LOGINEvan dan Karin kembali masuk ke ruangan Liana setelah dipanggil oleh suster. Mereka melihat Liana yang sudah tenang di atas tempat tidur.
"Dokter, apa yang terjadi sama istri saya?" "Pak, istri Bapak secara keseluruhan baik-baik saja." "Baik-baik saja?" tanya Karin tidak suka. Bukankah Liana sudah tuli. "Maksudnya untuk luka yang dialami Bu Liana. Tapi tidak dengan pendengarannya." "Maksudnya, Dokter?" tanya Evan melirik ke Karin. "Istri Bapak mengalami masalah dengan pendengaran." "Apa itu akan permanen Dokter?" "Bapak tenang saja, gangguan pendengaran Ibu Liana hanya sementara. Jika Ibu Liana rajin pemeriksaan dan terapi, maka Ibu Liana bisa sembuh." 'Kenapa nggak sekalian tuli permanen saja sih. Dengan begitu aku ada alasan untuk meninggalkan dia setelah aku berhasil mengambil seluruh hartanya. Aku tidak mau hidup dengan perempuan bodoh seperti dia terus,' batin Evan kecewa dengan pernyataan dokter. "Pak, apa Bapak tidak apa-apa," tegur dokter ketika Evan melamun. Karin menyenggol lengan Evan untuk menyadarkan Evan. Perlakuan Karin tidak lepas dari mata dokter dan suster. "Evan, Dokter bertanya sama kamu," tegur Karin berbisik kecil. "Ah iya Dok, saya tidak apa-apa," ucapan Evan gelagapan. *** Sekarang di dalam ruangan tinggal mereka bertiga. Dokter dan suster sudah pergi beberapa menit yang lalu. "Karin, sebaiknya kamu pulang saja. Kamu tidak boleh terlalu capek," ujar Evan mengelus rambut Karin.. "Terus bagaimana dengan Liana?" "Liana biar aku saja yang jaga. Aku tidak mau kalau kamu jatuh sakit," balas Evan. "Baiklah, nanti kabari aku kalau ada apa-apa. Awas kamu, jangan genit sama Liana," tegur Karin memicingkan mata. "Tenang saja, aku tidak akan berpaling dari kamu," sahut Evan mencium kening Karin. "Kamu bisa saja. Pakek acara ngerayu segala." "Aku tidak merayu kamu. Oh ya sekalian kamu siapin semua barang kamu," suruh Evan mundur satu langkah. "Siapin barang?" tanya Karin tidak mengerti. "Iya, kan kamu mau pindah ke rumah Liana. Katanya sudah tidak betah tinggal di kos-kosan." Evan berjalan ke arah sofa. Duduk di sana dengan santai. Diikuti Karin yang duduk di sampingnya. "Tapi kita belum bicara masalah ini sama Liana," sahut Karin masih ragu untuk pindah dengan cepat. "Besok kita bicara sama Liana ya. Jadi, nanti barang kamu tinggal kita pindahkan saja." "Baiklah, aku akan menyiapkan semua barang-barang aku." "Ayo aku antar kamu pulang," ajak Evan bangun dari sofa. Evan meninggalkan Liana sendiri di dalam ruang rawat. Dia lebih memilih mengantar Karin daripada Karin pulang dengan kendaraan umum. *** Liana sudah membuka mata dari tadi. Di dalam ruangan hanya ada dirinya. Evan juga pergi jalan-jalan setelah mengantar Karin. Dia tidak mau merawat Liana yang sakit, apalagi Liana yang masih tertidur. Terlalu malas menunggu Liana sadar dan memilih mencari hiburan. Liana menghela nafas berat. Dia merasa sendirian sekarang. Orang yang dia cintai dan percaya mengkhianati dirinya. Namun sekarang belum terlambat untuk dia sadar. Dia harus kuat untuk menghadapi Evan dan Karin. *** Liana kembali menutup mata ketika pintu terdengar ada yang masuk. Dia bisa mendengar suara langkah kaki yang mendekat saking sepinya. "Ternyata dia masih tidur. Percuma aku balik cepat. Dasar perempuan menyusahkan," decak Evan kesal yang menatap jam masih menunjukkan pukul sembilan malam. "Tahu gini tadi aku masih lanjut main dengan temanku," sambung Evan menurunkan tangan. Evan berjalan ke arah tempat sofa yang tadi siang. Dia duduk di sana, merilekskan tubuhnya yang lelah. Tadi dia telah kalah main taruhan bersama teman-temannya. Liana menguatkan hatinya yang semakin sakit. Dia sudah tahu jika suaminya tidak menginginkannya. Tetap saja terasa sakit saat diungkit lagi. Dalam hati Liana menenangkan diri sebelum bangun. Dia harus bisa berakting yang bagus dan menyakinkan. Setelah mentalnya kuat, dia membuka matanya dengan pelan. "Evan," panggil Liana tanpa melirik ke arah Evan yang duduk di atas sofa. Posisi tempat tidur sedikit jauh dari sofa. Ditambah ada kain penyekat yang membatasinya. Sehingga Liana tidak bisa melihat Evan secara langsung. "Evan! Evan kamu dimana?" panggil Liana lagi. Tidak ada bayangan Evan yang muncul dari balik penyekat. Serta tidak ada langkah kaki. Liana tahu jika Evan mendengar suaranya dengan jelas. Dia juga bisa mendengar suara Evan yang berdecak kesal. "Evan! Evan," pancing Liana dengan suara yang lebih keras. Evan bangun dari sofa dengan kasar. Kakinya berjalan ke arah Liana dengan malas. "Liana, kamu sudah bangun?" tanya Evan merubah raut wajah menjadi khawatir. "Evan, kamu dari mana saja. Aku takut, Evan?" ujar Liana meraih lengan Evan. "Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini," balas Evan ingin melepaskan tangan Liana. Namun Liana memegang lebih erat. Tahu jika Evan tidak suka dia menyentuhnya. "Kamu ngomong apa Evan, aku tidak bisa dengar," ujar Liana dengan berpura-pura menangis. "Dasar tuli, buat orang susah saja," decak Evan kembali melepaskan tangan Liana. Evan mengambilkan kertas dan pulpen yang telah disiapkan oleh suster sebelum Liana bangun. Supaya memudahkan mereka untuk berkomunikasi dengan Liana. [Kamu tenang saja, ya. Kamu baik-baik saja. Hanya saja ada masalah dengan pendengaran kamu] Tulis Evan pada lembar kertas tersebut. "Apa? Maksud kamu aku tulis?" [Kata dokter itu hanya tuli sementara] "Jadi aku bisa sembuh?" Evan mengangguk kepala pelan. "Evan, apa kamu akan meninggalkan aku?" tanya Liana yang sudah tau apa jawaban yang sebenarnya. [Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang aku cintai di dunia ini] Evan mengelus rambut Liana untuk meyakinkan Liana. Dia juga memberikan senyuman terbaiknya. 'Tentu saja kamu tidak akan meninggalkan aku Evan. Karena kamu belum mengambil semua hartaku, kan.'' "Aku sangat beruntung memiliki suami seperti kamu," balas Liana dengan tersenyum balik. "Dasar perempuan bodoh," ejek Evan menatap ke arah lain. 'Kita lihat siapa pada akhirnya yang bodoh. Kamu, aku atau Karin.' *** Keesokan paginya, Liana sudah bisa kembali ke rumah. Dia pulang di jemput oleh Evan dan Karin. Karin saat bertemu dengan Liana berpura-pura menangis histeris dengan keadaan Liana. Menyalahkan diri sendiri atas kejadian Liana. Semua itu dia lakukan untuk menarik simpati Liana. Liana berusaha membujuk Karin agar tidak menangis lagi. Untuk pertama kali dia tidak merasa sedih dengan tangisan Karin. Dia yakin jika Karin selama ini juga sering berpura-pura sedih di depannya. Sekarang apapun yang dilakukan Karin dan Evan tidak bisa dipercayai lagi. Biarlah mereka tetap bersandiwara. Lalu dia pura-pura tidak tahu. Sampai pada saatnya semua kebohongan yang mereka buat akan dibongkar satu persatu. Bersambung ….Pada sore hari, barang-barang Karin sudah tiba di depan rumah Liana. Liana menatap barang Karin dengan muka datar dari balik jendela. Di sana juga ada Evan yang menyuruh para pembantu untuk mengangkut barang-barang milik Karin ke dalam kamar tamu. Barang milik Karin tidak bisa dibilang sedikit. Persis seperti orang pindah rumah saja.Dengan langkah pelan perempuan itu berjalan ke arah Karin dan Evan yang tidak menyadari kehadirannya. Dia dengan sengaja berdiri sejajar dengan mereka. Biar mereka menyadari kehadiran dia. Hanya beberapa detik Evan dan Karin menyadari ada Liana di samping mereka."Liana," ujar mereka berbarengan."Karin, kenapa barang kamu cepat sekali sampai. Apa kamu memang sudah bersiap-siap sebelumnya, sebelum mau menginap di sini?" pancing Liana."Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu. Apa ada yang aneh," ujar Evan mendekat ke arah Liana. "Evan, apa kamu lupa kalau aku tidak bisa dengar?" tanya Liana menatap Evan. "Dasar, sangat menyusahkan saja," gumam Karin yan
"Akhirnya, aku bisa tinggal di rumah mewah seperti ini. Dulu aku hanya bisa nginap sekali-kali saja," gumam Karin menatap kondisi kamar ruang tamu.Karin duduk di atas kasur setelah selesai memeriksa kondisi kamar. Kamar yang tidak kalah jauh dari kamar Liana. Dulu saat dia menginap di rumah itu, dia tidur satu kamar dengan Liana. Itu sebelum Evan dan Liana menikah. Sejak mereka menikah sudah jarang dia bertamu. Menghindari Liana yang bermesraan dengan Evan."Sayang, rumah kita kan hampir selesai. Nanti kita juga punya rumah yang mewah," kata Evan ikut duduk di sebelah Karin."Itu beda. Rumah ini jauh lebih besar dan mewah daripada rumah yang kita bangun itu." "Apa kamu mau mengambil rumah ini juga? Kalau kamu mau, aku akan mencobanya." "Tidak perlu, terlalu beresiko kalau kita mengambil rumah ini. Yah, kecuali kalau Liana mau menyerahkan rumah ini kepada kamu secara sukarela.""Sukarela ya," pikir Evan mencari jawaban dari perkataan Karin."Ah, bagaimana kalau kita suruh Liana buat
Mereka bertiga keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah Liana. Liana dengan sengaja menggandeng tangan Evan untuk membuat Karin cemburu. Mungkin ini juga yang dirasakan Karim selama dia bersama dengan Evan."Kenapa pake gandeng-gandeng segala sih," cibir Karin yang berjalan di belakang Liana dan Evan.Karin tidak takut berbicara dengan suara keras. Baginya Liana tidak bisa dengar. Jadi bisa mencela Liana tanpa khawatir ketahuan.Liana yang mendengar cibiran Karin semakin menjadi. Menyandarkan kepala di bahu Evan dengan mesra. Dia sendiri tidak suka melakukan itu, namun sengaja ingin membuat hubungan Evan dan Karin renggang. Setidaknya mereka ada bahan pertengkaran."Evan, kamu jangan mau Liana manja seperti itu," protes Karin menatap Liana yang bersandar dengan tajam."Karin, kamu yang sabar," sahut Evan tanpa melihat ke arah Liana atau Karin. Pandangan lurus ke depan."Sabar apaan. Kamu jangan cari kesempatan.""Karin ….""Evan, apa kamu bicara sesuatu sama aku. Atau kamu sedang
Evan dan Karin kembali masuk ke ruangan Liana setelah dipanggil oleh suster. Mereka melihat Liana yang sudah tenang di atas tempat tidur."Dokter, apa yang terjadi sama istri saya?""Pak, istri Bapak secara keseluruhan baik-baik saja.""Baik-baik saja?" tanya Karin tidak suka. Bukankah Liana sudah tuli."Maksudnya untuk luka yang dialami Bu Liana. Tapi tidak dengan pendengarannya.""Maksudnya, Dokter?" tanya Evan melirik ke Karin."Istri Bapak mengalami masalah dengan pendengaran.""Apa itu akan permanen Dokter?" "Bapak tenang saja, gangguan pendengaran Ibu Liana hanya sementara. Jika Ibu Liana rajin pemeriksaan dan terapi, maka Ibu Liana bisa sembuh."'Kenapa nggak sekalian tuli permanen saja sih. Dengan begitu aku ada alasan untuk meninggalkan dia setelah aku berhasil mengambil seluruh hartanya. Aku tidak mau hidup dengan perempuan bodoh seperti dia terus,' batin Evan kecewa dengan pernyataan dokter."Pak, apa Bapak tidak apa-apa," tegur dokter ketika Evan melamun.Karin menyenggol
Beberapa saat kemudian, dokter masuk bersama suster dan juga Karin. Karin cemburu begitu melihat Evan yang memeluk Liana dengan erat di depan matanya. Baginya, dialah orang yang pantas dipeluk oleh Evan. Karena Evan adalah pacarnya."Pak, bisa tolong keluar sebentar. Kami akan memeriksa kondisi pasien," ujar sang dokter."Baik Dok," sahut Evan melepaskan pelukan mereka."Evan, kamu mau kemana. Jangan tinggalin aku, Evan. Kamu tetap di sini saja ya," pinta Liana seakan tidak mau ditinggal oleh Evan."Kamu harus diperiksa dulu. Setelah selesai diperiksa, aku akan masuk lagi. Aku tunggu di luar ya," bujuk Evan melepaskan tangan Liana."Evan, Evan," tolak Liana."Ayo Karin," ajak Evan.Karin mengikuti Evan dari belakang. Sebelum keluar dia sempat melirik ke arah Liana. Tersenyum puas melihat Liana yang sangat terpukul ditinggal Evan."Evan! Evan!" teriak Liana.Setelah Karin dan Evan keluar dari ruangan, Liana berhenti berteriak. Ruangan yang ditempati merupakan ruangan yang kedap suara.
"Apa yang terjadi sama Liana?""Aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kata suster, Liana mengalami kecelakaan. Dia ditabrak mobil.""Terus, sekarang kita harus apa. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama Liana? Kita tidak bisa memanfaatkan dia lagi. Aku tidak mau hidup miskin.""Karin, kamu harus tenang. Kalau terjadi sesuatu sama Liana, aku yang akan mengurus semua hartanya. Harta dia akan menjadi milik kita semua.""Kamu kan tahu, Liana masih memiliki wali, pamannya. Pamannya tidak akan membiarkan kita memiliki semua harta itu. Apalagi kalian tidak mempunyai anak. Kita akan ditendang keluar.""Masalah paman Liana biar aku urus juga, ya.""Baiklah. Apa kata dokter tentang Liana.""Kata dokter, kepala Liana mengalami benturan yang cukup keras. Kita harus menunggu dia sadar dulu untuk mengetahui perkembangannya.""Aku pikir dia beneran akan mati.""Dia tidak boleh mati dulu sebelum kita mengambil alih semua hartanya. Kamu sabar ya. Aku pasti akan usahakan semua hartanya menjadi mili







