Share

Pura-Pura Mati
Pura-Pura Mati
Penulis: Susi Hariani

Kecelakaan pesawat

Desir darah ini terasa panas di tubuh, mengalir bebas, meninggalkan kecemasan. Saat mendengar pramugari mengatakan jika posisi pesawat sedang dalam bahaya.

"Para penumpang sekalian harap tenang, pakai sabuk pengaman, untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi.

Suara wanita itu menggema di kabin pesawat, menimbulkan riuh seketika di dalam sana. Cemas dan takut sebagian orang alami, termasuk denganku. Bayang-bayang kematian pun menari-nari di benak.

"Astaghfirullah," sebut hampir semua penumpang yang beragama muslim. Begitu juga denganku. Saat merasakan hantaman besar, yang membuat tubuh kami terombang-ambing.

"Ya Allah, selamatkan hamba!!" seruan panik seseorang, terdengar sekali didera rasa takut yang luar biasa.

Pun dengan diri ini, tak bisa lagi berpikiran positif. Yang ada hanyalah kepasrahan, tetap tidak rela. Jika nyawa ini melayang begitu saja. Kupejamkan mata sejenak, yang ada dalam khayal hanyalah sosok laki-laki yang menemaniku selama dua tahun pernikahan.

Andai saja, dia ada di sampingku. Mungkin, dia akan menenangkan hati ini yang mulai gundah gulana, merasakan ketakutan yang luar biasa hebatnya di dalam sini. Akan tetapi, semuanya hanya bayangan. Saat kubuka mata, bukanlah dia yang ada di sampingku. Melainkan calon mayat, yang kemungkinan besar akan mati bersamaku.

Lagi-lagi guncangan hebat menghebohkan tempat itu. Lebih dahsyat dibandingkan yang tadi. Sampai-sampai, beberapa orang terpental ke sebelah kiri. Gemuruh suara angin mulai masuk ke dalam, meninggalkan hawa dingin yang luar biasa. Yang tidak sanggup dirasakan oleh tubuh ini.

"Astaghfirullah, ya Allah lindungi hambamu ini. Selamatkan hamba dan keluarga hamba."

Kalian itu yang sering kudengar, seiringnya tubuh ini terasa sakit yang luar biasa. Apalagi hantaman hebat itu semakin sering kami rasakan.

Dalam ketakutan aku mengingat wajah kesayangan, yang saat ini menjadi semangat dalam hidupku. Untuk melewati peristiwa ini. "Sayang." Suara manjanya jika pagi hari membangunkan aku. Ah, rasanya aku ingin meminjam sayap burung merpati agar aku bisa terbebas dalam situasi ini.

Tapi apalah daya, yang aku hanya lakukan saat ini adalah beristighfar, seraya memohon pertolongan-Nya.

Suara pramugari kembali terdengar, kali ini wanita cantik berseragam orange itu hanya mengatakan agar banyak-banyak berdoa. Dengan suaranya yang gemetaran, aku tahu apa yang dirasakan oleh wanita itu.

"Ya Tuhan, jika engkau memang menakdirkan hidupku hanya sampai saat ini. Hamba mohon, matikan aku dalam keadaan Husnul khatimah. Juga, jasadku nanti bisa ditemukan oleh pihak keluarga."

Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tubuh ini sudah menggigil hebat, merasakan sakit yang mendera sekujur tubuh. Apalagi saat kudengar suara ledakan, diiringi dentuman yang kuat. Membuat semua orang yang ada di tempat itu berteriak histeris. Tiba-tiba entah dari mana asalnya, air dalam jumlah yang banyak masuk ke dalam. Menenggelamkan kami. Satu persatu orang-orang yang berada di tempat itu, terbawa gelombang yang dahsyat. Begitu juga denganku. Sekujur tubuh ini tak bisa lagi merasakan apa-apa. Yang tertinggal hanyalah hawa dingin, membawa mata ini tertutup rapat. Setelahnya, aku tidak ingat apapun lagi.

*******************

Setelah entah berapa lama aku tidak merasakan apapun di dalam tubuhku. Tiba-tiba, aku merasakan tubuh ini seperti dijemur di bawah sinar matahari. Mengusik tidurku yang panjang, untuk membuka mata. Pelan tapi pasti aku bisa melihat di sekeliling tempat ini. Hamparan air dan biru, dan pasir putih mengapit diri ini.

Sekujur tubuhku terasa remuk, sakit bukan main. "Sttttttt," desisku berusaha untuk menggerakkan tubuh ini. "Arghhhhhhhhh!" Aku mengerang hebat, saat memaksakan untuk duduk. "Apa aku masih hidup? Atau ini hanya mimpi?" Kalimat itu keluar dari bibir ini.

Aku menepuk pipiku, untuk meyakinkan diri, kalau Tuhan masih memberi kesempatan untuk aku bernafas dan hidup di dunia ini. "Aku belum mati." Ku edarkan pandangan ke sekeliling tempat itu, sepi tidak ada siapapun di sana. "Aku ada di mana sekarang ini?"

"Tolong!!!" Aku berteriak, berharap akan ada orang di tempat ini yang bisa menolongku keluar dari sini.

Aku mendesis, merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Rasa tak percaya pun hinggap, menjelma masuk ke dalam kalbu. Kecelakaan hebat itu, masih memberikan sebuah mukjizat untukku. Aku benar-benar tidak percaya, kalau aku masih hidup.

"Siapapun tolong aku!!"

Tempat apa ini, dan di mana ini? Aku tidak tahu. Ya Tuhan, aku yakin Mas Andra saat ini sedang berduka, mendengar kabar kecelakaan pesawat yang membawaku. Dia adalah sosok suami idaman. Yang memberikan penuh cinta dan kasih untukku.

"Mas Andra, tolong aku," lirihku menangis, jika melihat wajah sedih Mas Andra sekarang ini.

Tidak ada pilihan lain, aku harus berusaha berdiri. Agar bisa bergerak dari tempat ini, mencari bantuan di sekitar sini.

Ku gerakkan kakiku, tangan menapak ke hamparan pasir putih untuk menopang tubuh ini agar bisa berdiri. Sekuat tenaga, aku mencoba, tetapi rasa sakit di tubuh ini terlalu banyak, sehingga tak mampu untuk kukendalikan.

Apalagi yang bisa kulakukan selain pasrah, menunggu keajaiban datang. Akan ada orang yang menolongku di sini.

**********

Entah berapa lama aku tertidur di pulau itu. Saat kubuka mata ini, aku sudah berada di lain tempat. "Sepertinya ini rumah sakit."

Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Sayup terdengar derap langkah kaki mendekat. "Pasien sudah siuman!" Seorang wanita memakai pakaian serba putih mendekatiku. "Buk, apa Ibu ingat sesuatu?" tanyanya, mungkin dia mengira aku lupa ingatan.

Aku mengangguk. "Saya ingat semuanya, Sus. Saya adalah korban kecelakaan pesawat beberapa hari lalu."

Wanita itu tersenyum. Tampak jelas kebahagiaan dalam dirinya. "Syukurlah kalau begitu. Tensi darah ibu normal, degup jantungnya juga normal. Hanya saja, ada cidera di kaki yang mengharuskan ibu dirawat lebih lama di rumah sakit ini," terangnya memberitahu.

"Terima kasih, Sus. Em, boleh saya minta tolong?"

"Minta tolong apa, Buk?"

"Pinjam hpnya, saya ingin menghubungi suami saya, Sus," pintaku, mengiba.

"Tentu saja, Buk. Silahkan pakai aja."

Wanita yang bernama Erni itu memberikan handphonenya padaku. Segera kuketik nomor mas Andra, setelahnya kutekan tombol telpon. Dan sambung telponnya terhubung. Satu dua detik kemudian, tak ada jawaban dari Mas Andra.

"Kok gak diangkat ya?" gumamku, mulai cemas.

"Coba sekali lagi, Buk. Atau ibu telpon nomor lain, yang sekiranya gampang dihubungi."

Aku lakukan sarannya, menghubungi nomor Mas Andra sekali lagi, tetap saja tidak ada yang menjawabnya. "Tetap gak diangkat, Sus," desisku kecewa.

"Ibu hubungi aja nomor rumah," sarannya, aku benarkan.

Dan pada hitungan detik, nada tersambung dari seberang. Kudengar suara Bi Ayu, yang menerimanya.

"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"

"Assalamualaikum, Bik. Ini saya, Bik, Salwa."

Hening, tak ada sahutan dari seberang sana. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh ARTku itu, sampai dia tidak percaya kalau aku yang menelponnya.

"Ibu," lirihnya, aku tersenyum.

"Iya, Bik. Ini saya Salwa."

"Alhamdulillah, ibu masih hidup." Tampak kudengar dari nada suaranya, Bu Ayu sangat bahagia mendengar kabarku

"Iya Bik, Alhamdulillah. Bapak mana, Bik?" tanyaku, mencari keberadaan Mas Andra.

"Bapak?" ulangnya, dengan nada bingung. "Itu, Bapak___

"Bapak kenapa, Bik?" pungkasku penasaran.

"Bapak____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status