Seperti biasanya Janu sudah bangun sebelum matahari terbit. Hutan yang digunakan untuk latihan kali ini yang paling dekat dengan desa. Janu belum terbiasa melatih ilmu bela ditempat terbuka dan dilihat oleh banyak orang. Selesai berlatih, niat Janu adalah mengisi perut yang kosong. “Ah, kenapa disini susah sekali mencari makanan.” Keluh Janu setelah berjalan cukup lama mengitari hutan sekitar.Tidak kunjung menemukan makanan, Janu Kembali ke desa masih dalam keadaan lapar. Keadaan desa sudah sangat ramai dengan aktivitas warganya di pagi hari. Melewati berbagai pedangan, Janu mulai tergiur dengan makanan yang di sajikan.“Silahkan, rotinya tuan…” “Kalau begitu aku mau dua.”Dengan senang hati pedagang itu membungkus pesanan Janu. Setelah mendapatkan roti, Janu membungkuk sambil mengucapkan terima kasih.Tapi begitu kakinya hendak pergi meninggalkan lapak dagang tukang roti. Tukang roti itu menahan tangan Janu.“Mana uangnya?”Janu jadi bingung, bukannya orang tersebut yang me
Nalini sangat waspada melihat ke segala arah. Bahkan dia selalu memalingkan wajah ketika bertemu dengan para pendekar yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Jahan tentu saja memperhatikan gerak gerik Nalini. Bahkan setelah Nalini tidak bisa menjawab pertanyaan Jahan tentang hubungannya dengan keluarga Danadyaksa.Memang tidak diperpanjang lagi saat itu, namun Jahan semakin yakin ada yang disembunyikan oleh Nalini. Dengan cekatan, Jahan membeli sebuah kipas lipat, lalu dia memberikan kipas tersebut pada Nalini. “Sepertinya sinar matahari membuatmu kepanasan.” “Terima kasih.” Tanpa sungkan Nalini menerima kipas tersebut.Nalini tidak menyadari sama sekali bahwa Jahan membelikan itu dan berucap seperti tadi, merupakan alibi agar Nalini bisa menutupi wajah nya. Barulah gesture tubuh Nalini terlihat lebih santai. Kipas itu sangat membantu untuk menutupi setengah wajah Nalini. Melalui kenalannya Jahan mendapatkan tempat duduk yang bagus untuk menonton pertandingan para pendekar ha
Setelah Janu menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan padanya. Rombongan dagang saudagar itu akhirnya berangkat. Selisih dua hari sejak kepergian rombongan dagang Jahan. "Nona, kenapa anda ikut berjalan. Naiklah kembali kedalam kereta." Ucap salah satu anggota. "Ayah harus banyak istirahat, jadi aku membiarkannya berbaring di tempat dudukku." Saudagar itu hanya tersenyum mendengar ucapan putrinya. Tidak salah, tapi tidak benar seratus persen juga. Alasan lain yang membuat putri manja itu tiba-tiba berubah adalah Janu. Ayahnya paham betul sikap putrinya. Dia berubah setelah mengenal Janu. Berubah dalam artian baik. Makannya saudagar itu membiarkan saja putrinya untuk terus kasmaran pada Janu. Untuk masa depan mereka, bisa dipikirkan nanti. Disisi lain Janu masih takjub dengan semua yang ada diluar hutan terlarang. Janu tidak menyangka begitu banyak manusia yang memiliki kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan yang luas.Belum lagi lingkungan yang asing baginya dan berbagai ma
Nalini mulai merasakan efek mengkonsumsi tanaman beracun. Lupa bahwa setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda. Begitu juga yang terjadi pada dirinya. Belum pernah Nalini menangani Janu yang keracunan seperti ini. Badannya terasa panas tapi sesungguhnya Nalini merasa kedinginan. Lidahnya menjadi kelu dan kerongkongannya terasa terbakar. Untuk mengambil napas saja Nalini sudah kewalahan apalagi menggerakkan tubuh atau berteriak minta tolong. Tubuh Nalini melemas dan terkapar diatas tanah. Mulutnya mulai mengeluarkan buih. "Ah... apa ini akhir kematianku." Ucap Nalini dalam hati. Dia sedih karena tidak bisa bertemu untuk terakhir kalinya dan meminta maaf pada Janu. "Nanda!" Suara itu, Nalini sudah tidak kuat membuka kelopak matanya, dia pun hilang kesadaran. Jahan langsung berlari menghampiri Nalini. Pertama yang dia lakukan adalah mengguncang tubuh Nalini, mencoba membangunkannya. Malam sudah sangat larut. Jika dia berteriak dan meminta pertolongan. Jahan akan membangun
"Nanda!" Janu terbangun sambil berteriak. Akibatnya beberapa orang yang satu tenda dengannya ikut terbangun dan menanyakan apa yang terjadi. "Aku bermimpi buruk. Orang yang aku cari tenggelam di dasar sungai." Jelas Janu. "Mungkin kamu sangat merindukannya. Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." Ucap orang yang dituakan dalam kelompok tersebut. Maunya Janu juga begitu, tapi sudah lama dia tidak pernah bermimpi buruk. Bahkan untuk bermimpi pun jarang. Dan perasaannya saat ini sangat tidak enak. Dia terus memikirkan apakah Nalini dalam bahaya.Anggota yang lainnya bersiap untuk tidur kembali setelah menenangkan Janu. Tidak bisa dengan Janu mau sebagaimana pun posisinya dan mencoba memejamkan mata. Hatinya belum bisa tenang. Janu lebih memilih keluar dari Tenda. Dia berjalan mondar mandir sambil berpikir. "Setidaknya Nalini bisa ilmu bela diri." Janu terus mengatakan itu berulang-ulang. "Tapi, argh!" Janu kesal sendiri, pikirannya selalu di penuhi dengan hal-hal buruk. Dia me
"Tuan Muda sebaiknya anda beristirahat. Sudah semalaman anda terjaga." "Tidak apa Paman. Aku masih bisa bertahan.""Jangan sampai kesehatan Tuan Muda terabaikan. Lalu apakah anggota dagang yang lain sudah tahu mengenai kejadian ini?"Jahan lupa, ditambah rencana mereka hari ini akan menonton pertarungan. Rumornya wali kota sampai menyokong acara tersebut Saking banyaknya pendekar dan yang lainnya datang ke kota ini. "Benar juga Paman, kalau begitu saya boleh titip Dia sebentar.""Tentu Tuan Muda tidak usah khawatir." Jahan pergi meninggalkan rumah tabib. Belum ada setengah jam, badan Nalini mulai kejang. Suhu tubuhnya jadi menurun dengan sangat drastis. Tabib yang panik segera memanggil istrinya. "Siapkan tungku, kita akan memasak air untuk dia." Perintahnya dan istri tabib itu langsung cekatan.Sambil menunggu suhu air hangat dan bisa di tuangkan ke dalam bak mandi. Tabib itu menghitung hari. "Mereka seharusnya sudah sampai di kota. Jika barang yang aku pesan sampai tepat wakt
Nira menunggu di halaman rumah tabib. Sementara istri tabib sibuk menjemur beberapa tanaman herbal untuk di keringkan."Apa Bibi dan Paman tidak ikut menonton pertarungan yang heboh dibicarakan sana sini.""Mau bagaimana lagi, kondisi Nona itu tidak bisa ditinggalkan. Salah tindakan saja, nyawa taruhannya."Padahal suamiku sudah membeli tiketnya dari jauh-jauh hari agar tidak kehabisan. Sekarang tiket itu jadi terbuang sia-sia." Istri tabib yang sudah menyelesaikan tugasnya jadi ikut duduk di pelataran bersama Nira. "Bibi, memangnya siapa yang sedang dirawat oleh Paman, sampai segitunya. Apa dia orang penting?""Ya, mungkin dia orang yang spesial bagi Tuan Muda Jahan. Sebab--"Jelas terlihat sekali istri tabib itu langsung menahan diri di akhir kalimatnya. Wajahnya pun langsung dipalingkan dari hadapan Nira. Dia lupa bahwa dahulu Nira dan Jahan sudah bertunangan dan hampir menikah. Entah alasan apa yang pada akhirnya membuat mereka berpisah. Orang-orang sudah mengira bahwa pernika
Disana sudah sangat ramai dengan orang-orang yang menyetorkan tiket mereka untuk melihat pertarungan. Termasuk Janu dan Nira juga ikut berdesak-desakan masuk kedalam.Janu bersikap sebagai seorang lelaki tangguh. Dia mencoba melindungi Nira dengan tubuhnya, sedikit merengkuh agar Nira tidak ditabrak orang lain. Akibat sikap Janu, Nira malah semakin menginginkan Janu dan tidak mau melepaskan Janu untuk nona di kediaman tabib. "Maaf, pasti enggak nyaman. Tapi kamu akan terombang ambing dalam lautan manusia kalau aku biarkan begitu saja.""Janu, apa kamu selalu baik terhadap permepuan?""Hah? aku tidak mendengarmu. Kamu bicara apa?" "Tidak lupakan." Dengan sedikit tenaga ekstra Janu berhasil menarik Nira ke tepian yang tidak terlalu ramai. Walau mereka tidak dapat tempat yang bagus untuk menonton pertarungan. Banyaknya orang memadati barisan paling depan. Janu memilih undakan tangga paling tinggi untuk menonton. ---Nalini sudah berpindah ke kamar tamu, pakaiannya juga sudah di g