 LOGIN
LOGIN
"Terima kasih untuk kunjungannya, Nona.""Kami tunggu kedatangan nona selanjutnya."Seorang pegawai butik membukakan pintu untuk Danastri setelah memilih gaun yang akan dia gunakan bulan depan untuk ulang tahun rumah sakit milik keluarga Widipa. Widipa sendiri sedang membeli sesuatu di toko seberang."Terima kasih juga untuk pelayanannya," ucap Danastri sembari tersenyum di pintu keluar.Danastri keluar dari butik di kawasan pusat kota itu dengan menenteng tas kertas berisi gaun yang baru diambilnya. Di seberang jalan, Widipa sudah menunggu di dekat mobil hitamnya melambaikan tangan sambil tersenyum kecil."Apa yang dia beli di toko itu?" Danastri penasaran barang yang dibeli Widipa, karena pria tersebut bermain rahasia.“Hati-hati menyeberant, Danastri,” ujar Widipa dari kejauhan."Apa? Aku tak dengar!" Sayangnya Danastri tak mendengar suara Widipa.Namun langkah Danastri yang semula tenang mendadak terhenti. Dari arah kanan, suara mesin sepeda motor meraung keras. Dalam sepersekian
Gedung serbaguna berlantai lima itu terlihat ramai dengan dipenuhi sorotan lampu, wartawan, dan undangan kalangan atas. Musik lembut mengalun, berpadu dengan suara kamera yang terus memotret setiap langkah tamu penting.Hari ini adalah penjurian kontes desainer baik bagi pemula dan senior. Semua berkumpul menjadi satu dari berbagai provinsi. Para wartawan tak mensia-siakan kesempatan ini untuk mencari berita apalagi ada keluarga Jayanatra yang jarang sekali memenuhi undangan dari pejabat manapun.Pada saat Danastri memasuki ruangan sontak seisi aula menoleh. Gaun yang dia kenakan memantulkan cahaya perpaduan antara tradisional dan modern, hasil karyanya sendiri. Namun bukan hanya gaun itu yang menarik perhatian, melainkan ada Widipa yang tegap, dingin, dan berwibawa, berjalan mengapit tangan Danastri dengan sikap protektifnya."Anak itu selalu mencari perhatian sejak dulu," kata Bagas dengan nada tak suka."Seharusnya aku yang di samping Widipa bukan dia." Dinara kesal. Ajakannya ke p
Di balik awan menggumpal tersembunyi rasa kebencian yang membara di hati Sagara. Sagara keluar dari ruang penyidik dengan wajah datar. Di tangannya ada surat penolakan permintaan pembukaan kembali kasus delapan tahun lalu.Delapan tahun dia menunggu kesempatan untuk membersihkan namanya. Dan hari ini semuanya ditutup tanpa alasan jelas hanya karena seseorang mengubah kesaksian."Tidak ada alasan untuk membuka kembali kasus ini, Dokter Sagara,” ujar penyidik tadi dengan wajah datar seolah keadilan hanyalah kata kosong di kertas laporan."Lagipula jika anda bersikeras membuka kembali kasus ini, akan ada orang yang menuntut anda atas pencemaran nama baik. Anda tidak ingin karir anda sebagai dokter terancam, bukan?"Sagara pulang membawa kekecewaan. Langkah kakinya terasa berat menuju area parkir. Dia berhenti di depan tangga kantor polisi menatap kosong ke papan nama besar Keadilan Yang Merata.Sagara tertawa mengejek. Benar-benar tak menyangka membawa Dinara ke jeruji sel menemui jalan
["Nona, dokter Diego memberitahu jika ibu anda meminta bertemu lagi dengan tuan Genta."]Danastri menerima pesan dari salah satu pesuruhnya yang ada di Milan. Danastrilah yang telah meminta pada Widipa untuk mencarikan rumah sakit dengan penjagaan ketat dan tak sembarang pengunjung bisa bertemu.Ya katakanlah Danastri kejam jika sebenarnya tindakannya itu agar Genta tidak dikejar mafia dari Macau yang menginginkan nyawa Genta sekaligus mengatasi ketergantungan pada obat terlarang.["Katakan pada dokter Diego jangan menerima tamu siapapun untuk bertemu Genta. Tunggu intruksi dariku selanjutnya."]["Baik, Nona."]"Untuk sementara tinggallah di sana, Mas. Mereka masih mencari keberadaanmu," kata Danastri sembari menaruh kembali ponselnya.Danastri berdiri sejenak melihat lampu jalanan dari luar jendela yang memantul di permukaan meja kerjanya yang penuh dengan berkas desain, sketsa gaun dan potongan kain sutra serta secangkir kopi yang sudah dingin.Lusa hari penentuan kontes desain dan
Suara langkah pengacara Rudi yang meninggalkan ruangan perlahan menghilang dengan meninggalkan keheningan menyesakkan di ruang tamu besar kediaman Wirajaya.Kertas surat wasiat masih tergeletak di meja bersama cangkir-cangkir teh yang sudah dingin.Di sana Bagas duduk kaku di kursi dengan tatapan kosong. Vero menyalakan rokok dan asapnya membentuk lingkaran-lingkaran tipis di udara. Sementara itu Dinara berdiri di tengah ruangan."Ayah ... ibu apa kalian tidak bisa mencari jalan keluarnya untukku?""Aku tidak bisa menerima dan tidak akan membiarkan ini terjadi!” suaranya menggema seperti memecah kesunyian sedari tadi di ruangan.“Aku tidak akan membiarkan Widipa menikah dengan perempuan itu! Tidak akan, selama aku masih hidup!” Napas Dinara menderu sambil berlipat tangan.“Dinara, tolonglah tenanglah! Jangan banyak bicara. Ini cuma permainan surat. Kita bisa cari cara untuk membatalkannya secara hukum," jawab Bagas menghela napas berat."Membatalkan secara hukum?" Dinara memandangnya
Ruang tamu utama kediaman keluarga Bagas terasa begitu dingin. Cuaca terlihat terang di luar seolah matahari enggan pulang. Di atas meja marmer panjang terdapat berkas-berkas tebal tersusun rapi.Rudi pengacara keluarga yang sudah lama dipercaya mendiang Daru Wirajaya berdiri di tengah-tengah. Di sisi kanan Danastri duduk bersebelahan dengan Widipa. Wajahnya menunjukkan ketegangan sekaligus rasa penasaran.Sedangkan di sisi kiri Bagas dan Dinara menunggu tak sabar. Beda dengan Vero tampak tenang. Wanita itu hanya duduk diam dan hanya memerhatikan pertunjukan drama di keluarganya. Rudi menatap semua yang hadir lalu membuka map hitam di hadapannya."Jadi apa yang ingin anda katakan pada kami semua?" tanya Bagas tak sabar."Terima kasih semuanya sudah hadir memenuhi undangan saya. Seperti yang kalian tahu ini adalah pembacaan surat warisan kedua dari almarhum Tuan Daru Wirajaya.”"Kedua? Bukannya semua aset sudah dibagikan beberapa bulan lalu? Untuk apa lagi dipanggil ke sini?” Bagas me








