Apa yang biasanya anak-anak remaja lakukan untuk menikmati malam minggu mereka? Berkencan di taman kota dengan kekasih hati? Berkumpul dengan teman-teman? Ya, benar. Namun, itu tak berlaku untuk anak remaja yang satu ini. Ia hanya menghabiskan malam minggunya dengan duduk di balkon kamar. Menikmati angkasa hitam pekat ditemani secangkir kopi hitam dan rokok di sela jemari.
Sudah terhitung empat hari setelah seseorang berseragam putih abu-abu itu mengucapkan terima kasih padanya. Selama itu juga pikirannya dipenuhi oleh paras ayu yang sempat membencinya itu. Pun ia. Aydan juga sangat tak menyukai orang itu. Namun, lagi-lagi itu dulu. Sebelum insiden beberapa waktu lalu memaksanya untuk memandang pahatan cantik itu dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan aroma dari tubuh itupun mampu menelusup ke indera penciumannya.Kedua sudut bibir remaja lelaki yang sebentar lagi akan menginjak usia di angka tujuh belas itu terangkat dan melengkung membentuk kurva manis menghiasi wajah yang sDi istana mini dengan nuansa putih itu. Tak lagi sesepi hari-hari sebelumnya. Hari minggu adalah hari di mana keluarga besar itu berkumpul. Ya, seperti saat ini. Rumah itu penuh dengan riuh canda tawa manusia-manusia yang tengah berkumpul di sana. Kecuali, Aydan. Itu hal biasa. Ia selalu memisah diri dari perkumpulan yang sering diadakan keluarga besarnya. Dengan begitu, ia bisa meminimalisir rasa kecewa dan sakit hati. Jelas berbeda dengan Devan yang selalu ikut bergabung. Aydan justru lebih memilih menyendiri di sebuah ruangan yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Rasanya enggan untuk berbaur dengan manusia-manusia egois yang selalu menyalahkan dirinya atas kepergian kedua orang tuanya. Padahal, jika dipikir-pikir. Manusia mana yang ingin kehilangan dua tameng dalam hidupnya. Pikiran orang-orang itu benar-benar picik menurut Aydan. Lelaki dengan surai hitam yang menutupi keningnya itu mengisap dalam sepuntung rokok di sela jemarinya. Asap benda bernikotin itu la
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, seseorang yang berada di ruangan bernuansa gelap itu masih belum bisa terpejam. Sedang suara-suara di luar sana sudah tak terdengar lagi di ceruk telinga. Ia mengembuskan asap rokok dari mulut. Membiarkan secepatnya tersebut mengotori udara dalam kamarnya. Jika orang-orang sudah mulai bersiap-siap melabuhkan diri di samudra mimpi. Aydan justru sibuk dengan isi yang mengganggu. Setelah kemarin-kemarin disibukkan dengan pikiran tentang seorang gadis pemilik rambut pirang itu.
Butuh waktu hampir setengah jam untuk Aydan menenangkan Salmira. Juga meyakinkan wanita itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kendati apa yang dikatakannya itu hanyalah sebuah bentuk kalimat penenang sementara. Sedang ke depannya ia justru tak berpikir akan seperti apa. Setelah menuntun Salmira kembali ke kamar. Aydan bergegas mengayunkan tungkainya menuju sebuah kamar yang hanya sekali dua ia masuki. Itupun dengan keadaan terpaksa. Berbeda dengan kali ini. Ia melangkah ke sana dengan niat hati yang teguh. Seteguh tekadnya untuk lagi-lagi menenangkan seseorang yang tentu saat ini sedang berada di titik terendah. Ya, meskipun ia juga tak sekuat orang-orang di luaran sana. Atau sebijak para motivator yang diagung-agungkan massa melalui sosial media. Tepat saat ia sudah berdiri di depan benda berbahan kayu tebal itu Aydan justru tak langsung mengetuknya. Ia hanya menatap pintu yang tertutup rapat dengan suara isak yang terdengar memilukan di baliknya. Matanya yang set
Gadis berambut pirang dan tergerai itu menatap nanar tubuh seorang perempuan yang masih saja terbaring lemah di atas ranjang pesakitan rumah sakit dari balik pintu. Tatapannya perlahan memburam seiring air mata yang kian bergumul di kelopak mata indahnya. Ia mengangkat kepala untuk menghalau air matanya agar tak terjun bebas dan membasahi wajah yang hanya berpoles bedak tipis itu.Tangan lentik dan putih mulus itu perlahan menyentuh knop pintu dan memutarnya pelan. Di dalam ruangan putih bersih dengan aroma obat-obatan yang kuat menyeruak ke indera penciuman ia temukan asisten rumah tangga keluarganya yang tengah duduk di sofa dekat pintu. Ia tersenyum tipis melihat wanita yang sudah menginjak usia lebih dari setengah abad itu. Wanita yang masih setia mengabdikan diri di keluarganya hingga usia senja."Bibi," panggil Carla dengan suara pelan. Ia tak ingin jika suaranya nanti akan mengganggu istirahat sang ibu.Wanita tua yang biasa disapa Bi Aini itu menoleh. "Eh, Non Carla
Setelah berhasil memarkirkan kereta besi milik sang ibu yang ia bawa secara diam-diam. Devan segera berlari menuju taman rumah sakit di mana ia ketahui Carla sudah menunggunya di sana. Lelaki yang belum genap berumur tujuh belas tahun itu tak peduli jika apa yang dilakukannya itu justru akan memicu rasa sesak di dada. Atau bahkan lebih parah dari itu, yaitu dada yang terasa dihujam ribuan anak panah dan dahak yang menyakitkan. Sekali lagi Devan tak peduli akan hal itu. Sebab, yang kini menjadi pusat pokirannya adalah sesosok gadis yang sudah membersamainya sejak lima bulan lalu itu. Devan memgedarkan pandangan sesampainya di tempat yang diberitahukan Carla. Ia mencari-cari keberadaan gadis itu. Namun, nihil. Tak ada satupun manusia yang ia kenal di sana. Apalagi pemandangan yang mendominasi di tempat itu adalah pemandanga yang kerpakali ia lihat saat menjadi salah satu penghuni gedung putih itu. Devan bergidik ngeri saat kepalanya berputar mengingat dirinya harus mengenakan
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.