Semalaman Fathan sudah tidak bisa tidur. Ia membolak-balik posisi tidurnya hingga fajar menyingsing. Lelaki itu benar-benar sudah tidak sabar untuk segera berangkat ke rumah orang tua Aina. Bahkan dia memilih untuk menginap di rumah orang tuanya karena tak mau membuat mood-nya memburuk jika harus bertemu dengan istrinya.Pukul 07.00 ruang makan sudah terlihat rapi. Menu sarapan sudah terjejer di atas meja. Fathan melangkah menuju ruang makan dengan pakaian santai. Kaos hitam dengan kemeja putih polos yang tidak dikancing membuat pria itu tampil lebih fresh dan lebih mudah dari usianya. Jika biasanya dia selalu tampil dengan jas formal, kali ini Fathan sengaja ingin terlihat santai."Kamu mau ke mana pagi-pagi sudah terlihat rapi. Emangnya nggak kerja?" Tanya Pak Atmajaya, papanya Fatan."Hari ini Fathan mau keluar kota, Pa." "Kamu sedang ada masalah dengan istrimu? Kenapa dia tidak ikut menginap di sini semalam?" Mama Santi menata putranya curiga. Fathan menghilang nafas panjang lal
"Kurang ajar! Jadi kamu yang selama ini telah merusak anak gadisku?!" Happy Hanif langsung memukul wajah Fathan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. Selama 6 tahun Abi Hanif terus mencari siapa lelaki yang telah menudai Putri semata wayangnya. Ini lelaki itu datang sendiri. Hati bapak mana yang tidak terluka ketika buah hati yang dijaga seperti permata justru dirusak oleh seorang pria tidak bertanggung jawab."Apa orang kaya seperti kamu selalu bisa berbuat sesukanya termasuk merusak anak gadis orang?" Sekali lagi pukulan mendarat di wajah Fathan. Pewaris tunggal perusahaan itu tidak melawan sama sekali. Dia tahu pasti lebih Hanif murka karena putrinya hamil tanpa dinikahi. Fathan menunggu sampai emosi tapi Hanif mereda baru kemudian menjelaskan duduk permasalahannya.Tapi hanya kembali mengangkat tangannya hendak meninju perut Fatan. Namun Umi Widuri yang baru saja memperoleh kesadarannya setelah syok mendengar fakta itu segera mencegah suaminya berbuat anarkis."Abi tahan emo
Abi Hanif dan Umi Widuri terlihat sedih. Enam tahun tidak menyambangi putrinya, ternyata sudah terjadi perubahan yang sangat besar. Mereka bahkan hampir tidak mengenali sikap putrinya lagi. Namun, ini baru permulaan. Bukankah tujuan mereka ke sini untuk menghapus kesalahpahaman yang terjadi selama ini?Aina masih duduk di tempatnya sembari memandang punggung Bik Esih yang mulai menjauh. Sekuat tenaga dia menahan gemuruh dalam dadanya. Susah payah dia berjuang selama ini. Menjalani kandungan yang tidak mudah, juga harus menghadapi berbagai pertanyaan para tetangga yang selalu menanyakan di mana suamiya. Akhir-akhir ini Bintang pun juga mulai berulah dengan menanyakan papanya setiap saat. Sakitnya saat dituduh berzina saat itu masih terasa hingga kini. Lalu pengusiran secara halus yang dilakukan orang tuanya seperti taburan garam di atas luka menganga yang ia derita. Aina masih mengingat betul bagaimana Abinya terus menyalahkan dirinya tanpa mau mendengar penjelasan sedikitpun. Bahkan p
Keheningan menyelimuti ruang keluarga berukuran 8 kali 8 meter tersebut. Aina masih belum bersuara menunggu apa yang selanjutnya akan diucapkan oleh kedua orang tuanya. "Aina," ucap Umi Widuri memecah keheningan. "Abi sama Umi benar-benar minta maaf, Nak. Kamu pasti menderita selama ini."Aina tak mampu lagi untuk membendung air matanya. Susah payah ia menutup luka selama 6 tahun kini kedua orang tuanya datang untuk membuka kembali luka itu. Kalau boleh memilih Aina ingin hidup damai seperti hari-hari sebelumnya. Dia sudah mulai menerima takdirnya dan bahagia bersama Bintang, satu-satunya keluarga yang ia miliki.Aina menari nafas panjang berusaha untuk membuang sesak yang menghimpit dadanya. "Semuanya sudah berlalu, Abi, Umi. Aina sudah bahagia sekarang," ujar Aina datar."Apa kamu sudah memaafkan Abi dan Umi, Nak?" Aina mengangguk."Kalau begitu mari kita pulang. Abi sama Umi sangat merindukanmu. Ayo kita pulang!"Aina menggeleng. Tentu saja dia tidak mau kembali ke rumah yang sud
Kapan tetap kekeh tidak mau nyindir sebelum bisa kembali berbicara dengan Abi Hanif."Kamu Bisa minggir, anak muda? Saya harus menghadiri meeting setengah jam lagi." Abi Hanif membuka pintu mobil dan berniat untuk masuk kembali.Namun yang membuatnya kaget Fatan ikut masuk ke dalam mobil tersebut sehingga kini posisinya Abi Hanif dan Fatan duduk berdampingan di jok belakang."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Abi Hanif heran. Tampaknya pria muda itu tidak mau menyerah begitu saja. Bahkan dia dengan beraninya ikut ke dalam mobil demi bisa berbicara dengan ayahnya Aina."Saya ingin bicara dengan Bapak. Tapi saya juga tidak ingin menghambat aktivitas bapak yang ingin mendatangi meeting penting. Jadi saya bisa berbicara sambil melakukan perjalanan ini, kan?"Happy Hanif membuang nafas panjang. Tak ada pilihan lain selain mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Fathan. Abi Hanif memerintahkan kepada sopir untuk menjalankan mobilnya."Kamu hanya punya waktu 30 menit sampai saya tiba
Fathan tak menyerah. Dia terus menunggu di luar pintu pagar sembari mengamati kondisi dalam area Villa tersebut. Sepasang netra tajamnya terus mengawasi halaman rumah berlantai 2 itu berharap ada seseorang yang melintas. Setelah 1 jam menunggu di depan pintu akhirnya bahkan bisa melihat pergerakan seseorang. Mang Asep keluar dari rumah untuk membuang sampah. Fathan segera berdiri dan memanggil orang tersebut. Mang Asep yang memang tidak tahu apa-apa tentang Fathan langsung mendekat. "Ada apa, Den?" Fathan tersenyum ramah pada orang tersebut. Meskipun bukan sifat Fathan untuk beramah tamah sama orang asing tapi kali ini demi bisa bertemu dengan Bintang dia harus bersikap baik pada siapapun yang ada di villa ini. "Saya sudah menunggu di sini selama 1 jam. Apa saya bisa bertemu dengan Aina? Dari tadi saya panggil-panggil sepertinya dia tidak mendengar." Fathan berkata dengan sangat meyakinkan."Oh Bu Aina-nya ada di dalam. Aden ini apanya Bu Aina?" tanya Mang Asep sopan.Fathan tamp
"Saya tahu kalau saya tidak tahu diri. Tapi belum terlambat untuk memberikan keluarga yang lengkap untuk anak kita." Fatan mengulas senyum walaupun terlihat kaku karena dipaksakan.Lelaki itu biasa mengumbar wajah datar di setiap kesempatan. Dan kini demi mengambil hati Aina dia harus bersikap ramah dan murah senyum. Sesuatu yang sangat berat bagi seorang Fathan tapi tetap ia lakukan."Anak saya, hanya anak saya," ucap Aina mantap. "Saya ayahnya Bintang. Seandainya tidak terjadi kesalahan dari pihak rumah sakit tidak akan ada Bintang di dunia ini. Jadi jangan mengklaim bahwa Bintang hanya anakmu." Fathan sudah mulai terlihat agak emosi. Di balik cadarnya Aina mengulas senyum smirk. Sejak pertama ia duduk, ia berusaha membaca sikap Fathan dari gerak-gerik dan cara bicaranya. Dia tidak bisa percaya begitu saja pada pria yang mengaku sebagai ayah dari kota semata wayangnya. Sampai di titik ini Aina menyimpulkan jika lelaki yang mengaku sebagai ayahnya bintang itu adalah sosok yang ang
Untuk pertama kalinya Fatan bersitegang dengan Sarah, istri tercintanya. Fatan memang selalu memanjakan Sarah. Apapun yang dia minta selalu dituruti, tak peduli apapun itu. Fatan mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu menatap sang istri yang terlihat menahan emosi. Dada wanita itu naik turun tak beraturan. "Sarah, kita menikah sudah delapan tahun. Kamu tidak lupa kalau keluargaku menginginkan keturunan dariku kan?" Fatan merendahkan suaranya. "Aku tahu, Mas. Aku tahu! Bukankah kita sudah menjalani berbagai program untuk membuatku hamil? Tapi kamu tahu sendiri kalau aku masih belum bisa memberimu keturunan. Kita manusia hanya berusaha saja kan, Mas? Kenapa ku menyalahkan aku seolah-olah aku yang salah, hah?" Sarah tak lagi dapat membendung emosinya."Ya, karena kamu sudah salah! Kamu tidak pernah menajalani program inseminasi dan bayi tabung, kan?" Sarah terkesiap.Wanita yang lebih memilih fokus menjadi model dan artis itu tak menyangka suamiya tahu kalau selama ini dia mangkir tiap