Share

IBU SEKAR 2

Author: Jenar
last update Last Updated: 2022-07-28 19:58:35

Sekian lama menjadi menantu aku sudah terbiasa dengan suasana rumah Ibu, hampir seluruh seluk beluknya setiap ruangan di sini aku tahu. Jadi, rumah ini sudah seperti rumahku sendiri. Ibu membebaskan kami, apapun yang kami ingin lakukan, apa yang ingin kami masak atau makan selagi ada persediaan bahan untuk di olah Ibu tidak mempermasalahkannya.

“Udah makan belum, Dek? Kakak masak ikan bakar sama cumi balado. Cicipi, gih!” kata Kak Sinta saat melihat aku mengikutinya ke dapur. Di meja makan sudah terhidang ikan bakar, cumi balado dan udang goreng tepung. Ada sayur sop dan tumis kangkung tanpa cabai kesukaan anak-anakku juga.

“Tuben Kakak masak banyak?” tanyaku seraya duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.

“Sebagian ibu yang masak karena kamu mau datang. Kakak sendiri boro-boro mau masak segitu banyak. Hari-hari, aja beli,” seloroh kakak iparku itu.

“Dedek ini manja banget. Enggak boleh mamanya bergerak dikit. Maunya disuruh nimang-nimang dia, aja sepajang hari,” lanjutnya seraya mengayun-ayun bayinya dalam gendongan.

Seolah paham apa yang dikatakan Kak Sinta, bayi cantik itu menyahuti dengan celotehan khas bahasa bayi. Gemas, aku menciumi pipi tembamnya.

“Kalau dilihat-lihat, kok wajahnya malah mirip ke Raya, ya, Kak?”

“Iya, papanya juga bilang mirip Raya. Bedanya dulu Raya pas bayi rambutnya lebat. Ini kayaknya karena pas hamil Kakak sering nyubitin pipinya anakmu, Dek.”

“Hahahah … bisa-bisanya Kakak, aja itu, sih.”

“Bima enggak ikut, Dek?” tanya Kak Sinta kemudian.

Aku menggeleng. “Lagi sibuk di kantornya, udah berapa hari ini lembur terus. Berangkat pagi pulang hampir pagi."

"Kadang waktu libur pun malah ke luar kota," keluhku pada Kak Sinta.

“Eh, tapi kapan hari itu Bima udah ke sini, sih.” Keningku berkerut mendengar ucapan Kak Sinta.

“Kapan, Kak?”

“Dua hari yang lalu kalau enggak salah, tapi di sini enggak lama.”

Kenapa Mas Bima tidak bilang kalau sudah mengunjungi Ibu, kufikir kami belum sama sekali berkunjung setelah ulang tahun ibu waktu itu. Biasanya suamiku selalu bilang kalau habis dari mana-mana. Tadi pagi pun dia diam saja saat aku mengatakan hendak ke rumah ibu. Apa saking sibuknya Mas Bima sampai lupa bilang?

“Katanya sekalian mampir abis dari meeting di gedung apa gitu, Kakak lupa namanya."

“Mas Bima sendirian, Kak?”

“Berdua, tapi temennya cuma nunggu di mobil.”

“Cewek apa cowok temennya?”

“Kakak enggak tahu, enggak lihat ke luar.”

Jawaban Kak Sinta membuatku memutar otak. Siapa yang datang bersama Mas Bima? Kalau cewek bisa jadi Fina soalnya kata Kak Sinta, Mas Bima mampir setelah meeting. Ah, aku jadi makin curiga dengan dua orang itu.

"Cuma sebentar juga di sini, ya itu alasannya sibuk, kerjaan lagi banyak. Tapi, enggak biasanya, sih Bima buru-buru gitu. Memangnya sesibuk apa dia?"

Fikiranku jauh melayang pada aktifitas kami dalam kurun waktu beberapa minggu belakangan, suamiku jadi lebih tertutup. Sekali waktu ketika Mss Bima pulang kerja tepat waktu dia lebih memilih berlama-lama berada di kamar yang dikhususkan untuk ruang kerja. Jarang bercengkerama dengan anak-anak. Semua alasannya karena sedang menyelesaikan pekerjaan. Apakah sebanyak itu kerjaan suamiku hingga untuk duduk bermain dengan anak-anak pun tidak ada waktu? Padahal tahun-tahun berlalu walaupun mengatakan sibuk dan lelah, dia masih bisa menyempatkan diri untuk membawa anak-anak liburan di akhir pekan.

Sekarang Mas Bima sudah berubah. Dingin dan tidak lagi perhatian. Fina sudah berhasil mengambil seluruh perhatian dan kehangatan yang harusnya dilimpahkan pada kami. Fina sudah mengambil Mas Bima dariku dan anak-anak.

"Dek, kok malah ngelamun," tegur Kak Sinta membuatku sadar dari lamunan yang tidak disengaja.

"Eh, enggak, kok, Kak. Aku enggak ngelamun."

"Tapi tadi kamu begong, kenapa, sih? Kalian ada masalah? Kok, tumben ke sininya masing-masing?" tanya Kak Sinta, memandangku penuh selidik.

Haruskah aku jujur pada Kak Sinta sekarang? Mengatakan padanya bahwa sikap adiknya belakangan ini berbeda. Namun, kalau aku jujur mencurigai Mas Bima selingkuh apa mungkin Kak Sinta akan percaya? Selama ini semua tahu kalau hubunganku dan Mas Bima baik-baik saja, tidak pernah cek-cok atau ribut.

"Enggak ada, kok, Kak. Memang ayahnya anak-anak lagi sibuk banget. Tadi pagi rencananya kami mau berempat ke sini, tapi tiba-tiba Mas Bima ada meeting jadi aku minta di antar sopir."

"Bener kalian enggak ada apa-apa?" Kak Sinta seolah tidak percaya dengan ucapanku. Apa dia tahu kalau aku sedang berbohong?

Aku mengangguk. "Bener, Kak."

Belum waktunya untuk jujur pada kakak iparku. Aku akan mencari bukti yang bisa menguatkan dugaan ini, setidaknya informasi tentang bagaimana Mas Bima dan Fina.

"Hmm. Kalau misalnya Bima neko-neko kamu jangan ragu-ragu bilang ke Kakak. Biar Kakak kucek dia sampe bersih." Kata-kata Kak Sinta barusan malah membuatku tergelak, lucu saja membayangkannya.

"Lha, malah ketawa. Kakak serius, Dek. Taulah penyakit lelaki, kalau udah bergelimang harta pasti godaan yang lain juga berdatangan. Kita harus mode waspada, jangan sampe memberi kesempatan pada suami untuk menyeleweng. Enak, aja kita yang nemani dia perjuang dari bawah, setelah di atas hasilnya mau dinikmati dengan orang lain yang enggak pernah ngerasain sakitnya jatuh bangun. Istri harus pandai dan tegas, Dek. Jangan karena posisi kita yang harus menghormati suami jadi diam, aja pas diinjak-injak. Big no!" Kak Sinta menekan pada kata terakhir.

"Kejayaan laki-laki itu ada tiga, Dek. Harta, tahta dan wanita. Kalau dia jaya di harta dan tahta, bisa dipastikan ada satu wanita luar biasa yang mendampinginya. Sebaliknya bila dia jaya di kelilingi wanita, dua kejayaan yang lain akan runtuh. Logikanya, tidak mungkin nasi dalam satu piring yang sama bisa mengenyangkan beberapa lambung dalam satu waktu. Walaupun sudah di bagi sama rata. Porsi makan kita beda, Dek."

Aku menyimak kata-kata Kak Sinta yang panjang dan serat makna itu. Kalau di telaah memang yang diucapkan kakak iparku ini benar. Selama ini yang sering bertindak menyeleweng kebanyakan para suami terlebih bila sudah mapan secara materi. Macam-macam alasan bisa dijadikan modus untuk membawa perempuan lain masuk ke dalam rumah tangganya. Namun, begitu tidak semua lelaki sukses selalu melakukan penyelewengan, masih ada juga yang setia. pada satu pasangan.

Ah, ingin rasanya aku menceritakan pada Kak Sinta kecurigaan atas sikap Mas Bima yang belakangan berubah, tetapi aku takut malah membuat situasi runyam. Aku juga takut kalau dugaanku salah, bisa saja yang dikatakan Mas Bima benar, dia hanya sedang sibuk dengan pekerjaan sehingga aku merasa diabaikan.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MEMAAFKAN (ENDING)

    Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   LAMARAN

    Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEGUMPAL KERTAS

    Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MAAF DARI IBU

    “Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   BAYI ADOKSI (POV BIMA)

    “Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MENGAKHIRI KISAH YANG SALAH

    Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status