi meskipun begitu dia tidak bisa memaksa wanita itu untuk berbicara.

"Baiklah, bu jika memang harus menjualnya hari ini, ingatlah untuk cepat kembali. Aku takut hujan akan turun di malam hari," ungkap Yotta.

Gadis muda itu bersiap, dia harus pergi meninggalkan sang ibu untuk menjemput si kembar.

"Yo!!" sang ibu menahan lengan gadis itu ketika berbalik.

" . . . " Yotta membeku ketika wanita tua itu tiba-tiba memeluk dirinya.

"Terimakasih nak, kau sudah banyak membantu ibu," bisik wanita tua itu memeluk putrinya.

"Bu, jangan banyak berpikir, ini adalah tugasku. Aku putrimu yang paling tua, aku tidak merasa semua ini membebaniku," ungkap Yotta, mengeratkan dekapannya.

Beberapa saat pemandangan haru itu berlalu, sang ibu kembali tenang dan meminta Yotta untuk bergegas pergi.

Wanita paruh baya itu duduk memandangi sang putri yang berjalan semakin menjauh, membelah lahan pertanian sayur mayur yang tumbuh subur.

Kedua bola matanya terus mengikuti langkah sang putri, wajah yang sedikit keriput termakan usia dan beratnya kehidupan yang harus dijalani.

Wanita paruh baya itu mengusap air mata yang mengaburkan pandangannya.

Uuhukkk…. Uuhukkk…Uuhuuuhkkk!!!

Tenggorokan yang terasa begitu gatal membuat wanita tua itu batuk beberapa kali,, hingga membuat nafasnya terasa sesak.

Wajah si ibu memerah, wanita itu menutup mulutnya dengan satu tangan menahan batuk yang kembali menyerang.

Penyakit yang dideritanya membuat batuk itu tidak pernah benar-benar menghilang.

Tapi dia tidak bisa duduk diam di rumah, meskipun Yotta sudah berkali-kali melarang dirinya untuk bekerja di ladang.

Gadis muda itu selama ini bekerja menggantikan dirinya, sang ibu sedikit menyesal atas kekurangan yang mereka miliki hingga membuat gadis muda itu tidak melanjutkan pendidikannya.

Berpikir andai saja Yotta bisa bersekolah, mungkin dia tidak akan bekerja dengan cangkul dan arit.

Gadis muda itu pasti terlihat cantik dengan balutan pakaian yang bersih, bekerja di toko ataupun di gudang pengepul sayur.

"Hmp" si ibu menarik nafas dalam.

Semua beban dalam hidupnya terasa semakin berat, jika memikirkan gadis cantik yang seharusnya menjadi ratu, di dalam keluarganya justru menjadi tulang punggung.

Sang ibu kembali bekerja, masih ada beberapa petak yang harus di panen.

Dia harus segera menyelesaikan pekerjaan itu, agar bisa lebih cepat pergi.

Waktu berlalu, matahari juga semakin turun. Tidak terasa hari sudah beranjak sore, pekerjaan itu sudah hampir selesai ketika si pemilik ladang datang.

"Bu Retno!!" Sapa pak Pur.

"Ya pak," sahut wanita itu.

"Apa semua sudah selesai?" tanya si pemilik kebun.

"Sudah pak, saya juga sudah memisahkan mana sayur yang rusak." Retno menunjuk tumpukan yang berada didekat pria itu.

"Ibu bisa ambil itu, dan ini bayaran untuk hari ini." Si pemilik tersenyum dan menyerahkan beberapa lembar rupiah.

"Terimakasih pak." Bu Retno menerima upahnya.

Tidak lama pemilik kebun undur diri, orang-orang yang datang bersamanya juga sudah mengangkat hasil panen hari ini.

Setelah semua selesai bu Retno juga bersiap untuk pergi, mengumpulkan sayuran yang akan dibawanya ke pasar.

Beberapa waktu berlalu, semua sudah selesai, barang-barang yang tadi dibawanya dari rumah sudah terlebih dulu dibawa pulang oleh sang putri.

Bu Retno memikul sayuran itu di punggung, langkah kecil wanita paruh baya itu mulai menelusuri lereng.

Sesekali dia tampak berhenti, menghela nafas yang semakin terasa sesak.

Wanita itu mengangkat kepalanya ke atas langit, menghembuskan nafas yang tertahan dan kembali melangkah.

Desa Ranu Pani, sebuah desa yang nyaman untuk ditinggali, udara yang sejuk lingkungan yang terjaga mengundang banyak orang untuk datang berkunjung ketempat itu.

Tapi kehidupan selalu punya ceritanya sendiri, meskipn desa itu memiliki udara sejuk dan segar, nyatanya disana tinggal satu keluarga yang merasa sesak setiap harinya.

** Selamat Membaca **

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status