Share

IBU SEKAR 2

Sekian lama menjadi menantu aku sudah terbiasa dengan suasana rumah Ibu, hampir seluruh seluk beluknya setiap ruangan di sini aku tahu. Jadi, rumah ini sudah seperti rumahku sendiri. Ibu membebaskan kami, apapun yang kami ingin lakukan, apa yang ingin kami masak atau makan selagi ada persediaan bahan untuk di olah Ibu tidak mempermasalahkannya.

“Udah makan belum, Dek? Kakak masak ikan bakar sama cumi balado. Cicipi, gih!” kata Kak Sinta saat melihat aku mengikutinya ke dapur. Di meja makan sudah terhidang ikan bakar, cumi balado dan udang goreng tepung. Ada sayur sop dan tumis kangkung tanpa cabai kesukaan anak-anakku juga.

“Tuben Kakak masak banyak?” tanyaku seraya duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.

“Sebagian ibu yang masak karena kamu mau datang. Kakak sendiri boro-boro mau masak segitu banyak. Hari-hari, aja beli,” seloroh kakak iparku itu.

“Dedek ini manja banget. Enggak boleh mamanya bergerak dikit. Maunya disuruh nimang-nimang dia, aja sepajang hari,” lanjutnya seraya mengayun-ayun bayinya dalam gendongan.

Seolah paham apa yang dikatakan Kak Sinta, bayi cantik itu menyahuti dengan celotehan khas bahasa bayi. Gemas, aku menciumi pipi tembamnya.

“Kalau dilihat-lihat, kok wajahnya malah mirip ke Raya, ya, Kak?”

“Iya, papanya juga bilang mirip Raya. Bedanya dulu Raya pas bayi rambutnya lebat. Ini kayaknya karena pas hamil Kakak sering nyubitin pipinya anakmu, Dek.”

“Hahahah … bisa-bisanya Kakak, aja itu, sih.”

“Bima enggak ikut, Dek?” tanya Kak Sinta kemudian.

Aku menggeleng. “Lagi sibuk di kantornya, udah berapa hari ini lembur terus. Berangkat pagi pulang hampir pagi."

"Kadang waktu libur pun malah ke luar kota," keluhku pada Kak Sinta.

“Eh, tapi kapan hari itu Bima udah ke sini, sih.” Keningku berkerut mendengar ucapan Kak Sinta.

“Kapan, Kak?”

“Dua hari yang lalu kalau enggak salah, tapi di sini enggak lama.”

Kenapa Mas Bima tidak bilang kalau sudah mengunjungi Ibu, kufikir kami belum sama sekali berkunjung setelah ulang tahun ibu waktu itu. Biasanya suamiku selalu bilang kalau habis dari mana-mana. Tadi pagi pun dia diam saja saat aku mengatakan hendak ke rumah ibu. Apa saking sibuknya Mas Bima sampai lupa bilang?

“Katanya sekalian mampir abis dari meeting di gedung apa gitu, Kakak lupa namanya."

“Mas Bima sendirian, Kak?”

“Berdua, tapi temennya cuma nunggu di mobil.”

“Cewek apa cowok temennya?”

“Kakak enggak tahu, enggak lihat ke luar.”

Jawaban Kak Sinta membuatku memutar otak. Siapa yang datang bersama Mas Bima? Kalau cewek bisa jadi Fina soalnya kata Kak Sinta, Mas Bima mampir setelah meeting. Ah, aku jadi makin curiga dengan dua orang itu.

"Cuma sebentar juga di sini, ya itu alasannya sibuk, kerjaan lagi banyak. Tapi, enggak biasanya, sih Bima buru-buru gitu. Memangnya sesibuk apa dia?"

Fikiranku jauh melayang pada aktifitas kami dalam kurun waktu beberapa minggu belakangan, suamiku jadi lebih tertutup. Sekali waktu ketika Mss Bima pulang kerja tepat waktu dia lebih memilih berlama-lama berada di kamar yang dikhususkan untuk ruang kerja. Jarang bercengkerama dengan anak-anak. Semua alasannya karena sedang menyelesaikan pekerjaan. Apakah sebanyak itu kerjaan suamiku hingga untuk duduk bermain dengan anak-anak pun tidak ada waktu? Padahal tahun-tahun berlalu walaupun mengatakan sibuk dan lelah, dia masih bisa menyempatkan diri untuk membawa anak-anak liburan di akhir pekan.

Sekarang Mas Bima sudah berubah. Dingin dan tidak lagi perhatian. Fina sudah berhasil mengambil seluruh perhatian dan kehangatan yang harusnya dilimpahkan pada kami. Fina sudah mengambil Mas Bima dariku dan anak-anak.

"Dek, kok malah ngelamun," tegur Kak Sinta membuatku sadar dari lamunan yang tidak disengaja.

"Eh, enggak, kok, Kak. Aku enggak ngelamun."

"Tapi tadi kamu begong, kenapa, sih? Kalian ada masalah? Kok, tumben ke sininya masing-masing?" tanya Kak Sinta, memandangku penuh selidik.

Haruskah aku jujur pada Kak Sinta sekarang? Mengatakan padanya bahwa sikap adiknya belakangan ini berbeda. Namun, kalau aku jujur mencurigai Mas Bima selingkuh apa mungkin Kak Sinta akan percaya? Selama ini semua tahu kalau hubunganku dan Mas Bima baik-baik saja, tidak pernah cek-cok atau ribut.

"Enggak ada, kok, Kak. Memang ayahnya anak-anak lagi sibuk banget. Tadi pagi rencananya kami mau berempat ke sini, tapi tiba-tiba Mas Bima ada meeting jadi aku minta di antar sopir."

"Bener kalian enggak ada apa-apa?" Kak Sinta seolah tidak percaya dengan ucapanku. Apa dia tahu kalau aku sedang berbohong?

Aku mengangguk. "Bener, Kak."

Belum waktunya untuk jujur pada kakak iparku. Aku akan mencari bukti yang bisa menguatkan dugaan ini, setidaknya informasi tentang bagaimana Mas Bima dan Fina.

"Hmm. Kalau misalnya Bima neko-neko kamu jangan ragu-ragu bilang ke Kakak. Biar Kakak kucek dia sampe bersih." Kata-kata Kak Sinta barusan malah membuatku tergelak, lucu saja membayangkannya.

"Lha, malah ketawa. Kakak serius, Dek. Taulah penyakit lelaki, kalau udah bergelimang harta pasti godaan yang lain juga berdatangan. Kita harus mode waspada, jangan sampe memberi kesempatan pada suami untuk menyeleweng. Enak, aja kita yang nemani dia perjuang dari bawah, setelah di atas hasilnya mau dinikmati dengan orang lain yang enggak pernah ngerasain sakitnya jatuh bangun. Istri harus pandai dan tegas, Dek. Jangan karena posisi kita yang harus menghormati suami jadi diam, aja pas diinjak-injak. Big no!" Kak Sinta menekan pada kata terakhir.

"Kejayaan laki-laki itu ada tiga, Dek. Harta, tahta dan wanita. Kalau dia jaya di harta dan tahta, bisa dipastikan ada satu wanita luar biasa yang mendampinginya. Sebaliknya bila dia jaya di kelilingi wanita, dua kejayaan yang lain akan runtuh. Logikanya, tidak mungkin nasi dalam satu piring yang sama bisa mengenyangkan beberapa lambung dalam satu waktu. Walaupun sudah di bagi sama rata. Porsi makan kita beda, Dek."

Aku menyimak kata-kata Kak Sinta yang panjang dan serat makna itu. Kalau di telaah memang yang diucapkan kakak iparku ini benar. Selama ini yang sering bertindak menyeleweng kebanyakan para suami terlebih bila sudah mapan secara materi. Macam-macam alasan bisa dijadikan modus untuk membawa perempuan lain masuk ke dalam rumah tangganya. Namun, begitu tidak semua lelaki sukses selalu melakukan penyelewengan, masih ada juga yang setia. pada satu pasangan.

Ah, ingin rasanya aku menceritakan pada Kak Sinta kecurigaan atas sikap Mas Bima yang belakangan berubah, tetapi aku takut malah membuat situasi runyam. Aku juga takut kalau dugaanku salah, bisa saja yang dikatakan Mas Bima benar, dia hanya sedang sibuk dengan pekerjaan sehingga aku merasa diabaikan.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status