Share

Kado Ulang Tahun Pernikahan

Kami berempat berdiri secara berhadapan. Amel sempat tersenyum canggung padaku, tak seperti Rani yang justru mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

"Andin, kenalin ini Bu Rani dan ini Amel, pacarnya Panji."

"Apa, pacarnya Panji?"

Andin terperanjat, keningnya mengkerut dengan mulut yang menganga. Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan soal hubungan Panji pada siapapun, termasuk Andin.

"Iya, anakku masih sekolah udah punya pacar, kayak kamu dulu!"

"Lah, kenapa malah bawa-bawa aku, sih!" hardik Andin seraya menatap Rani dan Amel dengan sinis.

"Pasti kamu goda Panji duluan, 'kan?" sambung Amel, melontarkan sebuah pertanyaan pada Amel.

"Maksud, Tante apa?" 

Amel justru balik bertanya, tentunya dengan nada rendah. 

"Sudah, lupakan!"

Andin memang terkenal cukup angkuh dan blak-blakkan, makanya aku begitu bersemangat, ketika tahu Andin pulang ke tanah air.

"Maafkan Andin, ya, Bu Rani, Amel. Dia orangnya memang seperti itu, tetapi dia baik, kok!"

Bu Rani tak menanggapi ucapanku. Wanita itu justru memalingkan wajah seraya sesekali memutar bola mata.

Aku yang sudah gemas dengan Rani, ini rasanya mengambil garpu dan mencungkil bola matanya yang amat menyebalkan tersebut.

"Tidak apa-apa, Tante," balas Amel, masih bersikap di hadapanku.

Sayangnya itu semua hanyalah topeng. Gadis polos itu, nyatanya adalah seorang gadis pemberani yang bersedia menjadi simpanan Bapak dari kekasihnya sendiri.

Miris!

"Ya sudah, ayo masuk!"

Aku melangkah lebih dulu, kemudian di susul oleh Amel dan Rani tepat di belakangku.

***

"Eh, kok, Mbak undang orang asing itu ke sini, sih! Tumben banget."

Andin tak melepaskan pandangan dari Amel yang tengah mengobrol dengan Panji, begitupun dengan Rani yang tengah sibuk memainkan gawai.

"Mereka bukan orang asing!" balasku seraya tersenyum penuh arti.

"Apa maksudmu, Mbak?"

Aku pun menoleh, menatap Andin dengan cukup lama, hingga membuatnya tak berkutik.

"Nanti kamu akan tahu sendiri, Andin. Aku rasa kamu akan terkejut."

Andin yang aku ketahui, sangat tak suka dengan hal-hal yang berbau kejauhan, justru memutar bola mata malas sembari menghembuskan napas berat.

"Mbak, kenapa gak beri tahu aku sekarang!" ucap Andin dengan kedua tangannya yang terulur ke arah pundakku.

"Kalau aku kasih tahu kamu sekarang, namanya bukan kejutan!"

"Mbak!" seru Andin penuh penekanan.

"Sudah, ya, nanti kamu lihat sendiri saja, Andin. Ayo, ambil minum!"

Untuk yang kesekian kalinya, aku menarik tangan Andin, bermaksud untuk membawanya menuju meja tempat minuman berada. 

Namun, belum sempat aku sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba terdengar suara deru mesin kendaraan yang amat sangat aku kenal.

Sebelum menoleh ke pintu masuk, aku sempat melirik ke arah Amel dan Rani, di mana wajah kedua wanita itu sedikit pucat pasi.

"Eh, Mas Alif udah pulang! Aku ke sana dulu, ya."

"Iya, Mbak!"

Sengaja aku berteriak dengan nyaring, bermaksud agar Rani dan Amel ikut mendengarnya.

Detik berikutnya, sosok yang ditunggu-tunggu pun datang. Aku segera menghampiri Mas Alif, menggandeng tangannya mesra.

"Mas, capek, gak?"

Mas Alif menggeleng, tanpa aba-aba dia langsung mendaratkan kecupan di keningku.

Aku yang berpura-pura terkejut, tak luput membulatkan mulut dan mata.

"Capek, Sayang. Tapi, capeknya ilang pas udah lihat kamu."

"Mas, malu tahu di lihat sama Ibu, Bapak, terus ada Amel sama Ibunya juga."

"Amel sama Ibunya?" Mas Alif sedikit memicingkan mata, dia mempertegas kembali penuturanku. 

"Iya, itu mereka di sana!"

Dengan sengaja, aku menunjuk ke arah Amel dan Rani yang tengah membeku di tempat.

Saat Mas Alif tengah terpaku pada Amel dan Rani, diam-diam ekor matanya berputar ke arahnya, memperhatikan dirinya yang ikut terdiam layaknya manekin.

"Ganti baju dulu, Mas. Sebentar lagi kita makan!"

"I-iya, Sayang. Mas, ke dalam dulu, ya!"

Secara paksa, Mas Alif melepaskan gandengan tanganku. Dia langsung buru-buru masuk ke rumah, setelah sebelumnya memutuskan kontak mata dengan Amel.

Melihat hal tersebut, aku hanya bisa tersenyum kecut seraya sesekali beradu pandang dengan Panji.

Di mana raut wajah anakku juga terlihat sedikit di tekuk, menandakan kalau dia tengah muak dengan perilaku Bapaknya.

***

Dua puluh menit sudah berlalu, kulihat Mas Alif baru saja keluar dari rumah dengan rambut klimis dan pakaian yang sudah rapih.

Ketika Mas Alif tengah berada di dalam rumah, aku sengaja menghampiri Amel, mengajaknya untuk mengobrol.

Akan tetapi, ada satu hal aneh yang berhasil aku tangkap. Di mana sesekali Amel tak melepaskan pandangannya dari gawai, belum lagi wajahnya begitu gusar.

"Bu, itu Bapak udah keluar!" sahut Panji seraya menunjuk ke arah Mas Alif.

"Ah, iya, ayo gabung ke meja makan, sebentar lagi acara makannya akan di mulai!"

Aku mengatakan hal tersebut pada Rani, tetapi wanita itu seperti tak memiliki telinga. Buktinya dia sama sekali tak merespon ucapanku.

Namun, aku masih tetap bersikap biasa saja di hadapan semua orang. Padahal sedari tadi, darahku sudah mendidih hebat, tak sabar ingin mengusir Rani dan Amel dari rumahku.

"Panji, ajak Amel makan, ya!"

"Iya, Bu."

Aku sempat tersenyum tipis, lalu melangkah ke arah meja makan, di mana Mas Alif, Ayah mertua, Ibu mertua dan Andin sudah menunggu kedatanganku. 

Selang beberapa detik, setelah aku mendatarkan bokong. Amel, Rani dan Panji ikut menyusul.

Di rasa sudah cukup pas, aku yang kebetulan duduk di samping Mas Alif, tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman.

"Sebelum kita makan, apa harapan kalian kedepannya?" tanya Ayah mertuaku, mengawali acara ulang tahun pernikahan kami.

"Semoga makin baik lagi ke depannya, aku harap hanya maut yang bisa memisahkan aku dan Melda," ucap Mas Alif tanpa halangan.

"Lalu, bagaimana denganmu, Melda?" Ayah mertua menunjuk ke arahku.

"Sebelum aku mengucapkan harapanku, apa boleh aku menunjukkan sesuatu pada kalian semua?" pintaku penuh harap.

"Tentu saja, Sayang. Tunjukkan saja!" balas Ibu mertuaku. 

Meskipun sedikit ragu, karena takut menyakiti perasaan Bapak mertua dan Ibu mertuaku. Tetapi, pada akhir aku bangkit dari duduk, berjalan menuju sebuah layar yang sengaja aku dan Panji Padang. Setelah sebelumnya memantapkan hati.

Namun, sebelum aku memutar semuanya, ekor mataku sempat berputar, menatap Amel dan Rani terlihat jauh lebih gugup dari biasanya.

"Aku harap, kalian menikmatinya!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status