Share

Kacau

Seorang siswa—yang kerap kali disapa Aydan—dengan rambut hitam dan sedikit menjuntai di depan kening mengayunkan langkah dengan gagah. Ia tak berjalan sendiri. Melainkan dengan kedua temannya—Deon dan Lucas. Dengan ekspresi datar dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana membuat aura ketampanannya semakin menguar.

Ketiga siswa itu berjalan menyusuri koridor menuju tempat parkir. Di sana mereka sudah mendapatkan tatapan memuja yang tentu saja sudah biasa bagi mereka. Bahkan, kalimat pujian pun tak luput mereka dengar. Namun, mereka tak pernah sama sekali menggubris itu. Sebagai most wanted di sekolah, hal itu sangat lazim. Bahkan, mereka dijuluki oleh para penggemar dengan sebutan “Trio G” atau “Trio Ganteng.”

Aydan menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Pasalnya, kelasnya kosong pada jam terakhir dan itu ia manfaatkan bersama beberapa teman sekelasnya yang lain untuk bermain basket. Gerakan tangan Aydan itu justru membuat para siswi yang melihatnya berteriak histeris. Namun, Aydan tetaplah Aydan. Siswa tampan, tetapi berkepribadian cuek, dingin, dan pendiam.

“Eh, coba deh lihat di sana,” celetuk Deon tiba-tiba. Tangan kanannya menunjuk ke arah dekat parkiran. Aydan dan Lucas mengikuti begitu saja ke mana arah jari telunjuknya.

“Itu Carla sama Arabelle, ‘kan?”

Lucas langsung mengangguk mengiyakan.

Lain halnya dengan Lucas. Aydan bahkan membuang pandang kembali lurus ke depan. Ia benar-benar malas jika kembali dihadapkan dengan seorang siswi yang beberapa bulan lalu menginjakkan kaki di SMA Nusa itu. Carla.

Deon memulai aksi dengan memunculkan tatapan memujanya. “Si Carla cantik banget dah. Kecantikannya bahkan melebih kecantikan kembang desa di kampung gue. Sumpah demi apa.”

Tak mau kalah dengan Deon. Lucas juga melakukan hal yang lebih dari itu. Tangannya terangkat, menyentuh udara seakan tengah menjamah wajah dengan kulit putih mulus milik Carla. “Cantik aja nggak cukup buat ngegambarin sosok Carla. Tapi, dia juga pintar, cerdas, murah senyum dan selalu ramah. Benar-benar satu bentuk kesempurnaan yang Tuhan ciptakan di muka bumi ini.” Ia memejamkan mata. Membayangkan kecantikan gadis blasteran itu. “Demi apapun gue pengen jadiin Carla pacar gue,” lanjutnya setelah beberapa detik terjeda sunyi. Kelopak matanya terbuka. Memandang ke arah Carla yang meskipun hanya tampak punggung saja, karena gadis itu berdiri membelakangi mereka.

Deon yang sejak tadi memperhatikan Lucas dengan sangat lekat tak kuasa menahan tawa. Lelaki dengan jiwa humoris high level itu mengeluarkan tawanya yang keras dan memekakkan telinga. Terutama bagi Aydan. “Tolong lo kalau ngehalu jangan tinggi-tinggi banget, Lucas. Cowok dengan tampang kaya lo nggak bakalan pernah dilirik sedikit pun sama Carla,” ucapnya dengan tawa yang kembali mengudara. Tak peduli jika tatapan aneh beberapa siswa menyorot ke arahnya. Oh, tidak! Lebih tepatnya memperhatikan mereka bertiga. Jangankan ada tingkah yang mereka perlihatkan tidak menyita perhatian. Mereka hanya sekedar berjalan saja sudah menjadi pusat perhatian. Khususnya kamu hawa.

“Lagian nih, ya. Gue kasih tau sama lo. Carla kan sekarang pacarannya sama si Devan. Anak kelas XI IPA2 yang jadi ketua OSIS itu. Yah! High class-lah,” kata Deon untuk mengingatkan Lucas.

“Terus lo sendiri kenapa kayak memuja Carla banget?”

Deon bergerak cepat pindah posisi ke samping Lucas. Ia letakkan tangannya di pundak Lucas yang lebih pendek beberapa senti darinya. “Emang apa yang salah coba kalau gue memuja si Carla? Ingat, ya! Gue Cuma muja doang, muja kecantikannya. Bukan ngehalu kayak lo sampai pengen jadiin pacar. Nggak salah kan gue?”

Dengan kasar Lucas menyingkirkan tangan Deon. “Iya. Soalnya lo kayak cewek. Nggak pernah salah.”

Deon menepuk pelan pundak Lucas. “Gue sih suka sama temannya. Si Arabelle. Paham?”

“Tapi, terserah gue juga dong mau suka sama siapa aja. Lagian, Carla sama Devan masih Cuma sebatas pacaran. Belum terikat tali pernikahan. Jadi, gue masih punya kesempatan besar buat dapetin dia,” sanggah Lucas tak mau kalah.

Rupanya kalimat yang diucapkan Lucas itu terdengar lucu di telinga Deon. Buktinya lelaki itu lagi-lagi tertawa dengan keras. “Manusia dengan tampang dan kelakuan kayak lo nggak bakal bisa ngalahin Si Devan. Lo harus sadar diri sejak awal. Sebelum lo ngerasain sakitnya dicampakin.”

Aydan yang sejak tadi hanya berdiam diri tanpa berniat untuk ikut nimbrung pembahasan Deon dan Lucas sudah mulai merasa jengkel. Ia mendengus kesal. “Lo berdua apa-apaan sih? Ribut mulu. Nggak bisa, ya, kalian sehari aja nggak bahas tentang dua cewek itu? Gue aja yang dengar bosan.”

Lucas dan Deon menatap Aydan bersamaan dengan tatapan bingung. Hal langka dari seorang Aydan tiba-tiba muncul. Ya, karena bicara panjang adalah hal terlangka di hidup Aydan. Lelaki itu kalau bicara hanya singkat dan seadanya saja.

“Emang lo nggak tertarik gitu sama Carla atau Arabelle, Dan?” tanya Lucas dengan ekspresi polos. Lagipula. Ia benar-benar bingung pada Aydan. Di tengah para siswa yang begitu mengagumi Carla. Mungkin hanya Aydan seorang yang bahkan melirik gadis itu pun enggan.

“Nggak sama sekali,” jawab Aydan dengan cepat.

“Kayaknya lo dilahirin emang bukan jadi cowok normal, Dan,” celetuk Deon spontan mendengar jawaban Aydan. Celetukan yang berhasil mengundang tawa Lucas.

Tatapan tajam Aydan menyorot Lucas dan Deon secara bergantian. “Lo berdua yang nggak normal! Tertarik cuma sama cewek kayak Carla dan Arabelle. Masih banyak tuh cewek yang lebih segalanya dari mereka berdua. Apalagi si Carla. Aduh! Selera kalian rendah banget.”

“Lo apaan dah, Dan? Manusia sesempurna mereka lo kata rendah. Sehat nggak sih lo?” Lucas tak terima.

“Gue setuju banget sih sama lo kali ini, Cas.” Deon berucap untuk membenarkan apa yang dikatakan Lucas sebelumnya.

“Terserah lo-lo pada dah. Gue sudah benar-benar malas dengarin pembahasan tentang cewek terus-terusan. Kayak nggak ada bahasan lain yang jauh lebih penting aja.” Aydan memasang earphone untuk menutupi sepasang telinganya dengan niat menghalau suara berisik yang ditimbulkan Lucas dan Deon. Ia tak berbohong dengan rasa malasnya membahas tentang perempuan. Pasalnya, bagi Aydan sekarang apapun yang menyangkut tentang perempuan hanya membuatnya ribet. Belajar dari pengalamannya yang pernah menjadikan kakak kelasnya sebagai pacar. Meski tak lama.

“Kayaknya Aydan emang benar-benar nggak normal, ya, Cas? Coba cewek secantik Carla dan Arabelle aja nggak bisa bikin dia tertarik.”

“Entahlah temen lo. Gue juga nggak tau. Gue juga nggak paham.”

Deon dan Lucas lantas tertawa kencang. Sedang Aydan yang sudah tak ingin menggubris kelakuan kedua temannya itu berlalu begitu saja. Dengan pasti ia melanjutkan langkahnya yang semoat terjeda. Namun, seketika terhenti saat ia teringat barangnya tertinggal di ruang ganti.

“Mau ke mana?” tanya Lucas yang melihat tubuh Aydan berbalik, melangkah dan melewatinya.

“Duluan aja. Ada yang ketinggalan,” sahut Aydan yang dibalas anggukan oleh kedua temannya.

Sepasang tungkai membawa tubuhnya bergerak maju melewati koridor. Namun, sebuah suara berhasil membuatnya terpaku di tempat.

“Abang!”

Aydan tak ingin menoleh sama sekali ke belakang. Ia tahu siapa pemilik suara itu. Adalah seseorang yang Aydan coba hindari.

“Bang, tunggu!”

Sekali lagi suara itu terdengar. Sudah lama sekali sepasang telinganya tak menangkap panggilan itu. bohong jika hatinya tak tersentuh. Ia terharu dalam diam. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis. Rasanya ingin sekali berbalik dan menyapa sang empunya suara. Namun, ia berusaha menepis jauh apa yang dirasakannya itu. Ia tak boleh kalah. Ia harus menjadi dari orang tersebut.

Aydan kembali mengayunkannya lebih cepat dan lebar dari sebelumnya. Ia tidak ingin bertemu dengan orang tersebut. Tidak boleh.

“Abang!”

Panggilan untuk ketiga kalinya kembali mengudara. Namun, Aydan berusaha menulikan inderanya. Ia tak mengindahkan panggilan itu. Hingga sebuah tarikan tangan dengan paksa menghentikan langkahnya dan berbalik. Tatapannya bertabrakan dengan sepasang bola mata yang sipit. Dengan jarak sedekat itu ia bisa melihat bagaimana lentiknya bulu mata seseorang yang memanggilnya.

“Kenapa sih lo ngehindarin gue kayak gitu terus, Bang? Salah gue apa coba?” tanya seorang siswa yang mengenakan seragam yang sama seperti Aydan. Bedanya lelaki yang memanggil Aydan itu menutupi seragamnya dengan hoodie.

Aydan menatap lelaki itu datar. “Berhenti manggil gue Abang. Karena, gue bukan kakak lo!” ucap Aydan memberi penegasan dengan penekan kuat di setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ia benci dengan panggilan itu. Ia benci mendengar kata yang mengharuskannya mengingat kepingan peristiwa di masa lalunya.

“Tap—”

Aydan mengangkat tangannya ke udara. Membuat lelaki itu tak bisa melanjutkan kalimatnya. “Pergi dan jangan ikuti gue! Di sini kita bukan siapa-siapa. Kita hanyalah orang asing yang sama sekali nggak saling kenal,” tegasnya. Ia membalik badan dengan angkuh. Namun, rasa sesal begitu saja mendekapnya. Perasaan yang sebenarnya hancur itu ia bawa menjauh dari hadapan lelaki yang memanggilnya Abang itu. Pandangannya mulai memburam. Air mata mulai bergumul di kelopak mata. Dalam hati ia benar-benar merutuki sikapnya yang berusaha tak acuh pada lelaki tadi. Ia menyesal.

“Bang, jelasin salah gue apa sama lo?”

Lelaki itu belum juga menyerah menuntut jawaban darinya. Namun, Aydan masih berusaha tak mempedulikan suara lirih yang maish bisa ditangkap telinganya. Ia masih dikuasai ego. Tekadnya untuk tidak lagi dekat dengan si pemilik suara sudah benar-benar bulat. Dan cara satu-satunya adalah dengan ia berusaha pergi, berusaha tak peduli.

Aydan menyandarkan tubuhnya pada tembok putih ruang kelas. Tubuhnya merosot menyentuh ubin yang dingin. Ia menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Ia tentu tak ingin orang lain melihat wajahnya yang kacau. Kini yang ia rasakan adalah sesal yang membuat sesak. Benci juga pada dirinya sendiri.

Air yang menggenang di kelopak matanya runtuh, membentur dan menembus tembok pertahanan. Pikirannya kacau. Entah sudah berapa kali ia merutuki dirinya sendiri.

“Maafin gue, Dev. Gue Cuma nggak mau lo kena dampak kesialan dari diri gue. Gue nggak mau hal-hal buruk terjadi sama lo. Kayak Papa dan Mama.” Ia memeluk tubuhnya sendiri. Menumpahkan tangisnya yang sudah pecah.

“Kenapa sih Papa sama Mama harus pergi dari hidup Aydan? Kenapa, Pa, Ma?” lirihnya bertanya pada diri sendiri. “Kalian tau, nggak? Kepergian kalian adalah kesakitan bagi Aydan. Aydan hanya dianggap anak sial oleh orang-orang setelah kepergian kalian.” Ia mengadu pada udara. Pada ruang kosong.

Kata-kata lirih mengalun dari bibirnya. Ia tumpahkan segala keluh kesah yang tertimbun menyesakkan dada. Kesah yang tak pernah orang lain tahu. Ya, tak ada satu pun.

Aydan terlampau kacau sekarang. “Sial! Kenapa sih hidup gue kayak gini?” Ia menggeram kuat. Ditinjunya udara berulang kali. Melampiaskan kemarahan yang menyapa.

“Akh!” teriak Aydan sambil menjambak rambutnya frustasi. Tak peduli jika nanti masih ada manusia yang mendengar teriakannya.

Benar saja. Tanpa Aydan sadari, lelaki yang Aydan hindari tadi justru mendengar semua yang diucapkan Aydan. Lelaki itu meremat ­hoodie-nya dengan kuat. Menahan gejolak dalam dadanya. Jadi, serapuh itu Aydan selama ini, pikirnya.

Dari celah pintu ia bisa melihat bagaimana wajah kacau Aydan. Ia meringis tertahan. Andai saja diizinkan ia tentu sudah memeluk Aydan dan berusaha menenangkan. Namun, alih-alih menyentuh Aydan. Hanya sekedar menyapa saja lelaki itu sangat enggan.

Entah dari mana datangnya rasa sesak itu. Tiba-tiba saja pasokan oksigen seakan perlahan menghilang. Lelaki itu menepuk dadany pelan sambil menunduk. Berharap rasa sesak itu segera enyah dan tak menyiksa.

“Devan, lo kenapa?” tanya seorang siswi dengan name tag Sarah Adnia W dengan suara yang melengking sambil berlari mendekati Devan.

Ya. Lelaki yang berusaha mendekati Aydan itu adalah Devan—adik sepupu Aydan.

Devan hanya menggelengkan kepala. Membuat butiran keringat di keningnya terjatuh menyentuh lantai. “Nggak apa-apa, Sar,” jawabnya berusaha baik-baik saja. Ia kembali berdiri tegak dengan susah payah. Berusaha tersenyum ke arah Sarah—teman sekelas sekaligus teman satu organisasinya.

“Serius, Dev? Muka lo pucat banget lagi.” Sarah tak percaya. Ia tahu bagaimana seorang Devan yang susah sekali untuk terbuka.

Kepala Devan mengangguk dengan tatapan sayu. Lantas, menoleh ke arah ruang kelas di mana ia melihat Aydan. Namun, kini ia sudah bisa menangkap tubuh itu sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah datar. Ia yakin ini pasti karena Aydan yang mendengar pekikan Sarah. Lantas, ia tersenyum tipis ke arah Aydan dan menganggukkan kepala seakan berkata “Aku baik-baik saja”.

“Sar, gue duluan, ya,” ucap Devan dengan susah payah. Dadanya masih naik turun tak konstan. Napasnya masih tersengal seakan baru saja berhenti lari maraton.

“Gue nggak yakin lo baik-baik aja, Dev. Gue anterin pulang, ya.”

Devan hanya menggelengkan kepala. Sedangkan tangannya sudah berpegangan di dinding. Berusaha membantu tungkainya untuk menahan bobot tubuhnya agar tak roboh. Itu tidak boleh terjadi. Ia tidak ingin menyusahkan Sarah dan Aydan. Tunggu! Aydan? Terlalu percaya diri jika ia berharap Aydan akan membantunya. Toh, tadi saja Aydan sangat tidak ingin melihatnya.

“Lo lupa kita kenal sudah berapa lama, Dev?”

Kalimat itu berhasil membuat Devan akhirnya mengangkat bendera putih tinggi-tinggi. Ia salah orang untuk dibohongi. Sarah teman sekelasnya. Jelas gadis itu tahu tentangnya.

Tanpa suara Sarah mengalungkan lengan Devan di lehernya. Membantu lelaki itu berjalan dengan pelan.

Sedangkan seseorang yang berdiri di ambang pintu itu hanya menatap pilu punggung yang semakin menjauh. Sebelum tubuh Sarah dan Devan benar-benar menghilang di balik dinding. Ia bisa melihat Devan menoleh dan tersenyum. Namun, justru itu sangat menyakiti dirinya.

“Apakah aku terlalu jahat padanya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status