Share

Putih Abu-abu
Putih Abu-abu
Penulis: Ynurnun

Jengah

Wajah-wajah lelah dan bosan sudah mulai terlihat. Apalagi terik hari ini terasa begitu menyiksa. Jarum jam juga terasa begitu lamban bergerak. Otak pun sudah mulai penuh dan seakan siap meledak oleh materi-materi berat sejak pagi tadi. Embusan napas panjang dari wajah-wajah penuh penantian itu terdengar. Dalam hati mereka sudah mengumpat berulang kali pada waktu.

“Saya tau kalian sudah nggak sabar pengen pulang,” celetuk seorang wanita dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya yang minimalis saat ia menangkap beberapa orang di depannya melirik arloji yang melingkar di tangan kiri mereka. Wanita dengan name tag Susi Wirahmani—seorang guru yang terkenal galak—berdiri tepat dengan senyum merekah di bibirnya yang tebal dengan polesan gincu merah menyala. “Sama saya juga,” lanjutnya dan sukses mengundang gelak tawa para murid di ruangan itu. Meskipun terkenal galak, Bu Susi memiliki sisi humoris yang tinggi. Untuk mencairkan suasana kelas yang kadang tegang. Ia menunjukkan sisi humorisnya itu.

Tak lama bel pulang berbunyi kepalang nyaring. Senyum-senyum merekah di antara mereka. Bu Susi yang juga tak kalah ingin segera keluar mengakhiri kelasnya hanya dengan berucap, “Akhirnya pulang juga.” Lantas, wanita itu tersenyum girang ke arah murid-muridnya.

Siswa siswi kelas XI IPA1 SMA Nusa mulai bergegas membereskan buku-buku pelajaran yang sudah mereka gunakan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran ke dalam tas. Riuh mulai terdengar.

Akan tetapi, hal itu tidak berlaku sama sekali pada seorang siswi dengan rambut pirang yang duduk di bangku paling depan yang berhadapan langsung dengan meja guru. Siswi dengan wajah blasteran itu justru dengan santainya menyandarkan tubuh pada sandaran kursi kayu yang tengah ia duduki. Ia merentangkan kedua tangan untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Kemudian, ia menatap lurus ke depan menembus tembok putih ruang kelas. Tak lama setelahnya, sepasang bola mata bulatnya dengan iris cokelat yang jernih itu perlahan terpejam. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan dari mulut. Hal itu lakukan berulang kali untuk sedikit menenangkan pikiran yang sejak pagi diporsir bekerja.

Gadis dengan name tag “Carla Farzana Darmadja” yang terpasang di seragamnya itu terpaksa terbuka kembali saat tepukan pelan mendarat di pundaknya. Ia menoleh ke kanan, menatap sang pemilik tangan dengan alis terangkat. “Kenapa?”

“Lo nggak mau pulang, La?”

Suara itu terdengar mengalun lembut dan manja dari bibir teman sebangku Carla. Sekaligus sahabat yang ia temui sejak pertama kali menginjakkan kaki di SMA Nusa. Arabelle, gadis itu biasa dipanggil.

“Bentar lagi, ya, Bel. Otak gue butuh istirahat,” balas Carla dengan nada malas. Ia kembali memposisikan tubuhnya seperti semula dan memejamkam mata lagi. Namun, kali ini ia menutup wajahnya sepenuhnya dengan kedua tangan.

“Ya udah nggak apa-apa. Gue tungguin kok. Tapi, di parkiran, ya.”

Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya pelan untuk menimpali ucapan Arabelle. Lantas, kembali berfokus pada pikirannya sendiri. Niatnya untuk mengistirahatkan otak nyatanya gagal total. Justru, pusat dalam tubuhnya itu semakin liar bekerja dengan menyajikan kepingan-kepingan peristiwa tentang keluarganya di masa silam. Pada sebuah keadaan yang tentu saja siapapun menginginkannya.

Carla tersenyum teramat manis. Apa yang terlintas di dalam benaknya seperti tegah ia rasakan saat ini—di dalam dunia nyatanya. Bukan di dunia dalam kepala yang ia bangun sendiri. Ia begitu menikmati pelukan hangat yang penuh kasih sayang dari dua orang lelaki dan seorang wanita—ayah, kakak, dan ibunya.

“I really miss that moments,” ucap Carla pada diri sendiri dengan berbisik. Juga pada ruang kosong yang hanya terdengar detak jarum jam di dinding.

Tubuh Carla sudah duduk dengan tegak. Perlahan kelopak matanya terbuka. Menatap lurus ke depan. Apa yang dilakukannya tadi ternyata bukanlah hal yang tepat. Justru hanya menyiram kembali luka yang sedang ia coba keringkan sendiri. Ia hanya bisa mengembuskan napas kasar. “Huh! Harusnya lo sadar kalau itu sekarang hanya mimpi belaka, La,” ucap Carla seolah mempertegas diri tentang keadaan yang tengah ia jalani.

Pada benda bundar berukuran kecil yang melingkar menghiasi pergelangan tangan kiri pandangannya tertuju. Menatap jarumnya yang bergerak konstan ke kiri. Kemudian, ia merapikan beberapa alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja dan memasukkan ke dalam tas.

 Carla melangkah cepat dan lebar meninggalkan kelas yang sudah benar-benar sepi. Kendati di koridor masih ada beberapa siswa yang berlalu lalang. Sesekali ia melempar senyum pada siswa yang menyapa. Ya, begitulah Carla. Si gadis ceria dan ramah, tidak pernah pandang bulu untuk berteman.

Dengan sedikit berlari ia membawa tubuhnya bergerak maju menuju parkiran di mana Arabelle—sahabatnya—sudah menunggu sejak tadi. Jika lama-lama dapat ia pastikan teman sebangkunya itu akan murka dan mengomelinya tanpa ampun seperti ibu-ibu yang tengah mengomeli anak gadisnya.

Sorry gue lama, Bel,” ucap Carla dengan napas tersengal-sengal. Ia berusaha menormalkan napas. Ia tertunduk dengan kedua tangan yang bertumpu pada kedua lututnya. “Sumpah capek benget gue,” keluhnya setelah napasnya yang satu-satu perlahan berembus normal. Ia menyeka keringat yang lolos di kening.

“Lo kenapa dah, La? Kayak dikejar setan aja,” kata Arabelle dengan mata yang menyipit menatap Carla. “Oh, atau jangan-jangan apa yang gue bilang barusan emang benar?” lanjutnya dengan cepat dan tampang polos.

“Bodoh!” umpat Carla smabil menoyor pelan kepala Arabelle dengan jari telunjuknya. “Lo pikir ada setan yang mau munculin batang hidungnya siang bolong kayak gini? Itu otak apa nggak bisa, ya, mikir lebih pintar sedikit aja dari biasanya?” kesalnya.

Tidak butuh waktu lama raut wajah kesal gadis berambut pirang itu berubah. Ia tersenyum jail ke arah Arabelle yang hanya bisa memanyunkan bibir mendengar ucaan Carla. Kendati demikian, Arabelle tak pernah benar-benar memasukkan ke hati kalimat-kalimat seperti yang diucapkan Carla tadi.

“Tapi, ya, setelah gue pikir-pikir. Setan di siang bolong itu memang benar adanya sih, Bel. Lo mau lihat nggak kayak apa bentuknya?”

Ya seperti biasanya Arabelle hanya menunjukkan tampangnya yang polos. Dan justru kali ini ia bahkan mengangguk dengan begitu antusias. “Memangnya kayak apa, La? Gue pengen dong lihat juga.”

“Lo bawa cermin, ‘kan?”

Of course. Gue selalu bawa cermin di tas gue ke mana aja gue pergi. Yah, katakan ajalah cermin adalah benda yang nggak bisa jauh-jauh dari gue,” jawab Arabelle bangga yang membuat Carla memutar bola matanya dengan malas. Ia segera mengeluatkan cermin kecil yang seperti apa yang dikatakannya tak pernah ia tinggalkan itu. Lalu, cepat-cepat ia serahkan benda tersebut pada Carla.

Jelas saja Carla menolak. “Lo aja deh yang lihat sendiri. Gue sih nggak berani, ya. Lo tau ‘kan gue anaknya penakut banget,” ucapnya sambil menahan tawa.

“Maksud lo gimana sih, La?”

“Coba deh lo deketin cerminnya ke deket wajah lo. Terus lo lihat tuh bayangan di sana. nah, kayak gitulah rupa setan di siang bolong.”

Namun, dengan polosnya Arabelle melakukan apa yang sudah diajarkan Carla padanya. “Sial!” umpatnya kesal setelah itu. “Kenapa ish lo tega banget nyamain temen secantik gue dengan setan siang bolong? Emang, ya, lo teman yang nggak punya perasaan.”

Baik. Carla sudah tak bisa lagi menahan tawa. Ia tertawa begitu keras membuat beberapa siswa yang ada di parkiran refleks menatapnya.

Ok. Ok. Lo emang cantik, Arabelle Alexandra. Gue akui sih itu, tapi kalo dilihat dari sedotan teh kotak.” Tawa gadis itu semakin keras keluar dan mengudara. Tak jarang hal itu ia lakukan pada Arabelle yang kerap kali menunjukkan tampang polosnya. Namun, Carla juga tak berbohong mengatakan temannya itu cantik. Arabelle yang terlahir blasteran yang tak jarang membuat siswa di sekolah tertarik padanya.

Arabelle menatap tajam ke arah Carla yang benar-benar membuatnya kesal. Namun, itu tak berlangsung lama. Tatapan elang itu berubah drastis menjadi tatapan berbinar. Sepasang netranya juga tak lagi menatap Carla, tetapi berpindah pada tiga orang lelaki dengan seragam yang sama dengannya tengah berjalan mendekat dari koridor ke arah parkiran. Tiga lelaki yang menjadi most wanted dan selalu menjadi sorotan tatapan memuja para kaum hawa di SMA Nusa.

Kecuali, Carla. Gadis itu justru tak memiliki ketertarikan sedikit pun pada tiga orang yang menjadi bahan pujian siswi yang lain.

“Huwa! Help me!” Arabelle memekik tertahan membuat Carla menatapnya jijik.

“Apaan sih lo? Malu-maluin banget. Sumpah. Dilihatin orang-orang tuh!” kesal Carla. Ya berada di dekat Arabelle memang selalu membuat suasana hatinya berubah-ubah dengan cepat. Tentu saja atas sikap Arabelle. Namun, meskipun begitu Carla sangat bersyukur memiliki teman sebaik Arabelle. Teman yang selalu ada saat dibutuhkan dan selalu menjadi pendengar setia keluh kesahnya.

“Udah deh, La. Terserah, ya, gue nggak peduli dengan tatapan orang-orang. Lagian, gue teriak juga pake mulut gue. Bukan mulut mereka,” jawab Arabelle tak peduli. Yang ia pedulikan kini hanya ia yang tidak ingin melewatkan pemandangan indah itu.

“Emangnya lo kenapa sih sampai kayak gitu banget?” tanya Carla. Kali ini benar-benar penasaran melihat tingkah Arabelle.

“Coba deh balik kanan, La. Di belakang lo ada cowok terganteng seantero SMA Nusa dan kawan-kawannya lagi jalan ke sini.”

Lagi-lagi Carla mendengus kesal. Meskipun Arabelle tidak menyabutkan nama orang yang dimaksud. Namun, Carla tahu betul siapa orang-orang tersebut. “Bisa nggak lo bersikap biasa aja, Bel? Buat gue, Devan jauh lebih ganteng dari cowok yang lo puja-puja itu.”

Seperti halnya Carla yang tak peduli akan tiga lelaki yang menjadi idola di SMA Nusa itu. Arabelle pun sama sekali tak acuh akan perkataan Carla. Tatapannya terusa saja menyorot ketiga lelaki yang tenagh berjalan dengan penuh kharisma itu. “Terserah lo aja, ya, La. Intinya, gue tuh terpikat bener sama cowok yang namanya Aydan itu. cowok terganteng yang pernah gue temui di muka bumi ini.” Ia kembali menunjukkan tatapan memujanya. “Ah, sumpah demi apapun gue pengen meluk Aydan.”

Carla benar-benar kewalahan kini. Ia menepuk pelan keningnya melihat kelakuan Arabelle. Detik berikutnya ia sudah bergidik ngeri. “Lo apaan dah, Bel? Lo tau, nggak? Jijik gue lihat lo kayak gitu.”

Tak mendapat respons dan benar-benar tak diacuhkan membuat Carla semakin kesal. “Ya udahlah. Gue pergi dulu. Males dah gue ketemu sama cowok menjengkelkan kayak cowok pujaan hati lo itu. Bye!” Carla melambaikan tangan tepat di depan wajah Arabelle. Lantas, ia menggerakkan sepasang tungkainya meninggalakn Arabelle yang masih diam terpaku menatap lelaki yang dipanggil Aydan dan dua temannya itu.

“Eh, La! Tungguin gue dong!” teriak Arabelle saat tersadar Carla sudah lebih dulu meninggalkannya. Harusnya ia juga sadar bahwa Carla tidak pernah suka dengan pembahasan apalagi sampai bertemu dengan Aydan. Bagi Carla, Aydan adalah manusia paling menyebalkan yang sukses membuat suasana hatinya rusak dalam sekejap.

“Jangan main tinggal-tinggal kayak gitu kenapa sih, La? Lo itu teman macam apa sih? Lo benar-benar nggak setia kawan tau.”

Dari kejauhan Carla masih dengan jelas menangkap gelagat kesal Arabelle. Ia hanya bisa tertawa melihat tingkah manusia yang satu itu. Lugu dan lucu. “Jangan ngedumel sendiri kayak orang gila, Bel. Mending buruan ke sini! Lari cepetan! Gue mau ngajakin lo ke tempat yang asyik buat nongkrong,” ucapnya panjang lebar dengan suara setengah berteriak. Ia kemudian memasuki kendaraan roda empat berwarna kuning—sebuah Honda Jazz pemberian Carlos—papanya—sebagai hadiah ulang tahun ke enam belas beberapa waktu lalu.

Setelah memasang seat belt untuk menjaga keamanan saat berkendara. Carla merogoh tas sekolahnya untuk mencari ponsel. Setelah menemukan benda segi empat itu, ia segera menggulir layar ponselnya untuk mencari sebuah kontak yang akan ia hubungi. Lalu mengirim pesan singkat ke nomor yang sudah ia temukan.

“Harry up, Arabelle Alexandra!” teriak Carla memperingati Arabelle yang kini hanya berjalan santai mendekat.

“Lo nggak lagi bohongin gue kayak kemarin ‘kan, La?” Arabelle menatap curiga pada Carla. Pasalnya, baru dua hari lalu ia dibohongi oleh gadis itu dengan dalih akan mengajaknya ke mall, tetapi justru ia dibawa ke sebuah tempat tongkrongan anak-anak muda. Ya, meskipun pada akhirnya Arabelle tetap saja menikmati suasananya.

“Nggak. Gue serius kali ini. Cepetan masuk.”

Tidak perlu lagi bertanya dan berlama-lama. Arabelle segera memasuki mobil. “Lo nggak mau ngajak Devan juga?” tanya gadis itu sambil memasang seat belt di tubuhnya.

Carla menggelengkan kepala, membuat poninya ikut bergerak. “Gue lagi pengen merileksasikan otak tanpa melibatkan hati. Lagian, lo juga tau sendiri gimana sibuknya Devan sama urusan sekolah.”

“Lo lagi ada masalah, La?”

Gadis itu tak langsung menjawab. Ia hanya mengembuskan napas panjang dan terdengar berat. Lalu, tertawa sumbang. “Gue kira sejak Papi menikah lagi dan Mas Karel pergi, hidup gue nggak pernah lepas dari masalah, Bel.”

Arabelle yang polos. Namun, ia bisa merasakan kepedihan Carla dari suaranya yang terdengar getir. Ia menyentuh lengan gadis itu dengan lembut. Lalu, tersenyum tipis. “Lo kalau punya masalah jangan pernah sekali pun ragu cerita sama gue, ya, La. Gue janji bakal jadi pendengar setia buat lo. Ya meskipun gue juga tau kadang gue nggak bisa kasih solusi atas masalah yang lo hadepin.”

Carla membalas senyuman Arabelle dengan senyum yang lebar, menampilkan deretan gigi putih dan gingsulnya. Ia sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan satu manusia yang begitu peduli padanya. Padahal, hubungan pertemanan mereka belum genap enam bulan. Namun, perlakuan Arabelle seperti seseorang yang begitu paham akan dirinya. “Thank you banget lho, Bel, sudah jadi temen yang baik buat gue selama ini.”

“Selama gue bisa. Gue nggak akan selalu buat lo, La.”

Kali ini Carla m]justru tertawa mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Arabelle. “Kok lo sweet banget sih, Bel.”

Keduanya lantas tertawa.

“Kalau pergi sekarang lo pasti pulang telat. Dan bokap lo bakal marah.”

“Nggak apa-apa. Gue sudah kasih tau Mami. Kalau Papi marah nanti Mami yang bakal siap ngelindungin gue.” Carla melirik Arabelle dan tersenyum manis. Ia menyalakan mesin mobil dan melajukan kereta besinya itu meninggalkan area sekolah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status