Raka membuka pintu penthouse dengan wajah masam. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras, jelas sekali kalau mood-nya sedang terganggu. Dan benar saja, di hadapannya berdiri Radit dan Nayla dengan senyum mengembang seolah mereka pasangan yang baru saja pulang dari kencan.
“Kalian berdua benar-benar datang gak tepat waktu..!” gumam Raka dengan nada kesal, lalu ia berbalik masuk tanpa basa-basi, membiarkan pintu tetap terbuka.Radit dan Nayla saling berpandangan, bingung dengan kata-kata Raka. Senyum di bibir mereka perlahan meredup.“Eh.. Apa kita terlambat..? Memangnya kalian mau adakan acara apa..?” tanya Radit penasaran, langkahnya maju masuk ke dalam, diikuti Nayla yang buru-buru menutup pintu di belakang mereka.“Gak tepat waktu alias gangguin gua mau ngamar sama Aluna..!” Raka melontarkan kalimat itu begitu saja dengan nada dingin, membuat Radit nyaris tersedak ludahnya sendiri.“Ka!” Aluna refleks menegur, wajMobil hitam Raka meluncur membelah jalanan malam yang lengang. Lampu-lampu kota berpendar, bayangannya memantul di kaca jendela. Suasana di dalam mobil terasa berat, penuh tanda tanya setelah telepon misterius dari sang Papa.Raka duduk di kursi pengemudi dengan rahang mengeras. Jemarinya menggenggam erat setir, sementara matanya fokus ke depan. Aura dingin dan tegasnya kembali menguasai ruangan sempit itu.Aluna duduk di kursi penumpang, menoleh beberapa kali, memperhatikan wajah Raka yang tampak tegang. Ia ingin mengusir kekhawatiran itu, tapi tahu pria dingin di sampingnya bukan tipe yang mudah terbuka.“Lo yakin baik-baik aja?” tanya Aluna pelan, suaranya terdengar hati-hati namun lembut.Raka mendengus kecil. “Menurut lo..?” jawabnya ketus, tanpa menoleh.Aluna memutar bola matanya, lalu menyandarkan kepala ke jok. “Kalau lo jawab kayak gitu, artinya lo lagi nggak baik-baik aja,” balasnya ceplas-ceplos, membu
Raka membuka pintu penthouse dengan wajah masam. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras, jelas sekali kalau mood-nya sedang terganggu. Dan benar saja, di hadapannya berdiri Radit dan Nayla dengan senyum mengembang seolah mereka pasangan yang baru saja pulang dari kencan.“Kalian berdua benar-benar datang gak tepat waktu..!” gumam Raka dengan nada kesal, lalu ia berbalik masuk tanpa basa-basi, membiarkan pintu tetap terbuka.Radit dan Nayla saling berpandangan, bingung dengan kata-kata Raka. Senyum di bibir mereka perlahan meredup.“Eh.. Apa kita terlambat..? Memangnya kalian mau adakan acara apa..?” tanya Radit penasaran, langkahnya maju masuk ke dalam, diikuti Nayla yang buru-buru menutup pintu di belakang mereka.“Gak tepat waktu alias gangguin gua mau ngamar sama Aluna..!” Raka melontarkan kalimat itu begitu saja dengan nada dingin, membuat Radit nyaris tersedak ludahnya sendiri.“Ka!” Aluna refleks menegur, waj
Mobil Radit melaju perlahan meninggalkan basement mall. Lampu-lampu jalan menyorot wajah mereka bergantian, membuat suasana jadi lebih intim. Di dalam kabin, hanya ada suara AC dan dentingan pelan dari playlist mellow Radit. Radit melirik sekilas ke samping, melihat Nayla duduk kaku sambil menunduk. Tangannya meremas ujung dress seperti menahan sesuatu. “Lo selalu diem gini kalau lagi gugup?” Radit memecah keheningan, suaranya ringan tapi terdengar tulus. Nayla tersentak kecil. “Hah? Gu-gugup apaan. Gue biasa aja kok..” lirihnya. Radit terkekeh, matanya fokus ke jalan. “Biasa apanya. Dari tadi lo bahkan gak berani liat gue.. Emang muka gua serem ya..?” canda Radit. Pipi Nayla merona. Ia menggigit bibir bawah, mencoba menutupi rasa malunya. “Ya emang tatapannya lo serem sih.. Bikin orang salah tingkah..” gumam Nayla jujur. Radit menoleh sekilas, tersenyum kecil. “Kalau gitu jangan salahin tatapan gue. Mungkin.. Lo aja yang terlalu cantik sampai bikin gue betah ngeliatin..” cele
Raka melangkah dengan wibawa khasnya, tangannya menempel erat di pinggang Aluna, membuat orang-orang di mall terus menoleh. Tatapannya dingin, tapi setiap kali mata mereka bertemu, Aluna tahu ada perhatian yang tersembunyi di balik sorot mata itu.“Ka, kita belanja banyak banget, nih. Jangan marah ya kalau struknya panjang kaya novel,” goda Aluna sambil terkikik, mendorong troli penuh pakaian, tas, dan camilan.Raka melirik datar. “Gua gak peduli berapa panjang struknya. Selama lo bahagia, gua bayar.”Aluna spontan tersenyum lebar. “Aww… so sweet. Jadi lo itu tipe suami sugar daddy, ya?” ujarnya jahil.Raka berhenti melangkah, menatapnya tajam. “Kalau lo ngomong gitu lagi, gua cium lo di sini, di depan semua orang.”Mata Aluna langsung melebar. “Eh… Ka! Jangan gila. Banyak anak kecil lewat.”Raka mencondongkan tubuhnya, suaranya rendah, menggoda. “Kalau lo takut… jangan bikin gua kepancing.”
Radit menelan ludah ketika tatapan Raka menancap tajam ke arahnya. Tatapan itu dingin, berwibawa, tapi cukup menusuk hingga membuat siapa pun yang berhadapan dengannya ingin segera berkata jujur.“Radit…” suara Raka dalam, berat, dan sedikit tertekan. “Sekarang cerita. Siapa yang lo lihat barusan sama Kayla.”Radit menghela napas, tangannya merogoh saku celana, lalu mengeluarkan ponsel. “Gua… gua lihat Kayla barengan sama seorang perempuan. Dan yang bikin gua kaget, perempuan itu mirip banget sama Cindy.”Aluna spontan menoleh cepat. “Cindy..?!” suaranya meninggi, matanya terbelalak.“Iya, mirip banget. Rambutnya panjang, cokelat gelap, kulitnya putih, caranya jalan juga anggun. Gua sempat curiga, makanya gua ikutin mereka sebentar. Dan… gua sempet ambil beberapa foto.” Radit membuka galeri ponselnya, lalu menyodorkan pada Raka.Raka menyambar ponsel itu dengan cepat, menatap layar dengan sorot tajam penuh analisa. Beberapa kali ia memperbesar gambar, rahangnya mengeras.“Gila…” gumam
Aluna mengernyitkan dahinya, matanya menyipit seakan masih tidak percaya dengan sikap Raka yang mendadak begitu waspada. Ia pun mengulang pertanyaannya dengan nada lebih serius.“Ka, ada apa..? Lo kelihatan cemas gitu.. Apa ada yang mengintai kita..?” tanyanya hati-hati. Aluna sampai ikut mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat Raka bersikap setegang itu.Raka menarik napas dalam, matanya sempat berkilat tajam sebelum kembali menatap Aluna. “Udah gak ada..” katanya pendek, seakan menutup kemungkinan Aluna semakin cemas.Namun sorot matanya tak bisa berbohong. Nayla yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya bersuara.“Ada apa sih sebenarnya..? Kalian berdua kayak lihat hantu aja,” kata Nayla dengan alis berkerut. Raut wajahnya mencerminkan kebingungan sekaligus penasaran.“Iya nih si Raka, Nay..! Dia tuh kayaknya lagi waspada sama sesuatu..!” celetuk Aluna sambil melirik suaminya. Nada suaranya terdengar setengah kesal, setengah cemas.Raka men