Share

Tamu Spesial

"Nak, apa Bapakmu akan benar-benar percaya pada perkataan kamu tempo hari?"

Aku dan Panji yang tengah berada di ruang tengah, sesekali mengobrol dengan suara rendah, takut tiba-tiba Amel yang tengah pamit ke kamar mandi kembali datang.

"Sudah, Ibu jangan khawatir!" Kedua bola mata Panji ikut berputar, seperti tengah mengawasi sesuatu. "Amel, datang!" peringat Panji pada akhirnya.

Aku pun sempat berdehem, membersihkan kerongkongan yang terasa tercekat.

Layaknya hati-hati biasa, Amel pasti akan mampir ke rumahku. Sekarang aku paham, perselingkuhan itu tercipta karena aku lebih sering berada di toko sembako di bandingkan di rumah.

Malahan aku tak sadar, bila tiap kali Amel datang ke rumah, sesekali kulihat bila Panji sering datang ke toko, misalnya untuk mengambil makanan ataupun mengantar pesanan.

Ya Tuhan, begitu besarnya 'kah rasa percayaku pada Mas Alif, karena berpikir kalau kami sudah lama menikah dan dia tak akan macam-macam?

"Mel, nanti malam Tante mau adakan acara makan-makan gitu, kamu ke sini sama Ibu kamu, ya!"

Sontak, Amel yang hendak mendaratkan bokongnya di kursi, mengurungkan niatnya. Di mana dia justru menatapku lekat.

"Nah, iya, Mel. Nanti malem kita bakal makan besar, sayang loh kalau kamu gak ke sini!" timpal Panji.

Raut wajah Amel yang awalnya terlihat ragu, seketika saja berubah secara perlahan. Gadis yang terlihat polos itu mengangguk pelan seraya tersenyum.

"Iya, Tante, Panji, nanti aku bakal datang ke sini. Ibu, juga pastinya senang."

"Nah, gitu dong!" ucapku dan Panji secara bersamaan.

Kami berdua amat sangat kegirangan, karena cukup mudah menjebak Amel untuk masuk dalam perangkap yang sudah aku dan Panji susun.

"Tau gak, Mel. Acara makan-makan ini mau memperingati apa?" tanya Panji yang kebetulan duduk di samping Amel.

"Apa?" Manik mata Amel berbinar, tiap kali dia berbicara dengan Panji.

"Sini, aku bisikan!"

Aku yang memang tak suka, bila Amel berdekatan dengan Panji, segera memisahkan keduanya.

"Heh, gak boleh bisik-bisikan, cepat katakan saja secara terang-terangan, Panji!"

Panji justru terkekeh pelan, dia pun turut menggaruk tengkuknya. 

"Iya, ini aku katakan." Panji mulai memperhatikan aku dan Amel secara bergantian. Tak disangka, semuanya akan berjalan sesuai skenario yang aku dan Panji susun. 

"Ayo, cepat katakan!" desak Amel tak sabar. Terlihat dari matanya yang sedikit berbinar dan bibir bawah yang sesekali dia gigit.

"Ibu mau kasih kejutan Bapak, soalnya besok ulang tahun pernikahan mereka yang ke-18."

Bila kuperhatikan dengan seksama, raut wajah Amel sedikit berubah, ada sedikit kesedihan yang terpancar dari bola matanya.

Belum lagi, ketika Amel sadar tengah aku perhatikan, dia pun segera menunduk dengan jari tangan yang saling meremas satu sama lain.

"Iya, Mel. Kamu harus datang, ya, nanti malem. Ya, memang kecil-kecilan, sih, tapi semoga aja kamu dan Ibu kamu bisa, ya!" tuturku beberapa detik kemudian.

Amel yang sempat tertunduk, akhirnya mendongak, lalu mengangguk pelan.

"Iya, Tante."

Sekilas ekor mataku sempat melirik ke arah Panji, lalu kami berdua pun sama-sama tersenyum penuh arti.

***

Malam pun tiba, beberapa menu makanan sudah tersaji di meja makan yang sengaja aku dan Panji dekor di luar rumah.

Sementara itu, Mas Alif belum pulang dari kantor. Aku dan Panji berniat untuk memberinya sebuah kejutan.

Tak lupa, aku pun turut serta mengundang ayah dan ibu dari Mas Alif. Karena memang kedua orang tuaku tengah berada di luar kota, sehingga aku hanya bisa menghubunginya melalui sambungan video call saja.

"Melda, apa kabar?"

Aku yang tengah menata buah-buahan di meja makan, lantas menoleh, menatap satu orang pria dan wanita paruh baya yang baru saja datang. 

"Ya ampun, Ayah, Ibu. Kabarku baik sekali!"

Gegas aku menghampiri Ibu dan Ayah mertuaku, memeluknya satu-persatu.

"Syukurlah, kalau kabarmu baik-baik saja."

"Iya, Bu. Lantas, bagaimana dengan Ayah dan Ibu?"

"Kabar kami juga baik-baik saja, Melda," balas Ayah mertuaku.

Hingga tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahku. Aku sedikit memicingkan mata, penasaran dengan orang yang baru datang.

Namun, belum sempat aku melontarkan sebuah pertanyaan, tiba-tiba saja datang seorang wanita berpakaian modis dengan rambut yang dibiarkan terurai.

"Andin!" sahutku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Saking terkejutnya, aku sampai menutup mulut menggunakan satu tangan.

"Mbak Melda, apa kabar?"

Andin--adik iparku yang tengah menempuh pendidikan di luar negeri, tiba-tiba saja datang dan memelukku erat.

"Ya ampun, kenapa kamu menjadi sangat kurus, Mbak?" 

"Tidak, Andin. Tubuhku masih sama seperti dulu!" dalihku di hadapan Andin dan kedua mertuaku.

"Cih, kamu pikir bisa membohongi mataku, Mbak?" 

Andi menatapku sinis, bibirnya pun mengatup rapat. Tak lama kemudian, Andin menyodorkan sebuah bingkisan padaku.

"Selamat ulang tahun pernikahan yang ke-18, Mbak." Tiba-tiba Andin mendekatkan bibirnya ke samping telingaku. "Mbak, apa tak ada niatan untuk menambah momongan lagi, kamu masih muda, loh!"

Aku terkekeh pelan, lalu mencubit pundak Andin, kebiasaan yang sering aku lakukan sejak pertama kali bertemu dengannya.

"Harusnya aku yang bertanya, kapan kamu akan menikah lagi?"

"Ah, Mbak!" Andin merajuk padaku. Meskipun usianya sudah diangka tiga puluh, tetapi Andin masih betah menyendiri setelah perceraiannya dengan mantan suaminya lima tahun lalu.

Saat aku dan keluarga Mas Alif tengah asyik mengobrol, tiba-tiba dari arah pintu masuk datang dua orang tamu istimewa yang sengaja aku undang malam ini.

Akan tetapi, ada satu hal yang menarik perhatianku, di mana penampilan keduanya tampak jauh berbeda dari biasanya. Seperti mereka telah menghabiskan puluhan lembar uang hanya demi malam ini saja.

"Mbak, dia siapa?" bisik Andin seraya menatap sinis keduanya.

"Nanti kamu akan tahu. Ayo, sambut mereka!" 

Tidak lupa, aku segera menarik tangan Andin, berniat untuk mengajaknya menghampiri Amel dan Rani yang baru saja datang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status